Du-a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arthan's POV

Kali ini Marco pun ikut membuka suara. "Jadi apa rencana kita?"

Mendadak kedua adikku menoleh ke arahku, membuat seluruh pandang mata ikut terarah kepadaku yang langsung membuatku menghela napas singkat.

"Liburan." Ibu nyaris protes jika aku tidak mengangkat kedua tanganku seakan mengatakan pada ibu bahwa aku masih ingin berkata. "Kami butuh liburan karena dengan bersenang-senang, sifat dan kemampuan kami akan terlihat. Termasuk hal-hal buruk yang dimiliki, cepat atau lambat akan terkuak dengan adanya acara bermain bersama itu."

"Aku setuju," ujar ayah dan Raja Seth berbarengan. Sementara Ratu Sherina dan ibu masih terlihat ragu. Dan untuk saat-saat seperti ini, Xlavira yang akan maju untuk merayu ibu. Mungkin dari pihak keluarga Sebastian, Marco yang akan melakukannya.

Saat Marco dan Xlavira sibuk membujuk para ibu, Sena dan Sera beserta Azra diutus ayah untuk mengambil makanan penutup di dapur.

Mendadak suasana di ruangan ini menjadi tegang-lupakan kegiatan rayu-merayu yang tengah berlangsung juga. Membuatku melirik ke arah ayah sejenak kemudian mendapati Raja Seth tengah menatapku serius.

Dengan penuh rasa hormat, aku menatap balik kedua mata Sang Raja. Membuat pria itu tersenyum tipis kemudian melipat kedua tangannya di atas meja.

"Kau dan Marco memiliki perbedaan satu tahun. Dan karena aku dapat melihat seluruh orang memercayai pendapatmu, maka aku ingin kau menjadi pemimpin dari Hexave. Atau lebih tepatnya, seseorang yang dapat membantu kelima anggotamu tetap berada di jalan yang lurus. Bisa?"

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka mulut dengan sedikit ragu. "Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku bisa. Namun aku sudah terbiasa untuk memikul tanggung jawab yang cukup besar itu."

Kulirik lagi ayah sejenak, entah kenapa saat mendapati pria itu tengah mengaduk tehnya dengan seulas senyuman tipis membuatku merasa bangga karena dapat dipercaya oleh Raja Ave.

"Bagus," ujar Raja Seth. "Aku akan mengatakan apa tujuan aku dan ayahmu membuat ini setelah liburan kalian selesai. Setuju?"

"Setuju."

.

.

.

Setelah seminggu berlalu untuk berlibur dan mengenal kepribadian masing-masing, kami pun bersiap untuk pergi menuju bumi. Melaksanakan tugas yang telah ayah dan Raja Seth perintahkan.

Hingga saat kami telah siap dan hendak membuka portal, Ratu Sherina dan ibu datang dari belakang kami. Meneriaki namaku untuk tidak berteleportasi terlebih dahulu.

"Ada apa, Bu?" tanya Azra seraya mengernyitkan dahinya bingung.

Sementara ibu tidak bisa menjawab. Ia hanya terus memandangi kembarannya dan menunggu Ratu Sherina untuk berbicara.

"Kami dengar kalian ingin ke Bumi," ujar Ratu Sherina yang kami jawab dengan sebuah anggukkan kepala. "Apakah Seth dan Arthur belum mengatakannya kepada kalian?"

"Sudah, Ma." Jawab Sena.

"Dengarkan aku baik-baik." Mendadak suara ibu berubah menjadi tegas dan terasa dingin. Tidak ada kehangatan yang seperti biasanya ia pancarkan lewat setiap kata yang terlontar dari bibirnya. "Bumi adalah tempat yang sangat berbahaya. Kekuatan kalian tidak boleh diketahui oleh manusia normal dan seluruh kegiatan yang kalian lakukan yang berhubungan dengan musuh akan diketahui oleh kami."

"Jangan berbuat aneh-aneh." Timpal Ratu Sherina.

"Jangan melakukan hal bodoh." Tambah ibu.

"Jangan bertengkar."

"Berpikir dengan masak sebelum memutuskan."

"Jika terburu-buru, jauhi perasaan dan gunakan logika."

"Mengerti?" tanya ibu dan Ratu Sherina bersamaan.

Dengan serentak kami mengangguk dan secara tak bersamaan menyahut "iya". Kemudian kedua wanita itu memeluk kami secara satu persatu, membuat air mata tumpah di pipi ketiga gadis ini yang sontak membuat ibu serta Ratu sulit untuk melepas kami.

Namun setelah adegan mengharukan itu, ibu menyentuh bahuku, menatapku lekat-lekat kemudian berucap. "Kami memercayaimu, sayang."

"Terima kasih, Bu."

Dan secara satu persatu, kami pun berjalan menuju portal yang telah terbuka. Sementara aku terus berjalan mundur sembari perlahan-lahan tersenyum ke arah ibu.

"Aku mencintaimu, Bu," ujarku yang lantas membuat setetes air mata terjatuh di pipi hangat ibu. "Maaf jika aku tidak kembali."

Setelahnya aku langsung berbalik dan melompat masuk ke dalam portal yang membawa kami menuju Bumi. Dan untuk beberapa detik, kami seperti terjatuh ke dalam sebuah lubang tak berujung berwarna putih. Membuat kami terselimuti oleh warna cahaya masing-masing hingga tanpa kusadari kami sudah berada di pekarangan belakang rumah ibu.

Seperti yang sudah pernah ibu katakan, penampilan kami akan berubah saat telah berpindah dunia. Membuat rambut putihku berubah menjadi kelabu dan kedua bola mataku yang semulanya biru muda menjadi warna cokelat.

Namun mendadak aku dapat menyium aroma stroberi yang begitu kuat. Begitu memabukkan hingga kedua kakiku bergetar lemas. Apakah ini tanda-tanda yang pernah ibu katakan jika ada pasangan hidupku di sekitar?

Xlavira sepertinya mengerti apa yang tengah terjadi, hingga menyuruh yang lainnya masuk ke dalam dan membawakan barang-barangku. Aku memejamkan mata untuk sesaat, menghirup kuat-kuat aroma itu hingga tanpa kusadari kedua tungkaiku tengah berjalan ke dalam hutan.

Dengan kedua mata yang telah terbuka, aku berjalan dengan berani. Kawasan hutan di sekitar rumah sudahlah akrab denganku. Sehingga sekalipun aku tersesat, aku pasti akan ingat arah jalan pulang.

Hingga saat aku lengah, sebuah panah busur tertancap di betisku yang tak terlindungi sehelai benang pun. Membuatku meringis kemudian menarik lepas panah tersebut dengan perlahan. "Ugh!" Setelah panah yang terbuat dari kayu itu terlepas, aku menghirup aroma kayu tersebut. Mencoba mencari tahu asal usul yang pembuat benda sialan ini.

Ketika aku hendak beranjak, dapat kurasakan darah mulai mengalir dari luka yang terbuat. Membuatku merobek ujung pakaianku dan melilitkannya di betis hingga darah tak lagi mengalir.

Namun detik berikutnya sebuah kawanan serigala liar telah berdiri mengelilingiku. Membuatku mendesah pelan dan mengangkat tangan.

"Aku tidak melakukan apapun."

"Kau memasuki wilayah kami tanpa izin," ujar Sang Alpha bertelepati, kurasa.

Aku pun tersenyum miring. "Oh, wow, wilayah kalian? Rasanya aku sudah berada di sekitar sini sejak 150 tahun lalu dan tidak ada satu pun yang mengklaim ini wilayah siapapun."

Dan yang tadi berbicara padaku pun mengubah dirinya menjadi manusia. Dengan celana pendek selutut berwarna cokelat serta tak memakai atasan, ia berjalan ke arahku. "Siapa namamu, Nak?"

"Ar."

Pria itu meletakkan kedua tangannya di belakang punggung sembari mengamatiku dari atas hingga bawah. "Aku tidak pernah melihatmu."

"Kau yang baru berani bertemu denganku setelah aku meninggalkan hutan ini beberapa jam." Tegasku yang langsung membuat kawanan serigala itu menggonggong.

Sang Alpha pun mengangkat salah satu tangannya, meminta kawanannya untuk diam. "Ya, mungkin kau benar."

"Aku memang benar soal itu."

"Jadi, anak muda," ujar Sang Alpha lagi kemudian berjalan memutariku secara perlahan. "Apa yang kau lakukan di sekitar sini selama 150 tahun?"

"Mencari babi untuk kuternak." Jawabku main-main. "Bagaimana dengan kalian?"

Sang Alpha menyeringai, berhenti tepat di belakangku dan berbisik. "Mencari seorang werewolf untuk-"

Angin berhembus dengan kencang dari tempat kuberdiri hingga 10 meter ke depan. Mementalkan seluruh serigala liar yang tengah mencoba membunuhku. "Untuk dijadikan tumbal bagi Penganut Bulan? Terima kasih. Dagingku daging babi."

Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan pencarianku terhadap pasanganku dan langsung berteleportasi menuju rumah. Sesampainya di dalam, aku langsung terduduk di sofa yang berada di tengah Marco dan Xlavira. Membuat keduanya menoleh ke arahku yang tak kutanggapi sama sekali.

"Apa yang terjadi dengan kakimu?" tanya salah satu dari dua gadis Sebastian.

Aku memejamkan mata, tak ingin menjawab karena hal yang saat ini kubutuhkan hanyalah ketenangan. Entah kenapa aku merasa sangat takut saat menghadapi serigala-serigala liar tadi. Padahal aku tahu betul bahwa selama ini mereka selalu memerhatikan keluargaku setiap kami berada di pekarangan belakang.

"Azra, ambilkan kain!" Teriak Xlavira kemudian perlahan-lahan melepas kain yang meliliti betisku. "Astaga, Ar, apa yang kau lakukan?"

Aku menggeleng. Masih tidak ingin menjawab.

"Ini luka tusuk. Siapa yang menusukmu?" tanya Xlavira lagi yang kemudian kubalas dengan helaan napas seraya membuka mata.

"Panah busur dari kayu pohon ek. Limabelas sentimeter dengan ujung tumpul berbentuk segitiga yang terbuat dari dedaunan beracun. Aromanya persis seperti aroma kediaman para Penganut Bulan."

Aku mendengar Sera memekik. "Penganut Bulan?"

Kemudian aku mengangguk pelan, masih tak ingin berbicara lagi karena efek yang dikeluarkan racun itu muali menyebar.

Dapat kurasakan Xlavira mulai bekerja, mengucapkan mantera-mantera penyembuh yang kuyakini tidak akan berjalan cepat di dalam tubuhku yang juga penuh akan sihir.

Namun berbeda dari dugaanku, Xlavira dengan mengejutkannya mulai merobak kulit yang berada di sekitar lukaku. Kemudian ia mulai membersihkan sesuatu yang aku tidak tahu menahu. Setelahnya aku hanya dapat merasakan bahwa sesuatu yang begitu tajam menusuk kulitku lagi.

Saat kesadaranku mulai menipis, mendadak aroma stroberi itu kembali mencuat. Membuatku menghirupnya banyak-banyak dan mencoba sekuat tenaga untuk membuka mata. Hingga saat aku nyaris melihat sosok itu, kedua penglihatanku menggelap.


To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro