⸙ it's nineteen.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini hanya hari biasa. [Full Name] yang sudah menyelesaikan resume-nya mendaftarkan diri ke beberapa lowongan pekerjaan. Gadis itu masih tak menyerah mencari pekerjaan sendiri daripada harus masuk ke perusahaan yang ditawarkan keluarga Iwaizumi.

[Name] baru pulang dari mengantarkan file ke kantor pos. Ia lalu berniat memberesi rumah yang sudah ditinggali bersama Iwaizumi Hajime tadi. Memang apa kata Mama Hajime benar, kebiasaan Hajime adalah meninggalkan baju begitu saja. Ia mulai tau kebiasaan itu sejak mereka tinggal di kamar yang sama. Padahal mereka sebelumnya sudah menyepakati kalau Hajime harus memisahkan baju kotor ke keranjang, tapi sepertinya itu memang kebiasaan laki-laki tersebut.

Saat sedang memberesi, [Name] dengar bel apartemennya berbunyi. Lantas ia segera menghampiri dan membuka pintu. Alangkah kagetnya begitu mendapati Matsukawa Issei di hadapannya sedang memapah tubuh Iwaizumi Hajime yang tak sadarkan diri penuh lebam dan perban di dahinya.

"K-kenapa ... A-apa yang terjadi?!" Panik [Name].

Matsukawa agak bingung menjawab, tapi lalu ia meminta sesuatu, "Bisakah kita membaringkan Iwaizumi dulu?"

Menyadari ketidaksigapannya, [Name] kemudian buru-buru membuka jalan. Ia membiarkan Matsukawa memapah tubuh Hajime ke kamar dan membaringkannya.

Setelah beberapa saat berlalu sambil mendengarkan Matsukawa bercerita, [Name] menatap Hajime yang masih tak sadarkan diri. Katanya, Hajime hanya pingsan karena lehernya terkena pukulan tongkat besar dan kepalanya membentur tembok. Meskipun ada juga beberapa lebam dan luka tusuk di betisnya, tapi katanya ia tidak apa-apa dan sudah diperban di rumah sakit.

Hanamaki Takahiro lah yang mendapat luka lebih parah. Laki-laki itu mendapatkan tikaman di perut dari musuhnya yang juga membawa senjata dan sekarang sudah dibawa ke IGD. Matsukawa sendiri tak kalah berantakan dan penuh luka dari Hajime. Jadi mendapati penjelasan seperti itu, [Name] mendesah panjang.

"Nona, dia tidak apa-apa, jangan terlalu khawatir," Ujar Matsukawa, melihat dengan jelas raut wajah khawatir [Name], "Iwaizumi itu yang lebih kuat dari kami. Tapi karena lawannya bersenjata, dia juga tidak bisa membalasnya dengan leluasa."

"Biasanya dia juga bisa membalas lawan bersenjata dengan pistolnya, tapi sepertinya belakangan ini dia tidak membawa pistol itu lagi," Lanjut Matsukawa Issei. Dia lalu tersenyum simpul sambil menatap rekannya yang tak sadarkan diri, "entah apa yang merubahnya."

***

Sinar senja dan udara yang mulai dingin memasuki ruangan kamar, membelai sosok tubuh yang berbaring di atas kasur sana dengan matanya yang perlahan bergerak.

Iwaizumi Hajime mengerjap perlahan, dengan kesadaran yang mulai bangkit, laki-laki itu bisa mengetahui ada di mana ia sekarang. Tubuhnya kemudian berusaha terduduk, tapi beberapa luka yang terasa sakit membuatnya meringis. Hajime menyandarkan tubuhnya ke kepala kasur. Lalu maniknya mengedar dan tak menemukan siapapun di ruangan ini selain dirinya dan pintu balkon yang terbuka sedikit.

Setelah beberapa menit terdiam untuk mereka ulang kejadian apa yang telah terjadi, pintu kamarnya pun terbuka. [Full Name] memasuki kamarnya.

"Ah, kamu sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" [Name] langsung bertanya. Tapi ia melangkah dulu ke pintu balkon dan menutupnya.

"Siapa yang membawaku ke sini?"

"Matsukawa. Kepalamu bagaimana?"

"Bagaimana Hanamaki?"

[Name] menatap Hajime dengan tatapannya yang lurus. Ia mengambil kotak P3K, "Kamu itu kalau khawatir mereka kenapa-kenapa, jangan terlibat perkelahian."

"Jawab saja pertanyaanku," Balas Hajime, menatapi [Name] yang menghampiri dan duduk di sebelahnya.

"Kamu juga gak menjawab pertanyaanku," [Name] tak mau kalah dan membalas.

Hajime mendecak.

"Ayo, biar aku olesi salep lagi," Ucap [Name], tapi Hajime dapat merasakan bahwa gadis itu terlihat sedang agak kesal.

"Kenapa kamu sering terlibat perkelahian, sih?" Tanya [Name], tangannya mulai mengolesi lebam-lebam di wajah Hajime.

"Bukan urusanmu."

"Kalau katamu kamu bekerja menagih hutang, kenapa tidak dilakukan dengan baik-baik?" [Name] melanjutkan, "kenapa memakai kekerasan? Laki-laki sepertinya selalu seperti itu."

Hajime menahan lengan [Name] yang akan mengobati bawah matanya, ia menatap wajah di hadapannya yang terlihat kesal dengan ekspresi yang sama, "Bisa gak kamu kalau mengobatiku jangan sambil ceramah, hah?"

"T-tapi kamu selalu seperti—"

"Dan kamu mau terus mengoceh juga? Begitu?"

Kesal, Hajime lalu merebut salep dari tangan [Name], "Sudahlah, aku bisa mengobati diriku sendiri."

[Name] yang berikutnya diabaikan oleh Hajime menatap laki-laki itu sebal. Akhirnya karena Hajime mengobati lukanya sendiri dan menghiraukannya, gadis itu pun bangkit dan pergi dari sana.

***

Paginya, setelah selesai memasak beberapa makanan, [Full Name] kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke pasar. Tapi ternyata ia mendapati Iwaizumi Hajime sudah bangun dan sedang berusaha mengobati luka di kepalanya.

Melihat laki-laki itu yang agak sulit mengobatinya sendirian membuat [Name] membuang napas. Dia masih kesal, tapi ingatan saat Hajime membantunya mengeringkan rambut ketika bahunya sedang terluka membuat gadis itu menahan dulu kekesalan tersebut.

Akhirnya jadi melangkah mendekati Hajime yang kini sedang memasang perban di kepalanya.

Iwaizumi Hajime tersentak kecil saat gulungan kain kassa di tangannya diraih oleh tangan lembut seseorang, saat ia menoleh ternyata [Name] sudah ada di sisi kasurnya. Dengan tak banyak bicara maupun bertanya, [Name] mulai meliliti kassa tersebut ke kepala Hajime dan laki-laki itu pun hanya bisa terdiam menurut.

Setelah selesai dengan penuh hening, [Name] mengeluarkan suara, "Lebammu sudah diobati lagi?"

"Udah gak sakit."

"Tapi masih biru, tuh."

[Name] membuang napas, lalu mengambil salep dalam kotak, "Mana wajahmu."

"Kamu mau lanjutin ceramah, kan."

"Engga, kok."

Hajime lalu berbalik. Dia dapati wajah [Name] yang cukup dekat dengannya. Akhirnya keduanya terlibat hening, Hajime tak lagi menatap [Name] yang sedang mengobatinya dan memilih untuk menatap ke arah lain.

"A-aw!"

"Sakit, kan?" Tanya [Name] yang memang sengaja menekan lebam di wajah Hajime dengan agak kencang.

"Tuh, kan, kamu masih menyebalka—"

"Emang kamu gak capek?" Ucap [Name] sambil terus mengolesi salep, "sering terluka seperti ini?"

"Ceramah lagi atau aku—"

"Saat kena tembak," Kalimat yang [Name] bawa untuk memotong ucapan Hajime membuat laki-laki itu sontak terdiam, "rasanya sakit sekali. Aku gak bisa deskripsiinnya tapi sangat sakit."

"Setelah berhasil susah payah nahan rasa sakit itu, aku jadi menegaskan kepada diriku sendiri, kalau aku harus hati-hati dan tidak mau terluka seperti itu lagi."

Hajime terdiam dengan setiap ucapan yang terlontar dari gadis di hadapannya. Meskipun wajah [Name] sedang fokus pada luka di wajahnya, tapi rasanya Hajime bisa merasakan perasaan yang ingin disampaikan oleh gadis itu.

"Walaupun kata Matsukawa kamu kuat, tapi masa iya kamu harus terus terluka seperti ini?" Ujar [Name]. Matanya saat itu bertemu dengan manik Hajime, membuatnya mengerjap sepersekian detik lalu memutuskan kontak itu.

"Sudah selesai," [Name] menutup salep lalu merapikannya kembali ke kotak, "perban di betismu sudah diganti?"

"Sudah."

Menghela napas, [Name] lalu bangkit, "Yasudah, nanti kalau kamu mau makan, makanannya sudah siap di meja."

[Name] mengambil tas dan buku note-nya, Hajime yang memerhatikan itu jadi bertanya, "Mau ke pasar?"

"Iya, sekalian mengirimkan file ke kantor pos lagi," Jawab gadis itu, namun langkahnya yang sudah mendekati pintu tiba-tiba terhenti karena Hajime kembali bersuara.

"Iwaizumi [Name] ..."

[Full Name]--ah tidak.

Iwaizumi [Name], sontak menoleh, di sana Iwaizumi Hajime sedang menatapnya.

"Kamu bisa mulai membiasakan pakai nama itu dulu sekarang ... Biar kalau terjadi apa-apa mereka bisa mengenalimu dengan mudah."

.

.

.

continue.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro