De-la-pan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sorry for the really-short-chapter.


.o0o.

Aku membungkuk dengan hormat ketika seorang wanita yang sungguh mirip dengan ayah tersenyum di atas singgasananya. Ia berdiri, melangkahkan kakinya dengan sungguh anggun seraya menghampiri kami—atau lebih tepatnya ayah—dan memeluknya erat.

"Aku senang melihatmu lagi, adikku!" Seru Ratu Aidyn, kakak kembar ayah.

Kulihat ayah membalas pelukan saudaranya itu erat seraya tersenyum. "Aku juga senang kau dapat menggantikan posisi ayah dengan baik, Aidyn."

Keduanya melepaskan pelukan rindu yang kurasa sudah terpendam lama. Ratu Aidyn pun masih tersenyum lebar ketika kedua matanya mendadak beralih padaku. Aku menunduk sejenak, menunjukkan rasa hormatku kepadanya dan kembali mengangkat kepalaku.

Ibu pernah memberitahuku bahwa seseorang yang derajatnya tidak lebih tinggi dari seorang Raja maupun Ratu, dilarang menatap langsung ke kedua bola matanya. Itu akan sangat dianggap tidak sopan. Aku pun menatap hidung sang Ratu kikuk yang kini sudah berada di hadapanku.

"Aku tahu kau berbeda." Ratu Aidyin kini menyentuh bahu kiriku. "Apakah kau sudah menyempurnakan ilmumu, Arthan?"

Aku mengerutkan alisku bingung. "Maaf, Ratu, aku tidak paham atas perkataanmu."

Dapat kulihat ratu menoleh ke arah ibu sejenak yang kini tengah menggeleng. Kemudian ratu Aidyn kembali menatapku lekat-lekat. "Kau tahu, lebih baik kau ceritakan apa yang pernah terjadi sehingga membuatmu seperti ini, Arthan."

Entah mengapa, jantungku mulai berdebar dengan kencang. "Mungkin tidak dalam waktu dekat, Ratu."

"Tidak apa. Aku tahu itu sulit." Kali ini ratu Aidyn pun memajukan wajahnya dan berhenti tepat di samping telingaku. "Namun akan lebih sulit jika kau tidak segera memberitahu keluargamu bahwa serangan terakhir sihir kelabu tadi ialah penyempurnaan sihir mereka dalam dirimu."

Aku terbelalak dan tanpa kusadari kini napasku tercekat. Bagaimana ratu Aidyn bisa tahu?

Sekali lagi kutatap hidung mungil ratu yang kini sudah kembali berada di hadapanku. Ia tersenyum kecil ketika kedua matanya seolah mendesakku untuk bercerita saat ini juga. Namun, ia ada benarnya.

Kutundukkan kepalaku malu, merasa bodoh karena rahasia yang sudah kututupi berpuluh-puluh tahun dapat diketahui oleh ratu Aidyn begitu saja. "Baik, Ratu. Namun aku tidak bisa berjanji akan benar-benar segera."

"Bagus. Kalau begitu, kau harus mengadakan pesta pernikahanmu besok. Selepas itu, aku ingin kau kemari bersama Hexave dan menjalani pelatihan Sihir Hitam."

.

.

.

"Kau siap?"

Aku menghela napas berat ketika suara Azra terdengar. Adikku itu kini tengah berdiri di hadapanku bersama Xlavira. Kuanggukkan kepalaku kecil, menarik dan menghela napas sekali lagi kemudian tersenyum.

"Apa semuanya sudah berkumpul?" tanyaku.

Xlavira mengangguk. "Sudah. Bahkan Sena juga sudah siap. Jadi yang kau perlu lakukan saat ini ialah keluar dan menuju pekarangan belakang."

Kedua tungkaiku membawaku berputar dan berjalan ke luar yang diikuti oleh kedua adikku di belakang. Debaran jantungku semakin tidak karuan ketika kulihat banyak kerabat yang telah datang—walaupun aku lupa namanya karena ibu pernah memberi tahu foto mereka saat aku berkunjung ke rumah pack.

Aku juga melihat raja dan ratu Seth serta ratu Aidyn. Semua undangan tengah berdiri, menatap ke arahku yang sedang berjalan dengan setelan tuxedo hitam milik ayah dulu. Rambut putihku ditata rapi ke belakang dengan paksa oleh Xlavira tadi pagi. Namun kuakui, tangannya sungguh terampil.

Kini aku sudah berdiri di depan ayah, membalikkan diri untuk menatap seorang gadis berambut pirang dengan matanya yang berwarna biru berjalan ke arahku. Demi para Dewa Sena cantik sekali!

Ia menggunakan gaun berwarna putih dengan bagian rok yang mengembang, lengannya yang sedikit turun hingga kedua bahunya terpampang sangat jelas. Kulitnya sedikit pucat, tetapi dengan bantuan cahaya matahari pagi ini membuatnya begitu bersinar.

Rambut gadis itu diikat rapi, dipucuk kepalanya terdapat mahkota bunga yang di belakangnya terdapat sebuah kain tipis sepanjang punggung. Kecantikan Sena pun tidak banyak ditutupi oleh riasan, dibiarkan begitu saja karena ia sudah sempurna.

Sebuah ulasan senyuman lebar mengembang di wajahku ketika mata kami bertemu. Sehingga menimbulkan semburat merah di pipinya yang menggemaskan. Sena pun ikut tersenyum malu, membuatku semakin jatuh ke dalam pesonanya seraya aroma stroberi itu kembali menyeruak masuk ke dalam hidungku.

Aku meraih tangannya ketika ia sudah berada di hadapanku. Membawanya berdiri di sampingku seraya menatap ayah yang kini sudah siap memberikan kami nasihat dan merestui pernikahan kami.

Sesekali aku mencuri pandangan, dan tak jarang pula Vyer hendak mengambil alih untuk menyerang Sena sekarang juga.

"Kau sungguh cantik, Sena."

Kulihat ia semakin melebarkan senyumannya, melirikku sejenak, dan mengeratkan genggamannya padaku.

Ayah sudah berhenti berbicara, tersenyum kepadaku dan Sena kemudian menyatakan hal yang kemudian akan aku dan Sena ulang setelahnya.

"Aku, Arthan Rush Xavewood, berjanji akan selalu menjaga dan setia kepada Sena Sebastian dalam baik maupun buruk."

"Aku, Sena Sebastian, berjanji akan selalu patuh dan setia kepada Arthan Rush Xavewood dalam baik maupun buruk."

Aku kembali tersenyum, berbalik ke arah Sena seraya menyematkan cincin pada jari manisnya. "Bahkan ketika aku melakukan hal yang buruk, kau akan tetap mengikutiku?" tanyaku melalui telepati.

Sena mengangguk kecil, bergantian menyematkan cincin pada jemariku. "Bahkan jika kau terjerumus kepada hal yang salah, aku akan tetap menemanimu, Arthan."

"Mengapa?" Kali ini aku merengkuh wajahnya hangat seraya menatapnya dalam.

"Karena aku tahu itu bukan kehendakmu."

Dan aku menciumnya.


To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro