⸙ it's four.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Iwaizumi Hajime ... Harusnya aku yang marah. Tapi kenapa dia yang lebih galak?!

.

.

.

you pov;

Merasakan perutku yang seperti diremat kembali, aku menghentikan kerjaanku membantu memotong daging di salah satu toko yang ada di pasar. Pak Matsuda yang mungkin menyadari aku tiba-tiba berhenti itu langsung bertanya.

"Ada apa, [Name]? Kamu sakit, Nak?" Tanyanya, menghampiriku di dalam sini.

Mengadaptasi rasa sakit di perutku agar wajahku tidak merengut, aku coba melukis senyum, "Gak apa-apa, Pak. Aku ingat sesuatu aja tadi."

Pak Matsuda terkekeh saja membalasnya. Dia lalu kembali mengurusi pembeli yang masih memilih-milih daging segar di depan sana.

Ah, kenapa hari ini menstruasi-ku terasa sakit, sih? Tidak seperti biasanya, kali ini bahkan membuatku jadi cepat lelah berdiri. Tidak hanya berdiri, duduk dan melakukan kegiatan segala macam pun jadi terasa sangat merepotkan.

Akhirnya setelah mati-matian mencoba membiasakan diri dengan rasa keram perut selama setengah hari ini, ada waktu di mana aku bisa duduk sambil meremas perut dengan kedua lenganku juga tanpa perlu ditutup-tutupi atau ditahan.

Sambil meringis, aku duduk di salah satu tempat yang bisa di duduki di tempat yang cukup sepi. Rasanya kalau tidak ada apa-apa lagi yang bisa kubantu, aku mau pulang lebih cepat dan beristirahat, meskipun sepertinya istirahat tidak membuat rasa keram di perutku menghilang, tapi setidaknya tidak semenyiksa saat menahan rasa sakitnya seperti ini.

Membuka tutup botol sebuah minuman teh kemasan botol, aku menegaknya dengan tangan yang terasa lemas. Setelah itu membuang napas berat.

***

Setelah menekan rangkaian kode pintu apartemen, aku melangkahkan kaki untuk masuk. Begitu aku buka pintu pun, ternyata terdengar suara berisik-berisik dari dalam. Melepas sepatu, aku temukan juga dua pasang sepatu asing yang tergeletak begitu saja di bawah, termasuk sepatu Iwaizumi Hajime.

Begitu melangkahkan kaki jauh lebih dalam. Bisa aku temukan siapa pemilik dua pasang sepatu asing tersebut. Dia kalau tidak salah pernah hadir di acara pernikahan terpaksa aku dan Iwaizumi waktu lalu.

Yang satu adalah laki-laki beralis-mata agak lebat, satunya lagi laki-laki dengan cat rambut cokelat-pink. Mereka bertiga duduk di sofa ruang tengah, tertawa dan mengumpat sambil menonton televisi dengan suara kencang. Bahkan sepertinya tak menyadari aku masuk.

Mereka baru menyadari ketika aku berjalan melewati sofa mereka.

"Oh, Nona [Name] baru pulang."

N-nona?

"Selamat datang, Nona. Bagaimana harimu?"

Aku memandang mereka berdua bergantian, "A-ah baik," Jawabku dengan sangat canggung. Mau bagaimana, Iwaizumi Hajime aku lihat juga sedang menatapiku dari sofanya.

"Nona masih mengingat kami, kan? Aku Hanamaki dan ini Matsukawa," Ujar laki-laki berhelai cokelat-pink.

"Sini, Nona. Bergabung dengan kami menonton film," Sementara itu laki-laki yang diperkenalkan sebagai Matsukawa malah tiba-tiba mengajakku ikut bergabung. Santai sekali.

"Sudahlah, dia itu banyak kerjaan tau," Itu celetukan Iwaizumi. Dia kulihat kembali menyandarkan diri ke kepala sofa sambil mengangkat kaki ke atas meja.

Dan wah, lihat ruangan ini.

Baru aku sadari ternyata di sekeliling meja terdapat berbagai macam makanan. Mulai dari keripik snack yang masih belum dibuka, makanan cepat saji sampai keripik kentang yang bungkusnya terbuka lebar di atas meja. Sisanya adalah sampah-sampah dari makanan-makanan tersebut dan kaleng-kaleng bir yang aku tak tau masih ada isinya atau tidak, tapi tergeletak di mana-mana.

Rasanya pusing melihat hal itu, aku tanpa bicara melanjutkan kembali ke arah bioskop room. Tentu saja menaruh tas. Menghiraukan tiga lelaki yang berinteraksi secara berisik itu di ruang tengah.

Mendudukan diri di atas sofa panjang ruang bioskop, perutku ternyata masih terasa sakit. Bagian bawah perutku terasa sangat menggolak tak nyaman.

Akhirnya memutuskan untuk meredakan rasa keram ini dengan air hangat, aku kembali keluar ruang bioskop mau tidak mau. Melangkah ke dapur dan bertemu lagi dengan tiga lelaki itu yang sedang mengacaukan ruang tamu.

Tapi aku kaget begitu sesampainya di dapur. Keadaan di sini tak kurang sama berantakannya dengan di ruang tengah. Bungkus-bungkus bekas ramen dan bumbunya dibuang begitu saja di wastafel, panci bekas merebus mi diisikan tiga mangkok kotor disimpan di atas kompor, serta bekas-bekas potongan sawi tercecer di atas talenan.

Aku membuang napas berat.

Rasanya kesal tapi aku malas memedulikan hal ini karena keram perutku. Akhirnya mencoba sabar, aku singkirkan dulu panci bekas, dan menggantinya dengan sebuah teko untuk memanaskan air. Sambil menunggu tekonya berbunyi, aku memeluk perutku sendiri sambil bersandar. Ah, rasanya ingin melakukan sesuatu sampai perutku tak bisa merasakan apapun lagi. Ini menyebalkan.

"Sedang apa kau?"

Aku tersentak, kemudian berbalik. Ah, Iwaizumi Hajime.

"Kalau mau buang air ya gak usah ditahan-tahan," Ujarnya sok tau. Aku tak membalasnya.

Dia kulihat mengambil sesuatu dari kulkas, sebotol kaleng minuman yang tidak aku tahu jenisnya. Dia menegak itu langsung di depan kulkas karena sepertinya sudah tinggal sedikit. Setelah itu ia bangkit, lalu seperti dugaanku, dia membuang botol kaca itu begitu saja di wastafel.

"Bisa gak, kau gak bikin apartemen ini tambah ancur?" Celetukku. Gemas sekali ingin memperingatinya.

"Heh," Dia mendengus, "memang aku terlihat seperti sedang menghancurkan apartemenku sendiri?"

Gantian, kini aku yang membuang napas, "Sudah sekacau ini tapi kau tidak menyadarinya?" Ujarku sambil menunjukkan dapur dan menunjuk ruang tengah.

"Ini mah bukan kacau, hanya berantakan," Jawabnya dengan menyebalkan, "nanti juga kalau diberesi akan rapih."

"Siapa yang mau memberesi?"

"Ya, kau, lah."

Aku menatapinya yang sedang menatap ke dalam kulkas. Saat dia membawa keluar sebotol coca-cola ukuran besar, aku tergerak untuk mendekatinya.

Dia langsung menatapku heran ketika aku merebut botol minuman itu dari tangannya.

"Enak sekali kau terus saja menambah masalah dan menyuruhku untuk memberesi masalahmu," Ucapku dengan berani. Entahlah, mungkin efek dari masa PMS-ku jadi terlalu sensitif.

"Masalah?" Dia mengulang satu kata yang aku ucapkan, "siapa yang masalah siapa?"

Nadanya terdengar tajam. Bersamaan itu pula aku mendengar bunyi teko tanda mendidih.

"Dengar," Dia mengikis jarak denganku, "bukankah kita sudah sepakati ini? Bahwa urusan dapur dipegang oleh kau."

"Tapi kalau begini kau seperti sengaja membuatku susah."

Dia kembali mendengus kasar, "Sengaja itu kalau aku melakukan ini," dengan itu ia meraih botol garam. Lalu dengan tanpa otak membuangnya ke lantai hingga tercecer begitu saja.

"Itu baru namanya sengaja."

"... Dasar gila–"

"–Stop. Jangan sebut aku gila, Nona yang Merasa Paling Benar," Dia menempelkan telunjuknya dibibirku. Tatapannya memandangku rendah.

"Kalau kau merasa direpotkan, ada baiknya segera melapor ke ayahku dan SEGERA mungkin pergi dari sini," Menarik kembali telunjuknya dan memandangku dengan senyum angkuhnya, dia berbalik. Menutup pintu kulkas dengan keras, kemudian berjalan pergi sambil membawa botol coca-cola dan tiga gelas.

Rasanya darah dalam diriku, keram perut yang aku rasakan, dan dengingan teko mendidih, semuanya benar-benar sudah berada di puncak.

.

.

.

continue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro