15. Bad Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu membuka matanya lebar-lebar. Dia melirik ke kanan dan kiri dengan gelisah. Ini bukan kamarnya. Seseorang menyentuh kulitnya yang terbuka sampai dia berjengit kaget. Dia ingin berteriak, namun suaranya tidak keluar. Kakinya ingin bergerak, namun dia seolah menjadi batu yang kaku.

Perlahan orang itu membelai seluruh kulitnya dengan bibir lalu meremas payudaranya. "Kamu tidak akan pernah bisa lari dariku, Ra."

Rara membuka matanya sambil menjerit dan langsung terduduk kaget. Diusapnya air mata yang mengalir lalu mematikan alarm. Mimpi itu terasa nyata sampai dia menggigil hebat. Dia memaksa diri untuk bangun dan duduk lalu berusaha menenangkan diri. Getaran pada nakas menandakan ada yang meneleponnya.

"Sudah bangun, Ra? Kita berkumpul dua jam lagi ya?"

"Masih dua jam, Trius. Aku mau tidur lagi," ucapnya lalu mematikan sambungan telepon. Dia tidak ingin laki-laki itu merasakan nada suaranya yang berbeda. Itu hanya akan membuat Trius merasa khawatir.

Semalam dia merelakan diri untuk terus mendengar ucapan Trius yang memintanya untuk mengunci pintu, memasang alarm sampai menyimpan nomornya sebagai nomor darurat supaya jika terjadi sesuatu, Rara bisa menghubunginya dengan cepat. Gadis itu menganggukkan kepala saat Trius mulai mengulang perintahnya yang ketiga kali.

"Aku akan baik-baik saja." Rara harus mendorong laki-laki itu keluar dari kamarnya.

"Baiklah. Baiklah. Tapi langsung hubungi aku kalau kamu butuh bantuan."

"Iya, aku tahu, Olaf. Cerewet sekali kamu," gerutu Rara. Trius tidak mau bergerak sebelum pintu kamarnya benar-benar ditutup dan terkunci.

"Ah, satu hal lagi Trius ... aku tidak trauma atau takut padamu," ucapnya sebelum pintu benar-benar tertutup.

Jauh setelahnya, Rara berguling-guling di tempat tidur karena merasa malu dengan ucapannya sendiri. Dia baru tidur selama tiga jam, ditambah lagi dengan mimpi buruk yang menyebalkan itu, membuat mood-nya berantakan. Gadis itu berdiri dan menyeduh teh chamomile. Setidaknya teh ini bisa menenangkannya.

Dua jam kemudian, Rara sudah berada di ruang depan, mengecek perlengkapan yang akan dibawa. Dia mendongakkan kepala saat Trius datang sambil tersenyum. Laki-laki itu membawa ransel besar yang juga berisi berbagai macam perlengkapan. Setelah itu, satu persatu tim yang akan berangkat berkumpul.

"Tunggu! Jangan tinggalkan aku!" Trius mengernyitkan dahi saat melihat Sayaka berlari. Dia langsung berdiri di depan Rara seolah melindungi.

"Kenapa kamu ikut?" tanyanya dengan nada sebal.

"Sayaka-Chan mengambil penelitian Mount Erebus kali ini, Fujikawa-Kun. Itu sebabnya dia di Fukai Station," jelas salah seorang anggota tim.

Trius menganggukkan kepala lalu meminta anggota tim lainnya memimpin perjalanan. "Jangan jauh-jauh dariku," ucapnya pada Rara lalu memasang google dan mulai berjalan.

Mount Erebus memiliki ketinggian 3.794 meter dari permukaan laut dan sudah aktif selama miliaran tahun. Mereka tidak akan naik sampai puncak karena Elaine hanya butuh contoh es dan salju di kaki gunung. Sementara Sayaka, mengecek Menara es yang keluar dari fumarole, lubang yang sering ada di sekitar gunung berapi untuk mengeluarkan gas dan uap air dari lava mendidih di perut bumi.

"Gunung ini seperti es krim goreng!" seru Rara pada Trius.

"Hah?"

"Lerengnya tertutup salju, es, gletser, jurang es dan lava beku. Namun uap hampir selalu mengepul di puncaknya. Ibaratnya kan beku di luar, panas di dalam." Trius tertawa mendengar penjelasan itu.

"Otakmu memang isinya makanan terus, Elsa. Terbalik! Es krim goreng kan panas di luar, beku di dalam." Trius menjentikkan telunjuknya di dahi Rara sambil tertawa sementara gadis itu cemberut.

Mereka terus berjalan. Di satu tempat, rombongan itu berpisah. Trius, Rara dan seorang peneliti akan mengambil sampel es dan salju sementara yang lain terus berjalan untuk mengecek Menara es.

Setelah mengambil sampel, peneliti yang bersama Trius dan Rara menawari mereka untuk melihat gua hangat yang tidak jauh dari sana sekaligus menghangatkan diri. Tawaran itu tentu saja menarik, kapan lagi berada di tempat dengan suhu normal di Kutub Selatan?

Gua itu berukuran besar dengan langit-langit cukup tinggi bagi Rara. Baru kali itu dia bersyukur memiliki tubuh rata-rata orang Asia. Sementara Trius harus sedikit membungkukkan badan karena tingginya lebih dari 180 sentimeter. Tumbuh-tumbuhan seperti lumut dan ganggang terlihat di sana-sini, meskipun begitu Rara tidak mengenali jenisnya. Dia berjongkok dan mengambil sampel untuk Profesor Ezra.

Trius melepas topi hangat dan google. "Udara cukup panas di sini."

"Ya. Aneh rasanya berada di suhu 18 derajat celcius. Tanpa minus, loh," tawa Rara.

Mereka bertiga memutuskan untuk beristirahat sejenak. Chef Namaki membekali mereka dengan termos sup hangat yang lezat. Peneliti yang bersama mereka dipanggil sebagai Ryu. Dia merangkap pekerjaan sebagai teknisi di Fukai Station.

"Ra, Avengers atau Justice League?" Rara bermain tanya jawab dengan Ryu sementara Trius asyik memotret ganggang.

"Avengers."

"Peter Parker atau Scarlett Witch?"

"Doktor Strange, dong." Ryu tergelak saat mendengar jawaban Rara.

"Gunung atau pantai?"

"Dua-duanya."

"Horor atau action?"

"Action."

"Romantis atau komedi."

"Komedi romantis," jawab Rara tergelak-gelak. Ryu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Udah tanya jawabnya? Aku baru tahu cara efektif mendekati perempuan dan tahu kesukaannya dengan permainan ini," kata Trius langsung duduk di sebelah Rara.

"Kalau gitu, kamu harus sering latihan denganku, Fujikawa-Kun," sahut Ryu tersenyum simpul melihat aura protektif Trius yang kental. Siapapun yang melihat pasti akan tahu bagaimana laki-laki itu tergila-gila pada Rara.

"Kalian berdua bisa latihan tanya jawab lalu membereskan barang-barang. Aku mau lihat cuaca di luar." Rara memakai topi hangat dan sarung tangannya lalu keluar.

Cuaca masih stabil dengan kecepatan angin yang tidak terlalu besar. Dia melihat samar-samar sosok orang dengan jaket berwarna cokelat muda di tepi tebing. Rasa penasaran menyelimuti Rara. Seharusnya tim Sayaka belum turun karena mereka akan mengecek beberapa tempat yang memiliki fumarole.

Tiba-tiba angin bertiup membawa serpihan salju. Rara menutup matanya otomatis dan saat membuka mata, sosok samar yang dilihatnya sudah tidak ada. Perlahan dia menghampiri tepi tebing. Ada jejak kaki di sana. Tepat saat dia berjongkok, ada sesuatu yang menerpanya. Salju berhamburan lalu terdengar teriakan ketika dia terjatuh. Rara merasakan otot tangannya menegang saat mencengkram batu yang sedikit menonjol di tepi tebing dan merasakan beban di bagian bawah tubuhnya.

"Sayaka!" seru gadis itu saat menoleh ke bawah dan melihat wajah pucat Sayaka tergantung memegangi kakinya.

"Kamu gila, apa? Ngapain kamu dorong-dorong aku?" teriak Rara. Dia memekik ketika berat Sayaka mulai menariknya jatuh. Tangan yang memegang batu rasanya seolah terbakar dengan rasa sakit. Untunglah dia memakai sarung tangan kulit yang nyaman sehingga tidak terasa seperti memakai sarung tangan jadi pegangannya cukup mantap.

"Ra-Rara ... peganganku ...." Ucapan itu tidak pernah selesai karena pegangan Sayaka pada kaki Rara terlepas. Teriakan terdengar cukup jauh. Rara bahkan mendengar suara saat tubuh Sayaka terbanting ke atas salju.

Dia menggeram kesal. Kalau tidak bisa segera naik ke atas, dia akan berakhir menimpa tubuh Sayaka. Dalam hati gadis itu bersyukur, sering mengikuti latihan panjat tebing dengan Rawi secara diam-diam. Setidaknya dia bisa bertahan, tapi sampai berapa lama?

"Rara!" Terdengar teriakan.

"Trius? Ya, Tuhan, syukurlah. Di bawah sini!" seru Rara sekuat tenaga.

Trius dan Ryu berseru terkejut melihat kondisi Rara dan Sayaka. Mereka berdua berusaha membantu Rara naik. Setelah 15 menit, akhirnya kedua laki-laki itu berhasil menarik Rara. Gadis itu berguling di tepi tebing, telentang dengan napas tidak beraturan.

"Apa yang terjadi, Ra?" tanya Ryu.

"Sayaka mau mendorongku, tapi aku menunduk untuk melihat jejak, jadi dia yang terlempar dari tebing. Sayangnya aku juga terjatuh. Sayaka sempat memegangi kakiku, tapi terlepas." Gadis itu mengambil tutup termos berisi cokelat hangat yang disodorkan oleh Trius.

"Trius!"

"Ya, apa yang kamu butuhkan, Ra?"

"Aku akan menolong Sayaka sebelum terlambat. Aku butuh bantuanmu, bantuan kalian sebenarnya. Kamu membawa tali, kan? Coba cari batu yang bisa menahan beban."

Betapa herannya Rara ketika Trius melakukan permintaannya tanpa banyak bertanya. Namun dia tidak sempat berpikir terlalu jauh. Sayaka mungkin terluka parah di bawah sana. Rara mengikat ujung tali satunya ke pinggangnya yang ramping.

"Aku yang turun, karena tali ini cukup menahan bebanku atau beban Sayaka," ujar Rara ketika Ryu protes kenapa dia yang harus turun.

"Rara!" Tiba-tiba Trius memanggilnya.

Rara mendongak dan menatap mata gelap yang terlihat sangat khawatir. "Hati-hati, Ra!"

Gadis itu menganggukkan kepala lalu bersiap turun. Angin kembali menerbangkan serpihan salju, dia memasang google, menarik napas panjang dan memulai perjalanan ke bawah. Masih sempat dilihatnya Trius mengucapkan sesuatu tanpa kata lalu semua pemandangan berubah menjadi putih. Hanya ada tebing, angin dan salju.

*

Rara ini ... baik banget. Dia masih mau nolong orang yang mau ngedorong dia jatuh. 😢😢

Aku jadi terharu. Pantesan ya Trius susah ke lain hati.

Eniwei ... hari ini aku sudah up 3 bab yaaaa. Jadi see you when i see you this saturday. 😚😚 Mudah-mudahan Ayas bisa stok 3 bab lagi.

Jangan lupa dukung Trius dengan pencet gambar bintang di kiri bawah, ya.

Love love
❤️❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro