17. Is It Called Love?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Demitrius Fujikawa

Seandainya bisa
Biar kuambil deritamu
Agar senyum itu tidak hilang

Seandainya bisa
Kubekukan waktu
Agar waktu bersama kita semakin panjang

❄❄

Pernahkah kamu merasa kehilangan yang sangat besar sampai hatimu terasa sakit? Nyeri tanpa luka yang terus membayangi setiap waktu, menekan dan memilin setiap tarikan napas. Trius belum pernah merasakan hal seperti ini.

Dia terlahir dengan wajah rupawan dan otak yang baik. Setiap orang menaruh harapan padanya. Namun kenyataannya, dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang yang disayanginya menderita. Pertama ibunya, sekarang Rara.

Wajah Rara yang pucat pasi terlihat mengerikan. Dia ingat, beberapa waktu lalu saat gadis itu jatuh dalam pelukannya dengan mata terpejam dan bibir kebiruan. Rara, gadisnya yang luar biasa kuat, terpaksa kalah dengan udara dingin.

Dokter Edward sedang mengusahakan pertolongan pertama untuk kondisi gadis itu dengan merendam tubuhnya dalam air hangat yang diatur suhunya. Ini sudah hampir dua jam sejak pengobatan pertama, Trius berjalan mondar-mandir di depan ruang tidur Profesor Nikijima. Hanya ruang tidur itu yang dilengkapi dengan kamar mandi dengan bathup.

Seseorang menyodorkan kopi. Dia mendongak dan menatap Ryu, peneliti yang tadi pergi bersamanya. Tanpa sungkan laki-laki itu duduk di lantai lalu menepuk tempat di sebelah kanannya, memintanya untuk duduk.

"Kamu terlihat berantakan," kata Ryu menghirup kopi miliknya sendiri.

"Kamu juga pasti seperti ini kalau orang yang kamu cintai ada di dalam sana, berjuang untuk hidup." Trius tersenyum pahit. Dia ikut duduk di lantai, menggenggam gelas kopinya.

"Rara gadis kuat. Dia pasti akan bertahan."

Siapapun bisa melihat kalau ucapan itu hanya hiburan semata. Rara terancam frostbite atau radang dingin. Jika itu terjadi, kemungkinan besar ada bagian tubuh gadis itu yang harus di amputasi. Meskipun gejalanya di kulit tidak terlihat seperti itu. Namun dia seolah membeku. Trius mengacak rambutnya dengan sebelah tangan. Rasanya saat ini, panggilan kesayangannya pada Rara menjadi senjata yang berbalik pada tuannya.

Terdengar suara pintu dibuka. Trius berdiri tergesa sampai kopi yang masih panas sedikit tumpah. Dia tidak peduli, hanya ada satu kepeduliannya sekarang. Rara.

"Ah, kamu di sini, Trius? Rara tidak terkena frostbite. Untunglah. Namun dia harus beristirahat malam ini di ruang kesehatan. Kamu istirahatlah sejenak, setelah itu kamu bisa menemaninya. Aku akan mengurus Rara dan memindahkannya."

Rasanya seolah beban ratusan ton terangkat dari bahunya. Dia menghela napas lega lalu menyenderkan badan ke tembok. Setelah ini semua lewat, baru Trius menyadari betapa lelahnya dia. Digenggamnya tangan dokter Edward dan mengucapkan terima kasih. Ryu menepuk bahunya untuk menyemangati.

Setelah memastikan dokter Edward selesai mengurus Rara dan memindahkan gadis itu, Trius kembali ke kamarnya sendiri untuk membersihkan badan. Air hangat mengucur membasahi rambut dan badannya. Suara air menyamarkan isak tangis yang keluar dari bibirnya.

Seingat Trius, dia berhenti menangis setelah kepergian ibunya saat berusia 12 tahun. Baginya, itu adalah kenangan tersedih dalam hidup. Ibunya meninggal karena kanker. Dulu dia berencana menjadi dokter supaya tidak ada manusia yang menderita seperti ibunya. Lalu impiannya berbelok menjadi peneliti. Dia ingin meneliti bagaimana kehidupan bisa diubah dari hal paling kecil.

Sepanjang hidupnya, Trius hanya belajar, diskusi, meneliti sel atau spora, ikut dalam tim ekspedisi dan hal membosankan lainnya. Dia terbiasa bekerja keras dan perlahan bersikap dingin.

Rara adalah hal pertama yang mengubah hidupnya. Ketika pertama kali bertemu di Tasmania, dia terpana melihat kecantikan alami gadis yang sedang menangis itu. Rasanya begitu manusiawi. Rasa penasaran membuatnya ingin tahu tentang gadis yang ternyata adalah asisten Profresor Ezra, rekannya dalam tim penelitian bakteri purba di Kutub Selatan.

Dia ingat dengan jelas, bagaimana dia menikmati menggoda Rara yang selalu saja langsung marah kalau berhadapan dengannya. Lalu kejadian di snow coach mengubah segalanya. Rara menjadi candu dalam hidupnya.

Beberapa jam tidak bertemu Rara adalah siksaan. Tidak melihat senyum gadis berambut panjang itu adalah cobaan berat. Trius mencintai Rara dengan segenap hatinya. Pada kelembutan, kebaikan hati, tingkahnya yang seringkali aneh, kecintaannya pada makanan dan cokelat. Trius jatuh cinta semakin dalam.

Kini dia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil karena merasa sangat bersyukur gadis yang dicintainya hidup. Desakan ingin menangis itu sangat hebat, kerongkongannya pedih dan jantungnya serasa dipilin.

Setelah bisa menguasai diri, Trius bergegas menuju ruang kesehatan. Di sini ada beberapa tempat tidur bagi mereka yang sedang sakit. Saat membuka pintu, laki-laki itu hanya menemukan dokter Edward yang sedang memasang infus pada tangan kanan Rara.

"Dia sendiri di sini, dok?" tanyanya begitu masuk.

"Ya. Sayaka sudah siuman dan dia hanya menderita sedikit kedinginan serta memar-memar pada lengan dan dada. Dia memilih tinggal di kamarnya sendiri."

"Biar aku yang menemani Rara malam ini, dok."

"Aku sudah menduganya. Akan kukirim makan malam untuk kalian. Sebentar lagi Rara pasti akan bangun. Jaga kesehatan, Trius. Rara pasti akan sedih kalau kamu jatuh sakit." Dokter Edward tersenyum lalu keluar dari ruangan.

Begitu pintu tertutup, Trius menatap wajah damai yang sudah tidak terlalu pucat itu. Diusapnya pipi Rara perlahan, rindu dengan omelan gadis itu setiap dia menyentuh pipi yang kemudian memerah. Dilihatnya sebuah sikat rambut di nakas samping tempat tidur lalu diambilnya.

"Kamu tahu, Ra. Sejak dulu aku ingin sekali menyikat rambut panjangmu. Ternyata benar, rasanya begitu lembut." Sunyi membekap sementara waktu terus berjalan.

"Dulu kupikir akan menua seorang diri. Sampai aku bertemu denganmu. Kamu adalah perempuan kedua yang menyentuh hatiku. Pertama tentu saja ibuku. Kamu tidak akan pernah menang bersaing dengannya karena dia adalah cinta pertamaku. Meskipun begitu, kamu harus tahu, Ra, kamu akan menjadi cinta terakhirku. Selamanya. Apapun yang terjadi." Trius menghela napas berat, teringat cerita Rara bahwa gadis itu telah dijodohkan.

"Kalau saja kamu tahu betapa bahagianya aku tadi saat mendengar ucapan bahwa kamu mencintaiku. Juga seandainya kamu tahu, betapa takutnya aku saat kamu pingsan dengan bibir membiru. Rara, hanya kamu yang sanggup mempermainkan hatiku."

Sunyi kembali menyergap sementara Trius menyelesaikan tugasnya menyikat rambut. Dia menggenggam jemari Rara yang bebas dari jarum infus, mencoba memberinya tambahan kekuatan dan kehangatan agar cepat pulih.

Mendadak tangan yang digenggamnya bergerak samar. Trius hampir saja terlompat kaget. Dia berbisik, "Rara ...."

Bulu mata lentik yang menaungi mata Rara bergetar lalu perlahan terbuka. Gadisnya tersenyum meskipun masih lemah.

"Hai, Olaf! Kenapa kamu seperti mau menangis?" Suara Rara terdengar serak.

"Ya, aku mau menangis bahagia melihatmu sadar, Ra." Ucapan itu tidak bohong. Rasanya dia menjadi laki-laki paling sentimental malam ini. Matanya berkaca-kaca menatap Rara. Ini seperti terbangun dari mimpi buruk. Mimpi buruk yang bermula saat gadisnya menuruni tebing.

"Sayaka?"

"Dia baik-baik saja. Memar, namun utuh."

"Syukurlah."

Inilah yang Trius sukai dari Rara. Gadisnya ini tidak pernah egois. Dia menolong orang yang berniat mendorongnya dari tebing dan pertanyaan pertamanya adalah bagaimana kondisi orang itu.

Suara ketukan terdengar. Chef Namaki membawa masuk dua mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap. Dia tersenyum melihat Rara sudah sadar dan menyapa sebentar lalu meninggalkan mereka.

Dibantu Trius, Rara mencoba berbaring setengah duduk. Laki-laki itu mengambilkan nampan khusus agar gadisnya bisa makan sambil berbaring.

"Mau kusuapi?" tanya Trius dengan nada menggoda. Seperti biasa, Rara hanya tertawa. Tawa itu terdengar seperti bel yang berdentang jernih. Suara yang sangat disukai oleh Trius.

Rara mengambil sendoknya yang langsung terjatuh. Wajah gadis itu kembali pucat, sampai Trius ketakutan. "Kenapa, Ra?"

"Trius, ak-aku tidak bisa merasakan apa-apa di jemariku." Rara menatap laki-laki di sampingnya dengan ketakutan.

Maafkan karena telat update yaaa.
Semoga part ini bisa menghibur.

Jangan lupa tinggalkan voment kalian untuk Trius dan Rara.

Love from South Pole 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro