Li-ma

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arthan's POV


Bukannya merasa aman setelah kembali ke Ave dan berada di bawah perlindungan ibu untuk berlatih, Hexave—kami berenam—malah menunduk ketakutan di bawah amarah ayah serta Raja Seth.

Mereka memarahi kami karena kami mempelajari teori sihir terlarang secara diam-diam. Walaupun tidak benar-benar mempelajarinya dan mempraktikannya, kami memang bisa disebut bersalah.

Aku dapat melihat sirat kekecewaan di kedua mata orangtuaku setelah sampai di rumah. Seakan akulah yang menjerumuskan kedua adikku untuk ikut mempelajari ilmu itu bersamaku. Azra yang merasakan hal yang kurasakan hendak membela diri di depan ayah, mencoba untuk tidak melimpahkan semuanya kepadaku namun cepat-cepat ayah memotongnya dengan:

"Ayah dan ibu kecewa padamu, Ar."

Aku mengangkat wajahku, menatap ayah yang kini tengah berdiri membelakangi kami dengan ibu yang tengah merengkuh wajah ayah. Entah apa yang mereka bicarakan, cepat atau lambat, aku pasti akan dihukum.

Sekalipun aku dan kedua adikku memiliki usia yang sama, ibu selalu menganggap akulah yang paling dewasa. Paling berhak menentukan keputusan dan seolah aku memiliki usia yang jauh lebih matang daripada Xlavira dan Azra.

"Ayah," panggilku susah payah. Merasa takut untuk pertama kalinya setelah 150 tahun berlalu. Kedua mata oranye ayah yang berkilat emosi kini menatapku, menungguku untuk berbicara. "Aku minta maaf. Aku tidak akan menyangkal semua kebodohanku dan aku bersedia untuk dihukum. Ibu benar, seharusnya aku tidak mempelajari ilmu itu. Itu kesalahanku. Maaf."

Setelahnya ayah mendengus, mengusap rambut kelabunya ke belakang sebelum akhirnya kembali membuka mulut. "Kalian bisa meminta ibu kalian untuk mengajarinya, 'kan?"

"Aku tahu, tapi ibu menolak untuk mengajarkannya."

"Apakah kau tidak tahu bahwa ibumu tidak bisa menggunakan kekuatannya selama di Bumi? Tidak bisakah kau menunggu untuk mempelajarinya hingga ibumu mendapatkan kembali sihirnya? Apakah jalan terbaik adalah diam-diam mempelajarinya dan mengkhianati perkataan ibumu sendiri, Arthan Rush Xavewood?"

Ayah menggeram setelah menahan suaranya yang hendak meninggi dan emosinya yang akan meledak. Hingga saat aku ingin menjawab, ibu berdiri tepat di depanku, mengusap pipiku lembut kemudian tersenyum.

"Kembalilah ke kamar bersama Xlavira dan Azra untuk tidur."

Dengan ragu aku mengangguk, menggenggam hangat tangan ibu yang berada di pipiku kemudian menjauhkannya. "Baik, Bu."

Aku, Xlavira dan Azra pun berjalan ke kamar dengan kepala yang tertunduk. Tidak berani menatap ayah yang kini tengah marah besar. Mungkin sekarang waktunya bagi ibu untuk menenangkan ayah dari amukannya yang tak pernah ingin kubayangkan.

Sesampainya di dalam kamar, aku langsung menuju balkon kamar. Melipat kedua tanganku di atas pagar kayu yang berada di hadapanku sembari memperhatikan bintang-bintang yang bertaburan di langit.

Aku menerka-nerka apa yang akan ibu lakukan di bawah sana untuk menenangkan ayah. Apakah ibu benar-benar dapat menjinakan gejolak di hati ayah? Sebenarnya sehebat apa seorang Athenna Xeraphin Nathaniel—ibuku? Mengapa Arthur Rush Xavewood—ayahku—dapat luluh di tangannya? Apakah ibu menggunakan sihir? Apakah Sena juga dapat melakukannya?

Mendadak jantungku berdebar tak karuan. Mengingat bahwa aku telah menemukan pasanganku membuat seulas senyuman terulas di wajahku. Namun sialnya ulasan itu harus segera sirna saat aku tidak tahu-menahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Ibu tidak pernah mengatakannya.

Haruskah aku bertanya pada ayah? Namun bagaimana jika ia masih marah padaku?

Aku berbalik dari posisiku, berjalan menuju keluar kamar dan langsung berdiri terdiam saat Xlavira dan Azra berdiri di balik pintu dengan posisi yang hendak mengetuk.

"Ada apa?"

"Kami mau minta maaf," ujar Azra. "Ayah jadi melampiaskannya kepadamu, Ar, padahal kami yang memaksamu untuk mempelajarinya agar kau bisa mengajarinya pada kami."

"Ya, kami minta maaf, Ar," tambah Xlavira yang lantas membuatku tersenyum tipis.

Aku pun menepuk kepala kedua adikku itu, membuat keduanya menatapku sembari menyengir yang lantas membuatku semakin merekahkan senyuman. "Bukan salah kalian. Seharusnya kalian meminta maaf kepada ayah dan ibu, bukan kepadaku."

Kedua kembaranku itu mengangguk setuju, kemudian Xlavira menarikku serta Azra kepelukannya dan lagi-lagi kami tertawa bersama. Entahlah, hanya saja, aku suka dengan sifat Xlavira yang kadang kekanakan dan terkadang pula ia cukup dewasa.

Kemudian Xlavira melepas pelukannya, kembali masuk ke dalam kamarnya bersamaan dengan Azra dan meninggalkanku di depan pintu kamar sendiri. Setelahnya aku membuang napas secara perlahan, kembali berjalan keluar kamar dan telah mendapati ayah sedang berdiri tak jauh dari kamarku.

Aku berdeham kecil, berjalan menunduk melewati ayah namun Alpha tone yang dimilikinya benar-benar membuatku terkejut. "Kau ingin kemana, Ar?"

Kedua tungkaiku berhenti berjalan, memutar diri dan kini menghadap ayah yang masih membelakangiku. "Perpustakaan, Yah, ada buku yang ingin aku baca."

"Kembali ke kamar." Titahnya yang langsung kulaksanakan tanpa memikirkan tujuan lainku itu.

Sesampainya di dalam kamar, ayah ikut masuk dan menutup pintu. Menyuruhku untuk duduk di ranjang kemudian ia menarik bangku ke depanku dan duduk di sana. Ayah meletakkan kedua sikunya di ujung lutut, mencondongkan sedikit tubuhnya ke hadapanku kemudian kedua mata biru laut itu menatapku tegas.

"Ayah minta maaf soal membentakmu tadi. Seharusnya ayah mendengar penjelasanmu, Xlavira dan Azra terlebih dahulu," ujar ayah yang lantas membuatku terdiam. "Ibumu ada benarnya. Seharusnya aku dan Seth tidak menghabis-habiskan waktu untuk memarahi kalian dan langsung membiarkan ibu kalian mengajari sihir hitam."

Aku menggeleng. "Kami pantas dimarahi olehmu dan ibu, Yah. Kami memang bodoh dan tidak mau menunggu barang sejenak. Jika saja kami mau menunggu, mungkin sekarang kami sudah dapat menghentikan pergerakan Sihir Kelabu di Bumi. Aku sungguh menyesal."

"Sudahlah, Nak, tidak ada yang harus kau sesali. Semuanya sudah berlalu." Kemudian ayah menepuk bahuku untuk beberapa kali. "Jadi apa yang membawamu untuk pergi ke perpustakaan, Ar?"

Aku terdiam sejenak, menarik napas panjang kemudian menghelanya sejenak. "Aku bertemu dengan mateku."

"Lalu?"

"Aku tidak tahu harus apa."

.

.

.

"Buka lebih lebar kakimu, Arthan!"

Aku menurutinya, memasang kuda-kudaku lebih kuat dan terus terfokus pada hembusan udara yang menghantam tubuhku dengan keras. Ibu memintaku untuk terus bertahan, jangan sampai berpindah sedikit pun.

"Arthan jangan mengintip!"

Aku memaksakan kedua mataku terpejam dengan kuat. Hingga mendadak udara-udara tersebut menghilang dan suara ibu yang memintaku untuk membuka mata terdengar.

"Astaga, Arthan! Kenapa kau menjadi payah sekali dalam hal praktik, sayang?"

Aku mendesah, mengacak-acak rambutku frustrasi karena sudah sejak pagi tadi aku belum bisa menyelesaikan latihanku. Payahnya, aku hanya disuruh bertahan di antara hembusan angin kencang dengan tenang, dan aku gagal. Aku selalu bergoyang dan tidak cukup kuat untuk melakukannya.

"Apa yang terjadi padamu, hm?" Ibu merengkuh wajahku, menatapku dengan sorot penuh kelelahan hingga membuatku menunduk menyesal.

"Maaf, Bu."

Ibu pun menggeleng. "Ayo kita mulai lagi."

"Tidak, Bu." Mendadak aku mendongak, menggenggam kedua tangan ibu dengan erat seraya menghangatkan kedua tangannya yang mulai mendingin. "Ibu beristirahatlah. Biar Azra yang membantuku."

"Azra belum cukup kuat, Ar."

"Bolehkah aku membantu Arthan, Ratu?" Aku dan ibu pun menoleh ke arah suara yang berasal dari arah samping kananku. "Aku tahu kau sudah lelah, Ratu."

Ibu kembali menoleh ke arahku, ia tersenyum tipis kemudian mengeratkan genggamannya sebelum akhirnya pergi meninggalkanku dengan Sena.

"Hai," sapanya seraya tersenyum. "Memiliki masalah?"

Aku mengangguk untuk beberapa kali sembari berjalan ke arahnya dengan seulas senyuman tipis.

"Mau kubantu?"

"Boleh. Terima kasih."

Kemudian ia mengubah dirinya menjadi seekor serigala berbulu kelabu, kedua matanya berwarna hitam segelap malam dan aroma stroberi itu menyeruak masuk ke dalam hidungku.

Bulu romaku meremang saat kedua mataku terpejam untuk menikmati aroma yang Sena pancarkan. Begitu menyenangkan namun menyiksa di sisi lain. Buru-buru aku membuka mata, masih mendapati gadis itu dalam bentuk serigala yang kini tengah bergelung gemas di atas rerumputan.

"Apa yang kau lakukan, sayang?" tanyaku seraya tertawa kecil dan berjongkok untuk mengusap kepalanya. Kemudian ia mengendus ke arahku, menjilati wajahku yang kemudian membuatku tertawa terbahak-bahak. "Sena, apa yang kau lakukan, hm?"

Detik berikutnya gadis bertubuh serigala itu berlari menjauhiku menuju sebuah pohon yang cukup besar. Hingga saat ia tengah memanjat naik dengan tubuh serigalanya itu dengan susah payah, kepanikan mulai melandaku. Membuatku hendak berlari ke arahnya hingga sebuah telepati memasuki benakku.

"Tunggu di sana."

Kedua kakiku seolah terpaku. Tidak bisa berlari. Hanya dapat melihat Sena berjalan di atas ranting kuat pohon itu. Namun saat gadis itu tengah berdiri tepat di ujung ranting, ia menoleh ke arahku. "Jangan lakukan apapun."

Jantungku semakin berdebar tak karuan saat kulihat ia mulai berancang-ancang untuk melompat. Membuat kedua kakiku melemas ketakutan ketika Sena mulai melompat dan mengubah dirinya menjadi manusia.

"Spongify!"

Tepat setelah ia terjatuh di atas rerumputan yang telah kuubah menjadi lembut seperti karet, aku berlari ke arahnya. Memperhatikannya yang kini tengah tertawa sembari duduk bersila dan menatapku ceria.

"Kau kalah, Tuan Xavewood."

Aku menggeleng, berlutut di depannya kemudian menarik lengannya. Kudekap tubuh Sena dengan erat, masih ketakutan akan sesuatu melukainya.

"Oh, sudahlah, Arthan." Ia tertawa, membalas pelukanku dan menyandarkan kepalanya di bahuku. "Aku baik-baik saja."

Aku terus terdiam, menghirup aroma memabukannya banyak-banyak kemudian berucap, "aku takut, sayang."

Sekali lagi Sena tertawa. "Aku baik-baik saja, sungguh." Ia melepas pelukannya, menatap kedua mataku dengan mata indahnya seraya merentangkan tangan ke samping. "Sekarang aku sudah tahu apa yang kau butuhkan untuk pelatihanmu."

Dahiku mengerut bingung. "Secepat itu?"

Sena mengangguk antusias. "Ayahmu bisa membantu."

"Tidak, ia tidak bisa melakukannya. Ayah sangat sibuk dengan urusan-urusannya. Aku tidak mungkin mengganggu."

"Kalau begitu satu-satunya cara adalah meminta Ratu Aidyn untuk mengajarkanmu."

"Ratu Aidyn? Siapa?"

"Ratu Aidyn Avhro Xavewood. Ratu dari ras Penyihir sekaligus kakak kembar ayahmu. Ia memiliki sangat banyak waktu luang."

.

.

.

Saat matahari kembali menyapa, aku cepat-cepat turun dari ranjangku untuk menyusul ibu yang sedang berkutat di dapur. Sungguh bukan pemandangan yang biasa saat mendapati Xlavira tengah membantu ibu memasak dalam porsi yang banyak. Membuatku mengerut bingung dan terus berjalan menghampiri ibu.

Sesampainya di samping ibu, kupeluk pinggang ibu dari samping, mencium pipinya lembut seraya menyapanya. "Kenapa makanannya banyak sekali, Bu?"

"Tolong simpan pertanyaanmu itu dan berhenti bersikap seperti ini kepada ibu, Ar," jawab ibu. "Kau ingin ayahmu marah lagi, hm?"

Aku mendesah pelan, melepas pelukanku pada ibu kemudian beralih pada Xlavira yang kini tengah mengaduk sesuatu di atas panci. Aku memeluk bahunya dari belakang, membuat gadis ini terkejut dan menyumpah serapahiku dengan beberapa sihir yang tak memiliki arti.

"Ar, tolong jangan memelukku."

"Ada apa dengan kau dan ibu? Apakah aku salah?"

"Kau salah besar," jawab Xlavira. "Satu, kau sudah bukan anak kecil lagi. Dua, kau sudah punya pasangan. Tiga, kau tidak mengatakannya padaku. Empat, kau tidak bercerita apapun padaku. Lima, kau tidak mengenalkannya padaku. Enam—"

"Sena. Sena Sebastian. Aku berpikir aku tidak perlu mengenalkannya padamu."

Xlavira memekik terkejut, membuat ibu menoleh ke arah kami dengan tatapan membunuhnya. Kami pun menyengir ke arahnya, sebelum Xlavira kembali menatapku dengan kedua bola matanya yang nyaris keluar.

"Saudara kita?"

"Aku tidak tahu, Xlav. Itu terjadi begitu saja."

Xlavira mendesah panjang, kembali beralih pada panci di hadapannya dan mengaduk bahan makanan yang ada di dalamnya. "Aku tidak mengerti dengan cara kerja perjodohan para werewolf."

Aku tidak menjawab, masih memeluk bahu Xlavira yang lebih pendek 15 sentimeter dariku sembari menyandarkan daguku di atas kepalanya. "Jadi apa yang sedang kau masak?"

"Entahlah, ibu hanya menyuruhku untuk mengaduknya hingga berwarna kecokelatan."

Kami terdiam untuk beberapa saat ketika pikiranku berkelana entah kemana. Hingga sebuah pertanyaan kembali memasuki benakku yang langsung kutanyakan kepada Xlavira. "Memangnya untuk apa ini semua?"

"Astaga, Ar." Xlavira melepas kedua tanganku dari bahunya, berbalik menghadapku hingga kedua mata ungu yang ia dapatkan dari ibu menatapku lekat-lekat. Aku dapat melihat sebuah kesedihan serta kebahagiaan tertoreh di sana. Membuat kedua matanya berkaca-kaca dengan air mata. "Jangan salahkan aku jika aku menangis. Kau akan segera menikah dengan pasanganmu, Ar."


To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro