Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dixon's POV

"Keluar." Kali ini suaranya menjadi sebuah lirihan. "Tolong."

Mau tak mau aku berjalan mundur, membiarkan gadis itu menenangkan diri. Namun ketika aku memutar tubuh, Lanna dan Rion sudah ada di hadapanku. Kedua tatapan Lanna menyiratkan kekhawatiran yang aku sendiri tidak mengerti.

Aku mempersilakan adik Savanna berjalan masuk ke dalam dapur, menahan Rion di depan seraya mengatakan padanya bahwa gadis itu butuh waktu.

Tak butuh waktu lama, Savanna dan Lanna pun akhirnya keluar dari dalam dapur. Berhenti tepat di hadapanku dengan kepala Savanna yang mendongak untuk menatapku.

"Itu mata milik Keisha—serigalaku. Ia menyukai orkestra, namun setiap ia mendengarnya, ia akan kesakitan." Jelasnya seakan menjawab pertanyaanku tadi. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, aku tahu kau terpikirkan sesuatu karena mataku berubah menjadi biru."

Aku pun mengangguk. "Oke."

"Hanya oke?" tanya Lanna yang lantas membuatku mengerutkan dahi bingung.

Rion menoleh ke arahku, membuatku ikut menoleh dan ia mengirimkan sebuah telepati. "Ucapkan cepat sembuh, bodoh."

Aku menaikkan salah satu alisku, bertanya-tanya pada Rion untuk apa aku mengucapkan hal itu kepada Savanna. Namun Rion mendesakku, membuatku terpaksa mengatakannya hingga gadis itu mengangkat tangan kanan dan kembali berucap.

"Kami baik-bak saja."

Dan ia berjalan pergi.

Lanna mendelik ke arahku, begitupun Rion yang hanya kubalas dengan kerutan alis bingung. "Apa salahku?"

"Dasar payah!" Ketus adik Savanna dan menyusul sang kakak.

Rion pun menepuk bahuku, membuatku menghela napas jengah seraya menatapnya sayu.

"Ingat, ia adalah sebagian jiwamu, Dixon."

"Lalu?" Aku kembali mengerutkan dahi. "Memang kenapa?"

Rion mengibaskan kedua tangannya di hadapanku, memutar arah tubuhnya seraya menyusul kedua adik kakak itu ke lantai atas.

.

.

.

"Savanna!"

Aku menoleh, memperhatikan Lanna yang tengah mengejar Savanna dengan raut penasaran. Savanna pun memasuki dapur, menarik bangku di sebelahku kemudian bersedekap.

"Aku tidak mau tahu, aku akan tetap mengikuti festival seni!"

Aku mengangkat kedua alis singkat, kembali beralih pada paha rusa—hasil tangkapanku bersama Savanna dan Naomi tadi pagi—di hadapanku dan memakannya tanpa memedulikan percakapan penuh emosi dari Lanna kepada kakaknya yang masih bungkam.

Walaupun memang susah bagiku untuk tidak mendengar pembicaraan Charlotte bersaudara, setidaknya aku ingin Savanna tahu bahwa aku tengah berusaha untuk tidak menjadi seseorang yang penasaran akan hidupnya.

Hingga ketika Savanna bangkit dari duduknya dan mendorong Lanna dengan keras menuju dinding, aku bangkit dari bangku. Memerhatikan keduanya yang mungkin saja akan lepas kendali secepatnya.

"Terlalu berbahaya. Kau tahu akibatnya, jika papa mengetahui bahwa kau menonjolkan diri?" Geram Savanna tertahan seraya memelintir kerah baju Lanna—seperti apa yang ia lakukan padaku waktu itu.

Lanna pun terlihat mengerutkan kedua alisnya, menelan salivanya berat kemudian mengangguk ragu.

"Kau mau dikirim pulang dan hidup di rumah untuk kesekian kalinya? Tanpa Rion atau apapun yang lainnya, seperti itu?"

Sekali lagi Lanna menelan ludahnya seraya menggeleng. "Oke, masalahnya hanya—"

Savanna semakin menekan tubuh adiknya ke dinding dengan hentakan saat kurasakan emosi gadis itu telah memuncak. "Masalahnya banyak. Mengerti?"

"Oke, aku mengerti."

Sang kakak pun melepaskan genggamannya pada kaus Lanna, menepuk kepala adiknya lembut kemudian memutar tubuhnya.

Ia tidak terlihat terkejut saat tahu aku memperhatikannya, justru ia mengambil paha rusa yang masih berada di genggamanku dan memakannya dengan tidak sabaran.

"Aku memberimu waktu untuk menenangkan diri sebelum kita bertemu Raja Charlie," ujarku yang dibalas dengan anggukan kecil Savanna. "Sepuluh menit."

Ketika aku hendak pergi dan menyusul Rion yang sudah lebih dulu pergi menuju Istana, Savanna menahan pergelangan tanganku. Namun ia segera melepasnya saat aku tidak jadi meninggalkannya dan masih berdiri tepat di hadapannya.

"Jangan kemana-kemana."

Aku menghela napas. "Oke."

Dan saat aku kembali duduk, Savanna kembali ikut duduk di bangkunya seraya memakan rusa yang tadi ia ambil dariku. Sementara Lanna telah pergi entah kemana.

"Charlotte bertengkar. Bisa temui Lanna segera?" Telepatiku pada Rion yang langsung dijawab dengan persetujuan dari temanku itu.

Aku mengalihkan pandanganku dari Savanna mengingat bahwa ia masihlah seorang gadis Vampir yang akan emosional jika diperhatikan saat makan.

Hingga saat ia menepuk bahuku dan menunjuk ke arah piring kosongku tadi, aku mengangkat kedua alis bertanya-tanya seraya menatap gadis itu lurus.

"Untukmu."

Aku masih menatap piringku tak percaya, melihat dua paha rusa dengan daging yang begitu banyak membuat taringku semakin memanjang dan dengan tak sabaran memakan daging-daging itu.

Sekilas aku dapat mendengar gadis di sampingku terkekeh, membuatku entah mengapa ikut menarik sudut bibirku sembari memakan paha rusa itu dalam diam.

Kami terus terdiam sembari memakan sarapan. Walaupun sesekali salah satu di antara kami terkekeh, itu membuat suasana menghangat. Tidak seaneh dan secanggung yang sering aku rasakan.

"Beri tahu aku dua sifatmu." Tutur Savanna seketika.

Aku menatapnya, memerhatikan wajahnya lekat-lekat sampai akhirnya ia menoleh. Membalas tatapanku.

"Takut?" Tanyanya dengan sorot mengejek.

Salah satu sudut bibirku tertarik ke atas. "Agresif. Penasaran."

Savanna menganggukkan kepalanya. Sorot matanya mendadak terlihat serius. "Ada yang ingin kau tanyakan, Tuan Abraham?"

"Pertanyaan yang sama seperti apa yang kau ajukan."

"Posesif dan keras kepala."

"Kau memang keras kepala."

"Kau juga."

Dan setelahnya, seulas senyuman mengembang di wajahku. Persetan. Untuk apa aku tersenyum di depan gadis ini?

Dapat kulihat kedua sudut bibir Savanna berkedut. Membuatku tertawa seraya terus menatapnya—memancing Savanna untuk ikut tersenyum.

"Munafik," ujarku sembari menahan tawa. "Tambah itu ke dalam daftar sifatmu."

Detik itu juga, Savanna melebarkan senyumannya beserta wajahnya yang ikut merona. Wow. Apa yang telah kulakukan?

Aku pun menarik napas, melirik jam dinding kemudian menepukkan kedua tanganku. "Sudah 10 menit, ayo pergi."

.

.

.

"Dengan ini, aku, sebagai Raja dari Vamps, menyerahkan hak kepemimpinan kawanan serigala kepada Savanna Charlotte."

Gadis itu terlihat santai, ia mengecangkan jabat tangannya pada Raja Charlie seraya berucap.

"Aku, Savanna Charlotte, menerima hak atas kepemimpinan serigala yang hidup di Vamps."

Dan api berwarna merah membakar keduanya. Bukan dalam arti 'benar-benar membakar', namun tanda dari penyerahan jabatan yang sudah disahkan.

Aku yang menonton Savanna dari dalam ruangan bertepuk tangan. Warga Vamps yang berada di bawah sana pun juga bertepuk tangan dan menyambut kedatangan Savanna dengan baik.

Gadis itu melirik ke arahku, ekspresinya sangat datar. Hingga ketika ia beralih pada calon anggota packnya, ia tersenyum lebar seraya melambaikan tangan kecil.

"Aku hanya ingin yang terbaik. Tak ada permusuhan dan pertengkaran abadi. Mohon kerjasamanya."

Sekali lagi tepuk tangan menggema, membuat Savanna berbalik arah dan berjalan menghampiriku. Wajahnya sudah kembali datar, namun pandangannya menyiratkan banyak hal yang aku sendiri tidak mengerti.

Aku mengangkat bahu sejenak, seolah mengatakan padanya "ayo pergi".

Hingga suara Raja Charlie terdengar, kami menahan pergerakan kami dan Savanna berbalik arah.

"Dixon, kau menjadi Betanya Savanna?"

Aku mengangguk mantap. "Ya, Raja."

Kali ini Raja Charlie yang mengangguk. "Sana, kau serius membiarkan Dixon sebagai betamu?"

"Tentu, Raja." Savanna melirikku. "Aku serius."

"Bagus, kalau begitu." Raja Charlie kembali menganggukkan kepalanya, meninggalkan kami dalam atmosfir yang aneh hingga Savanna menjentikkan jemarinya di depan wajahku.

"Akan ada acara kerajaan nanti malam. Kau harus ikut."

Aku mengernyitkan kedua alisku. "Untuk apa?"

"Ikut saja."

Dan ia melenggang pergi dari hadapanku. Segera aku mengejarnya, menyamakan langkah besarnya yang tengah berjalan menuju tangga ke bawah.

Aku melirik ke arahnya sesekali, menahan segala pertanyaan yang berkelebat di dalam benakku.

"Aku ingin kau tahu sesuatu," ujarnya setelah—kuyakini—membaca pikiranku. "Rion juga harus tahu."

"Memangnya ada apa?"

Ia berhenti berjalan, pun aku. Kedua mata hijaunya menatapku lekat-lekat dan nyaris membuatku tenggelam di antara pesonanya. "Tunggu hingga nanti malam," tuturnya. "Ada yang ingin bertemu denganmu dan Rion."

"Siapa?"

Savanna berdecak. "Berhenti bertanya."

"Tidak."

"Berhenti."

"Tidak."

"Savanna." Suara seorang pria terdengar dari ujung bawah tangga. "Alpha Savanna?"

Aku dan Savanna saling bertatapan, dalam sekejap, wajah datar gadis itu berubah merona dan tersenyum bahagia. Ia pun menepukkan kedua tangannya bahagia, berlari menuruni tangga seraya menghampiri pria berambut merah serta kedua bola matanya yang berwarna cokelat.

Dalam sekejap Savanna sudah berada di pelukan pria itu. Mendekapnya erat sembari terus bergoyang-goyang, membuat rambutnya yang diikat ekor kuda ikut bergoyang-goyang.

"Astaga aku merindukanmu!"

Pria itu pun terkekeh sembari terus mengusap-usap punggung Savanna. "Jadi werelfku sangat merindukan pria tampan ini, hm?"

"Oh, hentikan itu." Savanna terdengar muak, namun setelahnya ia kembali terkekeh. "Persetan dengan kau tampan atau tidak, Heize, aku merindukanmu!"

Heize?

"Ya ampun, Sana." Ketika pandanganku dengan Heize bertemu, ia langsung melepas pelukannya dengan Savanna, membuat gadis itu bergelayut di lengannya dengan manja sementara aku kembali melangkah menuruni anak tangga untuk menghampiri pria itu. "Sana, hentikan aksimu."

"Itu hanya Dixon. Biarkan saja."

Entah kenapa aku merasa 'panas'. Tidak suka saat Savanna bersikap manja dengan pria berambut merah itu. Namun aku bisa apa sebagai pasangannya yang sama sekali tidak memedulikan perasaan di antara kami yang tak kunjung—atau mungkin tak akan—tumbuh?

"Dixon? Dixon Abraham maksudmu?"

Aku mengernyit. Ia tahu namaku darimana? "Siapa kau?"

Mendadak pria itu tersenyum lebar. "Sial, kau tak ingat aku?"

Aku menggeleng. "Siapa?"

"Heize, bodoh!"

Aku mencari sesuatu di benakku yang berkaitan dengan Heize. Hingga sebuah memori terngiang dan kedua alisku terangkat. "Heize yang saat itu memainkan Bluestone Alley di festival seni Maegovanen?"

Cepat-cepat ia mengangguk. "Dasar pianis." Ia menjitakku. Sialan. "Omong-omong, apa kabarmu sekarang?"

Mendadak pria ini melupakan Savanna yang berada di sampingnya. Rasakan!

"Baik. Kau?"

"Luar biasa baik!" Balasnya. "Omong-omong bagaimana kabar si gadis-mata-biru?"

Aku berdecak pelan. "Sudah tidak ada kabar sejak ia pergi entah ke mana saat itu."

Kali ini Heize yang mengangkat kedua alisnya. "Sungguh? Padahal kalian sangat serasi—jika kau mau tahu."

Dan suara dehaman Savanna menginterupsi kami. Mengambil kesadaran Heize yang kembali teringat bahwa Savanna berada di sisinya.

Gadis itu menatap Heize malas, membuat temanku itu menyengir kemudian berpamitan untuk membawa Savanna terlebih dahulu.

Kemudian aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan teleportasi. Setelahnya aku merebahkan diri di atas sofa, menatap langit-langit rumah seraya memijat pelipisku yang mendadak terasa penat.

Aku memejamkan mata. Bayangan akan gadis bermata biru itu kembali terngiang. Memenuhi benakku dengan tidak sabaran dan membuat kedua kaki lemas.

Gadis itu adalah gadis pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta.

Hingga akhirnya aku memejamkan mata dan tertidur begitu saja.

To be continue

Btw yang gatau werelf itu apa, werelf itu singkatan dari 'werewolf-elf'. Hasil ras yang pernah kubuat di cerita ALPHA'S Savior. Jadi dia itu seekor serigala tapi punya sayap. Gabisa dibilang elf tapi ya, dia cuma bisa ngeluarin sayap dan bisa sedikit--pake banget--sihir.

Dont forget to leave a vomment for me~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro