9. Closer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesuatu yang dingin menyentuh pipi Rara. Gadis itu menggeliat lalu bergumam, "Jangan iseng, Rawi."

Tiba-tiba saja matanya terbelalak saat sadar dia berada di Station dan tidak ada Rawi bersamanya. Apakah dia sedang ada di surga? Kenapa ada malaikat tampan yang menatapnya sambil tersenyum?

"Wake up, Princess." Suara itu! Rara lupa kalau Trius sudah memotong rambutnya.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Rara.

"Waktunya meeting dan kamu malah tertidur di ruang duduk? Profesional, dong!"

"Sial! Aku paling tidak suka nada meremehkan itu dan malah mengira Trius sebagai malaikat? Kesalahan fatal!" gerutu gadis itu dalam hati sambil duduk tegak, menyugar rambut dan langsung mengikatnya lalu berdiri.

"Ayo!" katanya pada Trius yang malah menatapnya tanpa berkedip. Dia langsung berbelok ke lorong sebelah kiri menuju laboratorium.

"Ra, ruang meeting di sebelah kanan." Kali ini Trius tidak repot-repot menutupi tawanya. Sementara Rara dengan wajah merah padam berjalan ke arah yang benar. Dia tidak mau membalas ucapan si snowman menyebalkan itu karena pasti akan semakin ditertawakan.

Hampir seluruh tim peneliti berkumpul di ruangan ini. Mereka sedang mendiskusikan temuan bakteri dan cara pengobatan yang bisa dilakukan. Rara menggumamkan permintaan maaf karena terlambat datang lalu duduk di sisi Profesor Ezra.

Seharian itu mereka membahas penelitian lebih lanjut terhadap bakteri yang diduga Bacillus Anthracis. Mereka akan mencoba melihat reaksi bakteri dengan antibiotik untuk pengobatan anthraks yang sudah dilakukan saat ini. Prosesnya terbilang cukup lama. Sementara itu, mereka akan mengirim beberapa tim lagi untuk pengambilan sampel di sisi lain gletser.

Ketika jam makan siang tiba, Profesor Nikijima berkata akan mengontak Station lain yang berada lebih dalam lagi di Kutub Selatan. Dia akan mencoba meminta Station itu untuk menurunkan tim peneliti juga. Sementara Profesor Ezra akan menghubungi beberapa ilmuwan lain yang tersebar di seluruh dunia. Elaine dan tim peneliti bawah laut juga berusaha untuk mengambil sampel lelehan gletser yang sudah mencapai laut.

"Sibuk, Ra?" tanya Mika ketika melihat wajah Rara yang hanya tersenyum masam untuk menjawab pertanyaan itu.

"Kemana Trius?"

"Dia sedang bersama Profesor Nikijima untuk bicara dengan Fukai Station." Mika menganggukkan kepala.

"Gimana hubungan kamu sama Trius?"

"Baik," jawab Rara singkat. Dia mengangkat satu alis ketika melihat Mika tertawa.

"Setidaknya kami sudah tidak berusaha baku hantam," gumam Rara lagi sementara Mika kembali tertawa menyetujui ucapan gadis di hadapannya yang mulai menyuap makanan. Sejenak mereka terdiam dan memusatkan perhatian pada makan siang.

"Hei, Mika! Gimana ceritanya kamu bisa kenal sama Trius?"

"Wah! Udah mulai tertarik, nih?" Mika ini menyebalkan sekali. Untung saja masakannya selalu enak, jadi Rara dengan senang hati memaafkannya.

Mika bercerita tentang restoran pertamanya di Jepang. Dia membuka restoran itu bersama teman-temannya. Profesor Nikijima adalah pelanggan tetapnya. Suatu hari, Profesor datang bersama Trius yang langsung menyukai rasa masakan Mika. Mereka mengobrol setelah restoran tutup dan sejak itu berteman baik. Meskipun setelah itu Mika pindah ke Australia, hubungan pertemanan mereka tetap berjalan.

"Dia teman yang menyenangkan meski hidupnya terkadang menyedihkan."

"Menyedihkan bagaimana?"

"Itu ... kamu harus tanya sendiri," sahut Mika sambil menganggukkan kepala ke arah belakang Rara dan tertawa. Chef itu berdiri dan melangkah meninggalkan Rara setelah menepuk pundak Trius.

Melihat wajah lelah laki-laki yang langsung menghempaskan diri sambil menghela napas itu membuat Rara terdiam. Dia hanya mengangsurkan secangkir teh hangat yang masih mengepulkan uap. Trius menghirup teh itu tanpa banyak berkata-kata kecuali gumaman terima kasih.

"Kenapa kamu nggak nanya-nanya?" tanya Trius setelah dia mengambil makan.

"Makan aja dulu," jawab Rara tersenyum. Dia sendiri sedang menyesap teh jahe yang khusus dibuatkan Mika. Kurang tidur menyebabkan badannya tidak enak.  Kondisi Trius juga pasti kurang tidur. Apalagi saat ekspedisi kemarin, dia terus menerus membawa Tucker. Ingatan tentang Tucker selalu membuat pipi Rara memerah, tidak terkecuali hari ini.

"Kamu demam? Pipi kamu merah, Ra." Tanpa peringatan, telapak tangan Trius yang dingin menyentuh dahi gadis yang sekarang semakin memerah wajahnya.

"Kamu yang bikin aku panas dingin," ujar Rara dalam hati.

Dia menepis tangan Trius sebelum wajahnya kembali membara dan jantungnya berdetak sepuluh kali lipat. "Nggak apa-apa. By the way, gimana hasil pembicaraan dengan Fukai Station?"

Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Trius dan selama lima belas menit berikutnya, Rara mendengarkan keputusan yang telah dibuat. Mereka akan mencoba untuk mengalihkan aliran gletser sementara mencari sumber bakteri. Profesor Nikijima juga berusaha untuk mendatangkan bantuan. Suhu sekarang stabil di angka minus 28 derajat celcius. Jika dalam tiga hari tidak ada halangan, akan ada tim tambahan yang datang untuk membuat konstruksi kolam sementara aliran gletser.

"Aku akan pergi ke Fukai Station. Ikut denganku, Ra?" Pertanyaan itu lebih mirip perintah.

"Aku harus bertanya dulu pada Profesor Ezra."

"Dia sudah setuju. Bersiaplah, princess. Besok kita akan berangkat pagi-pagi bersama dengan Dokter Edward dan Profesor Ezra." Senyum laki-laki itu terlihat sangat puas melihat ekspresi kaget Rara dengan mata membulat.

"Oh ya, Trius. Tadi aku sempat bicara dengan Rawi, sahabatku di Jakarta. Dia mengirimkan berita ini." Rara membuka tablet dan meminta Trius membacanya.

Berita itu tentang Laut di Siberia Timur terlihat mendidih akibat Methane yang terjebak dalam permafrost. Jika permafrost habis, gas yang setara dengan 28 kali lebih tinggi dari karbondioksida itu bisa lepas bebas ke udara. Kondisi ini bisa memperparah krisis iklim akibat pemanasan global.

"Aku akan mengontak teman-teman peneliti di Utara dan melaporkan apa yang terjadi juga sekarang di Selatan. Thanks for sharing, Rara," ucap Trius tersenyum lelah.

Setelah semua tim selesai makan siang, mereka kembali meeting untuk mendiskusikan rencana ekspedisi selanjutnya. South Pole Station akan bergabung dengan Fukai Station sehingga mereka perlu menghitung ulang pembagian tugas. Akan ada delapan orang yang berangkat ke Fukai termasuk dua teknisi. Dokter Edward akan ikut kali ini karena di Fukai kekurangan tenaga medis sedangkan di sini mereka memiliki tiga dokter.

"Jadi, kamu akan ikut ke sana?" tanya Mika saat malam itu Rara mendatanginya untuk membuat daftar ransum.

"Ya. Mika, aku butuh cokelat beberapa batang untuk berjaga-jaga." Mika terkekeh lalu memberikan beberapa batang cokelat, bubuk cokelat dan jahe.

"Aku tahu kamu suka jahe."

"Thank you, Mika. You're the best!" Wajah Rara berseri-seri sementara Mika masih menatapnya dengan geli. Tiba-tiba laki-laki itu terdiam seakan ingat sesuatu.

"Look, Rara. Sebelum kamu berangkat, aku harus memastikan sesuatu. Bagaimana hubunganmu dengan Trius?" Sekali ini Rara mendesah. Susah sekali mengalihkan perhatian Mika jika dia sudah bertanya.

"He kissed me once, okay? Oh, it's not that funny, Mika."

Mika tertawa lalu mengaduh ketika Rara memukul bahunya dengan gagang panci. "Rara, I ask you because there's something I want tell you. Di Fukai, ada seorang perempuan. Dia pernah dekat dengan Trius. Hey, aku bilang seperti ini sebagai teman ya. Kurasa itu sebabnya Trius mengajakmu. Dia tidak ingin kamu nantinya mendengar rumor saat kalian berjauhan."

"Demitrius Fujikawa pernah dekat dengan perempuan? Tapi dia kan begitu ... begitu ...." Rara lebih terkejut mendengar cerita kalau si snowman ternyata pernah dekat dengan perempuan.

"Begitu apa?"

"Begitu menyebalkan!" dengkus Rara sambil sekali lagi memukul bahu Mika yang terus menggodanya sepanjang mereka bekerja.

Sisa malam itu, dia menghabiskan waktu dengan melamun dan bertukar pesan dengan Rawi. Sempat juga dia menelepon kakaknya untuk memberi kabar. Setidaknya Ezra, sang Kakak lebih masuk akal ketimbang kedua orangtuanya.

Aurora Australis turun lagi malam itu. Meskipun cahayanya tidak terlalu jelas karena matahari masih bersinar. Terkadang Rara merasa aneh karena cahaya matahari terus bersinar sepanjang hari. Namun lama kelamaan dia terbiasa.

"Nggak perlu ngelamunin aku." Rara mendongak ketika sebuah mug berisi susu jahe yang masih mengepulkan uap disodorkan oleh sosok tinggi tampan.

"Kamu kayaknya kelebihan rasa percaya diri," cibir Rara namun tangannya menerima mug dan menyesap isinya dengan nikmat. Trius tertawa lalu ikut duduk. Di tangan laki-laki itu ada secangkir kopi yang juga masih mengepulkan uap.

"Aku senang kamu besok ikut," ucap Trius tiba-tiba sampai Rara tersedak.

"Ya ampun, Rara! Kenapa kamu bisa tersedak sih?" Telapak tangan yang besar itu menepuk punggung Rara perlahan. Bagaimana dia tidak tersedak, sampai kapan laki-laki dengan sweater putih di sampingnya bersikap seperti ini? Terkadang manis, terkadang menyebalkan.

"Kamu aneh! Dulu waktu pertama kita datang ke sini, kamu bersikap seolah-olah membenciku. Sekarang kamu terus bersikap manis. Aku tidak habis pikir ke-"

Kalimat Rara tenggelam ketika Trius tiba-tiba merengkuh kepalanya lembut lalu menciumnya. Sekali lagi dunia seakan berhenti berputar dan butiran waktu membeku. Rara bisa merasakan sweater yang dikenakannya seolah membesar sementara dia mencair seperti cokelat hangat di mug dalam genggamannya.

*

Haiii Ayas datang pagi-pagi supaya kamu bisa baca cerita ini pas lagi di jalan mau kerja, atau pas leyeh-leyeh pagi hari setelah ujian semesteran.

Baper? Jangan kuatir, tunggu kebaperan yang lebih dahsyat nanti malam. 😝😝😝

Jangan lupa voment yaaaaa.

Happy reading dari Aurora,
Love
Ayas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro