Duabelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengangguk mantap dan dengan tegas membalas tatapan ratu. "Tentu, Ratu."

Seulas senyuman manis terulas di wajahnya. Membuatku mengerti darimana asal senyuman tipis namun memesona yang Savanna miliki.

Oh sial, aku benar-benar menyukainya!

Kemudian ratu kembali membimbingku keluar ruangan, masuk ke dalam rumah, dan menyuruhku untuk menghampiri Savanna di kamarnya.

Pada langkah-langkah pertama, aku merasa ragu. Dan perkataan ratu tadi sebelum kami pergi kembali terngiang di benakku. Membuatku berhenti berjalan dan memblok semua manusia yang bisa saja membaca pikiranku.

Tunggu.

"Dan kuharap kau tak akan melukai hati anak gadisku lagi"? Apakah aku telah melukai gadis itu selama ini? Memangnya apa yang telah aku lakukan? Apakah aku berlaku kurang baik terhadap seorang Putri Kerajaan? Aku bahkan tidak tahu-menahu tentang itu.

Kutarik dan kuhela napas pelan, menghilangkan pikiran tersebut sembari kembali berjalan menuju kamar Savanna. Kuketuk pintu berwarna cokelat tua itu dengan pelan, menunggu sahutan dari dalam kemudian mendorong tuas pintu dan membuka pintu hati-hati.

Aku melihat raja masih di sana. Berdiri di ujung ranjang Savanna sembari bersedekap. Kedua mata hijaunya yang sama persis dengan milik Savanna menatapku—kali ini aku menatap dahi beliau.

Aura intimidasi yang sebelumnya menyelimutiku kini berubah membaik. Raja bahkan mempersilakanku untuk berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya saat ia berbalik hingga kami dapat memerhatikan gadis yang tengah tertidur pulas di atas ranjang.

"Maaf soal mengendusmu tadi, anak muda," ujar Raja Xavier yang lantas membuatku terkejut dalam diam. Seorang raja meminta maaf kepadaku! "Biasalah, insting seorang werewolf."

Aku tidak menoleh untuk membalas ucapan raja karena aku tahu bahwa mata kami hanya tertuju pada Savanna. "Tidak apa, Raja."

"Jadi, apa saja yang telah kau lakukan dengan Savanna, Dixon?"

Kali ini aku menoleh, mengerutkan kedua alisku bingung seraya menatap dahi raja yang kini tengah menoleh ke arahku juga. Ia menyeringai. "Kami tidak melakukan apa-apa, Raja."

Raja pun mengangkat salah satu alisnya. "Benarkah?"

Aku mengangguk. "Ya, mungkin aku sudah memegang tangannya dan menandainya. Itu saja."

"Itu saja?"

Aku semakin mengerutkan kedua alis bingung. "Maksudmu, Raja?"

"Kau tahu, Nak, banyak sekali pria di luar sana yang ingin menyentuh putriku. Banyak yang mengincarnya dan banyak yang ingin menjadikannya bahan kejahatan mengingat ibunya pernah melakukan suatu hal hingga nyaris membunuh rasnya sendiri. Ditambah neneknya yang pernah membantai habis salah satu ras terkuat di Vamps, Sana benar-benar sangat diincar," jelas Raja.

Omong-omong, neneknya Savanna adalah seorang Xave. Ia adalah wanita yang membunuh kedua orangtuaku.

"Jadi, kutanya sekali lagi, apa yang pernah kau lakukan dengan putriku?"

Aku mengendurkan kerutan di alisku. "Memegang tangannya dan menandainya."

Kemudian Raja Xavier mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku. Membuatku memperhatikan telapak tangannya yang entah mengapa membuatku terfokus ke sana.

Cahaya putih berpendar di telapak tangannya saat tiba-tiba aku seperti terdorong jauh ke dalam sebuah lorong hitam. Pijakanku berubah menjadi tanah yang cukup becek. Kehadiran raja serta Savanna pun menjadi sirna.

Mendadak kepalaku berdenyut sakit, membuat kaki melemas dan tubuhku terjatuh di atas tanah. Seolah terhisap, setengah tubuhku mulai tenggelam di antara tanah ini. Namun aku tak bisa memberontak. Seakan seluruh tubuh hingga otakku dihujami jarum panas secara terus-menerus.

Hingga saat tubuhku kembali terjatuh entah kemana, kurasakan tubuhku berhenti dan melayang di tengah ruangan kosong. Tak ada apapun selain cahaya-cahaya putih yang bersinar di seluruh penjuru ruangan.

Aku mencoba berjalan, namun tak ada reaksi sedikit pun. Hingga kucoba membayangkan bahwa aku tengah terbang, perlahan-lahan tubuhku bergerak. Menuju suatu tempat yang tak kuketahui.

Otakku pun berhenti berkhayal saat sebuah cahaya di hadapanku mulai menampilkan sebuah gambar. Seorang pria berambut pirang yang kini tengah bersembunyi ketakutan di balik pepohonan. Keringat membasahi tubuh pria itu, kedua matanya terpejam erat seolah tak ingin melihat sesuatu di hadapannya.

"Dendra!"

Aku membuka kedua mataku, air mata terus mengalir saat sinar rembulan seolah menyorot kedua orangtuaku. Seakan memberitahu Xave Pertama bahwa di sinilah makanannya berada.

"Dendra! Tetap di situ!" ujar ibu saat keringat mengalir dari dahinya. Ia berlutut sembari mengulurkan tangannya seolah ingin meraihku. Namun, kami sama-sama tak bisa saling menggapai. "Ibu dan Ayah akan kembali lagi nanti. Oke?"

Aku mengangguk. Masih menangis sembari menatap kedua mata hitam yang dimiliki ibu serta ayah yang diwariskan kepadaku. Ayah tersenyum kecut, ia merangkul ibu yang kini mulai terisak. Mereka pun berdiri, berbalik badan bersamaan dengan pandanganku yang mendapati sesosok wanita yang kini tengah berdiri tepat di bawah sinar rembulan.

Untuk sesaat aku merasa seperti waktu terhenti. Kedua mata hitamnya yang tadi menatap kedua orangtuaku kini teralih kepadaku. Kedua mata itu berubah menjadi biru, menatapku dengan tatapan mendamba yang kubalas dengan sedemikian rupa.

Ia begitu cantik. Dengan rambutnya yang seolah dibasuh dengan cahaya keemasan sinar rembulan, membuatku terpukau oleh kecantikannya. Hidungnya begitu manis—tidak begitu kecil dan tidak begitu besar, kedua sudut bibirnya seolah tertarik dan melambangkan bahwa ia selalu tersenyum.

Saat kedua matanya kembali berubah hitam, ia sudah menatap kedua orangtuaku. Membuatku bertanya-tanya bagaimana bisa tadi kami saling bertatapan? Apakah kepekaannya terhadap ras lain begitu besar sehingga ia bisa merasakan kehadiranku?

Saat wanita itu mulai melangkah maju kepada ibu dan ayah, kedua tanganku mengepal. Memperhatikan mereka dari dalam bayangan.

"Xave Liona, astaga, mohon ampuni kami," ujar ayah. Oh ya ampun, aku tidak berani melihatnya!

"Kami akan menjadi budakmu, jika itu yang kau mau. Asalkan jangan bunuh kami, Yang Mulia Xave Liona." Kali ini terdengar suara ibu.

Detik berikutnya terlewati hanya dengan keheningan, tak ada satu pun yang bersuara hingga tiba-tiba saja aku bisa merasakan udara yang begitu kencang berhembus dari arah kedua orangtuaku. Lantas aku menoleh, mendapati keduanya tengah berbaring tak berdaya dengan kepala mereka yang terpisah dari tubuh serta beberapa cabikkan khas serigala.

"Dixon?"

Saat sebuah suara yang begitu kukenali terdengar, tubuhku kembali tertarik ke dalam cahaya. Memindahkanku ke suatu tempat yang kukenali berada di Maegovanen.

Namun saat aku hendak melihat wajah sang empu suara, aku kembali tertarik ke dalam diriku sendiri. Melewati lorong-lorong gelap tadi dan mengerjap saat kulihat Savanna serta Raja Xavier tengah menatapku.

Aku mengerutkan dahiku, merasa bingung kenapa kini aku tengah duduk di bangku. Savanna yang masih berada di atas ranjang, dengan selimut yang menutupi kaki jenjangnya, melambai ke arahku.

"Kau baik-baik saja?"

Aku kembali mengerjap saat tiba-tiba pandanganku memburam dan menajam untuk beberapa kali. Kemudian kubenarkan posisi dudukku, berdeham dan menggeleng cepat. "Ya, kurasa," jawabku.

Raja Xavier pun menghampiriku, menyodorkan segelas air mineral yang kuterima dengan ragu-ragu. Ia bilang, air ini akan membantuku merasa lebih baik. Kutenggak minuman itu cepat-cepat, tersadar bahwa kerongkonganku terasa begitu kering.

"Papa mengembalikan ingatanmu," ujar gadis itu setelah raja mengambil gelasnya lagi. "Oh iya, omong-omong, Raja Xavier adalah papaku."

Aku mengangguk. "Aku sudah terkejut duluan sebelum kau mengatakannya."

Kulihat Savanna dan Raja Xavier tertawa. Tertawa?

"Ya, jadi papa mengembalikan ingatanmu. Lebih tepatnya, setengah. Ia membawamu ke masa lalu barusan," jelas Savanna yang seolah-olah habis membaca pikiranku. Tidak. Ia selalu membaca pikiranku.

"Kau benar, aku selalu membaca pikiranmu," balasnya dengan ekspresi datar. "Jadi sebenarnya kau ini adalah reinkarnasi dari seorang ras hitam, Dendra Vlanosk. Apakah kau ingat?"

Denyutan itu kembali menghampiriku, membuatku menggeleng kecil seraya berkata, "teruskan."

"Nenekku membunuh kedua orangtua Dendra Vlanosk. Sebuah keluarga ras Hitam. Bukan keluargamu, Dixon Abraham, keluarga ras Emas. Selama ini masa lalu serta kenyataanmu selalu tercampur dan menyebabkan kau bingung harus memercayai yang mana."

"Dan sesungguhnya, selama ini, kau tidak membenci ras mana pun, Dixon Abraham," ujar Raja Xavier. "Kau takut. Lebih tepatnya, Dendra Vlanosk takut kejadian itu akan terulang kembali. Maka dari itu kau selalu mencoba membuat kedua ras berdamai."

Aku mengerjap, mencerna perkataan ayah dan anak ini secara lamban dan satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulutku ialah: "Jadi kedua orangtuaku masih hidup?"

Dengan seulas senyuman tipis dan manis, Savanna mengangguk. "Mereka telah menunggumu di rumah."

To be continue

Sorry freak wkwk aku lagi nyoba  nyusun masalah dan kaitan-kaitan dari Ave sama ALPHA's Savior soalnya.heheh so dont forget to comment for sure kalau ada saran dan kritik.

See you on next chapter!♥

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro