Sa-tu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arthan's POV

Aku setuju dengan ucapan Xlavira yang mengatakan ibu sangat berbeda dari biasanya saat beliau berada di dekat ayah. Seolah mereka memiliki dunia sendiri dan terkadang melupakan kami yang tengah bersamanya.

"Ibu mengatakan hal itu padaku." Sahut Xlavira yang dengan lancangnya memasuki pikiranku. "Namanya jatuh cinta."

"Apakah tidak sakit?" tanya Azra dengan bodohnya.

"Ayolah, kau sudah 150 tahun dan berhentilah bersikap kekanakan, Zra!" Kesal Xlavira seraya menatap adik kembarnya sinis.

Aku pun mengubah diriku menjadi manusia kembali, mendaratkan bokong di rerumputan pekarangan belakang rumah sembari mengamati kedua adik kembarku yang tengah melatih kemampuan mereka masing-masing.

Xlavira adalah seorang peri penyembuh. Kedua sayapnya berwarna ungu yang tidak begitu berkilau, namun cukup besar dan kuat untuk ukuran seorang gadis yang belum memiliki pengalaman bersama para peri lainnya.

Sementara Azra, ia adalah musuhku sejak kami kecil. Kami sering mendebatkan tentang sihir yang kami ketahui dan akan berakhir dengan perkelahian fisik. Kami sama-sama penyihir, ilmu kami sama-sama tinggi, namun dalam hal praktik, Azra lebih pandai dan gesit.

Sebenarnya, titel penyihir tidak begitu pantas untukku. Nenekku bilang, ini adalah kemampuan yang hanya dimiliki satu orang selama Ave-dunia kami-ada. Artinya, hanya aku yang memilikinya hingga Ave berhenti bernapas.

Aku menyebutnya Sihir Alam. Seluruh sihir yang digunakan ras di dunia ini-Bumi maupun Ave, aku bisa menggunakannya. Termasuk sihir paling tinggi pun, aku bisa. Terkecuali Sihir Hitam. Ibu melarangku mentah-mentah saat aku mengajukan untuk mempelajari hal yang satu itu.

Dan aku sendiri adalah seorang half. Hanya aku yang memiliki dua darah berbeda di antara kedua saudaraku. Aku adalah seorang werewolf dan penyihir alam-sebut saja seperti ini. Tidak begitu mengejutkan jika serigalaku memiliki tubuh yang cukup besar dan kekar saat ibu menunjukkan foto ayah dulu sekali.

Entah mengapa baru kali ini aku merasakan kehadiran pria lain selain Azra di rumah tanpa sebuah kerisihan akut. Dulu saat kami tinggal di Bumi, kakek dan nenek sesekali berkunjung untuk membantu kami berlatih. Dan di saat-saat seperti itu, aku akan menghindari kakek dengan alasan yang jelas bahkan hingga sampai kemarin-sebelum kami datang ke Ave untuk bertemu ayah.

Dari sejak kami kecil, ibu selalu mengatakan bahwa nama ayah akan membuat pengaruh hebat jika kami sering mengingatnya. Arthur Rush Xavewood. Lagi-lagi, ibu selalu mengatakan dengan mengingatnya, kami akan merasa lebih kuat, percaya diri dan memiliki tenaga yang tanpa batas.

Dan itu sangat benar.

Hingga saat kemarin bertemu di aula kerajaan-setelah tidak pernah bertemu dengannya sejak aku lahir, seluruh pertanyaanku mengenai ayah sirna begitu saja. Seolah dengan melihatnya saja, telah menjawab semua pertanyaanku kepada ibu yang tak pernah ia jawab. Ayah benar-benar sosok yang sangat berwibawa dan kuat.

"Ar, bisa kau bantu aku?"

Suara Xlavira langsung menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Kemudian dengan segera aku bangkit dari dudukku untuk menghampiri gadis bermata ungu itu.

"Ajari aku menggunakan sihir yang berguna untuk meningkatkan stamina, tolong."

Aku mengangguk, mengangkat tanganku ke atas dengan cepat seolah tengah membuang sesuatu. Cahaya kemerlap pun menghiasi sekelilingku dan Xlavira yang berguna untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Namun tetap transparan hingga siapapun masih bisa melihatnya.

"Pertama, silangkan kedua tanganmu di depan dada dengan kedua telapak tangan yang terkepal." Xlavira pun mengikutinya secara perlahan. "Kemudian tutup matamu sembari mengucapkan mantera. Dan terakhir, lepaskan."

Xlavira melebarkan kedua tangannya bersamaan dengan cahaya kerlap-kerlip berwarna ungu yang terjatuh dari seluruh kulit lengannya. Membuatku tersenyum tipis kemudian bertepuk tangan singkat.

"Jika kau sudah mahir, tanpa menutup mata pun bisa."

"Aku mengerti." Dan kemerlap yang melindungi kami tadi menghilang. "Terima kasih, Ar."

"Bukan masalah."

"Dan jika kau lebih mahir lagi, kau bisa melewatkan bagian menyilangkan tangan di depan dada itu." Tambah Azra yang kusadari sedari tadi memerhatikan kami.

Aku mengangguk setuju. Membuat Xlavira mengembangkan senyuman sembari merentangkan kedua tangannya. Ia pun berlari ke arah Azra, menarik lengannya ke arahku kemudian Xlavira memberikan pelukan kepadaku serta Azra.

"Aku sangat beruntung memiliki dua saudara laki-laki tampan dan saaaaaaaangat pintar."

Aku pun mengusap punggung Xlavira hangat, tidak menjawab sedikitpun termasuk sekadar ucapan terima kasih.

"Terima kasih untuk itu, Xlavira," balas Azra yang kemudian membuat kami melepas pelukan Xlavira. "Aku harap, jika kami sudah tidak tampan lagi, kau akan tetap membanggakan kami."

Tawa pun terlontar dari bibirku dan kedua adikku. Memecah udara langit malam yang terasa begitu menyegarkan. Sekalipun kami memang sering bertengkar, keakraban yang ada akan selalu terjalin. Hingga selamanya, kuharap.

"Bagus, anak-anak!"

Suara tepukan tangan yang diiringi suara husky milik seorang pria membuat kami semua menoleh ke arah pintu belakang rumah. Ayah. Seorang penyihir tingkat atas dan anak dari Raja Romeo-Raja ras Penyihir. Ibu bilang, ayah adalah seorang half, ia berdarah penyihir dan werewolf, sama sepertiku.

"Sebenarnya ada hal yang lebih mudah lagi untuk meningkatkan stamina jika kau sudah sangat mahir," ujar Ayah yang langsung membuat kami antusias. "Tanpa sedikitpun gerakan dan tanpa sebuah mantera."

Azra dan Xlavira mengernyit bingung. "Jadi?" tanya Azra.

"Hanya pikiranmu yang mengontrolnya," jawab Ayah yang langsung membuat kedua adikku itu terkagum-kagum. Sementara aku hanya tersenyum tipis membayangkan betapa hebatnya aku menggunakan cara itu.

"Apakah Ayah bisa menggunakannya?"

Ayah pun menoleh ke arahku, menganggukkan kepalanya singkat seraya mengangkat kedua alisnya. "Kau ingin mencobanya?"

Aku mengangguk antusias. Segera berlari di tempat dengan kecepatan ekstra agar kehilangan staminaku dengan cepat pula. Setelah beberapa detik berlalu, keringat mulai membasahi pakaian serta rambut putihku. Membuat mulutku terbuka seraya menghirup oksigen banyak-banyak.

"Lihat."

Kedua mataku menatap Ayah dengan fokus-meskipun tubuhku sudah cukup kelelahan. Ia hanya terus menatapku dan perlahan-lahan dapat kurasakan tubuhku merasa kembali seperti sebelumnya. Begitu bertenaga serta tidak kelelahan sama sekali.

Sekali lagi Azra dan Xlavira berdecak kagum, menepuk kedua tangannya dengan sangat antusias. Aku kembali mengembangkan senyuman, namun lebih lebar dari sebelumnya sembari menatap ayah.

"Itu sangat keren." Pujiku.

"Ayah tahu. Ayah memang keren," balas Ayah yang membuat kami kembali tertawa. Memecah keheningan malam yang sangat sunyi.

Namun aku tahu betul, saat ini ibu juga tengah menyaksikan kami sembari tertawa dan merasa bangga atas apa yang baru saja kami lewati bersama ayah. Seseorang yang selama ini hanya menjadi bahan pembicaraannya.

.

.

.

Aku terkejut saat mendapati seorang laki-laki dan dua orang gadis tengah duduk di meja makan bersama ayah, ibu, kedua adikku serta Raja dan Ratu Ave. Meja serta kursi yang biasanya tak ada di sana juga membuatku semakin bertanya-tanya. Seluruh pandang mata tertuju kepadaku saat aku tengah menarik satu-satunya bangku kosong yang terletak di samping Raja dan di depan Ratu.

"Maaf aku terlambat, Raja, Ratu. Aku memiliki sesuatu yang harus diurus tadi." Aku menundukkan kepalaku sejenak sebelum akhirnya menatap ayah serta ibu yang tengah tersenyum. "Bolehkah aku duduk?"

Kemudian ibu mengangguk. "Tentu, sayang."

Dan semuanya kembali normal. Aku menyantap sarapanku dalam diam dan sesekali bertanya-tanya siapa tiga manusia yang tengah duduk di seberang meja. Seharusnya Xlavira yang menduduki kursi itu. Ibu juga seharusnya berada di sebelah Xlavira.

Seluruh pertanyaanku terus terngiang di benakku. Hingga setelah kami semua menyelesaikan sarapan, ayah mulai membuka percakapan.

"Aku mendengar seluruh pertanyaan yang kau pikirkan, Arthan."

Aku menegang, melirik ke arah ayah ragu yang malah disahuti tawa dari keempat orang dewasa ini. "Maaf."

"Bukan masalah," jawab ayah. "Biar Ayah perkenalkan kepada kalian. Raja dan Ratu Ave adalah teman Ayah. Sementara di lain sisi, Ratu Ave-kita panggil saja Ratu Sherina-adalah adik kembar ibu kalian."

"Adik kembar?" gumam Xlavira di sampingku.

"Dan yang berada di depan Xlavira adalah anak pertama mereka, Marco Sebastian. Ia seorang Vampir ras Merah. Di sampingnya ada Sena Sebastian, seorang werewolf dan ada Sera Sebastian, Vampir ras Emas." Jelas ayah yang perlahan-lahan menjawab pertanyaanku. "Apakah ada yang ingin ditanyakan?"

Cepat-cepat Xlavira mengangkat tangan. "Bolehkah aku tetap memanggil Raja dan Ratu?"

Ayah pun mempersilakan Raja dan Ratu untuk menjawab sebagai jawaban atas pertanyaan Xlavira.

"Aku tidak masalah, senyamanmu saja, sayang." Jawab Ratu Sherina dengan seulas senyuman.

Namun detik berikutnya dapat kulihat Marco menoleh ke arah sang ibu dengan kedua matanya yang jelas tak suka. "Ibu, panggilan itu hanya untukku dan papa."

Anak Mama rupanya.

"Aku mendengar itu." Dan ia memelototkan mata merahnya ke arahku. Aku membalasnya hanya dengan mengangguk, tak peduli dengan pikiranku yang terdengar oleh siapapun yang bisa membacanya.

"Mungkin sekarang waktunya kalian memperkenalkan diri?" ujar ibu pada kami dengan nada bimbang seperti bertanya atau memberi pernyataan. "Dimulai dari Arthan, tolong."

Dengan segera aku bangkit dari dudukku, menatap seluruh pasang mata satu-satu sekilas kemudian berucap, "Aku Arthan Rush Xavewood. Seorang half werewolf dan penyihir. Terima kasih."

Omong-omong soal penyihir, nenek mengatakan ada baiknya jika keberadaan Sihir Alam dirahasiakan terlebih dahulu hingga aku siap.

Kemudian Xlavira dan Azra memperkenalkan diri secara bergiliran. Namun kedua mata merah Marco yang tadi sempat teralih dariku kini kembali menatapku sinis. Membuatku tersenyum miring seraya memberikannya sebuah telepati.

"Santai saja, bro. Aku juga anak ibu."

Mendadak Marco tertawa kecil, membuatku mengembangkan kedua sudut bibirku dan ketegangan singkat Marco terhadapku tadi sirna.

"Mulai detik ini," ujar Raja Seth yang mendadak membuat kami berenam menatap pria itu dengan tegang. "Kalian akan menjadi satu tim, Hexave. Aku, Sherina, Arthur dan Athenna tidak ingin ada perkelahian besar-besaran di antara kalian. Tetaplah bertanggung jawab dan saling bekerja sama untuk ke depannya. Kalian mengerti?"

Entah mengapa, aku dapat merasakan sesuatu yang buruk menanti kami.

"Tidak begitu buruk, namun cukup mengerikan." Sahut Sera-kurasa-dengan seenaknya membaca pikiranku. "Aku sempat melihat sekilas tentang apa yang akan terjadi, namun visi itu sangat buram dan aku tidak dapat mengingatnya dengan jelas. Yang aku tahu, akan ada sebuah pengorbanan menyakitkan nantinya."

"Kau hanya menakut-nakuti mereka, Sera." Timpal Sena yang dibalas dengan cengiran lebar adiknya itu. "Sera memang suka seperti itu. Melebih-lebihkan sesuatu."

"Setidaknya, aku harus menyiapkan peristiwa terburuknya di dalam otakku sehingga jika itu benar-benar terjadi, aku akan siap," ujar Xlavira.

"Tidak ada manusia yang pernah benar-benar siap, Xlav." Baru kali ini aku merasa kagum dengan ucapan Azra. Walaupun terdengar aneh jika diucapkan oleh mulutnya, namun ia ada benarnya.

Kali ini Marco pun ikut membuka suara. "Jadi apa rencana kita?"

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro