E-nam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Astaga, Ar." Xlavira melepas kedua tanganku dari bahunya, berbalik menghadapku hingga kedua mata ungu yang ia dapatkan dari ibu menatapku lekat-lekat. Aku dapat melihat sebuah kesedihan serta kebahagiaan tertoreh di sana. Membuat kedua matanya berkaca-kaca dengan air mata. "Jangan salahkan aku jika aku menangis. Kau akan segera menikah dengan pasanganmu, Ar."

"APA?"

"Arthan!" Teriak ibu yang lantas membuatku bungkam. Kepalaku menunduk takut akan amarah ibu yang bisa saja meledak sekarang juga.

Namun hingga detik berubah menjadi menit, tak ada lagi suara ibu maupun Xlavira yang terdengar. Membuatku takut-takut mendongak dan mendapati wanita yang telah melahirkanku itu terduduk pada bangku meja makan sembari menutup wajah dengan salah satu tangannya yang ia topangkan di meja.

Aku pun menghampirinya, menarik bangku untuk duduk di sampingnya dan perlahan-lahan menyentuh tangan ibu lembut. "Bu?"

Ibu terlihat menghela napas saat setetes air mata terlihat mengalir dari sudut matanya. Membuatku segera menyekanya dan menggenggam tangan ibu dengan kedua tanganku.

"Bu, maafkan aku."

Ibu mengusap wajahnya, kedua mata ungunya menatapku berkaca-kaca. "Maaf telah membentakmu, Ar."

Aku mengangguk. "Aku mengerti, Bu."

"Kau tahu." Salah satu tangan ibu pun ikut menggenggam tanganku. "Ibu hanya tidak siap untuk kehilanganmu, Ar. Kau akan segera menjadi milik orang lain, bukan hanya milik-"

Ucapan ibu terhenti saat air mata kembali menetes dari kedua matanya. Aku pun kembali menyeka air mata itu seraya menatap ibu khawatir. "Bu, bagaimanapun juga, aku tetap milik Ibu dan ayah. Ibu masih bisa memarahiku, Ibu masih bisa bercerita denganku, Ibu masih bisa melatihku. Tak akan ada yang berubah, Bu. Kita hanya akan kedatangan anggota baru."

Ibu menunduk. Entah mengapa walaupun ia sudah menjadi wanita dan memiliki 3 anak, aku masih bisa merasakan bahwa ia seperti masih gadis. Bahkan saat ini ibu menggoyang-goyangkan tangan kami, membuatku lantas tersenyum kemudian mempererat genggamanku padanya.

"Tersenyumlah, Bu," ujarku seraya menundukkan kepalaku untuk mengintip wajah ibu.

Ibu pun tersenyum seraya mengalihkan wajahnya yang kemudian menatapku bangga. "Sena pasti sungguh beruntung memilikimu, Ar."

Aku menggeleng. "Tidak, ibu, ayah, Azra, dan Xlavira-lah yang sungguh beruntung memilikiku."

Seketika aku dapat merasakan sesuatu yang hangat memelukku dari belakang. Bahkan wajahnya yang basah mulai mengenai leherku. Aku terkekeh, mengecup pelipis Xlavira lembut seraya mengusap-usapnya dengan kepalaku.

"Kami akan sering berkunjung nantinya," ujarku.

"Aku akan merindukanmu, Ar!" lirih Xlavira yang lantas membuat ibu terkekeh pula.

"Oh astaga, Xlavira." Kali ini aku melepas genggaman ibu secara perlahan, meraih tangan Xlavira yang berada di sekitar leherku dan menarik gadis itu untuk berdiri di hadapanku. "Kita masih memiliki misi bersama, ingat, 'kan? Hexave?"

Dan seulas senyuman cemerlang mengembang di wajah Xlavira. Membuatku ikut tersenyum kemudian menyubit pipi adikku itu gemas.

Mendadak tatapan Xlavira pun beralih dariku, menatap lurus ke depan dengan antusias hingga membuatku dan ibu ikut menatap ke arah apa yang Xlavira lihat.

Lantas aku berdiri saat melihat Sena dan Sera sedang berdiri di ambang pintu dapur. Membuatku mengecup pelipis Xlavira sekilas sebelum menghampiri Sena dan Sera yang sedang membawakan beerapa tas kain.

"Apa ini?" tanyaku pada Sena seraya mengambil alih tasnya.

Sena pun melirik ke arah Sera sejenak. "Dari mama. Mama minta maaf kepada Ratu Athenna karena tidak dapat membantu, jadi mama membawakan ini."

"Dan maaf juga karena kami tidak bisa lama-lama saat ini. Kami akan segera pulang." Tambah Sera.

"Tapi, bolehkah aku berbicara dengan Sena sebentar?" pintaku pada Sera.

Sera terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan meninggalkan kami. "Aku akan menunggu di teras."

Aku pun tersenyum, meminta Sena untuk menunggu sebentar agar dapat memberikan tas kain ini kepada Xlavira dan membiarkan adikku itu mengecek isinya.

Setelah itu aku membawa Sena ke dalam kamarku yang berada di lantai atas. Berdiri di balkon kamarku yang langsung disambut dengan terpaan angin kencang.

"Sena...."

Sena menoleh dengan seulas senyuman dan matanya yang sedikit menyipit akibat terpaan angin kencang. "Iya?"

"Kau sudah tahu apa yang sedang ayahku rencanakan?" tanyaku. Ya, tanpa aku harus bertanya pun aku tahu pasti ini rencana ayah.

"Aku tahu," jawabnya seraya mengalihkan wajahnya dariku. "Aku... aku tidak menyangka akan secepat ini."

Aku pun menunduk, bersandar pada pagar balkon dengan kedua tanganku. "Maaf, ini bukan kehendakku. Jika kau belum siap, atau bahkan tidak mau, aku akan bilang-"

"Tidak!" Ia menoleh ke arahku, membuatku sedikit mengernyit bingung. "Maksudku, tidak. Tidak usah. Tidak apa-apa. Siap tidak siap, aku harus siap. Lagipula, aku mau."

Seolah tersadar akan tingkahnya, Sena cepat-cepat menutup mulut. Rona merah mulai menjalar di wajahnya saat kedua tangannya kulihat sedikit bergetar. Dan mendadak aku melebarkan senyumanku, merasa begitu tertarik dengan kepribadian gadis ini.

"A-aku harus pergi. Sampai nan-nanti!" ujar Sena gugup.

Gadis itu pun berjalan cepat keluar kamarku dan pergi bersama adiknya. Dengan mengingat-ingat kejadian barusan, membuat senyumanku seolah permanen. Tidak ingin pergi dari wajahku dan terus mengingat tingkah menggemaskan Sena.

"Ehm, aku dengar ada yang ingin menikah?"

Aku menoleh ke belakang untuk mendapati Azra tengah berdiri di sana. Rambut hitamnya yang masih berantakan tanda baru bangun tidur terlihat jelas di sana. Walaupun begitu kedua matanya sudah berbinar-binar sembari berjalan masuk ke dalam kamarku dan merentangkan tangannya.

Aku pun meraih adik kembar terkecilku itu, memeluknya erat seraya menepuk-nepuk punggungnya. "Dengar dari siapa, hm?"

"Ayah." Azra tertawa ringan. "Lebih tepatnya, ayah dan aku yang merencanakan ini."

Aku hanya bisa tertawa. Melepas pelukannya kemudian menepuk-nepuk pipi Azra pelan. "Aku memang tidak akan berpisah dari kalian. Tapi karena aku akan menjadi milik orang lain, tolong jaga ibu dan Xlavira untukku di saat aku tidak ada. Berjanjilah padaku."

Azra pun mengangguk mantap. "Aku janji akan menjaga ibu dan Xlavira untukmu selagi kau tak ada, Ar," ujarnya dengan suara yang bergetar. Kemudian Azra memalingkan wajahnya sembari menutup kedua mata, membuatku mengusap kepalanya kemudian meletakkan tanganku tepat di bahunya.

"Dengar, Azra Rush Xavewood, ingat apa yang pernah ibu katakan? 'Keturunan Arthur Rush Xavewood dan Athenna Xeraphin Nathaniel adalah keturunan yang kuat, sulit dimusnahkan, sulit dipisahkan, dan sulit dijatuhkan karena cinta telah mengelilingi keluarganya', kau percaya akan cinta, Azra?"

Azra mengangguk kecil sebelum akhirnya melepaskan tangannya dari wajah seraya membuka matanya. "Aku percaya."

"Aku juga percaya," sahut Xlavira dari depan pintu kamarku. Ia pun berlari ke arah kami, menarikku dan Azra mendekat kepadanya, kemudian berpelukan seperti yang biasa kami lakukan. "Aku mencintai kalian, kakak serta adikku. Percayalah, akan menjadi tantangan tersendiri untuk mateku nanti karena standar pasanganku adalah seperti kalian."

Aku terkekeh, merengkuh kedua adikku erat dengan kedua mata terpejam sembari merasakan kehangatan yang menjalar di dalam hatiku. "Tetaplah menjadi pelindung untuk satu sama lain. Tetaplah menjadi Azra dan Xlavira yang kukenal. Tetaplah menjadi saudaraku apapun yang terjadi."

To be continue

Pemanasan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro