ʙᴀʙ sᴇʙᴇʟᴀs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• ᴄᴏᴍғᴏʀᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Kau tidak jatuh cinta pada Rhea, 'kan, Ai?

Kata-kata yang dilontarkan Benedict mungkin pelan terdengar di telinga Aiden. Pria berambut pirang itu mungkin kini tengah terlelap dengan mulut yang terbuka saking lelahnya dan melupakan pertanyaan yang ia tuju pada Aiden ketika berhasil menyentuh dunia mimpi.

Mulanya Aiden tidak begitu memikirkan ucapan Benedict. Jelas rekan kerjanya itu hanya suka berandai-andai akibat hobi membaca novel romansa ketika tidak mengerjakan penelitian. Sesuatu yang Aiden pikir menimbulkan efek khayal tingkat tinggi.

Namun, tidak untuk kali ini. Jantung Aiden jadi berdebar kala mengingat pertanyaan yang diajukan oleh Benedict. Meski bibir dan ego menyangkal bahwa apa yang ia rasakan adalah cinta, tetapi tetap saja ada ketakutan jika itu sampai terjadi.

Aiden bukan pria munafik, dia tahu jelas bahwa gadis yang ia amati selama sebulan terakhir ini memiliki paras yang cantik. Tawa Rhea sungguh berbahaya, sesekali itu menular pada Aiden meski jarak mereka terlampau jauh. Dan dari semua yang Aiden perhatikan dari seorang Rhea, pria itu suka melihat tahi lalat di bawah matanya juga matanya yang menyipit ketika tersenyum.

Tunggu dulu!

Aiden cepat-cepat menggeleng untuk mengusir pikirannya tentang Rhea. Pria itu melirik jam yang ada di kapsul tidurnya menunjukkan pukul dua pagi. Selama enam jam, apa saja yang dilakukan Aiden?

Setelah merasa cukup bodoh dengan pikiran-pikiran gilanya akibat pertanyaan Benedict, Aiden memutuskan untuk menyerah pada percobaan tidur yang gagal. Pria itu mengambil kaca mata yang diletakkan di samping bantal dan memakainya sebelum beranjak dari kapsul tidur.

Niat Aiden menyeduh kopi terhenti lantaran matanya menangkap sosok Ethan yang tengah melamun di depan komputer yang ia biarkan menyala.

"Kau belum tidur?"

Pada detik pertama pertanyaan itu dilontarkan Aiden, Ethan buru-buru mematikan komputer di depannya. Pria itu bahkan terkejut ketika mendapati sosok Aiden yang berjalan ke arahnya.

Aiden mengerutkan kening, melihat reaksi berlebihan dari Ethan agaknya membuat ia berpikir curiga pada laki-laki itu.

"Kau sedang apa?" Sebuah tanya mengudara dari bibir Aiden ketika berhasil berdiri di samping Ethan yang buru-buru menutup jurnal.

"Tidak ada."

"Tidak ada?" Aiden membeo. "Lalu kenapa kau di sini?"

"Aku hanya membereskan apa yang kau tinggalkan selama sibuk dengan gadis kecil itu," kilah Ethan. pria itu berdiri, merapikan meja dan membawa jurnal yang sempat ia sembunyikan dari Aiden, meninggalkan pria yang menjadi ketua timnya mematung di depan meja.

"Kau marah padaku?" tanya Aiden.

Ethan menghentikan langkah. "Tidak," jawabnya tanpa berbalik ke arah Aiden yang sudah menghadapnya.

"Aku tahu kau marah padaku."

"Untuk apa? Aku tidak akan melakukan hal yang aku pikir tidak ada gunanya, Ai," jawab Ethan seraya melanjutkan langkahnya meninggalkan Aiden.

"Aku tidak menyukainya! Aku hanya tidak tega melihatnya seorang diri." Aiden bersuara. "Kau tahu. Kita bertiga tahu jelas apa yang akan ia alami tidak lama lagi. Aku hanya ingin membuatnya bahagia meski itu hanya sebentar saja. Apa kau salah?"

Ethan akhirnya berbalik, menatap Aiden dengan raut wajah bingung. "Kau yakin masa depannya akan sama lagi ketika kau ikut campur dengan kehidupannya yang sekarang?"

Aiden bergeming. Waktu bukanlah hal yang mudah dijelaskan. Sebelum ini mereka sudah tahu apa yang akan Rhea alami untuk lima bahkan sepuluh tahun ke depan dan berjanji tidak akan ikut campur dengan itu semua. Namun, Aiden melanggar janjinya dengan menolong Rhea dari kecelakaan, tanpa sadar ia telah mengubah apa yang harusnya Rhea alami di masa yang akan datang.

Kemudian, kini Aiden ingin kembali mengubah kehidupan pendidikan Rhea. Itu berarti, bisa saja masa depannya akan juga ikut terseret berubah.

"Aku tebak. Kau belum memikirkan itu semua bukan?" Ethan tersenyum remeh ke arah Aiden yang tengah menunduk.

"Iya. Kau benar. Aku memang belum memikirkan itu semua. Karena itu aku ingin meyakinkanmu. Kau lihat dia seumuran dengan Noah, bukan?"

"Jangan bawa-bawa Noah!"

Ethan menyentak keras ketika Aiden menyebut nama mendiang sang adik yang sudah meninggal. Rasa bersalah membuat pria itu selalu sensitif jika mengenai Noah.

"Kenapa? Apa kau masih berpikir ketidakpedulianmu pada Noah yang menyebabkan dia meninggal?"

Tepat Aiden selesai dengan kata-katanya, bogeman mentah melayang ke wajahnya. Ethan pelakunya, pria itu tidak pernah tahan jika ada yang menyebut nama sang adik.

"Itu bukan salahmu! Setidaknya sedikit saja kau bersikap peduli pada sesuatu. Mungkin itu juga yang diinginkan Noah." Aiden tidak membalas. Ia membiarkan wajahnya menjadi sasaran kemarahan Ethan. "Jika kau benar ingin mengubah sesuatu, ubahlah apa yang sekarang ada di depan matamu, Et!"

"Tapi itu semua tidak akan pernah membuat Noah kembali!" Ethan mengeraskan suaranya. Dada pria itu bahkan naik turun karena kelimpungan mengatur sesak yang menghimpitnya.

"Noah tidak akan pernah kembali. Kau sendiri tahu itu, Et. Tapi bayangkan, mungkin saja kau bisa menebus apa yang kau anggap rasa bersalah pada Noah dengan cara memperbaiki sedikit roda kehidupan orang lain."

Ethan diam, memilih mendengarkan ucapan Aiden.

"Setidaknya beri aku kesempatan membahagiakan gadis itu meski hanya sebentar. Aku berjanji padamu, tidak akan lebih dari itu."

Setelah beberapa detik hening menyelimuti mereka berdua, terdengar helaan napas pelan yang berasal dari Ethan. Pria itu mengambil posisi duduk pada kursi yang sebelumnya ia tinggali dan mengetukkan jari sebanyak dua kali.

"Empat belas hari."

Aiden mengerutkan kening. "Empat belas hari?"

"Yaa. Aku beri kau waktu empat belas hari untuk bersamanya sebagai bayaran dia memberikan sampel darahnya untuk kita teliti bagaimana dia bisa selamat dari MIS-A ketika terinfeksi."

Jawaban yang diberikan Ethan langsung saja membuat sesuatu meletup di dada Aiden. Untuk mengeluarkan letupan itu, Aiden berseru. Saking kerasnya, bahkan membangunkan Benedict yang sejak tadi terlelap di kapsul tidurnya.

"Jam berapa ini? Apa aku terlewat sesuatu?" tanya Benedict sembari menguap. Pria itu bahkan belum sepenuhnya sadar ketika Aiden mengguncang tubuhnya untuk mengekspresikan rasa senang.

Ethan mengusap wajah, setidaknya ia harus berdamai dengan Aiden agar pria itu sibuk untuk sementara waktu. Meski, Ethan tidak tahu persis, keputusannya apakah akan berakibat baik atau justru lebih buruk.

****

Rhea hampir saja berteriak ketika mendapati Aiden ada di depan toko roti pagi-pagi buta. Bahkan, langit masih gelap karena matahari belum muncul sepenuhnya, tetapi pria itu sudah begitu bersinar dengan balutan baju olahraga yang berwarna hitam, kontras sekali dengan kulitnya yang putih.

"Hai, Rhea!"

Begitu sapa Aiden ketika mendapati Rhea kebingungan melihat sosoknya. Sepertinya Aiden tidak pernah peduli dengan apa pun yang orang lain pikirkan tentangnya.

"Kau sedang apa di sini, Kak?"

"Apa kau bisa menebaknya?" Bukannya menjawab pertanyaan Rhea, Aiden justru menggoda gadis yang kini tengah memegang kantong sampah besar dan memutar bola matanya malas.

"Ini terlalu pagi untuk mengajakku bercanda, Kak!"

Mengabaikan Aiden yang bersidekap dengan bertumpu pada dinding, Rhea lebih memilih menyeret kantong-kantong sampahnya dan membuangnya ke tempat pembuangan.

Aiden menyusul setelah merasa terabaikan. Ia mengambil alih kantong-kantong sampah itu dari tangan Rhea dan membuangnya sebelum gadis itu sempat melakukannya.

"Aku serius. Aku punya kabar baik untukmu."

Rhea tidak begitu menanggapi, gadis itu lebih memilih untuk berbalik dan kembali meninggalkan Aiden.

"Aku ingin mengenalkanmu pada Ethan dan juga Benedict."

Ucapan Aiden itu mau tidak mau membuat Rhea menghentikan langkah untuk beberapa saat. Gadis dengan kucir kuda itu menoleh ke arah Aiden seraya bertolak pinggang. "Untuk apa aku mengenal mereka?"

Aiden melepaskan napas ke udara dengan amat berat. Ethan dan Rhea punya banyak kesamaan, susah untuk diyakinan adalah salah satunya.

"Kau menganggap apa yang kuucapkan kemarin malam ada sebuah kebohongan? Kau pikir aku datang ke sini hanya untuk main-main begitu?"

Aiden lelah, semalaman ia tidak dapat tidur karena memikirkan bagaimana ia harus mengurus keperluan sekolah Rhea hanya dalam empat belas hari. Namun, kini mendapati Rhea tidak peduli agaknya menjadi sedikit menjengkelkan bagi Aiden.

"Bukan begitu, Kak. Hanya saja aku ...."

"Rhea." Aiden memotong sebelum Rhea menyelesaikan ucapannya.

"Harus berapa kali aku mengatakan padamu, bahwa aku datang ke sini untukmu. Jadi aku akan membantu apa pun yang kau butuhkan. Apa pun."

Kalimat itu mungkin pelan Aiden ucapkan, tetapi sukses tertancap dalam benak Rhea yang entah sampai kapan Rhea percaya bahwa Aiden akan selalu ada untuknya.

ᴅᴀʀɪ ᴀɪᴅᴇɴ ᴀᴋᴜ ʙᴇʟᴀᴊᴀʀ, ʙᴀʜᴡᴀ ᴍᴇɴᴅᴀᴘᴀᴛ ᴋᴇᴘᴇʀᴄᴀʏᴀᴀɴ sᴇsᴇᴏʀᴀɴɢ ɪᴛᴜ ʙᴜᴛᴜʜ ᴋᴇʀᴊᴀ ᴋᴇʀᴀs.

ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro