⸙ it's six.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengerjainya tapi tanpa mendengarnya menangis benar-benar hal paling menyenangkan ... Aku rindu masa kecilku ...

.

.

.

Ah, rasanya senang sekali hari ini pekerjaanku men-deliver pesanan lancar-lancar saja. Tak ada yang mencari gara-gara, tak ada yang membuatku kesal.

Ini sudah ke 17 alamat hari ini. Meskipun capek, tapi ya gak ada yang menyulut emosi.

Aku kembali bersiap-siap setelah mengambil beberapa pesanan di dapur. Beberapa alamat kembali aku terima di ponselku. Dan akhirnya setelah memakai helm, aku melajukan motor milik kedai makanan tersebut.

Pekerjaan ini terbilang aman, maksudku, tidak seperti sebelum-sebelumnya. Dengan pekerjaan ini aku sudah bisa bertahan selama kurang lebih dua bulan lamanya. Sesuatu yang patut aku banggakan karena biasanya pekerjaanku hanya bertahan beberapa minggu saja sebelum akhirnya aku dipecat.

Beberapa alasan dari mereka yang memecatku adalah, tampangku menggangu, sikapku tak baik, dan lainnya. Intinya, mereka hanya mengomentari penampilanku.

Jika sudah seperti itu pun aku tak mau terus bergantung dan memohon kepada mereka. Makanya sesaat aku berhasil membalas ucapan mereka dengan kalimat tinggi, seketika itu pula pekerjaanku dicopot.

Heh, memang salah aku membela diriku sendiri?

Setelah beberapa saat memutar kawasan perumahan, aku menemukan salah satu dari banyaknya alamat pesanan saat ini. Memberhentikan motor dan mengambil pesanannya, aku menekan bel rumah. Dan transaksi itu kembali berjalan seperti biasa.

Jangan berpikiran buruk padaku yang memegang uang pesanan ini, selama bekerja ini, aku sama sekali tidak terpikirkan untuk mengambilnya sedikit pun. Meskipun aku mengakui kadang aku memalak seseorang.

Tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Memalak beda lagi. Dan pekerjaan kali ini akan aku usahakan agar tidak dipecat.

Yah, itu pun kalau tidak ada sesuatu yang menyebalkan.

Selesai bertransaksi, aku kembali memotor. Kemudian memeriksa alamat.

Agaknya ada alamat lain yang dekat dari sini. Dan setelah aku lihat benar. Sepertinya tepat di apartemen depan sana. Untung sekali.

Karena tak begitu jauh, maka aku langsung mengambil pesanan tersebut dan berjalan ke apartemennya. Kemudian berlari menaiki tangga. Di lantai 3 pesanan tersebut aku berikan ke pemilik kamar. Lantas kembali turun.

Di tengah jalan menuju motorku, aku menemukan suatu sosok. Tiga orang yang kukenali wajahnya berjalan ke arahku.

Tapi untungnya mereka tidak menyadari dan mengenaliku, meskipun begitu aku sontak bersembunyi.

Sial. Bisa-bisanya aku bertemu dengan mereka di sini.

Ketika orang itu adalah beberapa dari banyaknya orang yang pernah adu ribut denganku dan teman-temanku. Waktu lalu kami menghajarnya. Dan jika mereka menemukanku di sini sendirian, maka habis sudah.

Bukan. Aku tidak sepengecut itu untuk bertemu mereka.

Tapi karena sekarang posisiku sedang bekerja, maka berurusan dengan mereka akan jadi bumerang balik untukku. Tidak menutup kemungkinan kalau aku bisa kehilangan pekerjaan lagi, padahal baru saja tadi aku bertekad untuk berusaha di pekerjaan delivery ini.

Akhirnya menunggu mereka berlalu sambil bersembunyi, aku sambil mengintip-intip kecil.

Ketika mereka sudah agak jauh, dengan buru-buru aku berlari ke motorku. Memakai helm, dan cepat pergi dari sana.

***

Aku melangkahkan kaki ke dalam ruang tengah setelah mengucap salam. Sambil membawa makanan, aku lihat [Name] sudah ada di sana, sedang menonton televisi.

Aku menaruh makananku di meja di hadapannya, dan mendudukan diri di sampingnya. Seperti biasa, dia hanya melirikku sekilas lalu kembali sibuk dengan kegiatannya.

Begitu aku menyadari, ternyata dia tengah menonton televisi sambil memakan roti dari tempatnya bekerja. Aku mengenali paper bag khas dari toko roti yang ada di atas meja tersebut.

"Kau jangan seenaknya mengambil rotiku," Celetuknya. Menjauhkan paper bag yang ada di hadapanku. Sepertinya karena mendapatiku menatap roti-roti miliknya.

"Heh, pede banget," Balasku. Aku menunjukan apa yang kubawa, "aku juga bawa makanan, tuh."

Dia lalu kembali mengabaikanku.

Seperti itulah hari kami kalau aku boleh bilang. Kalau tidak saling bertengkar, berdebat, atau apapun itu sampai ia marah dan menangis, maka kami hanya akan sibuk masing-masing. Walaupun pasti aku tidak akan membiarkan suasana hening tidak nyaman seperti itu dan malah berakhir mencari keributan.

Seperti apa yang akan aku lakulan sekarang.

"Mau nyobain, gak?" Tawarku, begitu aku membuka makananku.

Dia hanya menjawab singkat, "Gak."

Tapi aku tidak akan menyerah dengan mudah untuk membuatnya terganggu.

"Kamu emang gak bosen apa, setiap pulang kerja makan roti kedaimu sendiri?"

Iya tentu saja aku heran. Apalagi dia begitu pelit membagi kue bawaannya padaku.

"Gak. Kau makan saja dengan tenang, jangan ganggu aku," Dia kembali menjawab dingin. Aku menaikan sebelah bibir.

"Kamu beneran gak mau?" Godaku sekali lagi. Dia terlihat makin terganggu.

Lalu terdengar decakan dari mulutnya, "Kalau aku makan makananmu apa kau akan diam?"

"Hm, gimana, ya," Aku selalu senang mempermainkannya seperti ini, "tapi boleh, deh."

Heh.

Hehe.

Dengan wajah pasrah seperti itu dia akhirnya menatapku dan menatap makananku. Baru saja dia akan mengambil makananku, aku langsung menjauhkan milikku semuanya darinya.

"Tapi gak seenak itu."

"Tuh kan, kau mulai menyebalkan."

Aku menyunggingkan seringai kecil, "Kita tukeran."

Sepertinya dia tak mengerti, makanya dahinya berkerut kecil seperti itu.

"Aku mau rotimu, kamu bisa ambil makananku."

"Huh? Kenapa harus?" Ucapnya, "lagian aku bukan mau makananmu, kau saja yang selalu berisik."

"Makanya ... Aku mau rotimu, baru aku diam," Kataku, lalu menyambung langsung, "tapi kamu pasti gak akan mau mengasihnya cuma-cuma, kan?"

"Ya tentu saja."

"Makanya tukeran dengan punyaku."

Dia membuang napas, kelihatannya sangat-sangat berat.

"Kau akan diam?"

Aku mengangguk saja.

Dan dengan itu dia menarik kembali paper bag-nya ke hadapanku. Aku tersenyum puas.

Tapi begitu aku lihat, ternyata tak ada roti yang menjadi kesukaanku di sana.

"Kau suka roti yang mana?" Tanyaku. Dia langsung menunjuk ke salah satu di antara 4 roti di atas meja.

Heh.

Dia masih saja suka kukelabui dan mudah kukerjai.

"K-kenapa kau mengambil roti kesukaanku?" Protesnya, begitu aku mengambilnya.

"Habisnya, roti kesukaanku tak ada," Aku menjauhkannya kala ia berusaha meraih kembali roti miliknya, "jadinya aku mau roti kesukaanmu saja, deh."

Haha. Dia yang seperti ini benar-benar menyenangkan untuk dikerjai.

.

.

.

continue.

mari kita selesaikan book ini karna aku udah agak luang hehehs

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro