19. (七)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Liziaslav Kanbara mengusap peluh yang turun melalui dagunya. Maniknya memandang ke atas, langit sedang bersinar terik sekali di sana. Berikutnya, ia bawa turun lagi sang manik. Kini menatap lurus seorang pitcher di hadapannya.

Kembali mengambil aba-aba, Lizie membuka kedua kakinya memasang pose, kedua tangan yang sedang memegang bat ia ayunkan sekali, selepas itu berhenti tepat di samping tubuhnya.

Seorang pitcher yang melihat itu ikut bersiap. Ia mengambil posisi perlahan, lalu mengayunkan tangan kanannya kuat untuk melemparkan bola hijau kecil.

Tak!

Bola itu melambung jauh. Semua orang di sana dibuat menengak menatap langit.

Sementara Liziaslav Kanbara menyipitkan mata.

***

Bel pulang lagi-lagi berbunyi. Liziaslav Kanbara merasa bahwa berjalannya waktu terus berulang hanya seperti ini.

Setiap hari berangkat pagi. Menyimak pelajaran, istirahat sendirian, lalu kembali belajar sampai bel pulang berbunyi. Sampai saat itu, barulah mulutnya bergerak. Meneriaki dari depan kelas siapa-siapa yang hari ini akan piket.

Jika terdapat pelanggaran, maka ia akan memberikan hukuman. Di mana ada beberapa orang yang keberatan akan hukuman tersebut.

Selepas menjalankan tugasnya sebagai anggota kebersihan kelas, Lizie langsung menghadirkan diri di klub baseball yang sudah ia jalani sejak tahun kemarin.

Gadis berambut putih itu selalu terlihat menyilaukan saat berdiri di tengah lapangan dengan terik. Peluhnya selalu menetes lewat dagunya.

Waktu yang tergambar pada matahari yang berangsur menjingga menandakan bahwa hari sudah semakin sore. Lizie yang hari ini mendapatkan lagi home run-nya memberesi peralatan baseball mereka. Dari bola yang bergeletakan di dalam lapangan, sampai bola yang terlempar ke luar lapangan.

"Wah, lihat Tsukishima. Kamu gak mau ngebantu pacarmu mengambili bola? Hahaha."

Liziaslav Kanbara menegakkan diri kembali setelah mengambil salah satu bola di luar lapangan. Berikutnya manik biru itu menatap lurus teman sekelasnya.

"Apa, sih. Bicaramu makin gak berakhlak," sahut Tsukishima Kei. Salah satu anak laki-laki yang ada pada gerombolan lima orang di hadapan Lizie.

"Siapa pacar siapa? Mulutmu mau kujejalkan bola, hah?" Kalau yang ini respon Lizie.

"Klub-mu baru selesai, Liz?" tanya pemuda kecil berambut merah, Tamaki Nagi.

"Kalau kamu bisa melihatnya dengan mata sendiri, maka jangan bertanya lagi," jawab Lizie tanpa keakraban sedikitpun.

"Judes banget, padahal lagi nanya baik-baik," celetuk pemuda kecil yang lain, mengomentari respon sang gadis pada salah satu temannya seperti itu.

"Hei, kamu ekskul baseball, kan, Liz?" tanya pemuda yang lain lagi.

Tentu saja hanya dibalas dengan Lizie dari tatapannya.

"Bagaimana kalau kita taruhan? Kamu disebut-sebut sebagai batter terbaik kelas dua, kan?" pemuda itu berbicara lagi, kini malah melangkah maju ke hadapan Lizie, "ayo taruhan, kalau kami kalah, kami akan melakukan piket setiap hari selama dua minggu."

"Oi Arata!"

"Gila, siapa yang mau?"

Tak mempedulikan protesan dari teman-temannya, Arata Yamada kembali berucap, "tapi kalau kami yang menang, tidak ada piket untuk kami selama sebulan."

"Kenapa imbalan kita lebih sedikit?"

Liziaslav Kanbara menatapi manik penantang milik Arata, sebelum kemudian bergulir meliriki keempat pemuda lain di sana. Termasuk Tsukishima Kei yang sedang memasang wajah malas.

"Gimana? Kalau terima, cepat panggil timmu lima orang."

"Oi Arata kamu gila?"

"Aku pikir kamu cuman menggertaknya saja, tapi kenapa beneran, bodoh?"

"Tapi kayaknya Lizie gak akan terim--"

"Aku terima."

Mereka semua terdiam.

"Ya?"

"Aku terima taruhan kalian. Hukuman berarti harus dilaksanakan dari besok jika aku menang," ucap Lizie.

Sontak membuat Arata menyunggingkan seringai kecil. Namun sementara itu, teman-temannya ...

"Woy, kamu gila, Arata? Cepat batalkan taruhannya, lawan tim baseball gak akan semudah itu, bodoh!" ucap Tamaki, seraya itu ikut mendekati Arata.

"Biar saja, biar dia yang piket penuh selama dua minggu. Aku tidak akan ikutan," pemuda yang lain berucap, baru saja akan melangkah pergi, namun ucapan yang keluar dari mulut Lizie membuat ia dan semuanya terdiam.

"Kalau terlalu berat, biar aku saja yang melawan kalian. Kupikir itu sudah lebih dari cukup, kan?" ujar gadis berambut sebahu itu seperti menyombongkan diri.

Merasa tertantang, semua anak laki-laki di sana mendengusi kalimat Lizie. Begitu juga Tsukishima Kei.

"Lihat betapa sombongnya dia," sarkas Tsukishima itu, "sepertinya akan sangat puas kalau kita berlima menginjak-injakan kesombongannya bersama, iya, kan?"

***

Arata Yamada menyunggingkan senyum miring seraya menatap satu-satunya perempuan di antara mereka. Melirik sebentar ke arah papan skor, anak laki-laki itu mendehem.

6-7

Satu angka lagi dan Liziaslav Kanbara sudah bisa mengimbangi tim mereka yang berlima orang.

Memang sepertinya tim baseball itu tidak bisa disepelekan seperti ini. Apalagi Lizie yang termasuk batter terbaik angkatan mereka.

Dua kali gadis itu mendapatkan strike, namun dua kali juga ia bisa langsung mendapatkan homerun. Membuat Lizie langsung bisa berlari menembus ketiga base secara langsung, dan kembali menjadi batter di home-nya.

Dan apabila kali ini ia mendapatkan homerun lagi. Maka akan sangat memalukan lima orang anak laki-laki dikalahkan oleh seorang gadis kecil.

Begitu pun yang ada dipikiran Tsukishima Kei. Entah kenapa ia merasa kesal telah terpancing ucapan Lizie yang mengatakan bahwa hanya gadis itu saja yang bermain. Sehingga Tsukishima sampai melupakan bahwa Liziaslav Kanbara adalah salah satu batter andalan di tim angkatan mereka.

Liziaslav menyeret bat-nya setelah mengambil oksigen pada base terakhir. Gadis itu kini berjalan kembali ke home. Tentu lelah bermain sendirian dan terus-terusan menjadi batter. Namun entah kenapa gadis kecil itu menikmatinya.

Manik Arata yang terus mengikuti ke mana tubuh Lizie itu, berhenti ketika objeknya juga berhenti di base awal.

Mengayunkan bat dua kali, Lizie kemudian memasang posisi. Dan untuk yang ketiga kalinya Tamaki Nagi dibuat terkagum dengan kharisma cewek itu ketika menjadi batter.

Tsukishima Kei yang kini menjadi pitcher sedang bersiap di tempatnya. Dengan peluh ia kemudian melemparkan bola itu ke depan.

Namun Lizie ternyata tak mengenainya. Strike.

Menghela napas samar, Tsukishima menyunggingkan senyum miring. Gadis di hadapannya ini, entah kenapa seperti sedang meledek mereka.

Mengambil bola hijau lain, Tsukishima bersiap lagi seusai Lizie bersiap juga.

Strike yang dilakukan Lizie ini, seperti meledek mereka. Sebab di percobaan kedua, pasti gadis itu selalu mendapatkan pukulan.

Tak!

Kali ini bola juga melambung jauh ke atas. Namun tak lurus seperti biasanya, tampaknya pukulan Lizie agak melenceng.

Prang!

Hingga suara pecah pun samar terdengar.

Semua orang yang ada di situ melihatnya. Bola itu mengenai kaca jendela lantai tiga gedung sekolahnya.

Tsukishima Kei sebagai pitcher, dan Liziaslav Kanbara sebagai batter kini saling melirik satu sama lain.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro