5. Ørken

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu daerah dalam semalam berubah menjadi gurun pasir. Tak ada yang tahu penyebabnya, tetapi mereka yakin sehari sebelum kejadian itu berlangsung, cahaya terang sinari langit.

Setelah cahaya tersebut, tak ada yang ingat apa pun sampai mereka terbangun hari ini. Panik? Tentu saja. Siapa yang tak cemas kala lihat tempat mereka tinggal berubah menjadi lautan pasir?

Pasokan air mulai menipis sehari sesudah kejadian, pemerintah segera turun tangan mengurangi jatah. Namun, bukannya menaati, mereka malah berontak. Mengatakan bahwa pemerintah sengaja melakukan hal tersebut untuk memehkan tangki air di rumah petinggi masing-masing.

Tak hanya air, makanan pun mulai tak ada. Semakin banyak yang kelaparan dan tak ayal melakukan hal keji seperti mencuri pasokan makanan.

Satu daerah hancur, dan seminggu kemudian tersiar kabar daerah sebelah juga mengalami hal serupa. Lambat laun, seluruh dunia berubah menjadi pasir.

Para peneliti tak menemukan apapun, mereka pada akhirnya angkat tangan.

"Mungkin, inilah takdir yang digariskan kepada para manusia." Ucapan pemimpin peneliti itu membuat harapan yang masih ada di hati lenyap.

Distopia terjadi, tak ada manusia dengan moral baik. Semuanya lebih mementingkan ego ketimbang hal-hal bajik. Gila dan yang pasti ... ingin semua mimpi buruk ini berhenti.

****

Berlari dengan sekuat tenaga, menerobos orang banyak yang sedang bergerombol. Hine menoleh kebelakang sembari menjulurkan lidah. Mengejek lelaki gemuk yang sedang memandangnya bengis sembari atur deru napasnya sendiri.

Tawanya seketika keluar kala tak terkejar oleh lelaki itu. Dan segera, ia membaur dengan kerumunan. Bersikap seolah tak melakukan hal apapun.

Sesekali, tangannya dengan gesit masuk dari satu kantong ke kantong lain. Mengeluarkan koin perak atau bila beruntung mendapatkan satu koin emas.

Setidaknya, ia tidak akan kelaparan dalam beberapa hari ke depan. Begitulah batinnya. Matahari bersinar terang, tetapi para manusia di bawahnya tak rasakan panas apapun. Hah, tentu saja. Karena itu bukan matahari yang nyata.

Jika kalian bertanya-tanya kenapa bisa terjadi, kejadian bumi menjadi gurun pasir dalam sebulan adalah jawabannya.

Ketika semua menjadi kacau, seluruh pemerintah di belahan dunia berkerja sama dengan para peneliti sekali lagi untuk mencari solusi agar umat manusia bisa hidup.

Dan akhirnya, mereka menemukan solusinya setelah lima tahun berlalu. Mereka mendirikan tembok-tembok transparan namun cukup kuat untuk menghalau badai pasir.

Ada barang, ada harga. Dan tak main-main, selama pembangunan itu terjadi, banyak orang yang harus merenggang nyawa karena dehidrasi ketika membangun tembok itu.

Pemerintah tak memberikan mereka makan dan minum yang cukup, karena memang mereka tak punya apapun untuk diberikan. Pasalnya air yang ada lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan penanaman tumbunan hidroponik.

Manusia bukan hanya perlu perlindungan, mereka juga perlukan makanan.

Makanya, sampai sekarang, tembok yang tegak berdiri di sana dinamai dengan tembok berdarah.

****

Sepi menyapa kala Hine masuk ke rumah berbahan kayu yang sudah reot tersebut. Gadis itu duduk bersila di satu-satunya tikar, melepas lelah yang menyerang kala melaksanakan aksinya.

"Hei, dapat berapa kau?" Sebuah suara familiar masuk ke telinganya. Gadis itu menolehkan kepala, mendapati anak seusianya sedang cengir kuda ke arahnya.

"Tak banyak, hanya berapa keping perak," jawabnya kemudian. Anak seusianya itu ikut duduk di samping Hine, membuatnya sedikit risih namun terlalu malas menegur.

"Ya, itu lebih baik daripada tidak sama sekali." Tangannya usap kepala Hine pelan, tetapi segera ditepis oleh gadis tersebut.

"Apaan _sih_? Kau bertingkah aneh, Yun." Mata Hine melirik Yun, tetapi anak lelaki di sampingnya itu bergeming. Membuat Hine sedikit merasa aneh.

"Aku memimpikan Neverland." Ucapan tiba-tiba dari Yun membuat Hine bergidik. Apa maksudnya? Bukankah seharusnya anak seperti mereka tak pernah memimpikan hal macam itu?

Sama seperti cerita Peterpan, Neverland adalah negeri penuh damai. Tak ada yang namanya kekacauan seperti yang mereka alami sekarang. Negeri yang hanya akan membuka pintunya untuk anak-anak terpilih.

Tetapi ... kenapa harus Yun? Kenapa harus orang yang sangat dekat dengannya? Dan kenapa ia tak memimpikan hal serupa?

Perasaan sesak mulai muncul, ia tak ingin berpisah dari Yun. Anak laki-laki itulah sahabatnya. Jika Yun pergi, Hine akan sendiri. Dan gadis itu tak suka sendirian.

"Jadi, kamu akan pergi saat pintunya terbuka?" tanya Hine berusaha acuh tak acuh. Namun, bukan Yun namanya jika ia tak menangkap ada sedikit nada sedih dari pertanyaan Hine.

"Entahlah, bisa saja itu hanya mimpi biasa." Matanya menerawang ke depan. Sesuatu yang bercahaya mulai muncul di ruang kosong depannya.

"Tapi kan-!" Belum sempat berucap, lingkaran sewarna langit muncul di hadapan mereka. Membuat baik Hine dan Yun terkejut. Keduanya saling pandang, menanyakan ada apa namun tak mendapati jawaban apapun.

Sebuah tangan tak kasat mata mendorong mereka maju, kemudian dalam hitungan detik mereka masuk ke dalam lingkaran tersebut dengan jeritan yang menjadi salam perpisahan kepada dunia pasir.

****

Kicauan burung terdengar dari kejauhan, walau begitu bunyinya cukup bergema sehingga Hine bangun dari lelapnya.

Mata sewarna lautan itu terbuka, mendapati sebuah wajah asing dengan topi hijau. Refleks, tangan gadis itu segera terangkat dan mendorong ... ah, lebih tepatnya menampar seseorang itu. Membuatnya mengadu karena ternyata tangan Hine cukup pedas.

"Siapa?" Hine tak menyia-nyiakan kesempatan. Gadis itu segera ambil batu tak jauh darinya. Diacungkannya batu itu, bersiap melempar jika anak lelaki dihadapannya ini akan melakukan hal tak baik.

"Ah, aku? Kamu tak kenal aku?" Seakan tak percaya ada yang tidak mengenalnya, ia terbahak. Membuatnta tersedak sejenak. Setelah batuk-batuk, akhirnya ia berniat melanjutkan ucapannya.

"Kenal Peterpan?" tanyanya kemudian dihadiahi oleh gelengan kuat. Anak usia tiga belas tahun itu membuang napasnya. Bisa-bisanya ada yang tak kenal dengan dirinya.

"Dengar, namaku Peterpan. Dan aku adalah penguasa di Neverland." Hine melotot, tak menduga bahwa mereka terpental ke Neverland.

"Neverland! Neverland yang itu?" tanyanya sekali lagi. Membuat anak lelaki tersebut mengangguk lagi.

Setelah cukup lama, ia menoleh kanan-kiri. Namun, tak mendapati Yun ada di sana

"Di mana Yun?!" tanyanya dengan satu oktaf suara yang naik.

"Ah, lelaki dengan rambut hitam." Peterpan mengingat Yun, membuat Hine menunggu dengan harap-harap cemas. "Dia ada di rumah besar," jawabannya membuat Hine bernapas lega. Syukurlah, Yun tak kenapa-kenapa.

"Kalau begitu, ayo ke rumah besar." Dengan lancangnya, Hine mengajaknya. Membuat Peterpan terdiam sejenak sebelum berlalu tak ambil pusing.

****

Hari-hari berlalu dengan cepat. Hine semangat ketika diadakan tur keliling dua hari lalu. Ia bisa melihat pohon-pohon yang dulunya ada di bumi. Neverland bukan termasuk bumi, tak ada yang tahu di mana keberadaannya selain mereka sendiri.

Namun, bukan berarti tak ada manusia jahat. Kapten Hook ada di bagian selatan Neverland. Memperhatikan keasrian Neverland dan berniat mengirimkannya ke bumi kemudian mendapat uang banyak.

Tak ayal, Kapten Hook selalu melemparkan serangan. Membuat mereka harus mengadakan pertempuran kecil-kecilan yang lebih sering di menangkan oleh Peterpan dan kawan-kawan. Mereka ada peri ajaib, tentu saja menang. Lagipula, otak Peterpan juga cerdas, anak lelaki itu selalu mengatur strategi dengan rapi.

Bukankah ada peribahasa.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh juga? Dan itulah yang dialami oleh mereka semua dua hari kemudian.

Tembakan bom yang diyakini bukan bom yang biasa Kapten Hook pakai menggemparkan tempat kepemimpinan Peter.

Semuanya segera mengatur stategi, tetapi kurang cepat dibanding Kapten Hook. Dan dalam sekejap, wilayah kekuasaan Peter berubah menjadi lahan bekas bakaran.

Semua terkepung, termasuk Hine dan Yun yang ditugaskan untuk meminta bantuan dari sisi Neverland lain. Dengan beringasnya, Kapten tebaskan pedang ke setiap dada anak-anak yang menjadi teman seperjuangan Peter. Membuat Peter meraung-raung. Namun, tak ada guna. Ia tak memiliki tenaga apapun lagi selain berontak tak ada guna.

Pada akhirnya, hanya tersisa Hine, Yun, dan Peter.

"Ah, kamu anak yang membantuku 'kan?" Ucapan Kapten Hook membuat Hine dan Peter memelototkan mata, memandang tak percaya kepada Yun. Kenapa? Kenapa ia membantu musuh?

Memori Hine berputar ke beberapa hari sebelum sekarang, saat di mana Yun suka pulang terlambat dan beralasan sedang jalan-jalan. Apa ... saat itu, ia membantu Kapten Hook?

"Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Hine. Gadis itu hancur, tak menduga bahwa Yun yang ia anggap layaknya keluarga menghianati mereka semua.

"Maaf," jawabnya kemudian bangkit dan berlalu tanpa menoleh sedikit pun kepada mereka.

"Bagaimana rasanya saat teman mengkhianati kalian?" Kapten Hook tersenyum sinis, ia puas melihat wajah nelangsa mereka saat tahu ada musuh dalam selimut.

"Nah! Sekarang, giliranmu gadis cilik." Ucapannya membuat Hine terlonjak kaget. Ia mundur, menghindari sebanyak mungkin tebasan main-main dari Kapten Hook, pria dengan sebelah tangan berbentuk pengait tertawa senang. Seakan-akan memang mengharapkan perlawanan dari Hine.

Pada akhirnya, walau Hine mengelak dengan sengit bilah tajam itu menembus tubuh. Darah tercetak jelas di baju warna putih miliknya. Lengkap dengan dia yang terbatuk sembari mengeluarkan darah.

Ah, ini akhir hidupnya.

Diliriknya Peter yang kembali meraung. Dari sudut mata Hine, cairan bening mulai terjun bebas. Senyum terpatri di wajah putih Hine yang semakin pucat kala kekurangan darah.

"Maaf, Peter." Dan setelah itu gelap menyambutnya dengan tangan terbuka.

***

"Ah!" Matanya terbuka lebar, napas tak beraturan bak lari marathon. Hine terbangun dengan posisi tertidur. Atap di atasnya berbahan tripleks lengkap dengan warna putih. Sesuatu yang empuk menjadi alasnya berguling sekarang.

"Di mana ...?" lirihnya sembari melihat sekeliling. Nakas ada di samping kanannya, lengkap dengan segelas air putih. Langsung saja, gadis itu menenggak isinya sampai tandas.

Dahaga hilang, dan rasa heran masih menghantuinya. Bukankah ia seharusnya meninggal? Namun kenapa ia tertidur di kamar bagus seperti ini?

Segera, tanpa menunggu aba-aba lagi, ia keluar dari kamar. Menelusuri lorong hingga sampai ke ujung tangga.

Setelah turun tangga, dirinya mendapati seorang wanita paruh baya sedang duduk menonton tv dengan dua anak lelaki di samping kanan kirinya.

"Ah, Hine. Bangun juga kamu," sapa wanita paruh baya itu sembari tersenyum lebar. Dua anak lelaki di sampingnya tolehkan kepala setelah mengetahui ada Hine di sana.

"Peter dan Yun menunggumu bermain sejak tadi, tapi kamunya malah tidur dan tak bisa dibangunkan. Jadinya, kami menunggumu bangun." Jelas ibunya sembari tetap memandang layar. Melihat gosip terpanas tentang dunia para artis.

Masih dalam kebingungan, Hine tak mengerti situasinya. Kenapa Yun dan Peter baik-baik saja?

"Bukankah aku sudah mati, Yun berkhianat dan Peter menderita?" pertanyaan tak terduga dari Hine membuat semua yang mendengarnya tertawa.

"Kamu masih tak sadar sepenuhnya ya, Hine?" Pertanyaan dari Yun segera disambut oleh gelak tawa semua orang, kecuali Hine tentunya.

"Sudah, Yun, sudah. Lihat, muka Hine sudah memerah." Peter menengahi, membuat Yun segera terdiam. Dengan langkah seribu, gadis cilik itu duduk di kursi kosong.

Mengabaikan Yun yang memohon maaf padanya karena sudah kelewatan.

Yah, mungkin saja semua yang Hine alami adalah mimpi. Buktinya, semua orang baik-baik saja.

Namun, semua itu terhenti kala matanya lirik bekas luka di dahi Peter. Posisi yang sama persis seperti tebasan dari Kapten Hook. Jadi, ini mimpi atau bukan?

****

A/N : Kakak, jangan timpuk aku ya ....//kabooor

End
Penulis
Catrella2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro