21. The Day I Meet Him

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Konstruksi tahap pertama berjalan dengan lancar. Cuaca yang mendukung, membuat pekerjaan ini lebih mudah selesai. Semua bahan konstruksi dikirim menggunakan pesawat atau helikopter yang kini rutin datang ke pangkalan udara South Pole Station. Bagi Mika, ini kebahagiaan tersendiri. Dia jadi bisa menitip berbagai bahan makanan supaya tim yang tinggal di station tidak bosan dengan menu yang itu-itu saja.

"Cheers!" seru para peneliti, teknisi dan pekerja konstruksi.

Malam ini mereka mengadakan makan malam bersama sebelum malam tahun baru. Beberapa teknisi akan kembali ke keluarga mereka di pemukiman penduduk Chile. Beberapa lagi kembali ke Fukai Station. Konstruksi pengalihan gletser memang terletak di tengah-tengah antara South Pole Station dan Fukai Station.

Pandangan mata Trius menyapu seluruh ruangan mencari sahabatnya. Mika sibuk sejak pagi menyiapkan bahan masakan. Akhirnya setelah mencari-cari, Trius menjumpainya duduk di pojok ruang makan, menghirup kopi panas sambil melamun.

"Capek?" Seharusnya pertanyaan itu tidak perlu diucapkan. Sekali lihat saja Trius tahu Mika sangat kelelahan. Dia hanya seorang diri ditambah dua orang bantuan untuk menyiapkan makanan bagi 60 orang. Sahabatnya hanya tersenyum lalu menepuk tempat di sampingnya, menyuruh Trius untuk duduk.

"Kalau Rara ada di sini, dia pasti ikut bantuin masak. Kamu tahu, masakannya itu enak banget."

Trius mengernyitkan dahi, "Masak apa dia?"

"Sup daging."

"Kapan?"

"Waktu kamu bilang itu sup terbaik yang pernah kamu makan." Mika terbahak melihat raut wajah Trius. Itu masa-masa saat Trius masih sering menggoda dan menyindir Rara sampai gadis itu selalu naik darah bahkan kalau hanya melihat siluet Trius.

"Jadi besok kamu akan terbang ke pemukiman penduduk?"

"Ya."

"Sampaikan salamku untuk Rara."

Dua minggu terakhir ini adalah ujian yang sangat berat bagi Trius. Berada di Kutub Selatan memang berarti kita harus siap terisolasi dan bertemu dengan orang yang itu-itu saja. Apalagi jika terjadi badai. Interaksi yang terbatas dengan ruang lingkup membosankan, bisa membuat orang terkena dampak psikologis serius.

Belakangan ini Trius baru menyadari bahwa hari-harinya yang tidak membosankan di station adalah karena Rara. Dia senang mendengar gadisnya itu berbicara atau melihat wajahnya saat melamun dan menatap angkasa, seolah mencari bintang yang tidak terlihat di cahaya matahari tengah malam. Dia juga suka melihat rona merah seperti ceri yang selalu terbit di wajah Rara saat digoda. Rasanya kerinduan ini begitu membuncah.

Trius beranjak ke arah ruang duduk, mengambil posisi favorit Rara saat menatap langit di luar sambil memainkan ponselnya. Dia ingin menelepon gadisnya sekarang.

"Hai, Princess. What are you doing?" tanyanya begitu teleponnya tersambung.

"Hai, Trius. Aku tadi sedang mengobrol dengan Anna. Bagaimana makan malam kalian?" Dia memang sempat bercerita pada Rara tentang makan malam terakhir mereka bersama-sama sebelum tahun baru.

"Menyenangkan. Mika kangen kamu. Katanya kalau ada kamu pasti tugasnya lebih ringan." Di ujung sana, Rara tertawa lepas.

"Kalau kamu, kangen juga?" Bukan main gadisnya ini. Semakin lama, dia semakin berani menggoda.

"Menurutmu bagaimana?"

"Menurutku sudah pasti Demitrius Fujikawa merindukanku setengah mati." Rara masih tertawa.

"Kamu sudah di kamar?"

"Ya. Kenapa?"

"Bagus. Aku nggak suka kalau ada laki-laki lain yang melihatmu tertawa."

Oh, Tuhan, Trius ingin memukul kepalanya sendiri karena mengucapkan kalimat itu. Dia menggeram tidak suka ketika mendengar Rara terus tertawa. Suara itu menyiksanya. Membuatnya ingin segera berlari untuk melihat gadisnya yang tertawa lalu memeluknya erat.

"Besok kita akan bertemu. Sebaiknya kamu istirahat sekarang supaya nggak ketinggalan pesawat."

"Baiklah. Ra?"

"Ya?"

"I love you and I missed you so much." Napas Rara terdengar tersentak. Trius membayangkan gadis itu terdiam dengan wajah merona.

"Good night, Trius. And yes, I love you too."

Panggilan itu terputus. Trius masih terdiam memandang langit, mencoba meredakan perasaan menggebunya pada Rara. Selalu begitu setiap kali dia selesai bicara dengan gadis berambut panjang itu.

Kemajuan Rara dengan terapi tidak berjalan seperti yang dibayangkannya. Gadis itu masih merasakan mati rasa di telapak kanannya. Itu sebabnya Anna bilang akan menambah sesi terapi sebelum memperbolehkan Rara kembali ke South Pole Station.

*

Selama perjalanan udara, cuaca cukup baik meskipun setelah mendarat, mendadak angin bertambah kencang. Trius merapatkan mantel luar panjang yang menyelubungi tubuhnya, memakai google dan menaiki mobil salju yang dikendarai dokter Edward. Mobil salju adalah kendaraan paling umum di sini. Selain itu masih ada traktor salju, snow coach yang berbentuk seperti bus sehingga bisa memuat banyak orang.

Dia memandang rumah-rumah kayu yang dicat warna-warna untuk membuat suasana ceria di kota kecil ini. Beberapa anak berlarian dan saling melempar bola salju. Dia tersenyum simpul ketika seorang anak bersorak kegirangan saat berhasil melempar bola salju tepat ke wajah temannya.

"Tadi pagi Rara kedatangan tamu," teriak dokter Edward tiba-tiba. Dia harus teriak karena deru mobil salju begitu keras ditambah dengan angin yang bertiup. Trius hanya menganggukkan kepala. Dia menduga kalau kakak Rara sudah datang.

"Kamu nggak penasaran?"

"Sahabat Rara sudah bercerita padaku."

Dokter Edward terlihat mengernyit heran namun tidak mengatakan apa-apa. Tiba-tiba perasaan Trius tidak enak. Jarak yang tidak terlalu jauh dari pangkalan udara ke kediaman Anna menjadi terasa sangat lama.

Dia melompat turun dari mobil salju, mengangkat ransel besarnya dan melepas google penuh salju. "Thanks, doc."

"You're most welcome." Dokter Edward tersenyum lalu tampak berpikir-pikir seolah mempertimbangkan akan memberitahu atau tidak. Setelah menghela napas, dokter itu sepertinya memutuskan untuk memberitahu.

"Trius, kamu harus tahu ini. Kondisi Rara tidak sebaik yang dia kabarkan padamu. Selama ini dia melarangku memberitahu karena takut kamu khawatir dan mengganggu pekerjaanmu."

Trius tahu Rara pasti akan berbuat hal itu. Dia lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri. "Aku tahu, dok. Anna sering mengabariku kondisi Rara. Aku selama ini mengikuti permainan Rara supaya dia juga lebih semangat.

Dokter Edward tersenyum, "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Kalian berdua seolah saling mengisi dengan begitu alami. Kudoakan kamu beruntung, Trius. Aku akan menjemput anak Anna dulu di gym."

Sekali lagi, dokter baik hati itu memasang google dan menyalakan mobil salju. Trius membalikkan badan, menatap rumah Anna dan menahan getaran aneh dalam hati. Dia terus menyangkal getaran itu sebagai tanda kerinduannya pada Rara.

Rumah Anna berbau harum pinus yang segar. Diarahkannya langkah kaki langsung menuju kamar Rara. Terdengar suara tawa yang langsung memilin hati Trius. Dia begitu merindukan suara tawa itu.

Lalu dilihatnya seorang laki-laki berambut pendek dan bertubuh tinggi namun kekar, keluar dari kamar Rara. Trius melihat laki-laki itu menolehkan kepalanya dan tersenyum. Namun dia hampir tidak memperhatikan senyum itu saat mendengar ucapan yang datang.

"Hai! Teman Rara, ya? Rara sedang ke kamar mandi. Oh ya, kenalkan aku Andra, tunangan Rara."

❄❄

Haiii
Postingan pertama di awal tahun nih.

Kira-kira gimana reaksi Trius yaaaa waktu ketemu sama si Andra itu?

Tebak dooong 😁

Jangan lupa untuk voment yaaaa.

Salam sayang dari Kutub Selatan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro