Em-pat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arthan's POV

Dan ketiga manusia itu langsung lenyap dari pandanganku. Kembali ke dunia dimana ibu kami berada. Setelah terdiam untuk beberapa saat, Sera dan Marco menatapku, seolah menungguku untuk sebuah kata perintah lainnya.

"Aku menyutujui segala ide yang kalian berikan selama itu tidak konyol dan benar-benar masuk ke logika." Aku mencoba bangkit dari posisiku, mengusap kembali betisku dengan sedikit ucapan mantera kemudian bangkit dari ranjang. "Ada ide?"

"Aku akan berjalan ke arah Barat hingga Timur dan Marco kebalikannya. Kami akan mencari tanda-tanda keberadaan Penganut Bulan." Aku hendak menyela saat Sera mengangkat tangan kanannya dan berucap, "Kau tunggu di sini. Urus saja kakimu itu dulu karena efek lainnya dari sihir itu akan bekerja sebentar lagi."

Keningku berkerut. "Efek lain?"

Sera mengangguk sembari berbalik dan melangkah menuju jendela kamarku. "Sebenarnya sihir yang mereka gunakan itu memiliki efek lagi jika gagal menyerap sihirmu dan mengambil alih kekuatan serta dirimu." Aku menunggu, membiarkan Sera merangkai kata-katanya sendiri sebelum akhirnya melanjutkan. "Serigalamu akan mencoba membunuhmu. Ia akan keluar dari tubuhmu dan akan bertarung denganmu. Jika kau berhasil menghentikannya, ia akan kembali ke dalam tubuhmu. Jika kau gagal, kau akan mati."

"Vyer tidak akan melakukannya," tegasku lebih kepada diriku sendiri.

Sera pun mengangkat bahunya singkat. "Kita lihat saja nanti."

Aku menghela napas pelan. Menatap pemandangan di luar jendela dengan frustrasi kemudian menatap Sera. "Kau baik-baik saja jika menuju Timur sendirian? Aku bisa membuat beberapa pengawal untukmu jika kau mau."

Dengan perlahan Sera menoleh, membalas tatapanku kemudian tersenyum manis. "Tidak perlu, Ar, aku akan baik-baik saja. Simpan saja sihirmu untuk nanti."

"Bagaimana denganmu, Marco, kau punya ide lain? Atau setuju dengan Sera?"

"Menurutku itu kurang efektif," jawab Marco saat ia tengah melipat satu tangannya dan satunya lagi bertopang sembari mengusap bakal kumis di bawah hidungnya. "Akan lebih baik jika kita bisa mengamati dari ketinggian tertentu yang bisa menampakan seluruh hutan."

"Sampai efek itu belum bekerja, aku bisa membantu." Aku melirik ke arah Sera sekilas. "Aku bisa membuatkan ruangan yang cukup tinggi hingga kau bahkan dapat melihat sampai ke ujung pulau. Beserta teleskop atau apapun itu yang dapat membuatmu melihat dengan lebih jelas."

Marco hendak berbicara namun adiknya itu menyela. "Tidak. Itu membutuhkan tenaga yang banyak. Kau akan kalah nanti."

Aku menatap Sera mantap saat gadis itu melirik sinis ke arah kakaknya seolah untuk tidak menyetujui perkataanku tadi. "Aku tahu apa yang kukatakan dan apa yang akan kulakukan."

"Ar—"

"Percayalah. Aku tidak akan mati konyol hanya dengan melawan Vyer."

Salah satu tangan Marco menyentuh bahu Sera, mengatakan pada gadis itu bahwa aku benar. Ia bahkan berusaha untuk meyakinkan Sera bahwa ide yang ia miliki lebih efektif dibandingkan berpatroli di hutan.

Jujur aku lebih setuju dengan ide Marco.

"Oke," ujar Sera pada akhirnya. "Aku akan menyiapkan peralatan dan meminum beberapa kaleng darah terlebih dahulu." Sera pun menatap sang kakak. "Ayo kita buat strategi jika ada penyerangan dadakan." Dan mereka pun keluar dari kamarku secepat kilat.

Kemudian aku merenung untuk sejenak, berpikir bagaimana caranya untuk mengalahkan Vyer nanti. Dan apa maksud dari 'jika aku berhasil menghentikannya'? Apakah itu berarti aku harus membunuh Vyer? Namun jika aku harus membunuhnya, bagaimana bisa ia kembali hidup di dalam diriku?

"Tikam aku tepat di bawah keempat kakiku," ujar Vyer—serigalaku—di dalam diriku yang lantas membuatku menghela napas lega. "Namun kau harus menikam keempatnya secara bersamaan."

"Apa?" Aku mengerutkan alisku. "Bagaimana caranya, bodoh?"

"Sihir!"

Kali ini aku menggeleng, menatap pemandangan di luar jendela dengan hati yang gundah. Seharusnya aku tidak perlu menggunakan sihir untuk bertarung. Dan aku tidak akan pernah mau.

"Oh, ayolah, Ar. Kau tidak akan kelepasan."

"Ya, aku tidak akan kelepasan. Tapi sihirku bisa saja kelepasan."

Hening untuk beberapa saat. Vyer tidak lagi menanggapi telepatiku dan secara tiba-tiba rasa sakit menyelubungi betisku yang mulai kembali bercahaya biru pudar.

"Aku serius, Ar, semuanya akan baik-baik saja. Jika tidak, aku yang akan menghentikan sihirnya." Sekali lagi, aku hanya dapat diam sembari menunggu waktu itu datang. "Dan jika aku tidak berhasil, akan aku seret kau ke Ave dan membawamu kepada Raja Romeo serta ayahmu."

"Ugh, sial!"

Denyut di betisku mulai merambat naik, merayap di kulitku menuju paha dan semakin naik hingga menyentuh dadaku dari balik kaus. Cahaya krem ikut menyertai garis yang terbentuk oleh denyutan yang terjadi. Membuat napasku memendek dan serangan panik menyiksaku.

Jangan panik!

Jangan panik!

Aku menarik dan menghela napas secara teratur walaupun oksigen yang kudapat semakin menipis. Seraya merapalkan mantera dalam hati dan berkomat-kamit demi menutupi mantera yang tengah kurapalkan.

Cahaya itu tak kunjung berhenti, terus memancarkan sinarnya dari balik kausku dan perlahan-lahan garis itu semakin panas. Membuat kulitku seperti terbakar hingga tanpa kusadari rapalan manteraku juga semakin cepat.

Bau gosong mulai tercium saat rasa perih dan sakit mulai menyentuh kulitku. Membuat keringatku mulai berjatuhan dan mendadak aku memikirkan kapan Vyer akan keluar dari tubuhku.

Rapalan-rapalan yang kupanjatkan di dalam diri tidaklah berguna. Justru semakin menyerangku tanpa belas kasih dan terus menghujamiku dengan kebalikan mantera yang kurapalkan.

Hingga saat itu aku mendadak terpikirkan bahwa bisa saja yang balik menyerangku bukanlah Vyer, melainkan sihir alamku yang tak sengaja tersentuh oleh para Penguntit Bulan. Mereka pasti berpikir ini sihir biasa.

Dan aku benar-benar baru tersadar bahwa cahaya itu berwarna krem, milikku. Bukan berwarna biru pudar yang pada saat awal terlihat.

Kemudian aku langsung meminta Vyer mengambil alih tubuhku yang sudah mati rasa dan tak bisa bergerak. Kedua mataku bahkan sudah tidak bisa membuka dengan sempurna akibat cahayaku yang mulai bersinar semakin terang.

Dengan gerakan yang amat sangat dipaksakan, aku membuka bajuku dan tercekat saat garis menyakitkan itu terlihat nyaris sampai di daguku. Sesegera mungkin aku memanggil Vyer, membiarkan serigala berbulu kelabu itu mengambil alih tubuhku bersamaan dengan sihir sialan ini.

Bukannya berubah, aku malah merasa diriku ditarik oleh sesuatu. Menjauh dari tempatku tadi dan malah berdiri di ujung ranjang dengan tubuh Vyer yang telah menegang.

"Jadi ini perang dengan Arthan si Penyihir Alam." Mind-link Vyer kepadaku saat dapat kukira-kira ia tengah mengubah mata biruku menjadi berwarna oranye—mata Vyer. "Kau tahu cara menghentikannya, Ar?"

Aku mendengus. "Jika aku tahu, aku tidak akan ketakutan untuk megeluarkan sihir itu saat bertarung!"

"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika tubuhmu yang satu itu menjadi babak belur."

"Arthan— Oh astaga!" Aku menoleh dan mendapati Sera di sana. Tengah berdiri di balik kusen pintu dengan takut-takut. Kemudian aku kembali menatap diriku yang lainnya, dan langsung tersentak saat mendapatinya tengah berlari ke arah Sera.

Persetan!

Vyer mulai berlari, menerkam tubuhku dari belakang hingga ia terjerembap keras di lantai. Saat Vyer hendak menggigit tubuhku yang lainnya itu, ia berbalik dan merapalkan mantera. Membuatku dan Vyer terpental jauh hingga nyaris terbuang lewat jendela kamar.

Serigalaku ini mulai panas. Tak sabar untuk segera menghentikan pergerakan Arthan si Penyihir Alam yang tengah dikuasai oleh orang lain.

Suara debaman keras terdengar dimana-mana. Menghancurkan tembok-tembok rumahku hingga nyaris runtuh jika tiga serangan lagi mendarat di sini.

Detik berikutnya aku mendapati diriku menuju halaman belakang, masih mengejar Sera yang sudah berlari sekuat tenaga. Namun sesuatu seolah menahan gadis itu untuk keluar. Seakan ada perisai pelindung yang tidak bisa ditembus oleh siapapun.

Hingga saat aku hendak menyerang kembali, aku dapat melihat seorang wanita yang cukup kurus dan kecil berdiri membelakangiku. Tubuh wanita itu dilindungi oleh sihir berwarna hitam hingga aku sendiri nyaris melongo.

Ada Penyihir Hitam di rumahku?

Diriku yang lainnya itu pun berbalik, menghadap wanita itu dan mendadak terjatuh di lantai. Arthan si Penyihir Alam mendongak, urat-urat terlihat jelas di sepanjang lehernya yang seolah-olah tengah dicekik.

Setelahnya aku merasakan diriku tersentak ke belakang. Terlempar jauh saat cahaya krem menabrakku dengan keras dan wanita itu berbalik ke arahku. Ia terlihat terkejut, berlari menghampiriku dan kali ini aku yang terkejut saat mengetahui wanita ini adalah ibu.

"Seharusnya aku tidak melarangmu untuk mempelajari Sihir Hitam sejak dulu," ujarnya setelah aku telah berubah menjadi diriku sendiri. Ibu pun bersimpuh di sampingku dan meletakkan kepalaku di pahanya. "Maafkan ibu, Ar."

Aku tersenyum, meraih pipi ibu dengan tangan yang gemetar kemudian tersenyum getir. "Seharusnya aku bisa belajar lebih banyak lagi jika aku mau mendengarkan ibu, kakek dan nenek."

"Astaga, sayang," ibu pun menggenggam tanganku yang berada di pipinya. "Dimana yang sakit? Apakah ada yang terluka?"

Dengan perlahan aku mengangguk. "Betisku terkena busur salah satu anak buah Penganut Bulan. Di sana terdapat dedaunan beracun yang—" Aku mengesampingkan tubuhku saat sebuah gejolak yang sangat keras menghantam tenggorokanku, mengeluarkan darah berwarna hitam yang kemudian membuat ibu membalikkan tubuhku hingga mengarah kepadanya lagi.

Kini ibu menoleh ke arah betisku, mengusapkan jari telunjuk dan tengahnya di sekitaran betisku sembari mengucapkan mantera yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Dan sebuah cahaya hitam menghiasi jemari ibu, meliuk-liuk indah di udara kemudian meresap ke dalam kulitku.

"UGH!"

Cahaya hitam itu mengikuti aliran garis yang melintang hingga dadaku, membuat rasa perih itu semakin menjadi-jadi hingga aku nyaris tidak bisa bernapas. Namun saat luka panjangku itu telah tertutupi semua, cahaya itu berubah menjadi asap, terasa cukup dingin dan hangat dalam waktu yang bersamaan.

Aku memejamkan mataku, menarik dan menghela napas secara perlahan untuk menetralisir kepanikan yang melanda. Saat usapan tangan dingin ibu menyentuh kulitku, aku membuka mata, menatap jauh ke dalam kedua mata ungunya yang sangat menenangkan.

"Jika kau bukan ibuku, pasti aku sudah jatuh cinta padamu, Bu," ujarku asal yang lantas membuat ibu tersenyum getir. "Pantas saja ayah menggila saat kau pergi darinya."

Kali ini ibu tertawa, wajahnya yang tak berkeriput sama sekali membuatku sering lupa bahwa ia adalah wanita yang telah melahirkanku. "Dimana Sera dan Marco?" tanya ibu.

"Kami baik-baik saja, Ratu Athenna," sahut Marco sembari merangkul adiknya yang terlihat pucat. "Apakah Sena, Azra dan Xlavira baik-baik saja?"

Ibu pun mengangguk. "Ibumu sedang mengajari mereka beberapa pelajaran," jawab ibu. "Begitupun kalian, aku akan mengajarkan kalian Sihir Hitam untuk mengalahkan para manusia sialan itu."

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro