Tu-juh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Marco sedang duduk di pinggir pantai ketika kedua mata Marco jauh menatap hamparan air di depan kami. Alisnya mengerut saat ia berdecak dan mengusap rambutnya ke belakang.

"Ia mengancamku untuk membawamu segera," ujarnya begitu pelan. "Tidak secara langsung, tetapi ia mendatangi mimpiku. Sera juga demikian, maka dari itu ia tidak bisa berlama-lama denganmu karena adikku itu begitu kalut."

Aku menghela napas panjang, mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk dan ikut menatap laut perbatasan antara Maegovanen dan Azurea—tempat para pengendali. Ketika aku hendak membalas ucapan Marco, ada sesuatu yang seperti menahanku. Memaksaku untuk diam dan terus memandangi Azurea yang jauh di sana.

Benakku terasa kosong. Bahkan aku tidak mencoba menghentikannya dan bertanya-tanya apa yang tengah terjadi. Namun hatiku seperti terisi oleh sesuatu yang sangat menyejukkan hingga tanpa kusadari angin semilir mulai membelai betisku dengan lembut.

Perlahan aku memejamkan mata dan mendongak. Mencoba merasakan sensasi dingin yang diciptakan seraya tersenyum nikmat. Entah mengapa bekas lukaku yang telah disembuhkan ibu kemarin, kini menjadi lebih baik. Angin-angin itu membantuku. Membuaiku untuk terus berdekap kepadanya dan mengikutinya pergi.

Hembusan lembut angin ini menyapu rambutku, menghempaskan diri di wajahku seolah merayuku untuk berlama-lama di sini dan menikmati indahnya sore. Aku mengangguk kecil, menyetujui tawarannya dan menghela napas lega.

"ARTHAN!"

Sontak aku terbelalak saat suara Marco yang memekik terdengar bersamaan dengan suara deburan air. Jantungku mulai berdebar dengan sangat kencang ketika Marco memelintir kerah bajuku dan menamparku dengan cukup keras. Pria itu menatapku marah dengan kedua bola matanya yang sudah berubah merah.

Aku pun melepas tangan Marco kasar seraya mengerutkan alis ketika ia tak kunjung mengeluarkan sepatah kata. Rasanya begitu kesal ketika pria ini mengganggu ketenangan yang baru saja kurasakan dan bahkan menamparku secara tiba-tiba.

"Kenapa kau ini?" tanyaku mencoba menahan emosi.

Ia pun mendengus seraya memalingkan pandangannya ke arah lautan. Mengusap rambutnya ke belakang dan kembali menatapku marah. "Kau gila? Kau hampir saja membunuh dirimu sendiri!"

Aku terdiam, memandang Marco aneh hingga membuatnya menghela napas kasar.

"Sihirmu. Sihirmu hendak merapalkan sebuah mantera hingga terciptanya panah busur yang sama seperti yang menusukmu kala itu. Betismu juga mengeluarkan cahaya biru."

Salah satu sudut bibirku tak tahan untuk tertarik dan menertawakan halusinasinya. "Itu hanya halusinasimu. Kau hanya ketakutan akan mimpi dan ancamannya."

Mendadak wajahku terlempar ketika Marco meninjuku dengan keras. Sekali lagi ia memelintir kerah bajuku dan menatapku dengan emosi yang tercampur aduk di matanya.

"Sadar, bodoh! Kau mengigau dan hendak membunuh dirimu sendiri! Kau ini kenapa, hah?"

"Jangan—"

"Marco benar, Arthan." Vyer menyela, membuat pikiranku mendadak kosong dan sebuah getaran dari ujung kaki membuatku membalas tatapan Marco dengan panik kali ini. Kurasa Marco mengerti bahwa aku baru saja mendapat kembali kesadaranku hingga kurasakan ia mengendurkan genggamannya. "Percayalah. Seseorang mencoba mencelakaimu."

Cukup lama bagiku untuk tersadar bahwa saat ini aku sedang dibopong oleh Marco yang tengah berlari di dalam Hutan. Kucoba untuk menyeka sisa darah yang sedikit keluar dari sudut bibirku sehabis ditinju Marco tadi.

"Kau tahu, mereka akan terus mengejarmu sampai mendapatkanmu. Mereka tidak akan berhenti. Jadi aku mohon, tetaplah di tempat yang aman dan pulang dengan selamat."

Suara lembut Sena tadi siang terngiang di benakku. Membuatku sedikit bernapas lega karena jantungku masih berguna dan dapat pulang dengan kondisi yang baik-baik saja.

Marco pun berhenti berlari ketika aroma kayu khas rumah pack tercium olehku. Perlahan ia menurunkanku dan membuatku menepuk bahunya singkat. "Thanks, bung."

"Arthan!"

Aku menghela napas sejenak sebelum melihat ke belakang dan mendapati ibu dan ayah tengah berlari ke arahku dengan raut wajahnya yang panik. Mereka pasti merasakannya.

Ibu langsung memelukku erat. Dapat kurasakan jantungnya berdebar dengan amat sangat kencang dan peluh pun berjatuhan dari dahinya. Aku membalas pelukan ibu, mengusap punggungnya lembut seraya mengatakan aku baik-baik saja.

"Apa yang terjadi?" tanya ayah saat ibu melepas pelukannya dan mengusap wajahku.

"Aku sedang mengobrol dengan Marco saat tiba-tiba aku terbuai oleh semilir angin." Aku pun merangkul ibu sejenak, meyakinkan wanita yang telah melahirkanku ini bahwa aku sudah baik-baik saja. "Namun Marco dan Vyer mengatakan bahwa itu hanyalah tipuan. Sihirku hendak membunuhku, katanya."

Kulihat ibu menoleh ke arah ayah, membuat beliau menghela napas dan menghampiriku seraya merangkulku erat. "Kita akan ke Clivora malam ini."

Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki ayah. Kami berjalan menuju rumah pack dan aku berhenti tepat di suatu ruangan yang memiliki satu bingkai foto yang cukup besar. Ada ibu dan ayah di sana bersama para anggota pack Red Fire yang selalu berdiri dengan tegap di bawah titah kedua orangtuaku—Alpha dan Luna mereka pada kalanya.

"Arthan?" Aku menoleh untuk mendapati Sena yang tengah menyodorkan secangkir teh hangat. "Ini, minumlah."

Aku menurut dan meminumnya. Tak lupa mengucapkan terima kasih seraya tersenyum tipis. "Kau baik-baik saja?" tanyaku seraya memberikan cangkirnya kembali padanya.

Gadis berambut pirang ini merengut, menatapku dengan kedua mata birunya yang berkaca-kaca. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa kau baik-baik saja?"

Kepalaku otomatis mengangguk seraya seulas senyuman mengembang dengan jelas. Kuusap kepalanya dengan lembut, menyelipkan rambut pirangnya di balik telinga gadis itu dan mencubit gemas pipinya.

"Jangan khawatir, Sena."

"Ehem." Aku terkekeh ketika mendadak ayah ada di samping Sena dan menatapku dengan sebuah senyuman. "Sena yang paling tidak bisa diam sejak tadi. Bahkan ia yang memberitahu ibumu tentang kejadian tadi."

Sena mengangguk. "Sonya dan aku merasakan sesuatu hal yang aneh. Dan suatu hal baru yang belum pernah terjadi juga sangat mengejutkanku."

Aku pun mengernyit. "Apa itu?"

"Aku bisa melihat dan merasakan apapun perihalmu dari sudut pandangmu pula," ujarnya yang jelas membuatku terkejut. "Apakah ini normal, Alpha?"

Sena menengok ke arah ayah dengan tanda tanya besar. Membuat ayah berpikir sejenak sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Sesungguhnya tidak untuk seekor serigala. Namun berhubung ibumu seorang Xave, itu tentu normal saja."

Aku mengangguk-angguk. Jika Sena sungguh-sungguh dapat melihat dan merasakan apa yang kurasakan, seharusnya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa yang dirasakan dan yang terjadi sesungguhnya pada Arthan sungguh berbanding terbalik." Mulai Sena seraya menatap lantai—mengingat kejadian barusan. Ibu, Marco, dan beberapa anggota pack lainnya pun mencoba ikut mendengarkan.

"Semilir angin itu memang sungguh membuai. Seolah meminta Arthan untuk menikmati sore di pinggir pantai. Namun itu hanyalah tipuan. Bahkan sekilas aku bisa melihat cahaya biru melesat cepat di lautan dan hilang begitu saja sampai Marco dan Arthan pergi. Lalu saat Arthan memejamkan mata, air laut yang berada di hadapannya seperti berdiri dan dikendalikan oleh seseorang. Air itu membentuk panah busur yang sangat mirip dengan yang menancap pada Arthan kala itu."

Marco pun menyahut. "Aku melihat Arthan membuat rapalan dan cahaya krem bermunculan dari laut."

Sena menggeleng dengan cepat sembari menatap kakaknya itu. "Kau ini juga sedang diteror olehnya, Marco! Maka dari itu, sesungguhnya Marco juga sedang ditipu. Ia membuat seolah-olah Arthan yang melakukan semuanya. Padahal tidak. Jelas ini sang penyihir kelabu itu!"

"Apa kau melihat siapa yang melakukannya, Sena?" tanya ibu dengan penuh penasaran.

"Tidak, Luna, maafkan aku." Wajah Sena pun memelas. "Namun aku baru saja menyadari sesuatu."

"Tidak ada cahaya di sana." Selaku. "Sehingga kemungkinan besar ia seseorang dari Azurea. Seorang pengendali."

Kulihat ibu menggeleng. "Seorang pengendali tidak bisa memasuki wilayah Maegovanen semudah itu. Mereka hanya bisa masuk lewat gerbang perbatasan antara Maegovanen dan Clivora—daerah tak bernama."

Suara derap langkah dari pintu masuk terdengar begitu keras ketika perbincangan sedang berlangsung. Membuat kami semua yang berada di ruangan menoleh dan mendapati Sera di sana.

"Aku tahu siapa pelaku dari penyerangan Arthan di pantai. Ia seorang pengendali bernam—"

Mendadak gadis itu terjatuh. Terkulai lemas di lantai dan tubuhnya tersentak beberapa kali. Salah seorang anggota pack menggendongnya, membawanya ke tengah ruangan, dan meletakkannya dengan hati-hati di atas sofa.

Aku pun dengan segera kembali menoleh ke arah Sena yang kini tengah bergetar ketakutan dengan wajahnya yang pucat. Dengan sigap kurengkuh tubuhnya dari samping dan memeluknya erat hingga ia dapat tetap berdiri di atas kedua tungkainya.

"Alpha, Luna, aku mohon dengan sangat, ajari Arthan sihir hitam secepatnya." Pinta Sena yang jelas membuat semua orang yang berada di sana terkejut. Pun aku. "Walaupun para penyihir kelabu itu tidak dapat menyempurnakan ilmu mereka, dengan memiliki Arthan sebagai tawanan, mereka dapat menjadi lebih kuat daripada seorang Xave."

To be continue

HALO!
Maaf banget pendek dan aku sih berdoanya semoga masih nyambung sama part-part sebelumnya karena jujur aku harus baca Ave dulu sebelum paham apa yang aku coba permasalahin di sini(?).

Dan mohon maaf kl kaku, aneh, atau gimana hahaha aku baru nulis lagi setelah satu setengah taun hilang.

Hope you guys enjoy it! See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro