Bluemoon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kedua mataku hanya terus mengerjap. Mencerna ucapan Savanna dengan begitu lamban hingga sebuah denyutan kesakitan kembali menggentayangi kepalaku. Tubuhku terhentak ke belakang, kembali bersandar pada punggung bangku seraya memejamkan mata, dan merintih kesakitan.

Gambaran-gambaran akan masa laluku yang tadi terputar kembali datang. Membuat sebuah tangan dingin menyentuh lenganku hingga mendadak semua kesakitan itu hilang begitu saja.

"Semuanya butuh waktu, Dixon. Kau akan mengerti seiring waktu berlalu," ujar seorang gadis dengan suaranya yang begitu serak. "Tak usah khawatir, aku akan membantumu."

Aku menghela napas berat, menjatuhkan lenganku ke atas paha, kemudian membuka mataku secara perlahan. Hanya ada Savanna di hadapanku. Gadis itu tengah meraih tanganku untuk ia genggam. Kedua alisnya mengerut, kedua mata hijaunya terlihat begitu khawatir hingga aku tersadar bahwa pada wajah serta lehernya telah basah oleh keringat.

"Apakah rasanya begitu sakit?" tanyanya.

Aku mengangguk kecil, bahkan nyaris tak terlihat. Membuat Savanna mengeratkan genggamannya pada tanganku seraya menjatuhkan kepalanya di atas kedua tangan kami.

Kurasakan tanganku mulai basah, ditambah dengan punggung Savanna yang terguncang membuatku mengambil kesimpulan bahwa gadis ini sedang menangis.

Kuangkat kedua tanganku seraya mengangkat wajah cantiknya yang ternodai oleh perasaan kalut—aku bisa merasakannya entah bagaimana caranya. Kedua matanya menunduk, tak menghadapku sama sekali, dan ia terus memproduksi air mata.

Oh astaga.

Dengan sekuat tenaga aku mengangkat punggungku dari sandaran, mengusap air mata dari wajah Savanna kemudian merengkuh wajah gadis itu dengan kedua tanganku.

"Kenapa kau menangis, hm?" tanyaku.

Savanna menggeleng sembari menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Apakah ia tengah menahan isakannya?

"Sayang, berhentilah menangis," ujarku.

Kali ini kurengkuh gadis itu ke dalam pelukan. Membiarkannya menangis di bahuku yang kutahu akan membuatnya lebih nyaman dan berhenti menangis. Kedua tangan Savanna menyapa punggungku saat sebuah isakan keluar dari bibirnya.

Secara spontan tanganku mengusap-usap punggungnya, mengecup sisi kepalanya seraya berbisik bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Bahwa aku baik-baik saja.

Savanna mengeratkan pelukannya saat isakan itu telah berhenti. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku sembari berpindah dan duduk di pangkuanku.

Glek.

Aku mematung. Bingung harus berbuat apa saat tiba-tiba Savanna duduk di kedua tungkaiku. Bagaimana jika kedua orangtuanya melihat? Apakah aku akan segera dibuang ke Bumi? Bagaimana jika statusku sebagai Vampir dicoret dan langsung diasingkan sebagai manusia?

Mendadak sebuah kikikan terdengar di telingaku. Membuatku melirik ke arah Savanna dan mendapati gadis itu sedang mengusap-usap wajahnya pada bahuku kemudian mengangkatnya untuk bertatapan denganku.

Kedua mata gadis itu masih berkaca-kaca. Kedua mata hijau tuanya begitu menyejukkan hingga aku sendiri tidak ingin melepaskan pandanganku darinya. Sepasang matanya menatapku dengan serius dan bahagia, seolah kekhawatirannya tadi telah sirna.

"Aku—"

"Aku menyukaimu, Sana," selaku saat kutahu apa yang ingin ia katakan.

Kemudian seulas senyuman manis mengembang di wajahnya, ditambah rona merah yang mulai mencuat di kedua pipi mulusnya.

"Aku tidak akan berbuat buruk padamu lagi. Aku akan menjagamu. Aku akan meneruskan kewajiban Raja Xavier terhadapmu. Aku tidak akan membiarkanmu dalam bahaya. Aku akan menemanimu. Aku akan selalu ada untukmu, Savanna Charlotte Huighstone, aku berjan—"

"Tidak perlu berjanji," sela Savanna sembari melebarkan senyumannya. Ia menatapku dengan tatapan berseri-seri sebelum akhirnya kembali menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku. Oh ya ampun, dia lucu sekali.

.

.

.

Kedua mata biru itu menunjukkan bahwa Keisha tengah berada di antara kami. Menyeleksi satu persatu werewolf yang akan menempati berbagai kedudukan. Seperti Gamma—tim utama yang akan selalu berada di garis depan pertempuran, perawat, pengurus rumah pack, pelatih untuk para manusia serigala muda, dan lain sebagainya.

Sementara untuk beberapa half, ada yang langsung bergabung ke dalam seleksi yang dituntut Savanna dan Keisha dan ada beberapa pula yang akan dilatih untuk mengontrol Vampir yang ada di dalam tubuh mereka.

Para half yang akan bertugas bersama Gamma adalah mereka yang memiliki kekuatan penciuman yang paling kuat. Bahkan jika mereka ingin tetap menggunakan kekuatan Vampirnya, itu tidak masalah.

Beberapa ibu rumah tangga serta para gadis yang telah diutus Savanna untuk mengurus rumah pack telah meluncur ke dalam untuk merapikan, menata, serta memasak makan malam untuk mereka semua.

Dua pria serigala pun juga sudah mulai mengajarkan beberapa hal dasar tentang werewolf kepada anak-anak kecil yang nantinya akan bergabung kepada pack ini maupun pack yang lainnya.

"Daripada kau diam saja seperti orang dungu, lebih baik kau dengarkan penjelasan Hans dan Greg tentang werewolf," ujar Savanna seketika yang langsung membuatku menoleh ke arahnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Oke?"

Aku menatapnya, menghela napas sejenak kemudian mengecup singkat dahinya. "Oke."

Kedua tungkaiku berbalik arah, berjalan menyusuri halaman besar rumah pack menuju pekarangan belakang. Rumah pack ini sungguh besar, ditambah dengan halamannya yang luar biasa lapang hingga aku yakin kami bisa memain rugby di sini.

Cat dinding yang melekat pada bangunan luar berwarna silver, dengan garis vertikal berwarna cokelat muda yang berada di tengah-tengah bangunan. Rumah pack ini terdiri dari dua lantai, seperti rumah-rumah pada umumnya, lantai dua digunakan untuk beristirahat dan siapapun yang ingin menetap di rumah pack.

"Dan shift pertamamu biasanya datang saat kau berumur 75 sampai 100 tahun. Jika kurang atau lebih dari itu, maka bisa jadi kau adalah seseorang yang istimewa, memiliki kelainan atau kau memang bukan seorang werewolf," tutur seorang pria berambut pirang yang kurasa bernama Hans pada sekumpulan anak-anak kecil.

Sementara Greg berada tak jauh dari sana, berbicara pada golongan anak-anak yang tengah beranjak dewasa yang kuperkirakan akan mendapat shift pertamanya segera.

"Manusia Vampir! Kemarilah!" teriak Greg padaku yang lantas membuatku berjalan ke arahnya. Omong-omong Greg adalah salah satu dari beberapa manusia serigala yang bisa berbicara dengan baik padaku. Walaupun agak semena-mena, setidaknya ia lebih baik daripada Iven.

"Jadi anak-anak, ini Dixon Abraham. Beta dari Alpha kita. Dixon ini ialah seorang Vampir ras Emas. Ia baik, selama kau bisa memberikannya daging rusa dengan lezat."

Aku menyikut Greg seraya terkekeh, membuat pria itu melakukan hal yang sama sembari memegangi rusuknya.

"Ada yang ingin bertanya?" tanya Greg pada murid-muridnya.

Seorang laki-laki mengangkat tangannya. Kedua matanya begitu serius saat bertemu denganku. "Apakah seorang Beta harus menjadi pasangan dari Alpha terlebih dahulu?"

Aku mengernyit, sementara Greg menahan tawanya yang akan meledak. Namun sesegera mungkin ia menahannya, menelan kembali tawanya kemudian menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Tidak, Nak. Beta bisa siapa saja. Tergantung sang Alpha ingin siapa yang menjadi asistennya."

Anak itu mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Berikutnya ada seorang gadis yang mengangkat tangan, kembali mengajukan pertanyaan yang kali ini membuat Greg terdiam dan menatapku penasaran.

"Apakah Beta Dixon memiliki hubungan dengan Alpha Savanna?"

Aku sudah hendak menjawab dengan spontan ketika tiba-tiba suara jeritan melengking terdengar. Membuatku langsung berlari ketakutan dan mendapati gadis itu tengah cekikikan bersama Savanna.

"Ada apa?" tanyaku panik. Dan merasa dipermainkan.

Naomi terlihat sumringah, menatapku jahil kemudian kembali menatap Savanna yang kini tengah menoleh ke arahku. "Kau lihat, ia sekarang sudah tidak bisa menutupi perasaannya terhadapmu," ujar Naomi pada Savanna.

Aku terus berjalan mendekat. Kemudian meraih bahu Savanna untuk memperhatikannya dari atas hingga bawah—memastikan bahwa ia baik-baik saja. Pandanganku pun berakhir pada kedua mata hijaunya, membuatnya tersenyum kemudian menggeleng kecil.

"Naomi menjahilimu," tutur Savanna.

Aku menghela napas panjang, mengusap puncak kepala gadis itu kemudian berbalik badan. "Itu tidak lucu, Naomi."

Naomi masih dengan senyumannya sembari menatapku. "Aku hanya ingin tahu, Dixon."

"Oke, tapi jangan menakutiku seperti itu lagi."

Gadis berambut merah itu mengacungkan jempolnya dengan cengiran yang lebih lebar. Kuberantaki rambut rapinya sesaat sebelum berlari menuju kumpulan Greg dan anak-anak muridnya. Mereka masih di sana, memandangi kehadiranku dengan sorot mata yang bertanya-tanya.

Sekali lagi aku menghela napas. "Kau harus melakukan shift pertamamu terlebih dahulu, baru aku akan menjawabnya," ujarku pada gadis itu yang langsung membuatnya berbinar.

"Siap! Aku akan melakukan shiftku secepatnya!" balas gadis itu bersemangat. Membuatku mengangguk seraya tersenyum datar.

Aku menoleh ke arah Greg, mendapatinya tengah tersenyum miring yang kuartikan sebagai salam perpisahan. Ia pasti akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan, maka dari itu aku lebih baik pergi terlebih dahulu dan menyelamatkan diri.

Kemudian aku masuk ke dalam rumah pack, berkeliling di dalam sembari memastikan bahwa semuanya dalam kondisi aman. Para gadis dan ibu-ibu sudah mulai menghidangkan makanannya di atas meja yang cukup panjang. Diatur sedemikian rupa hingga kurasa seluruh anggota pack bisa makan malam tanpa berebut.

"Dixon...."

Aku berhenti berjalan saat Lanna dan Rion berdiri di hadapanku. "Ada apa?"

Lanna melirik Rion sejenak sebelum akhirnya meraih tanganku dan menatapku dengan kedua mata yang berbinar. "Terima kasih banyak telah membawa kembali kakakku dan memastikannya dalam keadaan baik-baik saja. Aku berhutang kepadamu."

Dengan segera aku menepuk lembut kepala Lanna. "Itu sudah menjadi kewajibanku untuk menjaga kakakmu, Lanna."

Adik dari Savanna Charlotte ini pun tersenyum lebar, membuatnya langsung menarikku, dan memelukku erat. Aku mengernyit, menatap Rion bingung yang hanya dibalas dengan cengiran khas pria itu.

Dengan jahil aku pun membalas pelukan Lanna erat, membuat gadis itu menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri kegirangan. Kali ini Rion tak lagi menyengir, wajahnya berubah datar dan menatapku tajam.

Aku tertawa, dan entah bagaimana caranya bisa bersamaan dengan ledakan tawa Lanna. Kami saling melepaskan pelukan, membuat Lanna langsung bergelayut manja pada Rion hingga membuat pria itu kembali luluh.

"Oh iya, aku sudah tau tentang keluargamu, Charlotte," ujarku sembari memainkan kedua alisku yang disambut dengan delikan keempat mata di hadapanku.

"Sudah?" tanya Lanna.

"Bagaimana caranya? Kau mencuri start!" tuduh Rion yang lagi-lagi membuatku tertawa.

Aku pun menggeleng seraya tertawa, meninggalkan keduanya yang masih terkejut atas ucapanku barusan. Setelah itu aku kembali berjalan keluar rumah, memandangi sesosok tinggi dan kurus itu sembari bersandar pada dinding teras. Naomi sudah pergi rupanya.

Aku bersedekap seraya memperhatikannya yang tengah sibuk menunjuk beberapa orang untuk dikelompokkan. Rambut hitam panjangnya ia ikat tinggi, walaupun cuacanya tidak begitu panas—dan sedikit bersalju—ia pasti sedikit kegerahan. Bahkan mantel yang tadi ia pakai telah ia tanggalkan dan lengan kaus yang ia gunakan telah dilipat hingga atas.

Ia berseru, meminta kelompok ini ke sana dan itu ke sini. Semuanya begitu terorganisir di dalam perintahnya. Tidak ada yang membangkang. Bahkan banyak dari mereka yang bersuka hati.

Hingga saat mereka berembuk dan satu persatu kelompok bubar, Savanna berdiam di tempatnya. Ia menghela napas panjang sampai punggungnya membungkuk. Gadis itu mengusap rambutnya yang mengganggu ke belakang, meraih mantelnya yang berada di atas salju kemudian berbalik badan.

Ia merengut, wajahnya terlihat begitu kelelahan. Dengan segera aku berjalan menghampirinya, merentangkan kedua tanganku untuk menyambutnya. Savanna pun menerimanya dengan senang sembari memelukku erat.

"Sudah selesai?" tanyaku.

Savanna mengangguk kecil.

Aku pun ikut mengangguk, mengusap-usap punggungnya kemudian mengecup puncak kepalanya lembut. "Ayo makan."

Kulepas pelukanku padanya, begitupun Savanna. Kemudian kami berdua masuk ke dalam dengan aku yang memegangi mantelnya. Aku bahkan menuntunnya menuju dapur yang berada di ujung rumah sembari memperhatikan wajahnya yang begitu pucat.

"Kau butuh darah?" tanyaku bertelepati.

Savanna pun mendongak sembari menggigit bibir bawahnya ragu. Setelah diam sejenak, ia menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu setelah kau memberi makan Keisha, oke?"

Sekali lagi Savanna mengangguk.

Savanna duduk di ujung kepala meja, sementara aku berada tepat di sampingnya. Rion dan Lanna pun ada di seberangku, dengan hidangan yang masih mengepul di hadapan kami semua.

Seluruh anggota pack ternyata sudah berkumpul, menunggu perintah dari Savanna selaku Alpha dari pack yang baru saja lahir.

"Terima kasih telah menungguku," ujarnya serak. "Maaf aku begitu berantakan dan kotor, aku sangat lapar dan yah, mari kita makan sekarang. Terima kasih atas hidangannya!"

Para anggota pack pun berseru, ikut mengucapkan terima kasih kemudian mulai menyantap makanan masing-masing. Dan sepertinya para juru masak sudah tau makanan kesukaanku, Rion, Lanna, dan Savanna. Kami memiliki satu-satunya santapan yang berbeda di antara yang lain. Terutama Savanna.

Ketika semuanya memakan daging, ia disajikan dengan satu piring yang penuh akan sayuran. Membuatku bertanya-tanya bagaimana bisa ia hanya memakan sayuran tanpa daging atau apapun yang lainnya? Apakah itu cukup untuk Keisha?

"Sudahlah, sayang, makan saja. Tidak usah banyak tanya." Telepati Savanna yang lantas membuatku bungkam. Oke. Aku tidak akan banyak bertanya.

Setelah santapanku habis, aku pergi ke pekarangan belakang untuk menikmati udara malam yang sejuk. Tidak panas seperti saat di Maegovanen. Tak lama setelahnya, Savanna datang menghampiri. Kami duduk di bangku yang berada di pekarangan belakang sembari menatap rembulan—maksudku, hanya aku, sementara Savanna menghisap darahku.

Kami berbagi cerita, membicarakan masa yang akan datang, dan bagaimana mengatasi segala masalah yang akan datang nantinya. Ditambah lagi kami harus mempersiapkan pasukan untuk membantu Xave Ketiga dalam berperang. Masih banyak tugas yang akan kami emban hingga beberapa bulan ke depan.

Hingga saat hari mulai semakin menggelap, dapat kurasakan helaan napas teratur di dekatku. Kepala Savanna sudah bersandar pada bahuku entah sejak kapan. Membuatku mengecup kepalanya lembut dan membiarkannya tertidur di sana hingga matahari menjemput.

.

.

.

Hari-hari kami berlalu dengan berat sejak anak-anak murid Greg sudah mulai melakukan shift mereka. Membuat Savanna kewalahan karena kurangnya pria dewasa yang bisa membantu kami untuk melatih para anjing. Sejujurnya aku mau saja, tapi apa yang aku tahu tentang werewolf?

Savanna pun akhirnya meminta beberapa orang Gamma untuk membantu Greg serta Hans. Mengajari para pemula untuk berburu, bertahan hidup, dan segala hal lainnya. Para anak-anak kecil pun mulai diajari banyak teori dan cara bertahan hidup walau hanya sekadar di pekarangan belakang.

Aku yang merasa tak berguna pun memutuskan untuk membantu Hans mengajari anak-anak itu. Atau sesekali mengajarkan beberapa pemula tentang tanda-tanda alam, hewan dan binatang mematikan, dan beberapa wilayah Vamps yang menjadi titik tergelap.

Kami bekerja dengan sinkronasi yang pas. Saling melengkapi satu sama lain hingga suatu saat Savanna dipanggil oleh kedua orangtuanya untuk membantu Xave Ketiga di Cygnus. Savanna hanya mengatakan bahwa Lalluna Revolder—Xave Ketiga—sedang berada di ambang kewarasan. Ia begitu stres dan tertekan akan tugas yang tengah ia pikul.

Di pagi selanjutnya, aku mendapati Savanna sudah berada di pekarangan belakang dengan kaus dan celana belel hitam. Rambut panjangnya sudah ia ikat tinggi walaupun ia tak berkeringat sama sekali.

"Sana?" panggilku. Ia tak menoleh. Tatapannya terus tertuju kepada hutan yang mengelilingi pack kami itu tanpa berkutik sedikit pun. "Savanna? Kau tidak lapar?"

Kali ini gadis itu berbalik badan, berjalan ke arahku namun semua itu hanyalah pemikiranku semata. Ia melewatiku. Ia tak mengacuhkanku dan langsung masuk ke dalam tanpa basa-basi.

Aku mengernyit bingung, ada apa dengan gadis ini? Apakah ada sesuatu yang terjadi kepadanya selama di Cygnus? Apakah Xave Ketiga melakukan sesuatu kepadanya?

Dengan segera aku ikut masuk ke dalam rumah, mengejar gadis itu yang kini sudah menaiki tangga ke atas. Aku meraih pergelangan tangannya yang langsung ditepis kasar oleh gadis itu. Oh wow. Ada apa ini?

"Savanna!"

Ia sudah berada di ujung tangga saat aku berseru, namun Savanna tak juga menghiraukanku dan terus melanjutkan langkahnya. Aku terus mengejarnya, mengikutinya masuk ke dalam suatu ruangan kemudian berdiri tepat di dalam ruangan saat ia telah berhenti dan bersandar pada pagar balkon.

"Sayang?" panggilku.

Lagi-lagi gadis itu terdiam. Membuatku jengah dan dengan sebal melangkah keluar untuk meraih lengan gadis itu.

Kedua mata Savanna berwarna hijau, sorot matanya terlihat begitu malas saat berhadapan denganku. Membuatku mengernyit dan menggenggamnya lebih erat.

"Ada apa denganmu?"

Ia hendak menepis tanganku lagi. "Bukan urusanmu."

"Oh, itu urusanku."

"Kau bukan siapa-siapa."

"Kau milikku, Savanna." Geramku yang langsung membuatnya mengernyit. "Kau milikku. Aku milikmu. Urusanmu adalah urusanku. Aku berhak tahu. Berhenti bersikap seolah kau adalah gadis misterius."

Savanna pun berdecih. "Tidak usah ikut campur."

"Demi salju Vamps! Ada apa denganmu, sayang?"

Savanna mengalihkan pandangannya dariku, kembali menatap hamparan pohon yang mengelilingi rumah pack dengan kaku.

Aku pun melepaskan genggamanku padanya, mengusap rambutku ke belakang kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan yang ternyata milik Savanna. Aku bersandar pada dinding yang berada di dekat pintu keluar, memperhatikan gadis itu dalam diam dan tak berniat untuk berbicara lagi kepadanya.

To be continue

Sorry for really late update. Sebagai gantinya ini panjang kannnn ehehe maaf yaaa aku menghilang dr peradaban beberapa minggu terakhir:< hope you guys like this chapter!♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro