Tigadua.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Sesosok pria dengan jas berwarna putih, rambut yang berantakan dan ekspresi yang kusut tertangkap olehku. Hingga pandangan kami bertemu dan seulas senyuman terukir di wajahnya.

"Athenna.."

Kedua kakiku kembali bergetar dengan hebat. Menatap tidak percaya dan ketakutan akan kehadiran pria itu. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, mengigit bibir bawahku kuat-kuat seraya menahan isakan.

Seluruh pandang mata pun kini tertuju pada sosok yang tengah berjalan ke depan dengan mantap. Membuatku berspekulasi bahwa pria itu memang nyata.

Hingga saat ia melewati anggota kelompok packku, Seth dan Karl pun berseru tanpa ragu yang berhasil membuat air mataku kembali berjatuhan dengan deras.

"Alpha Arthur kembali!"

"Alpha telah kembali, Putri!"

Kedua mata kami pun kembali bertemu, membuahkan senyuman lebar di wajahnya yang berhasil mengajak kedua sudut bibirku ikut tertarik ke atas.

Namun Arthur tak langsung menghampiriku, ia berhenti tepat di depan piano yang tengah Ash gunakan seraya meminta pria itu untuk pergi.

"Sebelum kita benar-benar memulai pesta dansa, mari kita saksikan penampilan khusus dari Alpha yang baru saja kembali. Arthur." Ujar Sherina lantang sembari mengusap-usap lenganku dengan lembut.

Arthur pun sudah siap di tempatnya, jemari tangannya sudah berada di atas tuts piano dan mulai menarikannya hingga membuat melodi yang indah.

Aku tidak tahu harus mengungkapkan perasaanku seperti apa lagi saat ini. Otakku masih cukup shock dengan kedatangan pria itu. Ditambah dengan rasa senang, sedih dan kesal yang melekat di benakku.

Jika lebih cepat selangkah saja
Jika terlambat selangkah saja
Kita dapat menghindari takdir yang menyakitkan saat itu
Saat ini aku tak bisa membiarkanmu pergi
Jika ingin menangis, menangislah di bahuku

Aku tidak memenuhi syarat untuk memilikimu
Karena aku hanya memberikan luka padamu
Akulah yang telah membuatmu menangis dan bersedih

Kau tidak tahu caranya berbohong
Sehingga meskipun kau tersenyum cerah
Aku mengetahui sinar matamu yang sedih itu

Cinta menangis, cinta memanggilmu
Aku tak bisa membiarkanmu pergi meskipun sekali
Karena bagiku senyummu adalah napasku
Karena hanya kaulah yang membuatku merasa hidup
Hatiku menangis

Saat Arthur telah berhenti, suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Dan ketika ia mulai beranjak bangun dan berjalan ke arahku, dengan segera aku menyeka air mata di pipi seraya menatapnya dengan sebuah senyuman.

Tepat sebelum ia menaiki undakan tangga agar dapat bersanding denganku, ia membungkukkan tubuhnya sejenak. Setelah itu, Arthur mulai menginjakkan kakinya di atas undakan tangga sembari tersenyum ke arahku.

Jantungku berdetak kencang dalam sekejap. Membuat kedua tanganku bergetar gugup saat pria itu telah berdiri tepat di hadapanku.

Genggaman Sherina pada bahuku mengendur perlahan-lahan, membuat Arthur meraih tangan kiriku yang mulai mendingin dan menggenggamnya erat.

Arthur pun berlutut, merogoh saku jasnya tanpa sedikit pun melepaskan pandangannya padaku. Ia mengulurkan sesuatu ke hadapanku, hingga dapat kulihat sebuah kotak kecil berwarna emas sedang terbuka dan menampilan sesuatu yang bundar dan berkilau di tengahnya.

Sekali lagi, air mataku berjatuhan.

"Athenna Xeraphin Nathaniel, aku sadar aku bodoh dan membuatmu nyaris mati ketakutan. Tapi aku yakin, setelah semua kejadian yang telah terjadi di antara kita, kita bisa melewatinya dengan hati yang kuat. Seberat apapun masalah yang terjadi, aku sadar bahwa kita ditakdirkan untuk bersama."

Aku mengangguk kecil, menyetujui ucapannya yang membuat jantungku ingin melompat dari rongganya.

"Athenna, maukah kau menikahiku?"

Air mata kembali membasahi pipiku saat perlahan-lahan aku mengangguk dan melebarkan senyuman. Membuat pria itu menyematkan cincin yang berada di dalam kotak emas itu pada jari manisku yang disusul dengan suara tepuk tangan serta sorakan bahagia dari para tamu.

Detik berikutnya Arthur berdiri dan menarikku ke dalam pelukannya. Ia mengusap kepalaku penuh kasih sayang hingga membuat isakanku lolos begitu saja.

"Maafkan aku, sayang. Aku mencintaimu." Bisiknya tepat di samping telingaku.

Untuk kedua kalinya aku mengangguk. "Aku juga. Maafkan aku. Aku mencintaimu, Arthur." Bisikku dengan suara yang bergetar.

Arthur pun mengeratkan pelukannya sejenak, melepaskan pelukan kami kemudian merengkuh wajahku hangat. Kedua mata biru lautnya menatapku lekat-lekat bersamaan dengan ibu jarinya yang menyeka air mataku.

"Bukankah kita ada pesta, Athenna?"

Aku tersenyum seraya mengangguk mantap. Detik berikutnya pria itu mengusap kepalaku dan kembali menggenggam tanganku sembari menghadap para tamu.

"Jadi kembaranku tengah berbunga-bunga saat ini?" Tanya Sherina yang membuatku menoleh ke arahnya dengan wajah yang mulai merona. Sherina pun tertawa. "Kalau begitu, mari kita mulai acaranya."

Detik berikutnya alunan piano dan kembali terdengar. Membuat Sherina turun dari selasar dan menuju tengah ruangan. Ia akan bertemu dengan Seth, memimpin pesta dansa seraya megalihkan pandangan para tamu dari aku dan Arthur.

Setelah kembali bertatap-tatapan sesaat dengan Arthur, kami kembali memutar arah tubuh kami. Menatap kedua orang tuaku yang tengah tersenyum haru ke arah kami yang berhasil membuat wajahku memerah malu.

Detik berikutnya Raja dan Ratu Xavewood pun telah berada di dekat kedua orang tuaku, membuatku menggigit bibirku gugup dan melirik Arthur sesekali.

Di saat-saat seperti ini Arthur malah tertawa, merengkuh bahuku erat kemudian mengecup pelipisku. Perlakuannya itu lantas membuat Raja Romeo berdeham, membuatnya kembali tertawa dan wajahku yang-kurasa-memerah padam.

"Aku senang kalian kembali bersama." Ujar Raja Romeo. "Aku harap setelah ini tak ada hal bodoh lainnya yang akan terjadi di antara kalian."

"Dan tak ada kejadian yang akan memberhentikan detak jantung kalian." Tambah Ratu Clair.

Pandanganku pun tertuju pada kedua orang tuaku yang masih tak berkutik, membuatku tersenyum lebar dan berhasil membuat ibu meneteskan air matanya.

"Aku senang kau dapat bertahan hidup, Athenna, maafkan aku dan ibumu yang meninggalkanmu begitu saja waktu itu." Ucap ayah yang membuatku mengeluarkan kalung pemberiannya dari balik gaunku.

"Semuanya berkat kalung yang Ayah berikan." Balasku dengan suara yang mantap. "Aku mendapat seluruh kekuatanku dari kalung ini, dan tentunya, pria di sebelahku."

Arthur kembali tertawa. "Aku berterima kasih kepada Raja dan Ratu Nathaniel karena telah menghadirkan Athenna di dunia ini. Ia menjadi satu-satunya alasan bagiku untuk berubah."

Ayah pun mengangguk. "Dan terima kasih karena telah membuat anakku panik setelah perbuatan konyolmu, Arthur."

"Maafkan aku soal itu, Raja." Ujar Arthur lagi sembari menundukkan kepalanya sejenak yang hanya dibalas dengan wajah datar ayah. Aku ingin tertawa melihat wajah ayah yang sedang merajuk-hanya aku dan ibu yang tahu bahwa ayah merajuk dengan wajah seperti itu.

"Jadi kapan kalian akan melaksanakan pernikahannya?" Tanya ibu yang sontak membuatku mendongak menatap Arthur.

"Besok pagi."

Lagi-lagi aku melebarkan senyumanku. Ingin protes karena ini terlalu mendadak namun sebagian diriku mengatakan bukankah lebih cepat lebih bagus?

"Bagus. Kita adakan di aula ini lagi." Ujar ayah.

Aku dan Arthur mengangguk. Setelahnya Arthur menarikku lembut untuk menyusul Sherina dan Seth, namun aku menahannya dan berlari kecil ke arah ibu dan ayah. Dengan segera aku meraih leher keduanya dan memeluk orang tuaku erat.

Ayah pun merengkuh tubuhku, mencium puncak kepalaku cukup lama hingga tanpa kusadari ibu tengah menangis di bahuku. Detik berikutnya aku melepaskan pelukanku, berdiri tepat di hadapan ibu kemudian menyeka air mata di pipinya.

"Kenapa ibu menangis?"

"Ibu merasa bersalah." Jawabnya sembari meraih tanganku yang berada di pipinya. "Ibu tidak melihat dan memperhatikan perkembanganmu."

Seulas senyum tipis terukir di wajahku. "Kalau begitu aku berhutang cerita pada ibu. Dan jangan khawatirkan perkembanganku dulu, Arthur telah memberikan banyak tuntunan untukku."

"Ia tidak macam-macam, 'kan?" Tanya ibu yang langsung membuatku tertawa dan menggeleng mantap. "Kau berhutang cerita pada ibu kalau begitu."

Kali ini aku mengangguk, mencium kedua pipi ibu dan perlahan-lahan berjalan mundur. "Aku akan menyusul Sherina."

"Sampaikan salam ayah dan ibu padanya." Sahut ayah yang hanya kubalas dengan acungan jempol.

Arthur mengulurkan tangannya padaku, membuatku meraih ulurannya dan berjalan menuruni tangga bersamanya. Saat kami tengah berjalan menghampiri Seth dan Sherina, dapat kulihat segerombol anggota pack telah berdiri di ujung terbawah anak tangga.

Ardeen terlihat tersenyum lebar, pun Cheryl dan Karl. Membuatku membalas senyuman mereka seraya mengeratkan genggamanku pada Arthur.

"Alpha, senang melihatmu kembali." Ujar Ardeen kemudian membungkuk yang diikuti oleh para anggota pack.

"Kerja bagus, Ardeen."

Ardeen pun menggeleng. "Tidak, Alpha, semuanya berkat Luna Lalluna-maksudku, Putri Athenna."

Aku terkekeh. "Untuk apa kau memanggilku dengan putri? Aku masih Luna kalian."

Kali ini Cheryl membuka mulutnya. "Aku sangat senang melihat Alpha dan Luna kembali bersama."

"Pasangan Red Fire telah kembali!" Tambah Karl semangat. Namun detik berikutnya ia menutup mulut akibat sesuatu yang kuyakini ada hubungannya dengan Arthur. Mendadak semuanya menjadi bungkam, membuatku melirik ke arah Arthur yang kini tengah menatap mereka tajam.

"Bercanda." Ujar Arthur kemudian tersenyum. "Terima kasih untuk itu, Karl."

Ketegangan yang sempat terjadi kembali menghangat. Karl pun tertawa canggung yang berhasil membuat dirinya menjadi aneh.

Setelahnya kami mengundurkan diri dari mereka dan menyusul kembaranku yang tengah berdansa di tengah ruangan. Saat kami sudah berada tak jauh darinya, Sherina menoleh bersamaan dengan Seth.

"Athenna!" Aku tersenyum kepadanya. "Bergabunglah."

Aku mengangguk, membuat Arthur meraih pinggangku dan memutar arah tubuhku. Aku tertawa, meraih bahu pria itu sembari mendongak untuk menatap mata biru laut kesukaanku.

"Ini kali pertama aku berdansa." Jujurku.

"Bukan masalah, Putri."

Detik berikutnya alunan piano yang Ash mainkan menjadi lebih lembut. Arthur menarikku untuk lebih dekat hingga jarakku dengan wajahnya semakin dekat.

Kami melangkah ke kanan dan kiri dalam tempo yang sangat lambat. Membuatku dapat mendengar detak jantungku yang mulai tak berirama, pun Arthur.

Dapat kurasakan bibir Arthur menyentuh keningku, menciumnya cukup lama hingga aku memutuskan untuk mengalungkan tanganku di lehernya sembari terus menatapnya lekat-lekat.

Aku merindukannya. Aku merindukan tatapan intensnya yang selalu membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku merindukan sentuhannya yang selalu membuatku nyaman dan merasa dilindungi.

Arthur adalah segalanya bagiku. Karena apapun yang kubutuhkan dan kuinginkan akan selalu tertuju kepadanya. Satu-satunya manusia yang berhasil membuatku hidup dan mengerti arti dari perjuangan.

Kupejamkan mataku saat kurasakan bibir Arthur mulai menyapa wajahku, mengecupnya perlahan-lahan hingga dapat kurasakan bibirnya berhenti tepat di bibirku. Ia menciumku lembut, menyalurkan segala yang ia rasakan padaku, pun sebaliknya.

Perlahan air mata kembali membasahi pipi kananku. Membuatku membalas ciuman lembut Arthur seraya mengeratkan pelukanku pada lehernya. Butuh milyaran kata rindu bagiku untuk mengatakan betapa aku merindukan pria ini.

Berbeda dari sebelumnya, aku menangis bahagia. Kembali merasa beruntung karena memiliki pasangan hidup seperti Arthur. Dan aku bersumpah akan terus mencintainya sepanjang khayatku.

"Aku sangat mencintaimu, Lalluna." Lirih Arthur bersamaan dengan setetes air mata yang menghiasi pipinya. Dengan segera aku menyeka air matanya, mengangguk kecil seakan mengatakan padanya bahwa semuanya baik-baik saja.

"Dan terima kasih karena telah berjuang untukku." Lanjutnya yang kini kubalas dengan anggukkan yang mantap dan memeluknya erat.

Arthur pun merengkuh tubuhku kuat-kuat, membuat air mata kembali tumpah dari kedua mataku dan milik Arthur-walaupun secara diam-diam. Aku menekan wajahku di lekukan lehernya, menghirup aroma itu lekat-lekat seakan tidak ingin melepasnya sama sekali.

Walaupun begitu, aku sangat sadar bahwa ada dua orang yang tengah memperhatikan kami lekat-lekat.

.
.
.

Dengan perasaan yang berbunga-bunga, aku melewati pagi dengan semangat dan langsung tersadar bahwa pengucapan janji suci itu telah terjadi beberapa jam lalu saat Sherina datang dan menggodaku.

"Berhenti menggodaku, Sherina." Ujarku seraya menunjuk-nunjuk wajahnya.

Kembaranku itu tertawa. "Wajahmu sangat lucu saat menjadi merah padam."

Aku merengut, melipat tanganku di depan dada seraya menatap Sherina sebal. "Lihat saja, akan kubalas kau."

Kali ini Sherina menjulurkan lidahnya mengejek. "Tidak akan."

"Sherina.." Panggil Seth yang lantas membuat kami menoleh dan mendapati pria itu tengah berjalan ke arah kami dengan Arthur yang berada di belakangnya. "Jangan goda kakakmu seperti itu. Lihat, wajahnya sudah seperti tomat."

"Seth!" Suaraku meninggi yang disusul tawa oleh Seth, Sherina dan Arthur.

Namun detik berikutnya Arthur merengkuhku dan mencium pipiku sekilas. "Sudahlah, sayang, mereka hanya iri." Ujarnya yang kembali disambut oleh tawa Sherina serta Seth.

"Kalau begitu kami akan kembali ke rumah pack." Seth menatapku. "Sherina butuh pendekatan dengan anggota pack Red Fire. Dan maaf soal tomat itu, Luna."

Aku berdecak, mengalihkan pandanganku dari Seth. "Hm, aku maafkan."

"Luna.." Ingat Arthur.

"Oke, oke." Kubalas tatapan Seth. "Aku maafkan."

Kemudian Seth dan Sherina pun tersenyum, bangkit dari posisi mereka kemudian beranjak pergi menyisakan aku dengan Arthur.

Setelah pasangan itu menghilang dari jangkauan kami, Arthur meraih pinggangku dan mendudukkannya di atas pangkuan pria itu. Tangan hangat Arthur melingkar di pinggangku, sementara kedua kakiku menekan punggung sofa.

Kami hanya saling bertatapan, hingga Arthur mencolek hidungku dan berucap. "Bagaimana kabar Astra dan Xlavira?"

Mendadak aku menunduk, mengalihkan pandanganku darinya seraya menggigit bibir.

"Ada apa, hm?" Tanyanya lagi seraya meraih daguku dan membawanya agar aku kembali menatap kedua mata biru laut itu. "Kau kehilangan mereka?"

Aku mengangguk ragu, membuat Arthur tersenyum tipis seraya menyelipkan rambutku di balik telinga. "Tidak apa, sayang."

"Aku mengecewakanmu. Maaf."

"Tidak, tidak. Kita bisa membuatnya lagi."

Wajahku kembali memanas dan merona, disertai tawaku yang meledak begitu saja. "Arthur, ini masih siang."

"Apa masalahnya kalau ini masih siang?"

Lagi-lagi aku tertawa seraya menggeleng. "Tidak ada."

Dan sebuah seringai tercetak di wajahnya, membuatku kembali merengut kesal yang langsung menghilangkan ulasan itu di wajahnya. "Kau masih berhutang cerita padaku."

Pria itu kembali mengangguk, mengecup bibirku yang tengah mengerucut kemudian memulai ceritanya. "Aku tidak hilang saat kau mencariku seperti apa yang dikatakan Ardeen kemarin malam. Raja Xavier memanggilku dan alhasil aku berada di ruangannya. Aku juga sudah memberikanmu telepati, namun kau tak membalasnya.

Setelah memiliki diskusi kecil namun cukup lama dengan raja, aku mendengar kabar dari para penjaga bahwa kau pergi dari Istana dengan terburu-buru. Saat aku mencoba mengejarmu, Ratu Xerafina tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa kau sedang dalam bahaya.

Dengan segera aku berlari keluar Istana dan mencari jejakmu. Dan tepat setelah itu, Seth menampakkan dirinya dan mengatakan bahwa kau sedang menuju Hutan Selatan karena aku berubah menjadi Phoenix.

Setibanya aku di sana, aku melihatmu berada di bawah sang Phoenix dengan cakar sialannya. Aku tahu apa yang telah kau lakukan. Jadi aku hanya meneruskannya dengan mengambil anak panah yang sedang kau coba raih dan menancapkannya di dekat ekor sang Phoenix.

Titik kelemahan, 'kan? Aku pernah membaca itu sebelumnya. Dan setelah Phoenix itu menghilang dan kau berada di hadapanku, mendadak aku tertarik menuju kegelapan dan berdiam diri di sana.

Aku pikir aku benar-benar mati. Namun kau tahu? Xave Liona merasukiku dan kami mengalami perdebatan kecil."

Kedua mataku membulat, menatap Arthur tak percaya saat tahu Pertama merasuki dirinya. "Kau memiliki hubungan dengan Xave Liona?"

Arthur mengangguk. "Aku juga baru tahu. Beliau adalah buyutku."

"Kau bersaudara dengan Nick!" Ujarku masih terkejut.

Kali ini Arthur terkekeh, mencubit kedua pipiku kemudian melanjutkan ceritanya. "Pada awalnya aku memang ditakdirkan untuk mati. Namun setelah 24 jam berlalu, Pertama datang dan mengatakan fakta-fakta yang tak kuketahui tentang keluargaku sendiri hingga kami mengalami perdebatan kecil.

Setelah itu aku merasakan tubuhku mulai meringan, Xave Liona juga mulai memudar sembari mengatakan bahwa kau tengah melakukan perjalanan untuk memastikan kawananmu baik-baik saja dan aku terbangun.

Aku langsung berlari dan melompat lewat jendela karena jika aku melewati pintu, anggota pack jelas akan menahanku. Aku mengunjungi setiap pulau, dimulai dari Clivora hingga Vamps yang kini sudah dapat kulihat.

Saat aku berhenti untuk mengambil napas di Cosmos, Ratu Xeria mengatakan bahwa kini kau berada di Cygnus untuk menghadiri acara pesta dansa. Aku yang saat itu dalam keadaan kelelahan, membuat Ratu Xeria membantuku untuk berteleportasi dan memberikan jas putih itu. Hingga pada akhirnya aku bertemu denganmu."

Pada akhirnya aku kembali tersenyum, merengkuh wajah Arthur dan menatapnya lekat-lekat. "Kau tahu apa yang membuatmu kembali hidup?"

Pria itu menggeleng.

"Aku membunuh Alina."

"Sungguh?" Pria itu pun tersenyum lebar. "Aku bangga memilikimu, sayang."

Tak mau kalah, aku juga semakin melebarkan senyumku hingga memperlihatkan deretan gigi putihku pada Arthur. "Aku jugaa."

Setelahnya ulasan senyum di wajah Arthur pun berubah menjadi seringaian mesum yang dulu sering ia tunjukkan. "Dan bisakah kita buat sekarang?"

Oh tidak.

To be continue.

Semangat update? Banget.wkwk emang sih harusnya besok, tapi kl aku besok semakin semangat, besok update lagi.hoho

Omong-omong siapkan mental! Sebentar lagi end ceritanyaaa :" aku gak tega ngilangin Arthur sama Luna dari microsoft word aku :"

Trus satu lagii, jangan lupa baca cerita baru aku yang judulnya "Black & Gold" yang bisa dicek di works aku. Gak private kok. Itu tentang anaknya XeVier, Alpha's Savior.

Jangan lupa vomment yaa sebagai bentuk tanda apresiasii~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro