→ Ayato Sakamaki

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayato Sakamaki as Your Boyfriend
Diabolik Lovers

Character owns ©Shinobu Tagashira
Point ideas ©@meow.otaku
Story ideas ©liziaslavk

[OOS, OOC]

###

If Ayato as your boyfriend, he will...

Feel in Love With You Because You don't Always Let Him Have His Way

Kamu di sini. Di depan sebuah mansion besar yang nampak suram dengan pintu gerbang besar yang seolah menakutimu. Hujan deras mengeroyokimu. Membuat seluruh bajumu basah sampai ke dalam. Bahkan pohon rindang yang menjadi sandaranmu ini tidak membantu sama sekali.

Mendekap tubuh sendiri. Kakimu terlihat gemetar. Tidak. Seluruh badanmu juga. Tanda menggigil. Mengingat sudah cukup lama kau berdiri di bawah pohon untuk meneduh tapi tak tertolong juga. Bahkan kini pandanganmu melayu.

!?

---namun tiba-tiba saja, matamu membulat. Merasakan kehadiran seseorang yang setipis manusia berambut biru dari anime sebelah.

Langsung saja kau mendongak. Kilat terang menyambar pemandanganmu. Menerangi sesosok pemuda yang terlihat basah kuyup sama sepertimu. Pandangannya sayu dan terlihat kosong. Kilatan matanya bahkan terlihat remang. Sekilas, membuatmu merinding melihatnya.

Pemuda berambut ungu itu memandangmu lurus dan kosong. Dalam pelukannya terdapat sebuah boneka beruang berwarna cokelat yang ikut basah----tidak. Si Pemuda terlihat melindungi kepala boneka beruang itu walau tak memberi efek apa-apa.

Dalam ramainya suara hujan yang turun, untunglah kamu masih dapat mendengar suara lain.

"Teddy, lihat. Dia seperti anak ayam diambang kematian."

Kamu yakin. Pemuda yang berada di hadapanmu ini lah yang mengeluarkan kalimat tersebut. Karena selain tidak adanya orang lain selain kalian berdua, kamu dapat melihat mulut pemuda itu bergerak kecil.

Detik berikutnya, kamu malah dapat melihat pemuda itu melangkah mendekatimu. Membuatmu makin merapatkan punggungmu pada pohon di belakangmu. Takut pada pandangannya yang ditunjukannya padamu.

Masih menyisakan jarak, pemuda itu berhenti. Lalu berbicara. Suaranya kini terdengar jelas olehmu, "Teddy benar. Kau lebih baik mati di dalam dari pada di sini."

"Masuklah."

Dengan sambutan kilatan, pemuda itu menghilang. Membuatmu seketika mempunyai tenaga lagi untuk sekadar menggerakan kepalamu menelusuri ke mana pemuda itu dengan gelisah. Kemudian, di saat itu pula kau kembali terlonjak kaget.

----gerbang besar di hadapanmu tiba-tiba saja terbuka. Menimbulkan suara decitan khas besi. Kamu menatapnya nanar.

...pemuda tadi itu---apakah ia mengundangmu masuk ke dalam mansionnya ini?

Masih statis. Namun pikiranmu merumit. Haruskah kau masuk untuk sekadar meneduh? Atau tetap berdiri di sini menunggu kematianmu?

Tentulah kamu menolak opsi keduamu itu. Maka dari itu, dengan tertatih akibat gemetaran, kau melangkah memasuki gerbang tersebut. Memutuskan untuk menerima undangannya dan berteduh di bawah teras mansion.

...namun rasanya, suasana mansion ini sedingin badanmu saat ini. Taman yang luas ini, terasa tak segar. Padahal rumput hijau menghampar. Merah mawar menyala terang. Dan mawar putih terasa hampa.

Kembali menunduk. Kau memutuskan untuk menghiraukan segala pikiranmu itu. Yang terpenting satu; kau bisa berteduh menunggu hujan yang sepertinya tak akan pernah berhenti ini.

Kilat kembali menyambar begitu sampai di depan teras. Meredam suara ceklekan pintu yang terbuka. Menyisakan suara derit kayu sebagai tanda selamat datang. Pintu itu lagi-lagi terbuka sendiri.

Lalu, haruskah kau masuk ke dalam?

Pemikiran di dalam mungkin ada sebuah api unggun hangat membuatmu kembali melangkah untuk menembus pintu.

Namun senyap. Kau merasa tak ada bedanya di luar dan di dalam. Suasana mansion hangat tak tergambarkan dalam mansion ini. Dingin dan begitu mencekam. Tua dan begitu misterius. Itulah gambaranmu begitu tau dalam dari mansion ini.

Dari sini, kau dapat melihat banyak lorong. Ada satu di depanmu, di samping kananmu, dan ada satu lagi di samping kirimu. Lalu di mana tuan rumah berambut ungu yang tadi? Bukankah seharusnya ia menyambut tamu yang sudah di undangnya?

Ceklek!

"!?"

Kamu sontak berbalik ke belakang. Ternyata pintu di belakangmu tertutup. Gema suaranya saling menyahut dalam ketiga lorong tersebut. Memberi bukti bahwa mansion ini kosong.

Benarkah pemuda tadi menawarkanmu untuk masuk ke sini?

Dalam keheningan tersebut. Sensor perasamu kembali menegang. Begitu berbalik, kau telah mendapati pemuda berambut ungu itu berdiri pada lorong besar di hadapanmu. Bajunya masih basah. Kau bahkan bisa melihat tempat berdirinya di penuhi air. Seperti sudah berdiri lama di sana.

"...aku tidak punya handuk."

"...tapi kau bisa pakai perapian di ruang tengah----kata Teddy."

Dengan itu pemuda berambut ungu tersebut berbalik. Dia seolah memimpinmu untuk mengikutinya. Berjalan menembus remangnya lorong di hadapanmu.

Melihat itu---lagi-lagi kakimu bergerak tanpa memikirkan sebuah ancaman. Dengan gemetar kakimu itu berani menapaki mansion ini jauh lebih dalam. Atensimu meluas. Menjelajahi isi dari lorong ini. Sepi saja. Tak ada lukisan. Hanya tertempel lampu remang di setiap dindingnya.

Cklek-----

----krieeet.

Lagi-lagi decitan pintu berhasil mengagetkanmu. Kali ini ternyata berasa dari duah buah daun pintu besar yang ada di hadapanmu.

---dengan pemuda berambut ungu iu yang kembali menghilang.

Kau mengedarkan pandangan. Barangkali pemuda itu tertinggal di belakang. Tidak ada. Lorong yang kau tinggalkan itu sepi mencekam.

...lalu mungkin saja pemuda itu sudah masuk ke dalam pintu ini?

Dengan itu kau kembali melangkah masuk. Pintunya kembali menutup tanpa kau tutup. Mungkin dalam keadaanmu yang biasa, kau akan merutuki pintu ini yang berkali-kali berhasil membuatmu terlonjak. Namun dalam keadaanmu yang seperti ini, memekik pun tak sanggup. Gigimu menahan kuat gemeletukan menggigil akibat suhu tubuhmu.

Satu set sofa normal ada di dalam ruangan ini. Dengan satu vas bunga sepi di atas mejanya. Perapian tepat di depan sofa itu. Membuatmu kembali melangkah mendekat.

Tak memilih duduk di sofa. Kau malah memilih untuk berdiri tepat di depan perapian. Tentu. Sofa orang lain mungkin saja akan ikut basah jika kau duduk di atasnya. Dan lagi----perapian adalah yang terpenting untukmu sekarang.

Lain dengan suasana mansion ini. Perapian membuatmu dapat merasakan kehangatan. Suhu tubuhmu perlahan menaik akibat perapian yang cukup besar ini. Membuatmu seperti mendapatkan kembali kesempatan untuk hidup.

Dalam keadaan saraf tubuhmu yang membaik, kau dapat merasakan lagi hawa keberadaan seseorang. Kali ini nampak lebih pekat. Sontak kau menoleh ke belakang.

Bukan.

Bukan pemuda berambut ungu yang mengundangmu masuk tadi. Kini yang berada di belakangmu adalah dua orang pemuda berambut merah. Yang memakai topi sedang duduk di salah satu sofa. Sementara yang tidak memakai topi berdiri tak jauh di belakangmu.

----dan entah kenapa mereka berdua tampak tersenyum miring. Menyeringai.

"Oh? Ini yang berhasil dibawa Kanato? 'Anak ayam' yang hampir mati katanya."

Laki-laki yang memakai topi itu berbicara. Kau tak mengerti. Namun setidaknya kau tau. Pemuda berambut ungu yang mengundangmu masuk mungkin bernama Kanato.

Kau kemudian berbalik. Lalu mendapati laki-laki yang kini menjadi di hadapanmu itu berbicara, "...tampak tak menggugah. Untukmu saja."

Apa maksudnya? Mungkin itulah yang kini memenuhi pikiranmu. Akalmu juga menepis jauh pemikiran yang mungkin saja mansion ini adalah sarangnya mafia-mafia jahat.

"Mnn----yah. Aku terima saja asalkan dia gadis yang manis. Lagipula aku memang sangat haus," pemuda yang duduk di atas sofa itu kemudian beranjak menghampirimu. Sementara pemuda yang tadi berdiri kini malah memilih untuk duduk di atas sofa.

"A-apa..."

Kau yang sudah mendapatkan kembali suhu hangatmu, setidaknya kini dapat mengeluarkan suara. Walau masih terpatah.

Sosok pemuda memakai topi itu berhenti tepat di hadapanmu. Kau sendiri sudah menempatkan kaki kirimu di belakang kaki kananmu---tadinya kau berniat untuk mundur.

Kamu melihatnya. Mata pemuda itu menyipit dikarenakan senyum yang saat ini ia tunjukan.

"Tidak apa, Gadis Manis. Apa kau mau ke kamar untuk mengeringkan rambutmu?" tawarnya.

...kau merasa itu bukanlah tawaran yang baik.

Oleh karena itu, kau pun menggeleng.

Membuat salah satu alis di hadapanmu menaik. Pemuda itu meluruskan kembali lengkungan di bibirnya. Melangkah lagi mendekati dirimu, kau pun mulai melangkah mundur. Kemudian pemuda itu berhenti lagi begitu jaraknya denganmu tidak terpaut tiga puluh sentimeter. Mencondongkan tubuhnya, salah satu tangan pemuda itu begerak ke arah lehermu. Meraih helaian rambut basahmu.

"...kau yakin tidak mau ini kering lebih cepat?" ucapnya lagi.

Kau lagi-lagi menggeleng. Membuat beberapa air turun mengalir ke lehermu.

Pemuda itu melihatnya. Air itu turun ke bawah bajumu. Dengan itu tangannya kembali bergerak. Kini menyentuh bahu basahmu.

Kau terlonjak begitu kulit lain menggesek kulitmu. Terlebih----rasanya dingin seperti suhu tubuhmu sebelumnya. Namun bedanya, pemuda itu tidak terlihat basah ataupun kedinginan sepertimu. Dia kering. Bahkan walau di hadapannya ada sebuah perapian, rasa dingin pada kulitnya masih saja terasa kontras.

Manikmu melirik tangan pemuda itu yang mulai mengusap bahu serta lehermu lembut. Dan ketika manikmu kembali menatap ke depan, kau dapat melihat kepala pemuda itu mendekat. Ke arah lehermu. Matanya memandang lehermu sayu. Dengan mulut yang terbuka.

----menampilkan taring lancipnya.

"!?"

Sontak saja kau langsung menepis tangan yang masih menggantung di bahumu. Kau kabur. Untunglah tenagamu sudah memulih sedikit. Selain itu----ketakutan dalam hatimu, membuatmu mengeluarkan tenaga daruratmu. Menuju pintu sebelumnya, kau meraih gagang pintu tersebut. Menariknya agar terbuka sambil melirik laki-laki yang masih terdiam di tempat sambil memandangimu dingin.

...sayangnya sebelum kau berhasil keluar dari ruangan ini----kau tidak menyadari bahwa pemuda tanpa topi sudah tidak ada dalam ruangan itu lebih dulu.

Lari menembus lorong remang. Itulah yang kau lakukan. Untung saja kau masih mengingat bahwa jalan untuk keluar hanya tinggal lurus saja sampai bertemu pintu keluar. Seharusnya sudah sedari awal kamu merasa curiga dengan mansion ini. Dinginlah yang membuatmu bodoh. Dan terobsesi terhadap kehangan yang membuatmu tak menggunakan pikiranmu untuk merasa was-was.

Langsung kau kembali gagang pintu leluar ketika telah berhasil kau dapatkan. Hanya saja----sekuat apapun kau menariknya. Pintu itu tak bergerak sama sekali. Mencoba daun pintu satunya lagi pun tak ada gunanya. Pintu ini seperti terkunci.

Slam!

Kau menoleh nanar. Dan mendapati pemuda yang memakai topi itu sudah berada di ujung lorong sana. Matanya menyala. Membuatmu diliputi rasa takut yang cukup pekat melihatnya.

Lalu ketika pemuda itu mulai kembali melangkah, kau tanpa pikir panjang berlari ke arah lorong sebelah kanan. Rencanamu adalah; keluar lewat jendela.

Namun sebanyak apapun jendela yang kau lewati, kau tidak sama sekali mendapati suatu celah. Akhirnya memutuskan untuk terus berlari menelusuri lorong ini, kau menyadari, bahwa di depan jendela-jendela tersebut ada banyak pintu tertutup.

Kau tidak perduli. Kau yakin mansion seluas ini tidak hanya memiliki satu pintu keluar. Maka dari itu kau tetap percaya diri untuk terus berlari.

Hingga sampai ujung lorong tersebut, matamu melebar. Ruangan ini seperti ruangan yang tadi. Dengan pintu keluar yang masih tertutup rapat. Dan satu lorong di sebelah kanan yang menjadi pilihanmu tadi. Kau seperti----kembali ke sini melewati lorong sebelah kiri.

...hanya saja. Lorong yang paling besar di hadapan pintu keluar itu, kini terdapat dua buah tangga di sisi kiri dan kanannya.

Ini bukan tempat yang tadi.

Langsung saja kau meraih kedua gagang daun pintu tersebut. Mungkin saja ini adalah pintu keluar yang lain. Dan ketika suara decitan seram itu berhasil kembali terdengar olehmu, kau menghela nafas lega. Kau akan cepat ke luar dari sini jika kau menarik kedua pintu ini jauh lebih kuat. Itulah pikirmu.

Namun sebuah sosok di balik pintu tersebut membuatmu terpaksa menelan kembali harapanmu.

Pemuda satu lagi. Pemuda tanpa topi kini ada di hadapanmu. Maniknya juga sudah menyala. Melihat keadaanmu yang masih terdiam shock seperti ini, pemuda itu sudah hanya tinggal menerkammu saja.

Tetapi tampaknya, akalmu sudah benar-benar pulih. Tidak sebodoh yang sebelumnya. Kali ini akalmu seolah berteriak untuk berlari dari sini. Dan itu yang akan kau lakukan.

----tetapi kau kalut. Jalan mana yang harus ke pilih?

Lorong sebelah kanan di mana ada sosok pemuda yang telah menyeretmu masuk ke dalam mansion laknat ini.

Atau lorong sebelah kiri---yang tadi kau lewati dengan pemuda yang memakai topi berdiri di ujung lorong tersebut?

Tidak.

Kau tentu memilih lorong lebar yang tersisa satu-satunya. Dengan harapan baru; bahwa mungkin saja ada pintu belakang untuknya keluar dari sini.

Begitu sampai pada ruangan tersebut, kau meraih kedua daun pintu dan menutupnya. Lelah. Kau menghirup udaramu dengan kasar. Kedua tanganmu terlihat gemetar memegang gagang pintu tersebut.

Bukan. Bukan karena kedinginan. Kau bahkan tidak merasa bahwa rambut dan bajumu masih basah. Karena saat ini ada sebuah perasaan yang lebih menggila di dalam hatimu. Takut.

Setelah dirasa pernafasanmu sudah cukup stabil, kau berbalik. Membuat manikmu kembali melebar. Pemuda itu----pemuda tanpa topi itu kini sudah berdiri di atas tangga tersebut. Masih menatapmu tajam dengan seringai menyeramkan terpasang di mulutnya.

Sontak kau langsung berbalik kembali. Mengerahkan seluruh tenagamu untuk membuka kembali pintu tersebut. Di tengah usahamu, kau merasa punggungmu menabrak sesuatu saat sedang berusaha menarik pintu besar tersebut.

Menoleh. Kau pun membatu.

---pemuda itu kini sudah berada di belakangmu. Lalu mengurungmu dengan kedua tangannya.

Laki-laki itu makin melebarkan seringainya. Menampakkan taringnya sama seperti pemuda bertopi tadi.

"Tadinya aku tidak tertarik. Namun melihat ketakutanmu seperti ini---rasanya boleh juga mencoba darahmu."

Itu ucapannya. Membuat akalmu kembali bergerak. Mencoba untuk menyelamatkan dirimu.

Pemuda itu mendekat ke arah lehermu. Matanya terpejam. Dengan menampilkan taring yang ia banggakan. Sontak melihat itu, kakimu bergerak. Menendang selangkangan yang sayangnya pemuda itu lengahkan.

Pemuda itu meringis. Membuat satu tangannya turun untuk memegang selangkangannya itu. Memberi satu celah untukmu dan tak akan kau sia-siakan. Dengan cepat kau berlari. Menaiki salah satu tangga. Karena bisa saja di luar pintu yang tadi sudah terpampang salah satu pemuda sisanya. Yang memakai topi, atau yang berhelai ungu.

Lagi. Kau pun mendorong salah satu daun pintu yang terdapat pada ujung tangga ini. Berhasil menembus ruangan lain yang tampaknya malah lebih menyeramkan. Masih dengan tiga lorong, kali ini lorong di hadapanmu yang sisi kanan kirinya terdapat banyak pintu itu hanya diterangi oleh lilin-lilin yang menempel pada dinding.

Setau kamu. Ketiga pemuda tersebut bisa menghilang lalu muncul secara tiba-tiba. Tidak memungkinkan juga kedua pemuda di luar sana sudah ada di ruangan ini dan siap menerkamnya. Setidaknya, rencananya adalah---menyingkirkan ketiga pemuda itu pada jalan keluarnya. Maka dari itu kau memilih untuk masuk lebih dalam ke mansion ini. Setelah itu, kau akan mencoba lagi untuk pergi keluar. Kau gadis yang gigih.

Rencanamu berjalan. Kau tidak lagi terkejut atau panik ketika melihat ketiga pemuda itu berdiri pada ketiga lorong tersebut. Karena itulah rencanamu. Lalu setelah ini----tentu kau akan kembali ke ruangan sebelumnya dan pergi ke jalan keluar utama.

Langsung saja kau menarik kembali pintu di belakangmu. Namun ketika kau ingin menutupnya. Pemuda berambut merah tanpa topi itu berhasil menahannya. Memegang pergelanganmu, bukan pintunya. Terkaget sejenak. Detik berikutnya kau langsung menarik kuat pintu tersebut. Menutupnya. Membuat tangan yang menahanmu itu terjepit dan melepaskan genggamannya.

Kau berlari menuruni tangga sambil menoleh ke belakang. Mengawasi apa yang pemuda itu akan lakukan. Untung saja berhasil turun dengan selamat tanpa kejadian salah langkah dan terguling. Masih sambil mengawasi pintu atas, kau lanjut berlari.

Namun kali ini disayangkan. Kau berhasil tersandung dan terjerembab pada empuknya sofa. Hidungmu teratuk pinggirannya. Membuat darah tanpa sadar turun dari hidungmu menetes  ke sebuah jari yang muncul dari belakangmu. Kau menoleh dengan ragu. Dan mendapati pemuda berambut ungu pada sandaran sofa.

Tangannya yang berhasil menangkap tetesan darahmu itu dibawanya menuju mulutnya. Kemudian menjilatnya. Menjilat darahmu. Pandangan yang selalu terlihat sayu itu tiba-tiba terbuka penuh semangat begitu selesai menjilat keseluruhan darahmu. Senyumnya perlahan melebar dan terus melebar. Membuatmu menatapnya dengan begitu nanar. Habis sudah. Kau yang mimisan seperti itu sudah berhasil penuh memancing pemuda-pemuda monster ini.

Akalmu kali ini sukses berhenti. Seperti menyerah untuk melarikan diri. Mengingat salah satu monster itu sudah tepat berdiri di belakangmu.

Pemuda berambut ungu itu kemudian mencengkram leher sebelah kirimu kuat. Membuatmu terpejam, hampir kesulitan bernafas. Tangannya yang satu lagi mengelus leher kananmu---yang baru kau sadari, boneka Teddy yang selalu dibawanya tadi itu kini sudah ikut duduk di sofa sebelahmu.

Kepalanya mendekat. Mulutnya terbuka lebar. Siap untuk menerkammu. Namun sebuah kehadiran seseorang lain di depanmu membuat gerakan pemuda itu terhenti.

Kau pun membuka kembali matamu. Kehadiran seseorang di depanmu ini, sama sekali tidak membuatmu lega.

"Jangan berani menyentuhnya. Dia milikku, Kanato."

Pemuda tanpa topi itu berbicara. Dengan ucapannya itu, kau dapat merasakan cengkramannya pada lehermu dilepas. Dan kepala yang kembali menjauh dari lehermu.

"Pft. Padahal tadi kau sendiri yang bilang gadis itu tidak menggungah. Nyatanya kau malah jadi yang tergila-gila," kalimat ini datang dari manusia bertopi yang berdiri di pinggiran pagar di atas tangga tersebut.

"Kau tidak pantas seperti itu. Aku yang menemukannya pertama kali," pemuda berambut ungu di belakangmu berucap. Kau merasa kalimatnya kali ini terasa tak bernada dan kosong. Senyumnya bahkan maniknya kembali seperti sebelumnya.

"Kau tidak dengar, Kanato? Dia ini milikku!"

Laito tau. Ayato adalah tipe yang keras kepala. Maka dari itu pemuda itu memberi kode pada kakak keempatnya---Kanato---agar mengalah dan pergi dari sini.

Kanato yang menyadarinya, lalu langsung menurut. Pemuda itu melangkah mundur, lalu detik berikutnya pun menghilang. Begitu juga dengan Laito yang sudah menghilang dari atas sana. Menyisakan kalian berdua di ruangan ini.

Kau masih membatu. Sementara Ayato kini mencondongkan tubuhnya ke arahmu. Tangannya bergerak ke wajahmu. Mengusap darah di bawah hidungmu. Tidak menjilatnya seperti Kanato----Ayato malah mengusapkan darahmu sendiri pada bahumu.

"A-apa yang akan kau lakukan?" Kali ini kau memberanikan untuk bertanya.

Ayato menatap pada matamu yang memancarkan ketakutan. Pemuda itu dapat melihatnya, sosoknya sendiri yang perlahan menyunggingkan seringai, "apa yang akan aku lakukan? Tentu saja memakanmu."

"---kau pikir untuk apa kau sampai dibawa masuk ke sini?" lanjut pemuda itu.

Lalu saat itu juga, kau mengingat ucapan pemuda berambut ungu saat di luar tadi.

"Teddy benar. Kau lebih baik mati di dalam dari pada di sini."

Di luar ataupun di dalam----pemuda itu tetap mencantumkan kata 'mati'.

---seharusnya kau lebih cermat akan hal ini. Itu karena obsesi pada perapian yang membuatmu buta dan terperangkap oleh monster-monster ini.

Sial.

Kau tidak bisa lari. Kedua tangan laki-laki itu bertumpu pada sandaran sofa di belakangmu. Membuatmu terkurung dan tidak punya banyak ruang. Kakimu yang terlipat pun tidak bisa digerakan untuk menendang seperti tadi.

Ini tentulah akhir.

Salah satu tangan pemuda itu kini berpindah pada bahumu. Mencengkramnya kuat. Sementara tangannya yang lain, menyingkirkan helaian rambutmu yang menghalangi bahumu yang terolesi darahmu sendiri. Kepalanya mendekat. Pun dengan badannya yang makin memepet dirimu. Membuatmu benar-benar tidak bisa menggerakan kakimu lagi.

Kau dapat merasakannya. Nafasnya yang menyapu bahumu. Memberikan sensasi aneh. Menyusul kemudian, lidahnya yang kini menyapu bahumu. Kau membulatkan mata. Daging tanpa tulang itu menjilati darahmu yang teroles di atas kulitmu.

Tanganmu yang gemetar itu kini berhasil berpindah. Memegang lengan pemuda tersebut yang mencengkram bahumu. Berusaha untuk melepaskannya. Walau bergerak sedikitpun tidak. Tubuhmu sudah kehilangan tenaga akibat sensasi aneh di bahumu yang lain.

Kemudian, kali ini tangan pemuda tersebut yang berpindah. Kini menjadi menggenggam pergelangan tanganmu yang menggelayut di tangannya. Menekannya pada sandaran sofa. Sementara kepalanya menekan bahumu agar punggungmu menyentuh sandaran sofa.

Kau merasakannya. Gigi taring itu sudah mulai menggoresi bahumu. Merasakan hal itu---kau pun menggerakan kepalamu agar terlepas dari mulut si pemuda. Gerakan yang kau ciptakan itu tak berarti sebenarnya. Karena kendali, sudah ada pada pemuda di hadapanmu ini.

---malah, akibat gerakanmu itu. Ayato terpaksa membawa tubuhmu turun. Kini punggungmu menyentuh dudukan sofa. Dengan Ayato yang duduk dan menahan kedua kakimu. Posisi ini tambah membuatmu tak bisa bergerak.

Kres.

"Akh!"

Hingga akhirnya kau pun merasakannya. Kedua taring itu sudah menembus kulitmu. Bahkan kini pemuda itu sudah menghisapnya. Menghisap darahmu. Kau memejamkan matamu. Menahan rasa sakit. Di tengah keadaan ini, entah darimana kau mendapatkan sebuah kekuatan kecil.

Ayato yang tidak menahan tangan kananmu, membuatmu bisa bebas untuk menggerakannya. Dengan gemetar pun akhirnya kau melayangkan tangan kananmu itu----

Plak!

----kepipinya.

Membuat Ayato melepaskan mulutnya dengan tidak elit. Darah langsung meluncur keluar dari dua luka bekas gigitan tersebut.

Kau membuka matamu. Dan melihat pemuda itu yang terlihat tidak percaya. Detik berikutnya, kedua alis pemuda itu turun. Diikuti dengan kilatan matanya yang bertambah tajam.

"---kurang ajar. Berani sekali kau melakukan hal itu padaku."

Nadanya penuh penekanan. Sampai sini kau tahu. Kau telah membuatnya marah.

Dengan itu, salah satu tangannya mengganti posisi kepalamu. Tanpa basa-basi, pemuda itu langsung mengigit bahumu yang lain. Tanpa perduli kau bahkan terlonjak karena menahan sakit. Dia menghisapnya kasar. Membuatmu sungguh menyesal telah menamparnya tadi.

Lalu berikutnya, ia berganti tempat. Kini tepat di lehermu. Taringnya kembali menembus kulitmu. Pemuda itu terus menghisapmu dengan kasar.

Suaramu tercekat. Bahkan sepertinya pandanganmu pun kini mulai memberat.

Hingga akhirnya semuanya menghitam.

-------------------

"Iya. Aku masih mengingatnya dengan jelas, Ayato-kun," ucapmu. Dirimu yang saat ini sedang tiduran di kasur dengan Ayato yang memelukmu dari belakang, tidak punya kesempatan yang bebas untuk bergerak. Pasalnya, dia terlalu rapat denganmu, "serius. Saat itu kau sangat menyeramkan. Aku pikir aku akan mati saat itu juga."

Baiklah. Jadi tadi itu kalian sedang mengenang bagaimana pertemuan pertama kalian itu. Sesi flashback ini terjadi di kamarmu. Well, setelah mengalami mimpi buruk pada awalnya, kau kini malah sudah terbiasa tinggal di mansion besar ini. Sudah hampir satu setengah tahun kau tinggal di sini. Dan sudah hampir satu tahun kau menjalin hubungan dengan Ayato.

Dan kini, dirimu hanyalah miliknya. Ayato Sakamaki. Yah. Walaupun dari awal dia sudah menandaimu sebagai miliknya dan tak boleh ada yang menyentuhmu.

Ayato mendengus sejenak sebelum berbicara, "dari awal aku memang tidak berniat membunuhmu. Aku hanya tertarik untuk menakutimu."

Iya. Sampai saat ini kau tau benar. Bahwa kekasihmu ini adalah orang ter-annoy menurutmu. Selama kau mengenalnya, dia kadang tak bisa mengendalikan emosinya, dan berakting seperti akan membunuhmu saat itu juga. Tetapi ujungnya, dia hanya membuatmu tak sadarkan diri, dengan alasan andalannya begitu, ia menjelaskan perbuatannya itu seperti, 'aku hanya ingin melihat wajah takutmu.'

"Lagipula---kau tau. Alasan itulah yang membuatku mencintaimu," kau tidak tau. Bahwa pipi Ayato kini dihiasi semburat merah, "----aku sudah pernah mengatakannya."

Katanya, kau satu-satunya orang yang berani melawan kekeras-kepalaannya Ayato. Bahkan kadang ketika saudara tertuanya---Shuu tidak bisa melawan, kau dengan dirimu itu mampu untuk melawan Ayato.

Tidak gampang untuk meluluhkanmu. Itulah yang membuatnya mencintaimu seperti ini.

Loves to Play Basketball With You

Setelah menyisir seluruh ruangan dalam mansion ini, ternyata kekasihmu itu ada di lapangan atas mansion. Jujur. Kau agak sebal dengan kemampuannya yang menghilang dan muncul tiba-tiba itu. Sementara kamu malah harus berlelah-lelah menjelajahi dengan kaki mansion yang luas ini.

Kau pun mendekat. Masuk ke dalam lapangan tersebut. Di sana juga sudah berdiri Kanato di pinggiran lapangan.

Tanpa memanggil Ayato yang masih berlatih itu, kau pun akhirnya memilih untuk ikut berdiri di pinggir lapangan dengan Kanato.

"...kau tidak jalan pagi, Kanato-kun?" kau memutuskan untuk membuka obrolan.

Kanato tampak terdiam sejenak. Maniknya masih mengikuti ke mana gerak Ayato di depan sana. Namun tetap, kilatan cahaya matanya masih terlihat remang, "Teddy ingin di atap hari ini."

Kau tersenyum canggung menanggapinya. Memang----dari keenam pemuda Sakamaki ini, kau rasa, sulit untuk sekadar mengobrol dengan Kanato. Pemuda berambut ungu tersebut memiliki emosi yang jauh lebih abstark dibanding Ayato maupun yang lainnya. Maka dari itu, kau sulit untuk mencari obrolan dengan hati-hati agar tidak terkena imbas pergantian moodnya.

Kau pun kali ini diam. Memutuskan untuk menatapi Ayato yang masih sibuk bermain basketnya sendirian itu. Kau tau. Fokus Ayato akan sangat lekat ketika ia bermain basket. Jadi itulah mengapa sampai saat ini pemuda berhelai merah itu belum menyadari kehadiran kekasihnya.

Hingga akhirnya, kau lah yang menyapanya terlebih dulu begitu Ayato berhasil mencetak angka--entah sudah yang keberapa kali.

"Ayato-kun!"

Ayato menoleh sejenak. Detik berikutnya atensinya kembali pada bola yang meluncur jatuh dari ring, dan menangkapnya. Kemudian setelah itu, Ayato langsung melemparkan bola basketnya ke arahmu.

"!?"

...untung saja kau sudah terbiasa dengan lemparan mendadaknya ini. Sehingga bola itu sukses kau tangkap.

Ayato masih di sana. Di bawah ring. Dia pun berbicara, "kau jaga ring mu yang di sana. Kita main seperti biasa."

Iya. Satu tahun setengah di sini, kau hapal betul, apa yang Ayato sukai. Dan bermain basket denganmu adalah salah satu hal yang ia sukai. Kau sendiri punya skill bermain bola ini sudah dari dulu. Sering menonton pertandingan basket, membuatmu tergerak untuk belajar otodidak. Walaupun tidak semahir Ayato dan cukup terbilang payah----Ayato entah kenapa masih mau bermain denganmu.

Mungkin pribadi jelek pemuda itu yang senang sekali melihat kau menderita, membuatnya terus tanpa henti mengerjaimu.

Kau menoleh. Mendapati tidak adanya sosok Kanato di sebelahmu. Padahal kau ingin pamit dari sisinya.

Kemudian langsung saja kau melangkah. Pergi ke tengah lapangan. Begitu juga dengan Ayato yang kini melangkah ke tengah lapangan. Kalian kini berhadapan, sebagai musuh dalam lapangan ini. Kau harus benar-benar menjadikan kekasihmu musuh karena----apabila kalah, pemuda menyebalkan itu pasti akan memberikan hukuman yang lebih menyebalkan; seperti memberikanmu kissmark pada area sekitar dadamu misalnya.

Lalu kenapa kau tetap menerima pertarungan ini? Berusaha untuk menang darinya juga terlampau sulit.

Singkat saja.

Kau---masochist.

Itulah kenapa kamu bisa tahan hidup dengannya sampai detik ini.

Kau menatap kekasihmu itu tak mau kalah. Lalu langsung saja kau mendribble bola itu ke area musuh. Dan dia tentu saja menghalangimu. Seperti biasa, kau menggunakan gerakan tipuan untuk menghindari kekasihmu ini. Pergi berbalik menuju ringmu, lalu dengan cepat memutar haluan kembali ke ring lawan. Kini Ayato ada di belakangmu. Tak lagi menghalangi jalanmu.

Kemudian langsung saja kau menggiring bola itu lurus. Dan tentu saja tidak semudah itu kabur dari Ayato. Kini pemuda itu tiba-tiba sudah ada di sampingmu. Memberikanmu seringai, lalu langsung merebut bola itu.

Kau terdiam sejenak melihat bolamu kini diambil alih oleh Ayato. Jika sudah begini----akan sangat sulit untuk merebutnya kembali. Memgingat Ayato itu begitu annoy.

Kau lari, lalu mengekorinya. Ayato seperti biasa---menganggapmu lawan yang enteng dan mempermainkanmu. Lihat saja. Bukannya langsung memasukan bola itu ke dalam ringmu, dia malah berbalik dan sengaja menghadapimu. Tangannya masih mendribble. Seringainya masih terpampang. Membuatmu dengan berani berusaha untuk merebut kembali bola.

Tetapi dia menghindar. Secepat apapun kau mencoba untuk merebutnya, Ayato dengan mudah menggagalinya.

Mengangkat bola basket itu ke atas kepalanya ketika kau mencoba untuk meraihnya, dia berbicara, "kuberi uluran waktu dua menit. Jika kau tidak berhasil merebut bola ini, maka aku akan langsung memasukannya ke ringmu. Dan kau tau apa yang harus kau lakukan sebagai hukumannya."

...walau bagaimanapun, kau tetap tidak akan menyerah. Itulah karakteristikmu. Apalagi tidak mustahil untuk menang dari Ayato. Walaupun hanya pernah sekali menang dari Ayato---setidaknya tidak ada kata 'tidak akan bisa'.

Bola itu masih terangkat di atas kepala Ayato. Membuatmu harus meloncat untuk merebutnya.

...walaupun Ayato terus menjauhkanmu dari bolanya. Kau terus meloncat. Hingga akhirnya kakimu mendarat pada salah satu kaki Ayato.

---oh. Sebenarnya itu sengaja.

Dan lihat kekasihmu itu. Sambil meringis dia menurunkan sedikit bolanya. Membuatmu mendapatkan kesempatan.

Sampai akhirnya bola itu kembali berada di tanganmu.

Kau tanpa ragu kembali menggiring bola itu menuju ring lawan. Dan Ayato juga masih tak mau kalah dan terus mendesakmu di belakang. Hingga akhirnya keputusan untuk menembakkan bolanya ke dalam ring---kau ambil asal-asalan.

Dang!

Ya tentulah tidak akan masuk. Kau sama sekali tidak ahli dalam lemparan tiga angka. Tapi patut dibanggakan. Lemparanmu sungguh melambung tinggi. Membuat bola itu hanya mengenai sudut papan ring. Dan terus melambung. Ke luar pagar lapangan.

Duak!

"Ugh!"

Get Jealous Very Easily

Kau tersentak saat mendengar suara yang menyusul setelah suara mendaratnya bola. Atensimu berlabuh pada sesosok manusia di balik pagar lapangan itu.

Oh. Bukan manusia.

Dia Shuu. Saudara tertua dari keenam Sakamaki. Kau dapat mengenalinya karena dia satu-satunya yang memiliki warna rambut yang cerah.

"Shuu-kun?" Dengan itu kau langsung berlari ke luar lapangan dan menghampiri Shuu. Ayato mengekor di belakangmu. Shuu terlihat mengusap hidungnya begitu kau sudah berhasil menghampirinya.

Tiduran santai di atas bangku taman, sambil mendengarkan musik. Sepertinya itu kronologis sebelum kening dan hidungnya tertimpa bola.

"Shuu-kun, kau tidak apa-apa?" Kau berjongkok. Menyamakan posisimu dengannya. Sementara Ayato, kini malah mengambil bola yang tergeletak begitu saja.

"...uh. Ya," jawab Shuu. Pemuda itu pun bangkit menjadi terduduk. Sebenarnya sakitnya tidak seberapa menurut Shuu. Hanya saja pemuda itu tampak terkejut karena acara santainya disambar oleh bola nyasar laknat darimu.

Hanya saja, kau sebagai manusia yang memiliki hati, merasa bersalah. Apalagi melihat adanya luka memar pada kening dan hidung mancung pemuda itu yang mengeluarkan darah-----

"----!? Shuu-kun hidungmu berdarah!" Kau panik dan bergerak gelisah. Mau membantu Shuu tapi kau tak memegang saputangan. Jadilah, kau memutuskan menjadikan baju lenganmu untuk mengusap darah yang turun bahkan melewati bibir pemuda itu.

!?

Baik Ayato dan Shuu---mereka berdua sama-sama menyadari kesalahanmu. Kebodohanmu.

Lupa kalau vampire mempunyai hidung yang tajam?

Shuu benar-benar bisa mencium aroma tubuhmu dari baju yang kau pakai itu. Dan ini menjadi sebuah godaan untuknya.

Entah karena kesal----Ayato akhirnya melemparkan bola basketnya dari sisi luar pagar lapangan. Bola itu melambung tinggi, melewati pagar, dan berhasil masuk ke dalam ring. Suaranya membuatmu dan Shuu terdiam sambil menatap pelakunya.

"Kau kalah. Aku tunggu kau di kamarku," titah Ayato. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dan memasang wajah dingin.

Kau hanya menatapnya. Kemudian atensimu kembali berlabuh pada korban yang telah kau buat itu, "Shuu-kun, aku akan mengobatimu. Ayo kita turun."

"---aku tidak suka menunggu, [name]," Ayato kembali berucap penuh tuntutan.

Kau pun akhirnya memapah Shuu untuk berdiri. Sementara si empunya sendiri merasa, dirinya benar-benar tidak apa-apa. Hanya saja kau yang kelewat baik hati. Kau merasa takut-takut apabila terjadi gangguan pada otak Shuu dan menyebabkan jalan pemuda itu oleng. Maka dari itu kau memapahnya.

Ayato yang masih berdiri di sana menyeletuk, "kau bahkan tampak baik-baik saja, Shuu. Jangan modus!"

Manik Shuu melirik Ayato sinis, dirinya kemudian menjawab, "bahkan aku tidak memintanya."

Kau sendiri tetap diam sambil setengah memapah Shuu yang bahkan jalan normal-normal saja. Dan kau juga  bukanlah setipe Ayato yang sengaja membuat kekasihnya cemburu atau berniat mengerjai apapun. Kau murni khawatir dengan kakak tertua Sakamaki ini.

Begitu kalian berdua melewati Ayato, laki-laki berambut merah itu dengan cepat menarikmu paksa dari sisi Shuu, menjadi ke sisinya, "dia bisa berjalan sendiri, [name]."

"Tapi bagaimana jika kepalanya tiba-tiba pusing saat menuruni tangga? Darahnya bahkan masih menetes dari hidungnya," ucapmu masih merasa cemas.

Ayato menatapmu dengan manik tajamnya, "dia bahkan bisa turun tanpa menggunakan tangga. Dan dia juga bisa mengobati lukanya sendiri"

Iya. Kekuatan misterius keluarga Sakamaki ini bisa membuat mereka muncul dan menghilang dengan cepat, serta dengan kemampuan penyembuhan yang efektif.

"Nah. Kalau begitu bisa aku pergi sekarang?" Shuu berucap. Kalimatnya lebih pantas ditunjukan untukmu dari pada untuk Ayato.

"...tapi biarkan aku memeriksamu, Shuu-kun," ucapmu. Iya. Kau berniat untuk memeriksa hidungnya. Takut-takut patah. Tidak perduli dengan kemampuan penyembuhan yang cepat, kau akan tetap mencoba untuk mengobati korban yang kau ciptakan sendiri.

Jeda sejenak ditunjukkan Shuu. Pemuda itu melirik saudaranya sekilas sebelum kembali berbicara. Bahkan walaupun tampak ekspresi tidak suka dari Ayato, "kalau begitu aku tunggu kau di ruanganku."

Dengan itu, Shuu pun menghilang dari pandangan kalian berdua.

"Sialan. Shuu brengsek! Sengaja sekali dia," Itu umpatan Ayato. Dia menendang udara tempat Shuu tadi berdiri.

Is Very Clingy and Needs a lot of Attention

Shuu memandang kalian berdua bergantian. Pemuda yang sedang tidur di sofa itu menurunkan kembali lengannya yang tadi ia angkat untuk melihat siapa tamunya, "sudahlah kembali saja. Aku tidak apa."

Membuatmu menatap Shuu galak, "tidak apa bagaimana? Keningmu masih terlihat memar tau. Setidaknya biarkan aku menebus rasa bersalahku, dong."

Semuanya kecuali Kanato tau---kau itu lebih keras kepala dari Ayato. Maka dari itu Shuu membiarkanmu yang mulai menyingkirkan lengan pemuda itu dari wajahnya.

Shuu seperti biasa, matanya terpejam. Walaupun begitu, mulutnya tetap bergerak, "kau ke sini untuk mengobatiku juga, Ayato?"

Ayato tau itu adalah sebuah sarkasan. Pemuda itu kemudian membuang wajahnya, "aku tidak akan menyuguhkan [name] begitu saja padamu yang brengsek."

"---lihat siapa yang berbicara," Shuu menyahut cepat. Pemuda itu membiarkanmu mengurusi memar di keningnya dengan kotak obat yang dibawamu dari kamarmu.

Ayato terlihat menggeram lalu kembali berucap. Taringnya terlihat begitu tajam, "kau---apa rencanamu sampai tidak menyembuhkan lukamu sendiri?!"

Jeda sejenak, Shuu pun menjawab enteng, "bukankah dia ingin menebus rasa bersalahnya?"

Ayato mengeraskan rahangnya. Pemuda itu tau, sudah berapakali saudaranya itu mencoba untuk melahap darahmu. Dan sudah berapa kali dirinya harus melindungimu. Ayato merasa kesal dengan kebodohanmu sebelum-sebelumnya---dan kebodohanmu yang sekarang. Shuu pasti akan mencoba untuk mencicipi darahmu jika kau tadi datang ke sini sendiri.

Ketika akhirnya kau mencoba untuk meraba hidung milik Shuu---takut-takut terjadi apa-apa----tubuhmu ditarik. Siapa lagi jika bukan laki-laki di belakangmu? Ayato. Kekasihmu.

"Kita kembali," Dia menarikmu keluar dari ruangan Shuu. Namun sebelum Ayato dan kau menghilang dari ruangan ini, dia lemparkan sebuah kalimat, "biarkan saja dia mati jika memang tidak mau menyembuhkan lukanya sendiri."

Dengan itu Ayato kembali menarikmu. Menyeret dirimu yang bahkan tidak bisa melepaskan cengkramannya dari lenganmu.

Would Never Hurt You

"Ah!"

Ayato menghempaskanmu ke kasur miliknya setelah sebelumnya membanting pintu agar tertutup. Dia memandangimu tajam. Kau sendiri tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Selain bisa menggunakan embel-embel hukuman yang tadi, Ayato kini sedang terbakar cemburu.

"A-ayato-kun... K-kau tidak perlu sampai semarah itu..." Walaupun kau tau dia kadang membuat ekspresi seperti ini hanya untuk menakutimu, tetap saja. Kau selalu merasa takut ketika dia menunjukkan ekspresinya ini. Karena Ayato tidak bisa mengontrol emosi, bisa saja dia menghabiskanmu saat itu juga.

"Berapa kali aku sudah mengatakan, hah?! Hati-hati dengan para brengsek di sini!" Pemuda itu mulai membentak. Membuatmu benar-benar hanya bisa menatapinya takut, "kau tidak pernah belajar dari pengalamanmu, ya?!"

Ayato makin mendekat. Kau yang terduduk di kasur hanya berhasil mundur sedikit-sedikit.

"Mereka----aku, membutuhkan darah. Kau sebagai manusia satu-satunya di sini----bagaikan godaan untuk kami, [name]," kau melihatnya, Ayato yang ikut menaiki kasur. Membuatmu makin mundur ke belakang. Namun detik berikutnya, dia langsung menyergapmu. Menahan kedua tanganmu dengan tangannya. Kepalanya yang mendekat itu, membuat kepalamu ikut turun. Hingga akhirnya kasur menghalangi kepalamu untuk terus menjauh dari Ayato.

"Tetapi kau adalah milikku. Apa kau lupa? Apa seluruh makhluk brengsek di mansion ini tidak menyadari tanda yang kuberikan untukmu?" Menyisakan sepuluh sentimeter lagi dari wajahmu, maniknya yang memandangimu itu berkilat.

"...kalau begitu----" Kepalanya kemudian dimiringkan ke salah satu sisi lehermu, "----aku akan memenuhi seluruh tubuhmu dengan bauku."

Kres!

"A-ayato-kun---" kau meringis tertahan saat taring Ayato kembali menembus kulitmu, entah yang keberapa kali.

Dari awal rencana Ayato memang bukan untuk meminum darahmu. Dia hanya berniat untuk menandaimu. Maka dari itu, kini hisapannya berpindah ke tempat lain. Dia hanya mengigit, menembuskan taringnya pada kulitmu, dan menghisapnya sejenak. Itulah tanda yang dia maksud. Dan dia----akan menggigiti seluruh tubuhmu katanya?

"Akh! S-sakit Ayato-k-kun..." tanganmu refleks mencengkram bahu Ayato yang berada di atasmu. Kepalamu melesak ke atas. Bibirmu sendiri tertahan untuk mengeluarkan jeritan. Rasanya sakit. Tetapi menjerit, malah akan membuat Ayato semakin gila.

Gigitannya kembali berpindah. Bagian leher kanamu sudah dipenuhi bercak gigitan dan darah. Ayato benar-benar akan menandai tubuhmu seluruhnya.

Mungkin itu akan benar-benar dilakukannya---jika ia tidak berhasil menyadari tubuhmu yang berguncang.

Kau terisak.

Manikmu masih terpejam. Dan bibirmu masih tertahan. Detik berikutnya, kau menutupi wajahmu dengan kedua tanganmu. Sayangnya Ayato telah berhasil melihatnya tadi. Membuat kekasihmu itu terdiam dan menghentikan kegiatannya. Kemudian, tangan Ayato dengan begitu saja berusaha meraih salah satu tanganmu. Namun kau malah menepisnya dan berbalik. Menutupi wajahmu dengan bantal yang berhasil kau raih.

Ayato masih terdiam. Tangannya masih di tempat. Terlalu kasar, mungkin itulah pikirnya. Tangannya kemudian bergerak lagi. Kini mengelus kepalamu, "...[name]?"

Kau hanya menjawabnya dengan isakan yang teredam bantal. Tak perduli Ayato yang kini berhasil menampilkan ekspresi seperti menyesal. Tak memperdulikan baju atasmu yang hampir rusak. Kau merasa, Ayato benar-benar menyeramkan kali ini. Itu karena pemuda itu tidak mengunakan embel-embel 'aku hanya menakutimu' seperti biasanya. Ayato kali ini---tampak seperti benar-benar akan menghabisimu.

Keadaan ini untuk Ayato sendiri---akan menjadi sulit sepertinya. Mengingat dirinya itu anti sekali dengan kata 'maaf' dan 'terimakasih'. Hanya saja dia berjanji, tidak akan lagi melakukan perbuatan yang akan melukaimu.

You Always Eat His Food to Tease Him

Kau terbangun dari tidurmu. Ternyata ini masih berada di kamar Ayato setelah kemarin ada serangkaian sikap ngambekmu.

Kau sendiri akhirnya berbaikan dengan Ayato karena pria itu bersedia untuk mengucapkan kata maaf berkali-kali. Walaupun akhirnya ia mengigiti lehermu lagi---memberikan kissmark--- sebagai balasan lainnya.

Kau merubah posisimu. Dan akibat dari gerakanmu, Ayato yang sebelah tangannya menjadi bantalanmu itu akhirnya terbangun. Tidak. Dia hanya mengubah posisinya menjadi mendekapmu.

Kau terdiam dalam dekapannya. Manikmu dengan bebas menelusuri setiap senti wajahnya. Kelopak matanya yang tertutup, bulu matanya, hidung mancungnya, dan bibir tipis itu. Begitu kau menyadari, kau langsung menepis pikiran liarmu itu.

Hingga akhirnya kau merasakan, dalam perutmu bergetar.

Kau ingat. Sejak acara 'ngambek'mu kemarin, kau belum diasupi makanan lagi selain sarapan. Padahal kau sendiri kemarin hampir kehabisan darah gara-gara kekasihmu ini.

Lalu, kau akhirnya memutuskan untuk menyingkirkan lengan kekasihmu dari tubuhmu. Untunglah dia masih tertidur dengan damai.

Kau bangkit. Rasanya memang berat, entahlah. Dan ketika kau mulai melangkah, tubuhmu terasa berputar. Oleng, dan akhirnya mendarat di kasur. Tepatnya, di atas tubuh Ayato.

"...apa yang kau lakukan?" Kekasihmu itu perlahan membuka matanya. Menampilkan manik hijau yang masih terlihat menyipit. Dia menatapmu yang berada di atas dada bidangnya.

Menyadari posisimu, langsung saja kau menyingkir dari tubuh Ayato. Kini kau memilih duduk di pinggiran kasur. Membelakangi kekasihmu, "...tidak apa. Aku hanya merasa pusing."

Anemia.

Kau tau betul penyakit langgananmu sejak pindah ke sini.

Menyadari apa yang telah diperbuatnya kemarin, Ayato pun akhirnya bangkit. Dengan rambut messy-nya, ia berbicara, "memangnya kau mau ke mana?"

Memijat salah satu keningmu, kau pun menjawab, "aku lapar, Ayato-kun."

Ayato menatapi punggungmu. Detik berikutnya, ia ikut turun dari kasur.

"Tunggu di sini. Akan aku bawakan."

Dengan itu Ayato pergi menghilang di balik pintu. Dia tidak memberimu kesempatan, bahkan untuk membuka mulut.

Hingga akhirnya, kau pun memutuskan untuk menuruti saja. Menunggu kekasihmu kembali.

--------------

"Ayato-kun? Apa yang kau lakukan?"

Kau berjalan setengah tertatih menghampiri kekasihmu di dapur. Pasalnya, kau sudah menunggu cukup lama, dan kekasihmu itu belum juga kembali. Padahal kondisimu itu tengah kelaparan-belum-makan-dari-kemarin, tetapi Ayato malah memberi ketidakpastian dengan menyuruhmu untuk diam dan menunggunya.

Ayato yang mendengar suara lembut yang telah lama menjadi miliknya itu menoleh, "sudah kubilang tunggu aku di kamar."

Hingga akhirnya, kau pun berhasil menghampiri apa yang kekasihmu itu lakukan di depan kompor. Suasananya tak bisa dikendalikan. Nasi-nasi yang berceceran, bumbu yang berhamburan dan sebagainya.

"Apa yang kau lakukan, Ayato-kun?" Kau mengulang kembali pertanyaanmu itu.

Ayato yang di tanya, malah sengaja menyibukan diri dengan pekerjaannya itu. Semburat merah tipis mewarnai pipinya.

Dengan apa yang kau lihat itu, kau pun menebak, "kau sedang memasak untukku?"

"-----tidak ada makanan yang tersisa. Jadi terpaksa aku mencoba untuk membuatnya," sahutnya.

Padahal rencana Ayato tadinya adalah, untuk membawakanmu masakan buatannya, tanpa sepengetahuanmu. Kau tau----kekasihmu ini agak 'pemalu'. Dia kadang tidak mau terlihat terlalu peduli. Walaupun kepeduliannya terhadapmu tidak akan berkurang sedikitpun.

Ditambah----Ayato itu tidak pandai memasak.

Mungkin itulah kenapa kekasihmu itu begitu lama menghabiskan waktu di dapur. Dia-----ingin memberikan masakan yang terbaik untukmu walaupun di bawah kemampuannya.

Kau melihatnya, Ayato yang kini telah mengangkat panci dan menyiduk nasi takikomi buatannya. Pemuda itu kemudian mengambil sendok, dan mencicipi masakannya.

Wajah tak puas ditunjukan pemuda itu. Sepertinya masih ada banyak kekurangan dalam nasi takikomi buatannya.

Namun kau malah mengabaikan hal itu. Ayato mendapatimu---yang seolah tak peduli dengan rasanya---tengah memindahkan nasi takikomi dari panci, menuju mangkok yang dipegangmu sendiri.

"----apa yang kau lakukan?" Kini Ayato yang bertanya.

"Tentu saja makan, Ayato-kun," jawabmu sekenanya.

Ayato mendekatimu, lalu merampas mangkuk di tanganmu, "bagian nasi ini bukan untukmu. Aku akan membuatkannya lagi."

Membuatmu melemparkan tatapan kecewa pada kekasihmu, "tapi Ayato-kun, aku sudah sangat lapar."

"---aku akan membuatkannya lagi. Maka dari itu tunggulah di kamar!" itu titahnya. Tapi kau tetap tidak mau menurut.

Kau menatapi nasi takikomi yang ada di panci dengan wajah lapar. Lalu kembali bersuara, "...bagaimana jika aku maunya makan nasi takikomi ini? Mereka sepertinya enak."

"Tidak, [name]. Biar aku buatkan lagi---"

Kau rasa-rasanya tau apa yang dimaksudkan oleh kekasihmu ini. Pemuda berambut merah itu kan kadang menjadi mode perfect yang segalanya harus sempurna. Dan nasi ini, mungkin menjadi korbannya.

Dan kau berencana untuk menggodanya kali ini.

"Memangnya kenapa dengan nasi ini, Ayato-kun? Aku ingin mencobanya," Dengan itu kau langsung mengambil sebuah sendok lain. Menyiduk nasi dengan sendok tersebut, lalu menunjukannya ke depan kekasihmu itu, "aku makan, ya."

Ayato terlihat ingin menghentikanmu lagi, namun kau tidak memperdulikannya, dan langsung melahap nasi takikomi tersebut.

"...kau mencampurnya dengan jeroan? Ini masih amis."

You Call Each Other 'Idiot' on a Daily Basis

"Bodoh! Itu bukan untukmu, Idiot!" Ayato menyambar kemudian. Dia menatapmu galak.

Kau hanya menatapinya. Lalu detik berikutnya, kau terbatuk, "uhuk---kau terlalu banyak menuangkan bumbu pedas---uhuk---Ayato-kun."

"Karena sudah aku bilang itu bukan untukmu, Idiot!" Ayato kembali menyahut.

Kau yang masih terbatuk, dengan gemetar mencari gelas. Ayato melihatnya, dan dia pun membantumu untuk meraihnya. Kini jari-jarimu bersentuhan dengannya. Ayato menuntun gelasmu menuju keran dan menuntun tanganmu untuk meminumnya.

"Uhuk!"

Kau meneguknya dengan tidak santai. Setetes-duatetes berhasil lolos turun ke dagumu. Begitu isi air di gelas sudah habis, kau mengelap mulutmu, dan menatap Ayato galak, "Ayato-kun bodoh! Kau dari kemarin ingin sekali membunuhku, ya?"

"Sudah berapa kali aku bilang, Bodoh? Itu bukan untukmu," Masih dengan kalimatnya itu Ayato menjawab.

'You are Stupid' means 'I Love You'

"Tidak enak! Ayato-kun bodoh!" Kau mengembungkan pipi sambil membelakangi kekasihmu itu. Rasa pedas masih terasa di sekitar mulutmu. Terlebih lagi---kau juga tidak suka pedas. Membuat air matamu menumpuk di sudut mata akibat menahan rasa pedas tersebut.

Kau tidak tau, bahwa Ayato dapat menangkapnya---ekspresimu itu. Pemuda itu pun malah ikut berbalik membelakangimu, dia membuka kulkas. Mencari sesuatu di dalamnya, kemudian menutupnya lagi.

Begitu tubuhnya akan berbalik ke arahmu, kau dengan cepat langsung memeluknya. Sepertinya kau benar-benar tidak tahan dengan pedas yang kian memenuhi mulutmu itu, eh?

!?

Ayato setengah terkejut akibat perbuatanmu. Pemuda itu tidak dapat lagi melihat wajahmu karena kau meredamnya dengan dada bidangnya. Akhirnya kekasihmu itu hanya menggerakan tangannya untuk mengusap punggungmu.

"...bodoh sekali kau, [name]."

Ayato merasa, apa yang kau lakukan kali ini terlihat begitu menggemaskan. Dan kalimat 'aku mencintaimu' adalah kalimat anti berikutnya selain 'maaf' dan 'terimakasih'.

Good Kisser

"[Name]---" Ayato melepaskan pelukannya. Berusaha untuk melihat kondisimu dalam dada bidannya. Ternyata tidak di sangka, kau sampai mengeluarkan air mata di sana. Tanda luapan rasa pedas tersebut yang tidak bisa kau tahan.

Kau sendiri menunduk. Malu dengan apa yang terjadi padamu ini. Berniat untuk menggoda kekasihmu pada awalnya---dengan memakan masakan gagalnya---namun akhirnya malah kau sendiri yang dikerjai.

Ayato meraih dagumu naik. Menyuruh manikmu untuk menatap maniknya di sana. Dan kau malah menatapnya dengan sedikit rajukan. Membuatnya langsung menyerangmu saat itu juga.

"!? Hmpp---"

Dia mencium bibirmu----tidak. Kau memejamkan mata. Menajamkan indra perasamu begitu kau merasakan ada sesuatu yang lain sedang berusaha masuk ke dalam mulutmu. Begitu kau berhasil menyadarinya---rasanya seperti kismis.

Manis.

Namun Ayato tetap tidak melepaskan pangutannya. Memaksamu harus menelan kismis itu saat itu juga. Dibantu dengan lidahnya yang sudah berada di dalam mulutmu. Dia mendorong kismis itu masuk.

Sampai akhirnya, kismis itu masuk melewati tenggorokanmu.

Ayato memindahkan satu tangannya ke belakang kepalamu. Kini yang kalian lakukan hanyalah saling berpangutan. Tangannya yang satu lagi, memepetkan tubuhmu ke kabinet bawah dapur. Begitu pinggangmu sudah bertabrakan dengan kabinet itu, dia memindahkan kembali tangannya ke sisi kabinet untuk mengurungmu.

Sementara tangan yang berada di belakang kepalamu, makin menekan dalam. Lidahnya menyapu semua rongga dalam mulutmu; berusaha menyesap semua rasa pedas di sana.

Kau mencengkram bahunya. Bukan. Ini bukan lagi menahan sakit. Tapi menahan kegilaan lidah Ayato di dalam mulutmu.

Kau mengadukan lidahmu dengan lidahnya. Namun dia malah Membuat ciuman ini makin terasa gila. Dia menggoda saraf dalam mulutmu. Menggelitiki dinding mulut atasmu. Dan menggigiti bibir bawahmu.

Untunglah begitu kau merasa oksigenmu sekarat, dia melepaskan pangutannya. Benang saliva kalian berdua memutus. Wajahmu tampak berantakan. Selain memerah dan linangan air mata akibat pedas masih menggenang di wajahmu, bercak saliva menghiasi mulutmu.

Ayato yang melihat itu, memutuskan untuk mengecup lagi bibir kekasihnya, lantas berbicara, "pedasnya sudah hilang, kan?"

Fin.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro