7. With You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dulu Trius tidak percaya jika suara tawa bisa membuat seseorang terpaku dan terpana. Hari ini, dia seolah tersihir ketika melihat Rara tertawa lepas. Rasanya dia tidak bisa mengalihkan pandangan. Sementara gadis yang masih tertawa lepas itu tidak menyadari tatapan tajam laki-laki di sampingnya.

Belum sempat Trius berkata-kata, suara tawa Rara terhenti bersama dengan hembusan angin pertama datang. Wajah cantik Rara memucat saat pandangan mata mereka ke arah luar tertutup angin dan salju. Bagaimanapun ini adalah badai pertamanya. Trius juga menggeram tidak suka. Badai ini bisa merepotkan karena mereka tidak memprediksi kapan badai akan mereda. Tidak ada bahan makanan yang cukup untuk mereka berdua di sini. Sedangkan keluar dari kendaraan, bisa berarti membeku seketika.

Alat komunikasi yang ada di Tucker berbunyi. Terdengar suara Profesor Nikijima yang memerintahkan Trius untuk diam di tempat. Mereka menghentikan kendaraan sedemikian rupa supaya tidak terseret angin dengan kecepatan 308 km/jam.

"Pakai jaket tambahan dan tutup kepalamu lagi," perintah Trius pada gadis di sampingnya yang masih pucat.

"Tasku ada di Snow Coach," ujar Rara pelan.

"Apa?"

"Kamu menarikku tiba-tiba tadi, aku belum sempat mengambil tasku." Ada kilat ketakutan di wajah cantik itu.

Tidak membuang waktu, Trius memutar tubuhnya ke arah belakang Tucker lalu mengambil tasnya. Rara otomatis menahan napasnya ketika tubuh mereka berdekatan. Aroma ozonic dan aquatic yang maskulin menguar menggoda indera penciuman gadis itu.

"Pakai ini." Rara menghidu aroma sama dari mantel panjang dan tebal yang diberikan oleh Trius.

Diliriknya laki-laki yang hanya mengenakan jaket luar di atas sweater abu-abu. Pandangannya beralih ke thermometer, suhu terus turun. Sekarang sudah minus 27 derajat celcius. Jika suhu terus turun, Trius pasti akan kedinginan.

"Kenapa kamu mau jadi peneliti, Trius?" tanya Rara setelah hampir 30 menit hening. Raungan angin terdengar di luar sana. Gadis itu duduk menekuk lutut untuk menyimpan kehangatan.

"Serupa denganmu. Aku selalu ingin menolong kehidupan manusia. Tapi aku tidak punya kemampuan apa-apa selain otak, jadi kupilih profesi ini."

Rara memandang fitur wajah laki-laki di sampingnya lekat. Hidung bangir dengan garis wajah tegas. Kacamata bingkai hitamnya sudah dilepas, sehingga terlihat jelas alis yang tebal di atas manik berwarna gelap.

"Maaf," gumam Rara.

"Untuk apa?" Wajah Trius berpaling untuk melihat gadis berwajah pucat namun tetap terlihat cantik.

"Aku bilang kamu menyebalkan dalam bahasa Indonesia waktu itu. Kupikir kamu tidak akan paham." Kali ini giliran Rara yang terpana mendengar suara tawa Trius.

"Aku jadi ingat wajahmu malam itu, waktu kamu kaget karena aku mengerti apa yang kamu ucapkan. Sudahlah, lupakan semua." Mereka kembali terdiam, mendengar desau angin serupa dengan erangan yang menyayat hati.

Trius kembali mengecek barang bawaannya lalu mengeluarkan empat batang cokelat. Dia memberikan separuhnya pada Rara yang menatap tidak mengerti.

"Tidak ada bahan makanan di sini. Hanya ada cokelat. Makanlah jika kamu merasa lapar. Mudah-mudahan badai ini tidak lama," jelas Trius. Laki-laki itu kemudian mengutak-atik alat komunikasi

"Kamu suka tinggal di Jepang?" Entah kenapa Rara ingin tahu kehidupan peneliti muda terkenal yang saat ini sedang mengerutkan kening memandang alat komunikasi. Dia hanya tahu Trius tinggal di wilayah Kyushu.

"Ya, aku suka Kagoshima. Cuaca di sana cukup hangat dan dari jendela kamarku, gunung api Sakurajima terlihat. Kamu sendiri, bahagia tinggal di Jakarta? Kota itu selalu saja macet."

Rara tertawa mendengar ucapan Trius. Dibandingkan Kagoshima, Jakarta pasti terlihat hiruk pikuk. Padahal Kagoshima sendiri dikenal sebagai kembaran Napoli, sebuah kota indah di Italia.

Mereka mengobrol untuk menghabiskan waktu sambil mengulum cokelat. Rasanya sudah lama sekali Rara tidak mengobrol seperti ini dengan lawan jenis. Gadis itu tidak tahu berapa lama dia duduk menekuk lutut dan jatuh tertidur, namun ketika matanya terbuka dia menyadari sedang tertidur di bahu Trius. Laki-laki itu sedang memandang jauh ke luar kendaraan yang masih diselimuti angin dan salju. Sinar matahari samar-samar terlihat menembus badai.

"Ma-maaf aku sepertinya ketiduran." Gadis itu beringsut menjauh sementara Trius menoleh menatapnya.

"Tidak apa-apa."

Aneh rasanya melihat orang yang biasanya dingin dan tidak peduli, hari ini bersikap hangat. Rara melihat tubuh Trius sedikit gemetar. Dia melihat thermometer lalu berseru terkejut. Suhu minus 30 derajat celcius dan dia dengan enaknya tidur sementara Trius menahan dingin.

"Tidak apa-apa, Ra. Kamu saja yang pakai," tolak laki-laki itu saat Rara memaksanya memakai mantel panjang.

"Tapi kamu bisa sakit kalau begini, Trius." Pemanas dalam kendaraan mereka memang tidak bisa disetel maksimal untuk menghemat pemakaian karena mereka tidak tahu akan terjebak berapa lama. Laki-laki itu berpikir sesaat, lalu menerima mantel luar yang disodorkan Rara dan menyelubungi tubuhnya sendiri. Dia kemudian berputar dan menghadap gadis berambut panjang yang sedang menatapnya.

"Kamu tahu, kita harus berupaya sebaik mungkin untuk bertahan hidup?" Rara menganggukkan kepala, tidak paham kemana arah pembicaraan ini.

"Kemarilah. Kita akan memakai mantel ini bersama-sama untuk bertahan hidup." Sejenak mata gadis itu mengerjap tidak paham.

Tidak sabar, Trius menarik Rara mendekat lalu memeluknya sementara mantel menyelubungi mereka. Jarak dekat ini bisa membuat Rara mendengar detak jantung teratur milik laki-laki beraroma aquatic itu. Dia bisa merasakan wajahnya memerah dan harus berulangkali mengingatkan bahwa ini adalah cara untuk bertahan hidup dari rasa dingin. Tanpa sadar, Rara menggigil, bukan disebabkan udara dingin melainkan sensasi lain yang sulit dijabarkan.

Tangan Trius memeluk tubuh Rara dengan lembut, mencoba untuk tidak menyakiti gadis itu. "Kamu tahu, setidaknya saat ini aku merasa beruntung ada dalam Tucker bersamamu," gumam Trius.

"Kenapa?"

"Bayangkan jika aku harus memeluk laki-laki cerewet." Ucapan itu disambut derai tawa Rara. Dia mendongak dan menatap mata gelap yang seakan menelannya dalam ruang waktu. Tawa lenyap dalam sekejap. Rara bisa merasakan detak jantung Trius bertambah cepat, ketika tangan laki-laki itu terangkat dan mengusap wajahnya seperti semalam.

"Kamu kedinginan, Elsa?" bisik Trius.

"Tidak seperti kamu yang selalu dingin, Olaf." Senyum terbit di wajah tampan yang sekarang menundukkan kepalanya perlahan.

Rawi pernah bilang kalau Rara seperti Ratu Salju yang dingin. Dia tidak pernah berhubungan dekat dengan laki-laki. Sementara sahabatnya itu berganti-ganti pacar, Rara tetap lebih senang sendiri. Maka, ketika Trius menciumnya dengan lembut di tengah kecamuk badai angin dan es, gadis itu hanya bisa terpaku. Demitrius Fujikawa yang tidak pernah memiliki hubungan romantis dengan perempuan mana pun, menciumnya.

Ciuman sedingin es itu perlahan membuat kaki Rara lemas. Dia kaget sendiri ketika merasa badannya bertumpu sepenuhnya di tubuh kokoh Trius. "Tidurlah lagi. Aku akan membangunkanmu setelah badai reda."

Laki-laki itu kembali memeluk Rara dengan erat, seolah tidak rela jika kehangatan yang mereka bagi akan menghilang begitu saja. Sementara itu, dalam diri Rara ikut berkecamuk badai dengan berbagai macam perasaan yang tidak dia mengerti. Hanya dalam dua hari, seluruh hidupnya jungkir balik. Itu semua disebabkan oleh Demitrius Fujikawa yang dengan lancang menciumnya tanpa peringatan. 

"One day, Rara, a man will kiss you and you will find that breath is just a little consequence."

Rara mengingat ucapan Rawi yang bercerita tentang ciuman pertamanya, bertahun-tahun lalu. Sekarang dia baru sadar apa arti kalimat itu. Trius menciumnya dan dia mendapatkan lebih dari sekedar kesulitan bernapas, yaitu sakit kepala.

*

Nulis ini tuh baper sendiri. Hahaha. 😁😝

Deg-degan abis wkwkwkwk. Kamu gimana?

Jangan lupa klik tanda bintang di pojok kiri dan komen yaaaa.

Salam dari Aurora
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro