25. Broken Vow

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Afra Gaia Puteri

Ingin kuberseru sekuat tenaga
Bahwa aku mencintainya
Sedalam samudera
Bergelora

Rasa
Yang ada
Perlahan terburai hilang
Membawa asa pergi menjauh

❄❄

"Rara, I love you." Demitrius Fujikawa menggenggam tangan gadis yang masih terdiam dengan wajah merona.

"Tapi kamu sudah punya tunangan. Jadi aku harus pergi." Laki-laki jangkung itu membalikkan badan dan menjauh.

"Tidak! Tidak! Jangan pergi! Trius!"

Mata Rara terbuka lebar dengan napas terengah-engah. Dia mengambil gelas air mineral di nakas dengan tangan gemetar. Mimpi itu terasa nyata sampai jantungnya berdenyut nyeri karena takut.

Hari ini dia akan keluar dari rumah sakit. Trius bilang akan merayakan hari ketika dia sudah sembuh total. Namun mimpi tadi membuatnya memiliki firasat buruk. Sekali lagi diusapnya keringat di dahi lalu kembali berbaring. Pendar cahaya dari lorong rumah sakit terlihat dari bagian bawah pintu dan Rara memejamkan mata, teringat saat bertemu Trius pertama kali sejak mereka berpisah di Kutub Selatan.

Saat itu Rara menatap manik yang sangat dikenalnya muncul begitu saja dari balik punggung Rawi seperti hantu. Matanya terbelalak tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Namun itu bukan tatapan penuh cinta. Trius menatapnya begitu dingin seperti tundra beku sampai tubuh Rara nyaris menggigil. Senyap itu hanya ada pada dirinya, melingkupi dari semua hal di ruangan ini.

Rawi tersenyum dan bicara pada kedua orangtuanya lalu mengenalkan Trius pada semua orang di dalam ruangan kecuali Arez yang masih merengut dan mengangguk samar. Andra masih menggenggam tangannya dan dia tidak berani menarik tangan itu di depan kedua orangtuanya dan orangtua Andra.

Pahit menekan kerongkongan gadis yang masih terdiam ketika Trius menyalami semua orang kecuali dia. Betapa malam-malam panjang, dia begitu merindukan kehadiran laki-laki jangkung berambut berantakan itu. Kini mimpi itu menjelma nyata, hanya saja tidak tergapai.

"Saya datang menyampaikan salam untuk Afra dari Profesor Nikijima dan Profesor Ezra." Hati Rara tergores ketika merasakan nada dingin dalam suara Trius yang begitu formal. Dia ingin bergerak, melompat memeluk laki-laki dingin itu, tapi situasi di sekitarnya tidak mendukung.

"Ah, profesor tua yang menyebalkan itu pasti sudah menyuruh tunanganku bekerja keras sampai dia sakit begini." Suara Andra terdengar dengan gaya seperti mengejek. Trius tidak berkata sepatah kata pun, dia bahkan tidak menatap Rara. Matanya sedang menatap Arez yang lalu bergerak ke arah laki-laki itu.

"Demitrius Fujikawa ini peneliti international, Yah. Dia yang menolong Rara di Kutub Selatan. Arez pernah bertemu dengannya. Dude, mau mengobrol sebentar?"

Kedua laki-laki itu segera hilang dari pandangan dan Rara langsung merasa rindu. Rawi merangsek maju memeluk sahabatnya sampai Andra terpaksa harus melepas genggamannya. "Raraaaa ... gue kangen."

Harus diakui, tindakan Rawi memang menyelamatkannya dengan begitu alami. Rara memeluk Rawi dengan segenap hatinya. Dia ingin bertanya bagaimana Trius ada di sini, tapi situasi tidak memungkinkan.

"Om, tante, kalau mau pulang atau makan malam, silakan ya. Ada Rawi di sini yang nemenin Rara." Rawi tersenyum manis.

"Lo juga, Ndra. Kalau ada meeting atau latihan apalah itu, nggak apa-apa. Biar Rara sama gue." Memang pintar perempuan ini. Dia bisa mengusir tanpa berkata kasar.

Akhirnya orangtua Rara dan Andra mengalah, mereka memilih untuk makan malam bersama sebelum pulang. Sementara Andra, yang memang ada latihan band terpaksa berpamitan. Meninggalkan Rawi dengan Rara adalah pilihan terbaik.

"Kenapa dia ada di sini?" bisik Rara ketika semua orang sudah keluar.

"Dia kan gantiin atasan lo buat ngetes obat yang baru dikembangin itu," ujar Rawi kalem.

"Mampus! Dia marah sama gue, Wi. Tadi kan Andra pegang-pegang tangan gue. Eh, ambilin antiseptik itu, dong. Geli gue abis dipegang-pegang." Rawi menghela napas.

"Kenapa sih lo nggak ngomong aja, Ra? Setiap orang kan berhak untuk memilih. Sampai kapan lo mau pura-pura?"

Ucapan Rawi hanya dibalas dengan gelengan kepala Rara. Sejak di Jakarta dia menjalani terapi dan kondisinya kian membaik. Benar kata Trius, udara hangat membantu mempercepat penyembuhannya.

"Rara, dengar ya. Sebagai sahabat lo yang baik, udah waktunya lo tentuin sikap. Mau menerima Andra atau tetap bersama Trius. Iya, gue tahu pilihan pertama yang gue sebutin itu berat dan lo trauma sama Andra. Tapi belakangan ini dia berubah kok gue lihat."

Andra memang terlihat berubah. Dia lebih gentle dan memperlakukan Rara dengan lembut meskipun gadis itu tetap tidak berani hanya berdua dengan Andra. Namun tetap saja, orang bilang hidup adalah tentang pilihan. Bagi Rara, itu adalah hal yang sangat sulit. Di satu sisi, dia ingin bersama Trius namun di sisi lain, dia tidak berani menentang keputusan orangtuanya.

Terdengar ketukan di pintu, mereka berdua mendongak bersamaan saat melihat Trius melangkah masuk. Rawi tersenyum lalu beranjak keluar menemui Kak Arez, memberi ruang pada Trius dan Rara untuk bicara. Aura dingin masih terasa pada diri laki-laki dengan rambut berantakan yang tersenyum canggung.

"Hai." Suara Rara nyaris pecah dalam rasa rindu yang besar. Laki-laki berkemeja biru di sampingnya tersenyum lalu menarik kursi ke samping tempat tidur dan duduk. Sepertinya suasana hati Trius membaik saat melihat tidak ada orang di sekitar mereka.

"Kamu sudah lebih baik, Ra?" Suara bariton Trius yang lembut membuat perut Rara bergolak. Dia ingin memeluk laki-laki beraroma aquatic di sampingnya.

"Ya. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa keluar dari sini." Suasana sedikit aneh ketika Trius tidak bicara sepatah kata pun.

"Aku sebaiknya pulang supaya kamu bisa istirahat. Kalau kamu sudah pulang, nanti akan kita rayakan ya." Mendengar ucapan itu, bibir Rara mengembang dalam senyuman.

Trius berdiri, mengelus rambutnya sejenak, mengirimkan jutaan volt listrik ke sekujur tubuhnya. Lalu senyum itu lenyap seiring hilangnya tubuh laki-laki yang dicintainya dari balik pintu.

"Lo minta maaf nggak sama Trius? Tadi kan pas dia masuk, Andra lagi pegang-pegang tangan lo." Rara memandang Rawi kaget. Mereka sedang menonton televisi sambil makan malam di kamar rawat Rara.

"Lupa gue."

Rawi menggeleng sambil mendecakkan lidah, dia sudah mengira akan begini. Kalau berhadapan dengan Trius, Rara seolah kehilangan akal sehatnya. Dia hanya menepuk bahu Rara, kembali meminta sahabatnya untuk memilih. Tidak ada gunanya bertahan dalam dua cinta.

Rara menghela napas, diraihnya ponsel dan mengirim pesan ke satu-satunya orang yang mampu membuat hidupnya jungkir balik. Dia menenangkan diri dan tersenyum ketika mendapat balasan dari Trius. Sejenak dia ingin menceritakan mimpi buruk yang baru saja dialaminya lalu keinginan itu menguap. Dia tidak mau merusak suasana.

Mother of God, Rara

Trius, hari ini aku akan pulang.
Jangan lupa janjinya ya.

Olaf Tundra Beku

Aku akan datang
Dimana alamatmu?

Sambil tersenyum Rara mengetik alamat apartemen Kak Arez. Kakaknya itu memang harus menabung bertahun-tahun untuk membeli apartemen, namun ketika dia meminjamnya, sang kakak langsung memberikan kunci tanpa banyak bertanya.

Pukul delapan malam, Trius datang membawa banyak bungkusan. Dia memasakkan teriyaki dan ebi tempura untuk makan malam. Rara sama sekali tidak menyangka Trius pandai memasak.

Untuk pertama kalinya mereka mengobrol dengan hangat seperti malam-malam saat di Kutub Selatan. Rara merasakan hatinya hangat dan mencair dalam cinta. Setelah makan malam, Trius mengajaknya duduk di sofa ruang duduk.

"Ra, kamu tahu, berat rasanya melihatmu dengan dia kemarin." Senyum langsung hilang dari bibir Rara.

"Kurasa ... setelah sampai di sini, bertemu dengan keluarga dan calon tunanganmu, aku harus bilang kalau ...."

"Stop! Jangan diterusin, Trius. Aku ..."

Trius mengulurkan tangannya dan membelai pipi Rara. "Aku pernah bilang kalau akan selalu mencintaimu, Ra. Itu benar. Seumur hidup aku akan selalu mencintaimu."

Air mata mengalir di pipi Rara. Rasanya ada sesuatu yang tidak beres. Hatinya terpilin dan dadanya terasa sesak. Mereka dekat, namun terasa jauh.

"Hanya saja, aku memilih untuk melepasmu. Ketika melihat kalian kemarin, kurasa memang kamu harus memilih keluarga. Aku melepasmu Rara, karena aku begitu mencintaimu. Jika kamu memilih dia untuk keluarga, aku akan selalu mendoakan kebahagianmu. You know Ra, sometimes, the best thing you can do for someone you love is let them go. And I let you go now. I set you free."

Ucapan itu begitu menusuk, menghujam dan mematahkan hati Rara. Dia masih terdiam ketika Trius berdiri, merengkuhnya dalam pelukan lalu mengecup dahinya lama. Lalu dia pergi. Membawa sepotong hati yang terluka. Rara terisak perih. Tubuhnya merosot ke lantai yang dingin.

Rasa pedih itu kian membuncah. Dia yang datang dalam badai es, menawarkan kehangatan lalu mencairkannya tanpa jejak. Terdengar rintik hujan yang menerpa jendela. Kemudian menderas seperti air mata yang mengalir. Mimpinya menjadi nyata dan harapan menghilang.

"Kuberikan seluruh hatiku, Trius. Hanya untuk melihatmu menghancurkannya tanpa sisa. Kamu bilang akan membebaskanku, tapi mengapa aku malah terpenjara dalam sosokmu?"

Dua part hari ini memang lebih panjang dari yang sebelumnya. Susah banget nulis tanpa mengucurkan air mata. 😭😭

Jangan lupa vomentnya ya kawan-kawan.

Dari author yang masih nggak rela.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro