Tigasatu.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Updatenya jadi tiap kamis dan minggu yaa :v Sorry for typo(s), males banget buat ngeditnya :"

Enjoy~

Luna's POV

Julius menautkan kedua tangannya di atas meja. Pandangannya terus menunduk tanpa menatapku sedetikpun. Ia telah membuang-buang waktuku sejak beberapa menit lalu, membuatku menghela napas kasar seraya menyandarkan tubuhku pada punggung bangku.

"Oke, Yang Mulia Ratu, saya tahu bahwa Anda tidak mungkin percaya. Namun saya serius. Saya ingin bergabung dengan pasukan Anda, Yang Mulia."

Aku pun berdeham. "Kau tahu apa yang telah terjadi barusan?"

Julius tak langsung menjawab. Ia meremas kedua tangannya sebelum akhirnya mengangkat pandangannya denagn ragu. "Tidak, Yang Mulia."

"Tidak?" Kupukul meja di hadapanku dengan keras. "Apanya yang tidak? Kau kira aku tidak tahu apa yang ada di dalam benakmu, hah?"

Pria di hadapanku kembali terdiam, menelan ludahnya gugup saat kulihat bibirnya bergetar. "Maaf, Yang Mulia, tapi saya benar-benar tidak tahu."

"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa Alina telah mati di tanganku?"

Detik berikutnya Julius menatapku tepat di mata, membuatku bangkit dari bangku dan mengulurkan tangan agar dapat mencekik pria itu dengan kuat.

Dengan segera sebuah visi akan masa depan mengalir di dalam benakku. Memberikan gambaran-gambaran tidak menyenangkan yang akan terjadi pada Julius. Namun bukan kegelapan jika hanya melibatkan satu orang.

Banyak warga yang berlari ketakutan saat sesosok wanita menampilkan dirinya bersama pack Darkmoon. Membuatku bertanya-tanya siapa wanita ini dan langsung terjawabkan saat seseorang memanggil namanya dengan lantang.

Sky.

Aku melepaskan cekikan tanganku saat visi akan Julius yang tengah disandera Sky terlihat. Membuatku kembali terduduk di bangku seraya menatap Julius marah.

"Kau adalah keturunan Sky. Bagaimana bisa kau mengkhianatinya semudah itu?"

"Karena Sky bukanlah seekor Pegasus." Ujarnya sedikit bergetar. "Saya dan nenek saya, Lucida, yang Anda kurung di sebelah sel saya telah muak dengan sikap Sky. Kami tidak ingin mengikuti kemauan Sky lagi."

Aku pun bersedekap. "Bagaimana dengan Lauren dan Nick?"

"Mereka tidak tersentuh sama sekali oleh kegelapan. Terutama Nick. Ia memang sudah mencoba berkali-kali membunuh Alina, namun selalu gagal karena Alina memiliki sihir hitam. Sang Raja juga, Raja Ethan, maka dari itu ia jarang terlihat di Kerajaan hanya untuk mencari penyihir hitam lainnya yang berada di pihak beliau."

Untuk sejenak aku terdiam, mencoba mencari informasi lainnya untuk memperkuat kubuku saat perang nanti. Ini adalah kesempatan emas. Sekalipun aku tidak tahu harus mempercayai Julius sepenuhnya atau tidak, yang penting aku memiliki sedikit informasi tentang keluarga hitamnya.

Dan sebuah pertanyaan pun melintas di benakku. "Bukannya Sky sudah mati setelah dibunuh Ratu Xerafina?"

Kepala Julius menggeleng lemah. "Anda tahu sendiri, Yang Mulia, penyihir hitam tidak bisa mati begitu saja. Mereka harus dibunuh oleh penyihir hitam juga. Sementara Ratu Xerafina bukanlah penyihir yang menggeluti kegelapan, Yang Mulia."

"Aku tahu soal peraturan itu." Ujarku seraya menyentuh daguku. "Namun apakah ada cara khusus untuk membunuh penyihir hitam? Harus dibakar atau semacamnya?"

"Tidak, setahu saya tidak ada." Jawabnya.

Aku pun mengangguk. Menimbang-nimbang ulang pendapat Sherina untuk membiarkan Julius masuk ke dalam pasukanku. Hingga sebuah ide bersinar terang di dalam kepalaku.

"Tatap aku." Titahku yang langsung di lakukan olehnya. "Tak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan menatap kedua mata Penghisap Jiwa." Lanjutku mengucapkan mantra dalam bahasa Pegasus.

Seketika tubuh Julius menegang. Kedua matanya menatapku dengan penuh ketakutan seolah-olah aku adalah malaikat kematian.

Detik berikutnya aku dapat melihat kilasan-kilasan yang telah terjadi pada hidupnya selama ini. Dimulai dari ia lahir, diperbudak oleh Sky, ayahnya hingga kakaknya sendiri. Ia, Lauren dan Lucida—nenek Julius—menjadi korban sihir hitam yang ditularkan Sky.

Cahaya biru tua pun terpancar dari tongkat Sky, menabrak tubuh Sammy dan Julius dengan keras hingga membuat kakak-adik itu merintih kesakitan. Lauren serta Nick juga ada di sana. Namun Nick diam-diam mencoba kabur tanpa membawa sang adik, Lauren.

Menurut dari pandanganku, Lauren tak ingin pergi. Ia tidak ingin meninggalkan Julius—seseorang yang ia cintai—sekalipun harus berhadapan dengan Sky. Sampai pada akhirnya, mereka bertiga mendapatkan kekuatan untuk melihat jiwa dan ditugaskan untuk mencari Xave selanjutnya.

Pada awalnya, Lauren dan Julius mengikuti segala perintah yang dikeluarkan Sky beserta ayah Julius dan Alina. Namun Lucida, yang tidak tega, perlahan-lahan membantu mereka keluar dari genggaman Sky saat wanita itu mati sejenak setelah dibunuh oleh Ratu Xerafina.

Dan aku berhenti sampai di sini.

Bahu Julius mulai turun saat sihir Pegasus yang dilontarkan Sherina berhenti. Membuat pria itu bersandar pada punggung bangku seraya kembali menundukkan kepalanya.

"Maaf soal barusan." Ujarku kembali membuka pembicaraan. "Aku akan membiarkan kau, Lauren dan Lucida memasuki kawananku."

Perlahan namun pasti, kedua mata Julius kembali terangkat dan menatapku. "Yang Mulia.."

Aku pun mengembangkan senyuman tipis. "Dengan syarat kalian harus melaksanakan masa penyembuhan terlebih dahulu. Sebagai imbalannya, kau dan Lucida harus mengabdi kepada Ave demi kebenaran serta keadilan sementara Lauren akan kukembalikan pada Nick."

"Tapi, Yang Mulia.."

"Tenang saja. Lauren akan baik-baik saja bersama Nick selama kau dan Lucida tidak macam-macam denganku beserta yang lainnya."

Dengan segera pria itu mengangguk. "Tentu, Yang Mulia, perintahmu adalah mutlak dan tak terbantahkan. Saya, Lauren dan Lucida akan memberikan nyawa kami untukmu, untuk Ave."

.
.
.

Setelah membebaskan ketiga tawanan Istana, sesegara mungkin aku kembali ke Maegovanen sebelum melanjutkan perjalananku menuju pulau lain. Mengunjungi packku adalah hal terbaik yang dapat kurasakan sejauh ini. Walaupun dengan ketidak hadiran raga pria itu, setidaknya aku dapat merasakan kehangatan yang pernah ia berikan di rumah ini.

Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku yang sedari tadi hanya menatap foto yang terbingkai di atas meja kerja Arthur. Membuatku menyahut hingga seseorang menyembulkan kepalanya dari balik pintu.

"Luna, Putri Aidyn ingin bertemu denganmu." Ujar Ardeen sangat lembut.

Tanpa kusadari aku menggigit bibir bawahku gugup. Bingung harus mengatakan apa di hadapan saudara kembar Arthur nanti. "Biarkan putri masuk."

Tak lama kemudian sesosok gadis cantik berambut hitam dan mata kelabu menampilkan wajahnya di dekat pintu. Saat ia telah memasuki ruangan, Ardeen kembali menutup pintu dan membiarkan kami mengobrol dengan nyaman.

Aidyn terlihat tersenyum getir, membuatku membalas dengan senyuman yang tak jauh beda dari miliknya sembari bangkit dari dudukku dan menghampiri Sang Putri.

Setelahnya Aidyn memelukku erat, menumpahkan air matanya di bahuku yang hanya kubalas dengan usapan hangat di punggungnya.

"Maafkan aku, Aidyn, semuanya salahku."

Kurasakan Aidyn menggeleng, Ia mempererat pelukannya padaku sembari terus menekan wajahnya pada kulit leherku. "Makhluk sialan itu memang bodoh. Untuk apa kau menyalahkan dirimu, Luna?"

Aku tersenyum tipis mendengar penuturan Aidyn.

"Jika saja makhluk sialan itu tetap berada di sisimu, ia tidak mungkin melakukan hal gegabah." Lanjut Aidyn dengan suara bergetar. "Akan kucaci maki ia saat tubuhnya telah ditemukan."

Kali ini aku mengangguk, melepas pelukan Aidyn dengan hati-hati kemudian menatap kedua mata kelabu yang mengingatkanku pada mata biru laut yang selalu menatapku intens.

"Kau benar. Arthur adalah makhluk sialan yang sangat-sangat sialan hingga aku tidak pernah bisa berhenti mengagumi serta mencintainya. Aku berjanji padamu, Aidyn, aku akan membuat Arthur kembali hingga kau bisa mencaci makinya hingga puas."

Aidyn pun tertawa.

"Aku serius. Jika kau butuh bantuan untuk mengeluarkan kata-kata kasar untuknya, panggil aku. Aku memiliki sejuta cacian untuk adik kembarmu itu."

"Kalau begitu kita harus membuatnya kembali." Ucap Aidyn seraya menghapus jejak air mata di pipinya. "Kekuatan batin antar saudara dan pasangan hidup akan sangat kuat. Kau percaya itu?"

"Kau percaya itu, Athenna?"

Entah kenapa aku tersenyum mendengar pertanyaan Aidyn yang dipertegas kembali oleh Sherina. "Tentu aku percaya."

.
.
.

Sejak kedatangan Aidyn pagi itu, aku langsung meluncur menuju Cygnus lagi. Meminta Lauren untuk ikut denganku menuju Azurea. Mungkin kabar kembalinya Putri Kerajaan akan menggemparkan pulau para pengendali itu secepatnya.

Sesampainya di sana, aku langsung membawa Lauren menuju Istana. Membiarkannya beristirahat dengan nyaman di dalam Istana dengan bantuan para pelayan yang akan menyembuhkannya.

Ditambah kehadiran Nick serta Raja Ethan, aku sangat yakin bahwa penyembuhan Lauren tidak akan lama. Lagipula, gadis ini adalah pengendali air dan udara. Dengan membiarkannya terdiam di tengah udara bebas, trauma atau apapun itu, akan sembuh dengan segera.

Setelah membantu Lauren, tanpa kusadari langit sudah menjadi gelap. Membuat penduduk Azurea memintaku menetap untuk semalam yang hanya kuturuti dengan sebuah anggukan kepala.

Kuakui beberapa hari ke belakang memang sangat melelahkan. Bahkan saat bokongku bertemu dengan rerumputan yang selama ini menjadi tempatku berdepresi ria, aku baru tersadar bahwa malam di mana bulan menghilang akan terjadi empat hari lagi.

Membuat pandanganku menjadi kosong sembari memikirkan hal-hal yang mungkin saja akan terjadi nanti. Kurebahkan tubuhku dengan nyaman, merentangkan kedua tanganku di sisi tubuhku sembari menatap rembulan.

Bayangan akan Arthur kembali membayangi benakku, membuatku tersenyum tipis seraya menahan air mata yang akan segera tumpah. Sudah cukup aku menangisinya. Sudah cukup aku kehilangan banyak tenaga hanya karena terlarut dalam kesedihan.

Kemudian bayangan akan orang lain menghiasi benakku. Dimulai dari Ardeen, Aidyn, Seth, Karl, Cheryl, Sammy, Sherina, Sky, Alina dan masih banyak lagi. Dan sebuah pertanyaan yang berhasil membuat tubuhku bergetar melintas di benakku.

Akankah aku tetap hidup setelah ini?

Aku adalah bagian dari Nightmare. Kegelapan yang hanya akan hilang jika dibunuh oleh sihir hitam itu sendiri. Dan jika dipikir-pikir kembali, sesungguhnya tak ada Athenna Xeraphin Nathaniel di muka bumi ini.

Aku hanyalah bagian dari sebuah kejahatan. Jiwaku tersangkut ke dalam sihir hitam itu dan di sinilah aku berakhir. Mencoba bertahan dalam bentuk manusia untuk membalaskan dendam para korban Sky.

Anggap saja nama Athenna hanya untuk menutupi sebagian besar jiwa lainnya yang terkurung di dalam tubuhku. Karena jika pendudukku tahu bahwa aku adalah mimpi buruk mereka, tak mungkin aku berada di sini saat ini.

Mungkin mereka telah mengusirku sejak tadi.

Dan untungnya, tak ada yang tahu bahwa Anna Jevier adalah bagian dari Nightmare.

Perlahan-lahan matahari mulai naik ke permukaan, membuatku menarik dan menghela napas dengan berat. Tiga hari lagi. Sisa waktuku tak lagi banyak hanya untuk merenungkan segala hal yang telah terjadi selama ini.

Lalluna Revolder telah tumbuh menjadi pribadi yang tegar dan keras. Tak akan ada lagi air mata kesedihan. Tak akan ada lagi keputus asaan. Tak akan ada lagi kata menyerah di dalam kamusku. Dan tak akan ada lagi penyesalan yang menenggelamkan diriku.

Semuanya telah berubah.

Dengan segera aku bangkit dari posisiku, mengubah diri menjadi Leah dan berlari dengan kecepatan maksimum menuju pulau selanjutnya.

Laut lepas tak menjadi masalah lagi bagiku. Dengan adanya kekuatan es yang sudah dapat kukendalikan sepenuhnya, ditiap langkah yang kulakukan di atas air, maka detik itu pula air tersebut akan membeku. Anggap saja aku Elsa, pengendali es dari film Disney, Frozen.

Namun bedanya, es itu akan kembali mencair saat aku telah meninggalkannya. Seolah-olah aku tak pernah melakukan apapun kepada air laut tersebut.

Aku memulai perjalananku menuju Clivora, pulau para penyihir. Dengan bantuan Seth sebelumnya dan Aidyn, aku dapat memastikan kekuatan kawananku telah mencapai tingkatan tertinggi dan jauh dari kata lemah.

Tak lupa kusempatkan diri untuk mengecek tim khususku, menjenguk keadaan mereka yang sempat terkena serangan beberapa waktu lalu. Dan setelahnya, aku mengunjungi Istana Clivora untuk bertemu Raja Romeo dan Ratu Clair—orang tua Arthur—dan meminta maaf.

Aku beruntung karena dapat bertemu Raja dan Ratu Xavewood, mereka telah menganggapku selayaknya anak mereka dan itu jelas membuat hatiku menghangat. Keduanya bahkan tak segan-segan untuk memelukku dan mengatakan bahwa aku telah melakukan segala hal dengan baik.

Aku terharu untuk pujian itu. Walaupun tak sepenuhnya merasa bangga karena aku tahu, aku masih jauh dari kata sempurna dan siap.

Saat matahari semakin meninggikan posisinya, aku kembali mengarungi lautan. Berlari dengan kekuatan penuh menuju pulau bagian Barat yang terdiri dari Vamps, Xilvonia dan Cosmos.

Memulainya dengan mengunjungi Vamps terlebih dahulu ternyata membuatku semakin rileks. Kawanan yang telah dibentuk oleh Savanna berhasil meyakinkanku bahwa kekuatan para vampir, Pegasus dan peri tak perlu lagi dipertanyakan.

Bahkan Naomi—temannya Savanna—memberikanku pijat gratis. Awalnya aku menolak, namun dengan melihat kedua matanya yang berwarna merah dan sangat semangat, membuatku terkekeh dan menyetujuinya.

Entah mengapa, hari berlalu dengan sangat cepat. Ketika Naomi telah menyelesaikan pijatnya, jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Setelah mengucapkan terima kasih kepada gadis itu, aku kembali bergegas pergi dan melanjutkan misiku untuk mengecek seluruh kawananku.

Kali ini aku menggunakan kekuatan Pegasus Sherina untuk menuju Xilvonia. Seperti apa yang dikatakan Savanna, Pyoth mengatakan bahwa segalanya telah siap dan sempurna. Membuatku tersenyum ke arahnya dan langsung melaju menuju Cosmos, tujuan terakhirku.

Berbeda dari sebelumnya, sesampainya aku di Cosmos, Sang Ratu langsung menyambutku di perbatasan dengan seulas senyuman di wajahnya. Membuatku ikut membalas dengan seulas senyum letih.

Aku sempat terpaku saat Ratu Xeria memelukku seketika. Bahkan ia sama sekali tak memedulikan permintaanku untuk melepaskannya dengan alasan tidak enak jika dilihat oleh penduduk Cosmos.

Ratu Xeria semakin mengeratkan pelukannya saat aku mencoba melepaskan diri, membuatku menyerah kemudian membalas pelukannya hati-hati. Namun detik berikutnya kutenggelamkan wajahku di bahunya seraya memejamkan mata.

"Beristirahatlah. Kawananmu baik-baik saja, sayang." Ujar Ratu Xeria sembari mengusap puncak kepalaku. "Aku tahu kau belum beristirahat sejak kemarin."

Dengan tenaga yang tersisa aku mengangguk. Membuat kedua sayapku mengembang dan mengikuti Sang Ratu yang akan membawaku menuju Istana.

Namun belum sempat aku mengepakkan sayap, pandanganku telah menggelap dan dunia seakan-akan runtuh setelahnya.

.
.
.

"Jadi kau akan menunjukkan dirimu hari ini?"

Sherina mengangguk mantap. "Ini waktu yang tepat."

Aku pun menggigit bibirku ragu. "Bolehkah aku meminta sesuatu sebelum kita keluar?"

"Tentu." Sherina tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya padaku. "Apapun untukmu."

Untuk sesaat aku terdiam, menarik napasku gugup kemudian menghelanya dengan sedikit bergetar. "Lindungi jiwa Nightmare dari para Penglihat Jiwa. Kau bisa melakukannya?"

Kembaranku itu mengangguk, mengucapkan mantra dengan bahasanya sendiri hingga sebuah cahaya terang menabrak diriku dengan lembut. Setelah cahaya itu menghilang, aku mengalihkan pandanganku menuju pantulan cermin. Memperhatikan kedua mataku yang kini berwarna ungu.

"Tak akan ada yang dapat melihatnya, 'kan?"

Sherina kembali mengangguk, membuatku kembali menatapnya yang kini telah menjadi manusia sepenuhnya. Kedua matanya masih berwarna biru muda, namun rambutnya berwarna sama sepertiku, hitam. Dengan seperti ini, kami benar-benar kembar identik.

"Kau tahu, Athenna, aku sangat gugup." Ujarnya yang kubalas dengan senyuman tipis. "Atau mungkin, lebih tepatnya, aku takut."

Kuraih tubuh kembaranku itu dan memeluknya erat. "Tak ada perlu kau takuti. Ada aku, Seth, Ardeen, Karl dan Cheryl yang berada di sisimu."

Sherina pun membalas pelukanku. "Aku harap ada Arthur di sini." Lirihnya yang berhasil membuat kedua mataku berbinar dan hatiku yang bergetar sakit. "Akan lebih sempurna jika ia bisa hadir di sini."

"Aku tahu." Ujarku seraya menahan getaran suaraku.

Untuk beberapa saat kami terdiam, menikmati keadaan yang mungkin saja akan berubah setelah ini. Jujur aku sangat merindukan kehangatan dari sebuah keluarga. Membuatku kembali ingin menangis jika aku tidak ingat akan janji pada diriku sendiri.

"Ayo, lebih baik kita keluar sekarang." Sherina pun melepas pelukan kami dengan lembut. Tatapan intensnya seakan menembus mataku saat pandangan kami bertemu. "Aku mencintaimu, Athenna."

"Aku juga mencintaimu, Sherina."

Setelahnya aku menarik dan menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku sendiri yang kelewat gugup. Kemudian Sherina meraih lenganku, mengapitnya dengan protektif sembari berjalan menuju pintu yang akan membawa kami langsung menuju aula Istana Cygnus.

Dengan gaun berwarna ungu berlengan panjang dan rok mengembang yang menyapu lantai, aku mulai melangkah keluar saat pintu itu terbuka dari luar. Jantungku berdetak kencang saat ribuan penduduk Ave mulai menatap kami dengan tatapan terpana.

Anggota pack Red Fire berada di sana, di pojok ruangan dengan seulas senyuman bangga. Aku membalas senyuman mereka gugup, membuatku tanpa sadar tengah menggigit bibir bawahku.

Raja Zake dan Ratu Bellva berdiri tak jauh dari anggota pack. Serta Raja dan Ratu Xavewood yang kini tengah menatapku juga berada di dalam ruangan ini. Zeon, Lauren, Julius, Nick, Pyoth, Savanna dan lain-lainnya pun hadir pula.

Untuk sesaat aku dan Sherina disibukkan dengan mengedarkan senyuman mempesona yang berhasil menghipnotis banyak orang. Hingga pada akhirnya, Sherina melepas apitan tangannya padaku dan kami membungkuk hormat seraya menarik rok kami ke samping.

"Selamat malam." Sapa kami bersamaan.

"Sebelum memulai acara malam ini, kami akan mengatakan sebuah rahasia yang telah dipertanyakan selama ini." Ujarku kemudian menatap Raja Zake dan Ratu Bellva bergantian. "Kami adalah Xeraphin Nathaniel."

Para tamu pun saling berpandangan, sorot mata mereka tak luput dari sebuah keterkejutan yang mendalam. Termasuk Raja dan Ratu Nathaniel.

"Aku adalah Athenna Xeraphin Nathaniel, reinkarnasi dari Anna Jevier serta Helen Christoph."

"Dan aku Sherina Xeraphin Nathaniel, reinkarnasi dari Vivian Jevier dan Zahira Christoph. Senang bertemu kalian." Tambah Sherina yang semakin membuat keadaan aula Istana semakin ramai.

"Omong-omong, Ayah, Ibu, kalian tidak ingin memeluk kami?" Tanyaku dari atas selasar sembari menatap Raja Zake dan Ratu Bellva haru. "Kalian tidak merindukan kami? Lalluna Revolder kalian?"

Dapat kulihat ibu mulai meneteskan air mata sembari mengapit tangan ayah untuk berjalan mendekat. Seluruh pandangan pun kini beralih kepada ayah dan ibu, membuat pandanganku semakin berbinar saat keduanya kini telah berada di dekatku.

Dengan segera ibu meraihku dan Sherina, memeluknya erat seakan tak ingin melepas kami untuk kedua kalinya. Ayah pun bergabung dengan kami, mempererat pelukan keluarga yang sangat kurindukan ini hingga tanpa kusadari air mata sudah terjatuh dari kedua mataku.

"Kami tidak akan meninggalkanmu lagi, sayang." Lirih ayah yang berhasil membuat air mata jatuh semakin deras dari kedua mataku. "Ayah mencintai kalian, sayang, maafkan ayah."

Aku mengangguk. Tidak ingin membalas ucapan ayah karena aku tahu aku sudah tidak cukup kuat untuk mengutarakan perasaanku.

Setelah melepas pelukan besar ini, aku menyeka air mataku dengan punggung telapak tangan. Kemudian aku dan Sherina bertatapan, seakan-akan memberikan kode kepadanya bahwa segalanya sudah bisa dimulai.

"Kalau begitu, pesta dansa malam ini, akan dimulai dengan penampilan teman kami. Ashlav Zlevion." Ujar Sherina yang langsung disambut dengan tepukan tangan.

Detik berikutnya suara piano mulai melantun dengan indah dari sudut ruangan. Membuat bulu tanganku berdiri saat Ash mulai memainkan intro lagu yang akan ia bawakan.

Dan pada saat suara itu mulai berdengung di telingaku, kedua kakiku mulai bergetar, merasa tak begitu kuat hanya dengan mendengar suara Ash yang begitu mendalami lagu yang tengah ia bawakan. Ia begitu emosional.

Say my name. I just want to hear you.
Say my name. So I know its true.
You're changing me. You're changing me.
You showed me how to live.
So just say. So just say.

That you'll stay awake for me.
I don't wanna miss anything.
I don't wanna miss anything.
I will share the air I breathe.
I'll give you my heart on a string.
I just don't wanna miss anything.

Dan saat Ash telah berhenti bernyanyi, pintu utama pun terbuka. Membuatku mengalihkan pandangan menuju pintu tersebut yang berhasil membuat pertahananku runtuh detik itu juga.

Sesosok pria dengan jas berwarna putih, rambut yang berantakan dan ekspresi yang kusut tertangkap olehku. Hingga pandangan kami bertemu dan seulas senyuman terukir di wajahnya.

"Athenna.."

To be continue

Ciee ciee siapa tuuh yang dateng hoho bentar lagi Ave mau selesai nih :" aku gak tega serius nyelesaiinnya wkwkwk

Jangan lupa vomment gengs!OuO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro