Sem-bi-lan.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rembulan nampak tidak secerah biasanya malam ini, menimbulkan sebuah kegelisahan yang tak biasa di antara Vyer dan aku. Pikiranku mulai pergi jauh ketika rasa takut saat penyerangan Penganut Bulan melintas di hati. Demi Dewa aku tak pernah setakut ini.

Aku menoleh ketika aroma stroberi mulai memasuki hidungku dan menampilkan Sena dengan wajahnya yang sedikit mengerut. "Kau merasakannya, Ar?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dia merasakannya juga?

"Iya, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan malam ini," balasku sembari menatap wajahnya yang tengah disapu oleh angin. "Apa Sera tidak berbicara apapun tentang ini?"

Sena melipat kedua tangannya sembari membalikkan badan, tubuh kecilnya ia sandarkan pada pagar balkon kamarku. "Dia mengatakan sesuatu kemarin malam. Tapi hanya sebuah kode atau entahlah, ia selalu membuatku bertanya-tanya."

"Memangnya apa yang ia katakan?"

"11ASX12PRF."

Aku mengernyit, "Apa kau sungguh-sungguh itu yang Sera katakan?"

Kini Sena menatapku, kedua matanya seolah berbicara padaku untuk membantunya memecahkan dan bukan hanya melongo saja. Namun aku sama bingungnya dengan apa yang disampaikan saudarinya.

"Maksudku, kau ingat, kan, Sera sedang tidak dalam kondisi yang baik sejak teror yang tertuju padanya." Kali ini Sena semakin mengerutkan alisnya dan kedua matanya mulai mencari-cari sebuah ide lain. "Oke, aku tidak paham dengan kode itu. Benar-benar acak."

Sena pun mengangguk. "Sera selalu seperti itu. Ia tidak akan pernah mengatakan yang sesungguhnya sampai sesuatu itu terjadi dan aku baru menyadarinya."

"Kita butuh Azra kalau begitu." Kali ini aku menarik salah satu tangan Sena dan membawanya masuk ke kamar Azra yang berada tepat di samping kamarku.

Aku mengetuk pintu kamarnya yang tak lama langsung dibukakan langsung oleh sang empu kamar. Ia terlihat bingung karena aku membawa Sena bersamaku.

"Kau tahu, Arthan, kau bisa menggunakan kamarmu sendiri yang jelas lebih luas dan nyaman."

Aku memukul kepalanya, mendorong pintu kamarnya agar lebih terbuka dan masih menarik Sena masuk. Gadis itu diam saja sejak tadi, tak mengucap sepatahkatapun.

Setelah berada di dalam, aku melepaskan genggamanku pada Sena dan berputar untuk menatap Azra yang semakin kebingungan. Sementara Sena duduk di ujung kasur ketika secara tiba-tiba Xlavira datang.

"Aku tahu kau paling hebat dalam memecahkan teka-teki, Zra," kataku sembari menatap adik laki-lakiku dengan lekat. "Aku membutuhkan sebuah jawaban dari keanehan yang terjadi malam ini dengan sebuah kode yang Sera berikan, kau bisa?"

"Maaf memotong, tapi, ya, malam ini terasa sangat aneh." celetuk Xlavira dari ujung pintu sembari menutupnya perlahan-lahan dan bersandar pada dinding.

Azra pun mengangkat bahunya, sedikit tidak yakin tetapi menganggukkan kepalanya. "Apa yang ia katakan?"

"11ASX12PRF."

"Oh, wow," Azra menggelengkan kepalanya. "Abstrak sekali, Ar, apa tidak ada kata-kata lain?"

"Tidak ada, hanya itu yang Sera katakan sebelum pingsan lagi," sahut Sena. "Namun aku yakin, salah satu angka di sana menunjukkan jam dan sebuah kode tempat."

Xlavira pun berdeham kecil. "Tempat apa yang dimulai dengan ASX atau PRF? Maksudku, apakah itu sebuah singkatan?"

"Bisa jadi." jawab Sena seraya menoleh ke arahku.

Aku pun menelan ludah dan memutuskan untuk duduk di samping Sena. Rasa takutku mulai mengendap masuk menyelimuti pikiran. Membungkus hatiku dengan perasaan yang seharusnya tak pernah ada.

Tiba-tiba sesuatu melingkar di pinggangku, membuatku menoleh dan mendapati satu tangan lainnya mengusap lengan kananku lembut.

Sena.

Kutatap lekat dirinya yang kini tengah berpikir keras seraya menatap lantai. Membuatku menghirup aromanya perlahan dan entah mengapa semua kekalutan itu perlahan memudar. Ia mendongak, menatapku dalam hingga sebuah suara membuat kami saling mengalihkan pandangan.

"Apakah salah satunya Pack Red Fire? Kepanjangan dari PRF?" tanya Azra cemas.

Kami pun saling bertatapan, seolah mencoba menyangkal jawaban Azra tetapi bukankah itu jawaban yang amat cocok? Ditambah, tempat mana lagi di Ave yang menggunakan huruf awal seperti itu?

Xlavira pun mengangguk pelan, menggigit jari telunjuknya cemas yang kemudian melirik jam dinding. "Aku tidak begitu yakin tapi mungkin akan lebih baik jika kita mengatakannya pada beberapa anggota pack untuk berjaga-jaga. Lagipula sebentar lagi jam 11. Aku tidak ingin kita melewatkan sesuatu yang bisa jadi sebuah petunjuk untuk mengalahkan Penganut Bulan."

"Xlavira benar. Lebih baik kita bersiap." sahut Azra.

Aku pun mengangguk. "Xlavira dan Azra, pergilah ke rumah pack dan beritahu mereka untuk berjaga. Sena, kau pulanglah ke rumah. Beritahu raja dan ratu serta Marco dan bawa Sera untuk segera ke rumah pack. Aku akan mencari ibu dan ayah."

Kedua adikku mengangguk dan berteleportasi. Sementara Sena menatapku sejenak dan berdeham kecil. "Bisakah kau teleportasikan diriku?"

Aku mengangguk. "Tentu, Sayang." Cahaya kremku dengan cepat menyentuh bahu gadis di hadapanku. Membawanya pergi menuju rumah kedua orangtuanya.

Kini aku pun berlari menuruni tangga, mencari keberadaan ayah dan ibu di seluruh penjuru rumah. Mereka tak ada di sana. Tidak di manapun.

Hingga saat kudapati ibu dan ayah sedang berdiri di depan teras, salah satu lengan ayah merangkul bahu ibu dengan erat. Sudah begitu jelas terlihat jika keduanya juga merasakan hal yang tidak biasa malam ini. Aku pun kembali berjalan menghampiri ketika ibu sudah menoleh dan membuat ayah serta ibu berbalik badan.

"Ada apa, Arthan?" tanya ibu.

Aku pun menelan ludah, mengepalkan tangan dan mencoba menahan getaran dalam diriku yang mulai kembali kalut. "Sebaiknya kita ke rumah pack. Sera memberikan sebuah kode tentang sesuatu yang akan terjadi malam ini dan ak—" Aku tercekat, mencoba menarik napas dan menenangkan diri.

Kulihat ayah terlihat cemas, tetapi ia hanya terus menatapku seolah meyakinkan diriku untuk bisa melanjutkan ucapanku.

"Aku tidak yakin apa kami telah memecahkannya dengan benar, tapi akan lebih baik jika kita berjaga-jaga. Jadi aku kira—" Aku menarik napas sekali lagi. "Aku kira lebih baik kita segera bergegas ke rumah pack sebelum jam 11. Kami mengumpulkan semuanya di sana."

"Memangnya ada apa, Arthan?" tanya ayah.

"Lebih baik kita segera pergi saja, Yah. Azra dan Xlavira sudah duluan."

Ibu pun menghampiriku, menyentuh kedua bahuku erat, dan kedua matanya menatapku dalam. Aku melihat bayangan hitam di sana, berlalu lalang di mata indahnya.

"Kau harus beritahu Ibu apa yang sedang terjadi padamu, Ar." Kini ibu pun menggenggam kedua tanganku lembut. Sebuah perasaan hangat mengalir deras tepat ke dalam diriku. "Ibu tahu ada yang salah denganmu. Ibu harap kau bisa mengatakannya segera, Ar, kau bisa janji pada Ibu?"

Aku menelan ludah susah payah seraya mengangguk kikuk. Membuat ibu tersenyum tipis kemudian menoleh ke belakang untuk menatap ayah. "Ayo, Arthur." Ajak ibu. Ayah pun berjalan mendekat, menyatukan tangannya pada kami, dan berteleportasi begitu saja.

Tepat setelah mendaratkan kaki di teras, pintu rumah pack pun langsung terbuka dan menampilkan Luna Ardeen, Luna dari pack Red Fire. Keringat mengalir dari wajahnya, bahkan sebuah kepanikan mulai menghiasi wajah pucatnya.

"Alpha! Luna! Ratu Sherina membutuhkan kalian!" Serunya yang lantas membuat kedua orangtuaku berlari ke dalam rumah dengan cepat. Sementara aku mematung, seperti ada sesuatu yang menahanku untuk masuk. Seakan aku tidak diizinkan untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Hal berikutnya yang dapat kurasakan ialah betisku memanas. Hawa panas pun mulai menghampiri bersamaan dengan ke luarnya cahaya krem dari bekas luka yang diciptakan Penganut Bulan kala itu. Terasa sangat pilu dan nyeri.

Berkali-kali aku menahan napas untuk menahan sakitnya luka itu. Rasanya ingin sekali untuk duduk barang sejenak dan membiarkan cahaya itu hilang secara perlahan-lahan kemudian. Namun Vyer terus meronta. Memaksaku untuk tetap sadar dan melawannya.

Aku pun menggertak, memaksa kedua kakiku untuk berjalan tetapi tidak ada yang terjadi. Bahkan luka yang sudah mengering itu kini mulai kembali memerah dan terbuka kembali. Napasku mulai menderu, ketakutan itu kembali hadir dan menggelayuti hati serta pikiranku dengan nyaman.

Hingga sebuah tangan merengkuh wajahku dan memaksaku untuk menatapnya. Kedua mata yang amat sangat hitam sedang menatapku tajam dengan matanya yang berkilat.

"Arthan."

Dapat kurasakan Vyer mulai bergejolak dan memaksa untuk mengambil alih. Membalas tatapan seseorang di hadapanku dengan kedua mata oranye Vyer yang tak kalah berkilat. Entah mengapa Vyer merasa begitu senang di saat-saat seperti ini.

Apakah dia gila?

Ketika aku hendak memaksa Vyer untuk kembali dan mengambil alih tubuhku, suara itu terdengar lagi.

"Sayang, ini aku... Kembalilah." Aku pun mengerjap. "Kendalikan tubuh dan pikiranmu."

Dapat kurasakan Vyer semakin bersemangat ketika tangan lembut Sena mengusap kepalaku. Meskipun kedua matanya masih berkilat seolah menarikku kembali menuju kesadaran, sentuhannya begitu menenangkan. Membuat Vyer perlahan-lahan mundur dan membawaku kembali.

Aku memejamkan mata. Mengusir pikiran buruk dan keraguanku sebelumnya dan menggapai keberanian yang beberapa saat lalu kutinggalkan. Menepis peristiwa-peristiwa buruk yang pernah terjadi hingga membuatku terbungkus oleh kepayahanku sendiri.

Keturunan Xavewoods tidak payah, bukan?

Aku pun terbatuk ketika membuka mata. Mengeluarkan darah dari mulutku hingga membuat Sena sedikit bergeser dari hadapanku. Kudengar ia berteriak memanggil Xlavira, membuat gadis bermata ungu itu menghampiriku dengan tergesa-gesa.

“Ada apa?” Samar-samar suara adikku itu terdengar.

Sena menjelaskan dengan cepat, membuat adikku segera menyolek sisa darah di sudut bibirku dan mengendusnya. Ia pun menatapku yang kubalas dengan tatapan penasaran. Seketika sudut bibir Xlavira berkedut, menahan sebuah senyuman yang kupahami maknanya.

"Arthan baik-baik saja, Sena." ucap Xlavira lalu memeluk leherku erat. Menenggelamkan wajahnya pada bahuku yang kemudian aku balas tak kalah erat.

Selamat, Arthan.” Telepati Xlavira seraya melepas pelukannya. “Sebaiknya kita segera ke dalam, Ratu Sherina sedang dalam keadaan tidak baik.”

Aku mengangguk, mulai berjalan ke dalam dengan rasa bangga yang kututupi karena berhasil melawan sihir sialan yang menggerogoti kakiku. Namun aku kembali terdiam ketika melihat Sena mematung tak jauh dariku. Wajahnya entah mengapa terlihat begitu sedih.

“Sena, ada apa?” Kedua tangan hangatnya kuraih dengan perlahan dan kugenggam dengan hati-hati. “Ada sesuatu yang salah?”

Gadis itu menggeleng. “Bolehkah aku minta sesuatu?”

Aku pun mengangguk tanpa ragu. “Tentu, apapun.”

“Bolehkah aku memelukmu?”

Seulas senyuman tentu melebar di wajahku. “Kau tidak boleh memintanya lagi setelah ini, oke?” ujarku yang lantas membuat wajahnya yang sempat berseri-seri kembali redup. “Karena kau berhak atas apapun dariku tanpa memintanya, Sena.” Lanjutku kemudian memeluk tubuhnya erat.

Kedua tangan gadis itu melingkar dengan erat pada tubuhku dengan wajahnya yang bersandar pada dadaku. “Aku senang kau baik-baik saja, Arthan.”

“Aku juga senang kau ada di sana saat aku membutuhkanmu.” Balasku. “Kurasa kita harus segera ke dalam, Sayang, ibumu bisa jadi membutuhkan kita.”

Sena mengangguk, melepas pelukannya dengan enggan yang kemudian tersenyum manis ke arahku sebelum berbalik untuk masuk ke dalam.

Aku mengikutinya dari belakang, berjalan cepat menuju ruang tengah, dan mendapati ratu Sherina dengan wajahnya yang amat pucat sedang berbaring di atas sofa. Raja Seth dan ayah di sana, menggenggam tangan sang ratu dan mengusap-usap kepala ratu dengan cemas.

Ayah?

Kini Azra pun sudah ada di sampingku, wajahnya pucat dengan bibirnya yang sedikit bergetar. “Kau darimana saja?” tanyanya terbata-bata. Ia terdengar sangat shock entah karena apa.

Tanpa berpikir panjang aku langsung merapalkan mantera perlindungan. Membuat pelindung yang cukup besar untuk rumah pack sehingga tidak ada yang bisa masuk ataupun ke luar dari rumah ini tanpa sepengetahuanku.

Kuraih bahu Azra erat, menyamakan tinggi wajahku dengannya, dan menatap kedua mata birunya yang amat kosong. “Azra, katakan padaku, ada apa?”

“Ibu....”

“Ibu kenapa?” cecarku.

“Ibu… ibu…” Azra pun menelan ludah. “Ada api hitam yang cukup besar, tidak membakar siapapun terkecuali ibu dan Ratu Sherina,” ujarnya lalu menatapku ketakutan. “Ibu hilang.”

To be continue

Maaf  hilang berbulan-bulan tanpa kejelasan. Semoga penulisannya tidak menjadi sejelek dulu ya huhu sorry once again!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro