Tujuhbelas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luna's POV

Tubuhku kembali tersentak hingga aku tersadar bahwa keadaan masih sama seperti sebelumnya. Dengan para tamu yang masih menyaksikanku dalam diam serta Arthur dan Raja Xavier yang mematung tak jauh dariku.

Sesuatu yang cukup berat namun membuatku dapat merasakan kebebasan mengepak dengan elegan di balik punggungku. Memancarkan sinar terang hingga lagi-lagi membuatku nyaris menjadi pusat perhatian—bahkan aku sama sekali tak dapat melihat keadaan sekitar.

Aku menoleh ke belakang, mendapati sayap berwarna hitam yang cukup berkilau sedang membawaku melayang rendah. Layaknya seekor kupu-kupu, aku merasa bahwa sayapku inilah satu-satunya aset paling berharga.

Setelah memamerkan sayapku yang sesungguhnya datang secara tiba-tiba, perlahan ia kembali membiarkanku menginjak daratan dan sayap itu menghilang bersamaan dengan kerlap-kerlip cahaya berwarna hitam.

Dan seperti biasanya, aku mulai kehilangan kendali atas tubuhku. Kedua kakiku mulai bergetar dan entah kenapa semuanya terasa begitu mencekam dalam sekejap. Ingin rasanya mengusir rasa dingin yang menyapu tengkukku, namun getaran di kedua kakiku begitu mengesalkan.

Perlahan aku mengangkat pandangan, memperhatikan sekelilingku yang tidak ada pergerakan sedikitpun. Dengan pasti kedua sayapku kembali mengembang, seakan mengatakan padaku bahwa ada sesuatu yang tidak benar di sini.

"Hai, Xave Lalluna." Aku mengangkat kedua alisku, merasa sangat familier dengan suara ini. "Apakah sekarang saatnya aku merebutmu dari Alpha?"

Aku pun mendengus. "Terima kasih, tapi aku tidak berminat untuk bersamamu."

Seseorang itu keluar dari dalam bayangan, menampakkan wujudnya tak jauh dariku dengan seringai lebar di wajahnya. "Kau harusnya kembali kepada kami, Ratu Hitam."

Aku tercekat. Kedua tangan dan kakiku mulai mendingin saat Sammy mulai berjalan mendekat. Memberikan cemas hingga ke ubun-ubun dan tanda bahaya berdenting keras di dalam benakku. Kedua mata Sammy menyiratkan tatapan penuh kesombongan, membuatku menggeram dan membalas tatapannya tajam.

"Akan sangat menyenangkan memiliki seorang gadis di dalam kelompok kami."

Aku mengangguk. "Akan lebih menyenangkan jika aku dapat menghisap darahmu, Sam."

"Oh, wow." Sammy melebarkan seringainya. "Kau benar-benar seseorang sekarang."

Aku mengangkat kedua bahuku acuh. Tidak mengindahkan ucapan Sammy dan hanya terfokus kepada aliran kekuatan yang tengah mengalir di dalam tubuhku. Sesuatu yang terkesan sangat familier namun begitu jauh.

Tanpa kusadari detik berikutnya Sammy sudah berada tepat di hadapanku. Kini wajahnya begitu dingin dan kedua matanya menggelap. Sorot matanya pun berubah menjadi lebih tajam saat ia menatapku dengan jarak kurang dari 10 senti.

"Aku bisa merasakannya, Ratu, sesuatu yang begitu gelap nyaris terbangun di dalam tubuhmu."

"Aku tahu." Aku menghentakkan dadanya dengan telapak tangan kananku seraya menahan tubuhnya untuk tidak lebih dekat. "Kau membicarakan Nightmare, 'kan?"

Sammy mengangguk dengan perlahan. "Dia sudah bangun ternyata."

"Kau tidak tahu apapun, Sam." Aku kembali menyentakkan tanganku di dadanya, mendorongnya lebih jauh hingga sensasi familier itu terasa semakin kuat dan memenuhi tiap inci dari tubuhku.

"Oh, Ratu kami sudah masuk ke dalam mode bahaya." Sam pun kembali menyeringai sembari bersedekap. "Lihat tampilanmu, Ratu, kau sangat cantik saat ini." Salah satu tangan Sammy menyapu udara dengan lembut, menampilkan air yang begitu jernih di dalam sebuah kotak yang berdiri di hadapanku.

Aku nyaris kembali tercekat saat kedua mataku berganti warna menjadi biru muda dan rambut silverku yang berubah menjadi hitam seluruhnya. Cahaya hitam pun mulai berpendar dari setiap inci tubuhku hingga memberikan sensasi yang sangat mencekam namun cukup kuat bagiku.

Sammy terlihat mematung. Seringai di wajahnya sudah menghilang dan air wajahnya berubah ketakutan. Kedua tangannya jatuh dari depan dadanya hingga terkulai lemas di samping tubuh gemetar pria itu, membuat air yang berada di hadapanku ikut menghilang.

"Ratu.."

"Seharusnya kau tidak memancingku, Sammy."

Detik berikutnya aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Menghempaskan satu tinjuan pada dada Sammy hingga membuatnya terpental jauh dengan bunga es yang mengelilingi tubuhnya. Sammy pun terjatuh di atas panggung dengan keras, membuatnya merintih sembari mengusap dadanya yang saat ini telah memiliki luka bakar akibat tinjuanku.

Tepat sebelum ia dapat membalasku, aku berlari ke arahnya, merapalkan mantra sihir dengan keras kemudian menunjuk ke arah Sammy. "Crucio!" Sialnya Sammy berguling ke samping, bangkit dari posisinya kemudian menunjuk ke arahku.

Ia bergumam dengan sangat cepat saat aku mencoba meraihnya. Membuatku menggeram kecil sembari mencoba berteleportasi menuju ke dekatnya.

Namun tubuhku menjadi mati rasa.

Sammy terlihat mengangkat satu tangannya ke udara yang lantas membuat tubuhku ikut melayang dengan rendah. Seulas senyuman licik terukir di wajahnya. Aku pun mendengus, menatap kedua matanya dengan susah payah di saat tangan Sammy yang lainnya ikut terangkat.

"Lihat, Ratu, kau bahkan tidak bisa mengontrol emosimu."

Aku mengangkat kedua alisku, menampilkan seringai yang tak kalah lebar kemudian api berwarna biru melesat keluar dari pori-pori kulitku. Belum sempat pria itu tersadar apa yang tengah terjadi, setengah tubuhnya sudah terbakar oleh apiku yang kupastikan akan membuatnya kehilangan rambut pirang sialannya itu.

Saat apiku perlahan menghilang, wajah Sammy kembali nampak dengan sebuah seringaian terukir. Rambut sialannya masih di sana dengan tataan yang masih sama pula. Namun setelahnya Sammy membungkukkan tubuhnya, menatapku lekat-lekat kemudian menghilang begitu saja dari pandanganku.

Untuk sesaat aku masih tidak mengerti apa yang tengah terjadi, hingga pada akhirnya lirihan suara Sammy memasuki gendang telingaku.

"Aku sudah menilaimu dan akan menyimpan rahasiamu hingga waktunya datang, Ratu. Sekarang bukalah matamu."

Aku menggeleng tidak mengerti. Aku tengah membuka mataku lebar-lebar namun tidak ada yang terjadi. Arthur dan Raja Xavier masih mematung di tempatnya, pun para tamu.

Kutarik napas panjang dan menghelanya dengan perlahan, berusaha menenangkan hatiku yang dilanda keresahan tingkat akut. Setelahnya aku menutup mata, membiarkan kegelapan meraihku kemudian membukanya saat samar-samar suara Arthur memanggilku.

"Luna.."

Pandanganku mengabur, dunia terasa berputar-putar dan kepalaku berdenyut kesakitan. Aku menyipitkan mataku, mencoba menutupnya kembali saat cahaya yang sangat terang mulai terlihat dari sudut pandangku.

"Tidak, Luna, aku mohon."

Arthur mendekatkan wajahnya padaku, menempelkan dahinya pada dahiku dan membuatku tersadar bahwa kini aku tengah berbaring di atas panggung dengan lengan Arthur sebagai bantalannya.

"Jangan tinggalkan aku." Lirihnya yang lantas membuatku tersenyum dan perlahan-lahan meraih pipinya. Detik berikutnya Arhur mengangkat wajah, menatapku lekat-lekat sembari menggenggam tanganku yang berada di pipinya.

"Aku mencintaimu, Luna, siapapun dirimu."

"Aku juga mencintaimu, Arthur, meskipun kau tak tahu siapa aku."

Dan kemudian, kegelapan menarik kesadaranku dengan paksa.

.

.

.

Saat aku terbangun, aku tidak melihat siapapun di sekitarku. Hanya ada secarik kertas yang melayang rendah di hadapanku. Aku meraihnya, membacanya dengan seksama saat kepalaku kembali berdenyut.

Aku menunggumu di ruang makan. –X

Aku menjatuhkan tanganku ke samping, mendesah berat kemudian bangkit dari atas ranjang dengan enggan. Dengan segera aku memasuki kamar mandi, membasuh diriku dengan cepat kemudian memakai gaun selutut tanpa lengan berwarna hitam polos.

Setelah itu aku keluar dari kamar mandi, melihat pantulan diriku pada cermin rias milik kerajaan yang berada di dalam ruangan ini dan mendapati tampilanku kembali normal—rambut silver dengan warna hitam di beberapa tempat dan mata berwarna ungu.

Untuk beberapa detik aku hanya mematung di depan cermin, memperhatikan diriku lekat-lekat dan mulai tersadar bahwa Lalluna Revolder telah berubah. Wajahku yang pada mulanya sangat bersih, kini harus dihiasi luka bakar di sisi bagian kiri. Kedua mataku yang awalnya berwarna cokelat kini memilih untuk berganti menjadi ungu—atau bahkan terkadang berwarna biru muda.

Ditambah lagi dengan tubuhku yang tergolong kecil, menjadi lebih kecil saat aku kembali tersadar bahwa aku tidak mengonsumsi apapun beberapa hari terakhir. Bibirku terlihat sangat pucat dan pecah-pecah serta di bawah kedua mataku ada setengah lingkaran hitam yang begitu dalam.

Dan aku terlihat sangat berantakan.

Aku kembali mendesah berat, menyisir rambutku dengan sisir kemudian mengikat setengah rambutku menjadi satu. Kupoleskan sedikit bedak dan lipgloss berwarna pink pucat pada bibirku. Setelahnya, untuk kesekian kali, aku mendesah.

Kupasangkan sepatu kets berwarna silver pada kakiku, membalutnya dengan nyaman hingga aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang kurasakan.

Kedua tungkaiku mulai melangkah keluar kamar yang langsung disambut dengan beberapa penjaga yang sudah menunggu di sisi pintu ganda kamar sementaraku. Mereka menundukkan kepala seraya memintaku untuk berjalan. Dan aku menurutinya.

Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kakiku di dalam kerajaan—atau mungkin kedua kalinya jika dihitung dari kemarin malam. Walaupun begitu, aku merasa tidak asing dengan lingkungan ini. Bahkan rasanya aku begitu hafal hingga sedetil-detilnya dari ujung ke ujung bangunan kerajaan.

Jika dibandingkan dengan rumah jadi-jadian Arthur yang terkadang dapat berubah menjadi rumah sederhana maupun kerajaan, jarak antara kamar yang kutempati menuju ruang makan tidak sejauh yang pernah kulewati.

Pintu ganda yang cukup besar berwarna putih dengan kenop pintu panjang namun kecil berbentuk tabung berwarna emas kini berada di hadapanku. Aku merasa sangat yakin bahwa di baliknya adalah ruang makan yang seperti dikatakan instingku.

Para penjaga ruangan pun mulai membukakannya untukku, menariknya ke luar hingga aku harus mundur beberapa langkah. Setelahnya ruangan yang bernuansa hijau tua dan beraroma hutan tropis mengingatkanku akan rumah, seakan-akan ruangan ini menyambutku dengan sepenuh hati.

Sebuah meja yang tak begitu panjang berada tepat di tengah ruangan. Dengan lima hingga enam kursi yang memiliki warna senada dengan meja di hadapannya—putih.

Aku melihat Ratu Xerafina dan Raja Xavier di sana, serta satu gadis lainnya yang terlihat sangat mirip dengan Raja Xavier tengah memutar badannya sembari melihatku dengan tatapan datar. Ia terlihat seumuran denganku, namun wajahnya begitu kaku dan nyaris membeku.

Aku mengerjap, segera tersadar akan tatapanku kemudian melanjutkan langkahku yang sempat tertunda. Sesampainya di hadapan kedua penguasa Ave itu, aku membungkuk rendah yang langsung disambut dengan berdirinya Raja dan Ratu dari posisinya dan menahanku untuk tidak membungkuk.

"Tahan itu, Lalluna." Ujar raja sembari menyentuh bahuku dan menatap lurus ke dalam mataku. "Itu terlalu berlebihan. Tidak seharusnya kau membungkuk serendah itu."

"Ya, itu berlebihan, sayang. Arthur saja tidak pernah melakukan itu." Tambah ratu yang kubalas dengan anggukan.

Gadis yang duduk tak jauh dari posisiku saat ini menarik bangku di samping kiriku, mempersilakanku duduk dengan suaranya yang begitu rendah dan dalam. Aku menurutinya, duduk di bangku tersebut kemudian mengucapkan terima kasih pada gadis itu dengan lirih.

Kedua pandanganku pun teralih kepada Ratu Xerafina. Menatapnya dengan alis berkerut seakan bertanya ada apa. Sejenak beliau membalas tatapanku sebelum menatap Raja Xavier dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Setelahnya raja berdeham, membuatku menatap hidung mancungnya yang di balas dengan tatapan dinginnya yang menusuk ragaku.

"Apa yang terjadi padamu semalam?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tau. Aku bahkan tidak ingat apapun."

"Sesuatu pasti terjadi, 'kan? Sekalipun di dalam mimpimu?"

Aku hendak berbicara dan mengatakan segalanya jika hantaman keras akan memori Nightmare tidak memasuki benakku. Memaksaku untuk kembali menutup mulut kemudian menggeleng. "Aku tidak ingat, maaf, Yang Mulia Raja."

"Aku rasa ia kekurangan asupan, Papa."

Papa?

"Pipinya begitu tirus, kantung matanya terlalu dalam, bibirnya pecah-pecah dan rona matanya menggelap. Apakah kau tidak menghisap darah Arthur, Xave Lalluna?"

Aku menoleh dan menatap gadis itu. Kedua matanya begitu mirip dengan milik Raja Xavier yang pernah kuperhatikan diam-diam. "Sudah."

"Dan itu tidak berhasil?"

Aku menggigit bibir bawahku ragu sebelum akhirnya mengangguk. "Ya, rasanya terasa panas."

"Bisa kau ganti warna matamu?"

"Tentu." Aku mengikuti instruksi gadis ini walaupun aku tidak tahu apa yang hendak ia lakukan. Sebelum akhirnya ia mendadak terbelalak dan tercekat. Ia terlihat begitu terkejut dengan apa yang tengah ia lihat. Membuatku tersenyum tipis kemudian mengganti kembali warna mataku sembari menundukkan kepala.

Gadis itu meraih tanganku, menggenggamnya erat kemudian mengusapnya dengan ibu jari. "Kau pasti tahu apa yang terjadi. Aku bisa membantu."

"Ada apa, Sana?" Suara raja pun kembali terdengar. Namun setelahnya dapat kurasakan bahwa gadis yang dipanggil Sana ini menggeleng dan mengirimkan sebuah telepati kepada kedua orang tuanya.

Sana pun menepuk bahuku lembut, membuatku kembali mengangkat kepalaku dan menatap kedua matanya yang berubah menjadi lebih hangat. Seulas senyuman tulus terukir di wajahnya yang entah mengapa membuatku ikut tersenyum.

"Jadi, Xave Lalluna, apakah kau tahu secara keseluruhan tentang Xave?"

Untuk memperjelas keadaan, aku menatap raja dan menggeleng.

"Xave berarti pelindung di dalam dunia ini. Seperti artinya, itu berarti kau bertugas untuk menuntaskan masalah-masalah yang tidak sempat leluhurmu selesaikan. Biasanya kedatangan Xave terjadi setiap—kurang lebih—300 tahun sekali. Dan tentunya masalah yang akan diselesaikan jauh lebih besar dari apa yang pernah dipikirkan siapapun.

"Dimulai dari ciri fisik, biasanya Xave dapat mengubah warna rambut atau matanya sesuai dengan kekuatan yang ia miliki kapanpun ia mau. Tubuhnya pun sangat rapuh saat ia menjalani masa pelatihan dan memang sering berada di ambang kesadaran.

"Walaupun sejauh ini Xave hanya ada dua orang, mereka meninggalkan beberapa pikiran mereka ke dalam sebuah wadah yang bernama Kenangan di lantai bawah tanah kerajaan. Hanya Xave yang bisa memasukinya. Dan menurut saksi mata terdahulu, seorang Xave memang cepat untuk menerima sebuah kekuatan namun ia cukup rentan untuk mendapatkan stress karena ia harus menyembunyikan jati dirinya dari seseorang yang ia cintai selama masa pelatihannya.

"Sejauh yang kutahu tentang kehidupan para Xave, omong-omong aku tidak bermaksud untuk menakutimu, hidup mereka hancur dan berantakan sebelum peperangan terjadi. Hidup mereka jauh dari kata bahagia dan tentram. Bisa dikatakan, hidup mereka terlalu dingin untuk disentuh siapapun."

Takdir sudah mengatakannya sejak awal, pikirku.

"Dan tugasmu adalah menyelesaikan biang dari masalah yang tak terselesaikan dari dua Xave sebelummu." Lanjut raja setelah menarik napas. "Kau harus menuntaskan Nightmare, pack Darkmoon dan keturunan dari Sky Gracy Stace."

Aku tersenyum tipis, menatap raja dengan tatapan sayu kemudian mengangguk. "Aku mengerti, Raja."

"Papa, aku akan membawa Xave Lalluna ke kamarnya sekarang. Boleh?"

Kulihat raja mengangguk, membuat Sana meraih lenganku dan meletakkannya di balik lehernya. Ia pun membawaku berdiri yang alhasil membuatku terlihat sangat pendek saat berdiri di sebelahnya. Tepat sebelum meninggalkan ruangan, aku memutuskan untuk menundukkan kepalaku sejenak sebelum akhirnya mengikuti Sana.

Aku sedikit terkejut saat Sana memiringkan tubuhnya hingga aku tidak dapat menyentuh tanah. Dan detik berikutnya, angin menerpa tubuhku dengan keras hingga kini kami sudah berada di depan pintu ganda yang menutupi kamar sementaraku.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa gadis ini adalah seorang vampir, sama sepertiku.

Para penjaga kembali membukakan pintu, membiarkan kami masuk ke dalam kamar. Sana pun membawaku menuju ranjang, mendudukkanku di sana sebelum akhirnya ia kembali tersenyum ke arahku.

"Sepertinya aku sudah ketahuan ya?" Ujarnya. "Aku Savanna Charlotte Huighstone. Anak dari Raja Xavier dan Ratu Xerafina. Aku seorang vampir dan werelf—serigala bersayap. Aku harap kau tidak terganggu dengan kehadiranku, Xave Lalluna."

Entah kenapa aku tersenyum, menatapnya dengan kebahagiaan yang tersisa kemudian menautkan jemariku menjadi satu di atas paha. "Panggil saja Luna."

Ada jeda sejenak di antara kami sebelum akhirnya Sana duduk di sampingku. "Kau sudah siap, Luna?"

Aku menarik napas panjang sembari menundukkan kepalaku. "Seharusnya sudah."

"Jangan terlalu dipaksakan, Luna."

Kali ini aku menggeleng. "Tidak, katakan saja padaku."

Sana pun mengusap bahuku beberapa kali. "Ada jiwa lain di dalam dirimu. Kau pasti tahu itu. Dan jiwa vampirmu itu, bukan untuk Arthur. Menandakan pula bahwa jiwa itu, bukan milikmu. Kehangatan seorang werewolf sudah memenuhi hatimu dan itu hanya untuk Arthur, tidak akan berubah sampai kapanpun."

Aku mengangkat wajahku seraya menatap gadis di sampingku. Merasa sedikit lega bahwa aku masihlah seorang mate dari Arthur, Leah masih berhak mendapatkan cinta dari Jackson dan tanda yang Arthur buat sangat meneguhkan hatiku.

"Coba kau ubah lagi warna matamu, Luna."

Untuk kesekian kali aku menurutinya, mengganti warna mataku menjadi merah darah dan mendapati sebuah keterkejutan kembali menghiasi mata hijau Sana. Namun detik berikutnya ia menggeleng kecil.

"Sebutkan satu nama yang ada di benakmu saat ini selain Arthur."

Dengan cepat aku menjawab. "Seth."

"Bagus. Dia ada di daerah ini sekarang." Sana pun bangkit dari posisinya kemudian mengetuk pintu dari dalam. "Panggilkan Seth."

"Ada apa?" Tanyaku.

"Vampir itu, maksudku jiwa lain yang berada di dalam tubuhmu, adalah pasangan dari Seth."

Kali ini aku yang terbelalak. "Seth?"

Sana mengangguk, hendak kembali menjawab namun ketukan pintu secara tak sabaran membuat gadis itu berseru dengan galak hingga membuat penjaga di depan membuka pintu dan menatap kami dengan panik.

"Darkmoon menyerang perbatasan, Putri, Ratu Xave."

.

.

.

"Seth!"

Aku terus berlari dalam bentuk Leah menuju pekarangan. Berusaha sekuat mungkin untuk terus menjaga mataku agar tetap terbuka walaupun pandanganku—dan Leah—sudah berkunang-kunang dan buram.

"Ya, Luna?"

"Temui aku di pekarangan belakang kerajaan!"

"Tapi—"

"Sialan! Cepat!"

Tak lama setelahnya aku sudah berada di tempat yang kukatakan pada Seth. Mengubah bentuk tubuhku kembali menjadi diriku sendiri dan terduduk dengan lemas di bawah pohon elm.

Aku dan Sana sudah mengatur rencana yang sempat kami diskusikan beberapa waktu lalu. Dan gadis itulah yang akan mengatakannya kepada Arthur. Tentang jiwa lain, vampir dan Seth.

Kemudian batang hidung Seth menampakkan dirinya, membuat jantungku yang telah berhenti nyaris kembali berdetak. Tangan dan kakiku kembali mendingin, entah kenapa merasa cemas di saat-saat seperti ini.

"Ada apa, Luna?" Tanyanya saat ia telah terduduk di hadapanku.

"Dengar, aku hanya akan mengatakannya sekali dan jangan sekalipun menolak kalau kau tidak mau aku mati." Cepat-cepat Seth mengangguk. "Aku memiliki jiwa vampir nyasar." Aku pun mengubah warna kedua mataku. "Lihat? Aku ras Me—"

Aroma darah pun merasukiku dengan cepat. Membuatku menghirupnya dengan nikmat sembari memejamkan mataku. Untuk sesaat aku terus terfokus pada aroma darah yang begitu menggoda, hingga akhirnya kembali kutatap Seth dengan tatapan tak sabaran. "Sial. Seth, ini bukan waktunya yang tepat untuk menjelaskan. Namun kau adalah pasangan hidup jiwa sialan ini."

Seth terlihat membulatkan matanya dan hendak menjauh. Namun pergerakanku lebih cepat dan dengan segera kutancapkan taringku pada lehernya dan menghisap darahnya.

Rasa darah Seth sangat menggiurkan dan membuatku kecanduan. Darah pria ini bahkan mengalir dengan semangat ke dalam tubuhku hingga aku sendiri dapat merasakan bahwa tubuhku mulai kembali bertenaga dan kembali seperti biasa.

Namun aku teringat akan Arthur detik berikutnya, membuatku langsung melepaskan taringku dari leher Seth kemudian kutatap kedua mata hitamnya yang seketika menggelap. Ia membalas tatapanku hingga sebuah geraman tertahan terdengar dari dalam dirinya.

"Maafkan aku, Seth, aku akan segera mempertemukan kalian." Aku merasa menyesal karena telah menyeret Seth demi kondisi tubuhku. "Aku akan menanggung semua resikonya, termasuk amukan Arthur jika itu yang kau takuti. Aku akan—"

"Pergi, Luna." Suara Seth pun bergetar, menahan geramannya yang akan segera meluncur. "Pergi sekarang atau kau aku tandai."

Sialan.

Aku mengangguk, bangkit dari posisiku kemudian kembali bertransisi menjadi Leah. Kami berlari menyusuri pekarangan belakang, mencari-cari Darkmoon dan mendapati salah satunya tengah menatapku.

Leah pun menyeringai, membawaku kembali ke masa-masa awal berada di rumah pack yang begitu tentram dan nyaman. Bukan saatnya, bodoh. Leah kembali melaju dengan cepat, menandai serigala hitam dengan bau amis itu untuk sarapan hari ini.

Namun seekor serigala hitam lainnya mendahuluiku, merobek kepala Darkmoon dengan penuh emosi kemudian mata oranyenya menatapku lekat-lekat.

"Hai, Nona Es. Aku senang kau telah kembali seperti biasanya."

Aku tak dapat menyembunyikan senyumanku saat suara Arthur mengisi benakku. "Aku harap kau tidak marah soal itu, Tuan Penyihir."

Kali ini ia—atau mungkin Jackson—yang tersenyum. "Tidak, aku tidak akan mengulang kesalahanku, sayang."

"Terima kasih."

Pria itu mengangguk, kembali berlari menyusuri kerajaan dan mencari keberadaan musuh kami. Tak mau kalah, aku dan Leah pun menyusulnya. Berlari sekuat tenaga untuk menghampiri Arthur sembari sesekali membekukan musuh ynag nyaris menyentuh kami.

Seakan tersadar bahwa ada yang mengikuti, dengan gerakan sangat cepat Jackson menabrak kami dan menimpa kami. Keempat kaki Leah ditahan oleh Jackson dan moncong pria itu sudah ada di depan leher Leah.

Leah pun merintih, merasa sangat kesakitan dengan posisinya saat ini. Pria itu tersadar pada detik berikutnya, melepaskan tekanannya pada keempat kaki Leah kemudian menjilati wajah Leah dengan lembut.

"Maaf, sayang." Itu Jackson.

Selanjutnya Leah bangkit dari posisinya, berdiri tepat di hadapan Jackson dengan tatapan melas. Dasar. "Bodoh."

"Maaf, aku tidak sengaja."

Dan Jackson pun kembali menjilati wajah Leah. Membuatku tersenyum geli dan entah mengapa ingin memeluk Arthur sekarang juga.

Seakan mengerti kemauanku yang tak terucapkan, Leah meletakkan kepalanya di balik kepala Jackson, membuat Jackson melakukan hal yang sama dan memberikan sensasi yang begitu familier untukku. Rasanya nyaris sama jika dibandingkan dengan pelukan Arthur.

"Sebaiknya kau berlatih lebih banyak lagi, Leah, Luna akan mengambil alihmu untuk saat ini." Titah Jackson yang langsung membuatku tertarik ke luar dan menghilangkan Leah.

Sebelum kami berlari untuk menghabisi para Darkmoon, aku memeluk wajah besar Jackson. Merasakan sensasi yang sudah lama tak kurasakan seraya mengecupi kening serigala itu.

Setelahnya aku pun berlari menuntun Jackson menuju sekumpulan Darkmoon yang tengah menatap kami. Mereka menggeram keras, hendak bersiap untuk menyerang namun seekor serigala yang kurasa menjadi pemimpin dari kelompok itu melipat keempat kakinya dan terduduk di atas rerumputan seperti anjing rumahan.

Lantas serigala-serigala itu mengikuti gerakan sang pemimpin, membuatku dan Jackson berhenti berlari. Tidak sampai di situ, seluruh anggota Darkmoon yang tadinya tengah menyerang, ikut berhenti saat mereka melihatku.

"Ada apa?" Tanya Arthur.

Aku menggeleng. "Tidak tahu." Aku pun mendekat pada Jackson, menaiki punggungnya kemudian kembali berjalan mendekat ke arah sekelompok Darkmoon tadi. Pada awalnya pemimpin mereka mulai menggeram kecil, namun ketika mata kami bertemu, aku memelototinya dan ia berhenti menggeram.

Ini mimpi buruk.

"Sebaiknya kalian tinggalkan Cygnus." Ujarku santai namun penuh penekanan terselubung. Walaupun niatanku sebenarnya hanyalah untuk menguji siapa yang sebenarnya mereka takuti.

Dan mereka sungguhan menaatiku. Darkmoon pun mulai bangkit dari posisi mereka dan berjalan mundur, meninggalkan Cygnus. Namun sesaat sebelum mereka pergi, aku berseru.

"Berikan aku tiga ekor manusia-anjing!"

Dengan segera sang pemimpin tadi mendekat ke arahku dan Jackson, dua lainnya menyusul dari arah kiri dan sisanya kembali masuk ke dalam hutan dan meninggalkan Cygnus.

Aku menghela napas panjang, turun dari punggung Jackson kemudian berdiri tepat di samping serigala kesayanganku ini. Namun detik berikutnya ia berubah menjadi seorang pria tampan yang langsung memelukku protektif.

"Ubah bentuk kalian."

Perlahan-lahan mereka mengubah bentuk serigala menjadi seorang manusia. Salah satu di antaranya adalah seorang wanita, dan sang pemimpin adalah seorang elf bersayap bening—menandakan bahwa ia termasuk tidak berguna untuk rasnya.

"Elf?" Tanya Arthur padaku yang langsung kujawab dengan anggukan.

"Untuk apa kalian datang kemari?" Tanyaku pada sang elf.

Pria itu pun menundukkan kepalanya. "Kami mencarimu, Ratu."

Aku hendak menyumpah serapahi anak buah Sammy jika aku tidak ingat akan statusku di dalam kelompok gelapnya. "Bicara di sini."

"Sesungguhnya niat kami berbeda dengan apa yang diinginkan pemimpin kami." Arthur pun menggeram tertahan. "Kami ingin berada di pihakmu, Ratu."

"Tidak bisa!"

Pria itu menggeram ke arah Arthur, membuat keduanya saling berbalas geraman hingga akhirnya aku berdiri di hadapan Arthur sembari mengusap dadanya lembut. Ia menoleh ke arahku, merengkuhku ke dalam pelukannya sembari terus menggeram kecil.

"Siapapun bawa mereka ke sel bawah tanah."

Setelahnya aku dapat mendengar derap langkah mendekat dan bunyi rantai anti sihir pun terdengar berdenting tepat di belakangku. Kemudian mereka pun berjalan menjauh, membuat Arthur semakin mengeratkan pelukannya dan menciumi puncak kepalaku.

"Aku mohon, jangan menjauh dariku apapun yang terjadi."

Arthur pun mengangguk, semakin mengeratkan pelukannya sebelum ia melepas rengkuhannya dan mensejajarkan wajahnya padaku.

"Semuanya akan baik-baik saja. Selama dirimu, pemilik Leah, masih mecintaiku dan Jackson yang tak akan pernah sebanding dengan kekuatanmu." Tangan besar pria itu mengusap pipi kananku. "Ingat janjimu, Lalluna, jangan sembunyikan apapun."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro