5. Eyes to Eyes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah makan siang, Rara mengikuti pertemuan tim ekspedisi yang akan berangkat esok hari. Tangannya sibuk mencatat semua yang diperlukan sementara otaknya mengingat berbagai macam hal.

Mereka akan berkendara sekitar 400 mil ke arah Laut Ross menggunakan Snow Coach dan Tucker Sno-Cats. Keduanya adalah kendaraan yang dirancang khusus untuk medan bersalju dan es. Snow Coach yang akan membawa mereka adalah kendaraan untuk empat orang. Barang-barang untuk penelitian juga dibawa menggunakan kendaraan tersebut. Sedangkan Tucker Sno-Cats bisa membawa dua orang.

(Tucker Sno-Cats. Sumber: google)

(Snow Coach. Sumber: google)

Rara memperhatikan dua jenis kendaraan itu dengan jeri. Roda besi yang terpasang, terlihat sangat kokoh. Dia membantu Elaine untuk memasukkan barang-barang penelitian sebelum makan malam.

"Kendaraan ini sangat tangguh melintasi medan berat. Jangan khawatir!" seru Elaine riang.

"Aku jadi mau coba menaiki ini." Jemari ramping Rara yang tertutup sarung tangan mengelus Tucker Sno-Cats. Sesungguhnya kendaraan itu lebih mirip traktor ketimbang alat angkut manusia. Namun roda yang seperti tank itu kelihatannya lebih kokoh dibanding Snow Coach.

"Baiklah! Kamu bisa mencobanya besok." Elaine tersenyum melihat semangat Rara yang meluap-luap.

Sesudah makan malam, Profesor Nikijima memanggil Rara. Orang Jepang seumuran ayahnya dan masih terlihat bugar itu, memberinya beberapa daftar tambahan untuk data-data yang akan dibawa. Snow Coach sudah disulap sedemikian rupa sehingga memiliki lab kecil yang bisa digunakan dalam ekspedisi mereka.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Trius terdengar heran ketika melihat Rara keluar dari ruang kerja setelah menerima instruksi Profesor Nikijima.

"Profesor Nikijima memberiku beberapa daftar data yang harus dibawa besok." Sekuat tenaga gadis itu berusaha bersikap ramah. Dia tidak ingin suasana berantakan apalagi besok sudah harus berangkat dengan laki-laki bermanik gelap di hadapannya.

"Boleh kulihat? Kebetulan aku mencarimu untuk hal yang sama." Mendengar kata-kata Trius, alis mata Rara naik tanpa bisa ditahan. Orang ini kok bisa-bisanya juga bersikap ramah?

"Aku cuma nggak mau suasana berantakan, Ra. Jangan harap aku bisa terus-terusan ramah."

Rara mendengkus tidak suka. Sudah diduga, Trius pasti juga akan melakukan hal yang sama dengannya. "Begitu juga denganku. Bolehlah kita gencatan senjata sebentar untuk kelancaran ekspedisi."

Tanpa diduga, laki-laki bertubuh tinggi itu tertawa mendengar ucapannya. Sejenak Rara terpana saat melihat garis wajah tegas Trius yang biasanya dingin menjadi lebih rileks. Suara tawa itu menimbulkan gelenyar aneh di perut Rara.

"Baiklah! Kita akan gencatan senjata untuk sementara. Ngomong-ngomong nyalimu besar juga. Elaine tadi bilang kalau kamu mau menaiki Tucker Sno-Cats. Mudah-mudahan kita tidak berkelahi saat berkendara." Mata Rara mengerjap, berusaha mencerna apa maksud ucapan Trius. Sebelum dia berpikir lebih lanjut, mereka sudah memasuki ruang duduk dan laki-laki itu membuka laptop yang dibawanya.

Mereka berdiskusi untuk menyamakan data-data yang juga diminta oleh Profesor Nikijima. Trius tidak seperti prasangka Rara sebelumnya. Sebagai salah satu tim peneliti terpilih, laki-laki itu sangat kompeten. Dia tidak hanya cerdas, tapi juga terstruktur. Dalam waktu singkat, daftar data yang harus dibawa sudah selesai.

"Sampai besok. Selamat malam, Trius!" Rara sedikit membungkukkan badan saat dia pamit untuk kembali ke kamar. Raut wajah terkejut di wajah Trius terlihat sebentar sebelum dia mengucapkan hal yang sama sambil sedikit membungkukkan badan. Jelas, dia terdidik dalam budaya Jepang untuk menghormati orang lain. Meskipun entah mengapa dia selalu membuat Rara kesal.

Keesokan harinya cuaca musim panas ala Kutub Selatan menyambut mereka. Suhu di minus 23 derajat celcius. Tidak terlalu dingin, jadi Rara hanya mengenakan topi wol untuk menutup kepala. Seperti biasa, dia juga memakai dua sweater sebelum jaket luaran.

"Kamu hanya memakai itu?" Pertanyaan Trius otomatis membuat Rara menyentuh topinya.

"Aku membawa cadangan di dalam tas," sahut gadis itu lalu menuruni tangga South Pole Station. Hampir seluruh tim berdiri di halaman dan akan melepas mereka.

Setelah berpamitan dengan Profesor Ezra dan rekan-rekan yang lain, Rara langsung menaiki kendaraan yang sejak kemarin dipilihnya. Dia menoleh heran ketika melihat Trius ikut memanjat naik dan masuk.

"Kenapa kamu di sini?" tanya gadis itu heran.

"Memangnya kamu bisa mengendarai Tucker?" Mendengar ucapan Trius, perlahan gadis itu menggelengkan kepala. Sebuah pemahaman muncul begitu saja.

"Tutup mulut sebelum tenggorokanmu beku, Elsa."

Rara menoleh ke arah Snow Coach dan menatap Elaine yang melambaikan tangan dengan ceria. Ini pasti ulah wanita itu! Sekarang dia terjebak dalam kendaraan salju bersama dengan snowman. Penderitaan apa lagi yang bisa lebih besar dari ini?

"Aku tidak tahu kamu bisa mengendarai Tucker," ucap Rara begitu kendaraan mereka mulai melaju.

"Banyak yang tidak kamu ketahui, Elsa."

"Rara. Namaku Rara, bukan Elsa." Ini pasti akibat udara dingin. Seharusnya Rara tidak mencoba seakrab itu dengan Trius. Sebaliknya laki-laki di sampingnya tersenyum hangat dan membuat perutnya mulas.

"Aku tahu namamu Rara." Kata-kata Trius singkat, padat dan tidak seperti biasanya.

Gadis itu mengalihkan pandangan ke luar untuk meredakan gejolak aneh yang timbul dalam satu jam terakhir. Jadi inilah yang dimaksud Trius tadi malam bahwa dia berharap mereka tidak berkelahi saat sedang berkendara.

"Suhu sangat mengkhawatirkan belakangan ini," gumam suara di samping Rara.

"Berapa derajat sekarang?"

"22 derajat celcius." Trius bicara sambil menganggukkan kepala dan melirik thermometer yang memang ada di dalam kendaraan.

Rara ingat sekali, pernah ada satu musim panas dengan suhu 17 derajat celcius. Jika di belahan dunia lain, suhu tersebut disambut gembira, di sini kebalikannya. Musim panas dengan suhu tinggi bisa berakibat pencairan es yang lebih cepat lagi.

Tujuan mereka adalah Ross Ice Shelf, beting es di Laut Ross. Beting landai ini hanya berkisar dua persen dari luas Samudera Selatan, namun menjadi hunian bagi 38 persen penguin Adelie, 30 persen burung-burung laut khas Antartika dan sekitar enam persen dari populasi paus Minke Antartika. Itu belum termasuk jumlah populasi Krill, udang kecil seperti Krustasea Planktonik dari laut lepas.

Wilayah itu masuk ke dalam wilayah maritim terbesar di dunia yang dilindungi. Banyak peneliti yang datang ke Ross Ice Shelf untuk mempelajari ekosistem, lingkungan atau satwa yang tinggal di sana. Kali ini tugas Rara dan tim peneliti lainnya adalah mempelajari dampak pemanasan global terhadap suhu musim panas dan percepatan pencairan es. Selain itu, bagi Rara tugasnya bertambah satu, meyakinkan bahwa tidak ada virus purba yang ikut mencair.

"Menurutmu, apa yang akan terjadi jika es terus mencair dengan cepat?" Tanpa berpikir, gadis dengan rambut panjang gelap itu bertanya. Tatapannya jauh seolah merenungi apa yang telah dilakukan manusia pada Bumi yang mereka pijak.

"Cepat atau lambat akan ada peningkatan air laut, pulau-pulau terbenam, satwa kehilangan tempat tinggal lalu punah dan yang terburuk adalah musnahnya kehidupan manusia perlahan-lahan. Jangan lupa, peningkatan air laut hanya satu dari sekian banyak ancaman bencana." Trius menoleh sesaat dan pandangan mereka bertemu.

"Manusia memang mengerikan," desah Rara.

"Setidaknya kita di sini berjuang untuk mengumumkan pada dunia agar pemanasan global bisa dihentikan." Ucapan laki-laki itu disambut dengan anggukan kepala.

Mereka memang tidak berdaya menghadapi alam. Namun mereka bisa berbuat sesuatu sebelum kehidupan punah. Rara sungguh berharap mereka bisa mendapatkan sesuatu dari penelitian kali ini.

Kendaraan mulai memasuki wilayah beting es. Mereka berhenti di suatu tempat yang terlindungi dari angin lalu mulai menurunkan alat berat. Seperti biasa, kegiatan mereka adalah mengambil sampel es yang dalam.

"Awas!" Sebuah tangan besar menahan lengan Rara ketika dia terpeleset saat sedang mengulurkan kompartemen pada Profesor Nikijima.

Gadis itu mendongak dan menatap mata gelap yang balik melihatnya. Ada rasa khawatir terpercik di manik Trius tanpa bisa ditutupi. Sesaat rasanya dunia kembali membeku bersama dengan tarikan napas yang lupa dihembuskan Rara.

*

Hemm ...
Dia yang pegang lengan Rara, aku yang tersipu. Ahahaha 😁😁😅

Jangan lupa yaaa klik tanda bintang di kiri bawah dan tinggalkan komen. 😘😘

Love from Aurora

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro