Enambelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran ibu dan ayah yang kembali meninggalkanku dengan Savanna. Bukankah aku datang kemari untuk menemui mereka? Namun kenapa mereka malah menyuruhku untuk menghabiskan waktu dengan Savanna?

"Kau tidak suka?" tanya gadis itu seketika dengan wajah datarnya.

Aku menoleh, menatapnya bingung.

"Hm?" tanyanya lagi, kali ini dengan kernyitan di alisnya.

"Tidak." Aku melihat Savanna langsung mengalihkan wajahnya dariku. "Aku suka," tambahku.

Gadis ini masih tak menoleh, membuatku menarik kesimpulan bahwa ia sedang mencoba jual mahal.

"Sayang?" panggilku.

Savanna masih tak kunjung menoleh, membuatku terkikik kemudian menyingkirkan rambut panjang yang menutupi sisi wajahnya kemudian mengusap puncak kepala gadis itu lembut.

"Savanna?" Kali ini ia berdeham. Membuatku tersenyum seraya mengusap pipinya lembut. "Lihat aku."

Ia menengok. Bukan dengan wajah datar ataupun kernyitan yang tadi ia tunjukkan. Namun dengan sebuah bibir manyun serta kedua matanya yang menatapku merajuk. Oh ya Tuhan. Ada apa dengan gadis ini?

"Ada apa?" tanyaku.

Savanna pun mengalihkan pandangannya dariku sejenak sebelum akhirnya ia kembali menatap kedua mataku lurus-lurus dengan seulas senyuman lebar di wajahnya. Pipinya bahkan mendadak merona yang didukung kuat oleh kedua matanya yang berbinar-binar.

Jelas aku semakin melebarkan senyumanku. Memujinya dalam hati bahwa ia sungguh menggemaskan.

"Tidak ada apa-apa."

Aku mengangguk, kembali mengusap kepalanya kemudian meletakkan tanganku di punggung sofa sembari menyandarkan kepalaku di tangan. "Apa yang harus kita lakukan?"

Savanna mengangkat kedua bahunya. "Entah."

"Kau lapar?"

Savanna menggeleng. "Tidak."

"Haus?"

"Tidak?"

"Lelah?"

"Tidak juga."

"Lalu?"

"Aku mencintaimu, Dixon."

Aku mematung dalam sekejap. Kedua telingaku terasa panas setelah mencerna ucapan Savanna bersamaan dengan seulas senyuman yang semakin melebar di wajahku.

Setelah merasa begitu bodoh dengan tindakanku, kemudian aku mengangguk sembari mencubit gemas pipi gadis itu. "Aku tahu, sayang."

Hanya itu.

Entah mengapa aku tidak bisa membalas ucapan Savanna. Payah! Pengecut!

Dan mendadak senyum manis Savanna berubah samar, menjadi seulas senyuman datar dengan kedua matanya yang menyiratkan perasaan aneh. Baru kali ini aku melihat Savanna seperti ini.

Gadis itu mengangguk saat ia menurunkan pandangannya. Membuatku tersadar bahwa aku telah melakukan kesalahan dan menyakiti Putri Ave lagi. Walaupun begitu, aku juga tersadar bahwa tak selamanya aku harus membenci ras serigala. Toh, mereka tidak membunuh siapapun di keluargaku.

Kuraih tangan dingin Savanna dengan lembut, menggenggamnya dengan kedua tanganku kemudian menggoyang kecil tangannya.

"Savanna?" Ia mendongak, dengan sorot kecewa yang kini ia paparkan jelas-jelas di hadapanku. "Aku mencintaimu juga, sayang."

Kedua alis Savanna pun naik secara perlahan. Membuatku mengangguk seolah tengah meyakinkannya. "Aku sudah tak punya alasan lagi untuk membencimu ataupun Keisha. Kalian sudah menjadi bagian dari diriku. Aku tidak bisa membenci kalian."

Mendadak kedua bola mata hijau itu berubah biru, membuatku tersenyum tipis saat jendela dunia yang melemparkan berjuta-juta kasih sayang itu menatapku dengan binar yang begitu jelas. Apakah ia akan menangis?

"Tentu aku akan menangis, bodoh!"

Aku pun tertawa, menariknya ke dalam dekapanku kemudian mengusap-usap punggungnya lembut. "Maafkan aku, sayang."

"Tidak mau! Kau membuatku menunggu begitu lama." Ini pasti Keisha.

"Lalu, haruskah aku mencarikanmu bahan berburu agar kau mau memaafkanku, hm?"

Keisha pun terkekeh, mengusap-usap wajahnya pada bahuku kemudian mengusap. "Tidak perlu."

Moodku berubah drastis saat mendadak ada ketukan kencang dari luar pintu rumah. Terasa begitu terdesak dan tak sabaran.

Kedua mata biru itu sudah menghilang saat ia melepaskan pelukannya seraya menatapku dengan kedua mata hitamnya sekilas. Kemudian kami melirik ke arah pintu, membuatku langsung berdiri untuk membukanya.

Aku melihat Hans di sana, kedua alisnya berkerut serta tatapannya begitu penuh dengan tanda bahaya.

"Ada apa?" tanyaku.

Hans menelan ludahnya sebelum ia berucap. "Pack ilegal yang dipimpin Iven sedang memporakporandakan pack yang berada di dekat gerbang masuk Vamps! Anggota yang berada di sana tidak begitu kuat. Dan dari apa yang aku dengar, seluruh anggota pack ilegal telah mengikuti penyihir hitam!"

"Kirim setengah werewolf dewasa ke sana. Dan setengah lagi ke pack perba—"

"Tidak." Savanna menyela. "Kirim dua Gamma ke sana dan satu Gamma ke pack satunya lagi untuk berjaga. Sisanya, jaga pack utama dan pastikan jangan ada satupun anak-anak yang keluar dari rumah."

"Savanna, kau tidak tahu betapa kuat mereka," protesku tak setuju atas perintahnya.

Savanna pun menggeleng. "Aku sudah tahu bahkan sejak aku masih belia. Jadi, Hans, tolong sampaikan pesanku segera. Kau bisa bertelepati, 'kan?"

Hans mengangguk, berbalik badan, dan langsung menaati perintah Savanna sembari berlari pergi. Gadis itu kembali menatapku dengan tegas. Membuatku menghela napas kemudian mengusap pipinya lembut.

"Kita ikut ke sana."

Aku menaikkan alisku. "Kita berdua?"

Savanna pun mengangguk.

Dengan segera aku meraih tangan Savanna, membawanya berteleportasi menuju pack Vann yang berada di dekat gerbang masuk Vamps. Dalam sekali kedipan mata aku sudah bisa melihat para anggota pack sedang berlarian dan darah di mana-mana.

"Alpha!"

Seseorang berseru dari kejauhan hingga membuat aku dan Savanna menoleh. Mendapati Heena yang berstatuskan alpha dari pack Vann sedang berlari ke arah kami. Wajahnya begitu ketakutan dan banyak noda darah menghiasi beberapa bagian tubuhnya.

"Tolong bantu kami, Alpha. Demi Moongoddes aku begitu ketakutan! Mereka ada di mana-mana!"

Savanna pun meraih tangan Heena, menggenggamnya dengan kedua tangan kemudian menatap wanita itu dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. "Kau masuklah ke dalam dan perintahkan semua anggotamu masuk." Perintahnya dengan suara yang begitu meyakinkan.

"B-baik, Alpha."

Heena pun langsung berlari masuk ke dalam dengan beberapa anggota packnya. Membuat Savanna berubah menjadi seekor serigala dengan bulu birunya serta kedua matanya yang berbeda warna. Werelf.

Mendadak seluruh perkelahian terhenti dan teralih kepada kami. Beberapa anggota pack berlari sekencang mungkin ke dalam rumah, sementara para musuh mulai meneteskan liur ataupun menyeringai senang terhadap kehadiran kami.

Musuh yang sebanding, huh?

Taringku pun memanjang, tumbuh dengan sendirinya saat aroma menggiurkan dari para anjing di depanku sedang mengendus.

"Werewolf yang mengikuti penyihir hitam harus dimusnahkan. Lepas kepalanya dan potong keempat kakinya. Telinga mereka berwarna kelabu. Mengerti?"

Aku mengangguk senang saat telepati Savanna masuk ke dalam benakku. Membuatku menyeringai lebar saat beberapa dari mereka mulai berlari ke arahku.

Sementara Savanna berlari ke arah Utara dan memancing sebagian dari mereka untuk mengikutinya, aku memutuskan untuk menetap di tempat. Menunggu dengan bahagia serangan dari para anjing yang sudah dari lama ingin kumusnahkan.

Aku berbalik dengan sebuah tinjuan yang cukup keras saat seekor anjing nyaris meraihku. Membuatnya terlempar jauh dengan mengeluarkan darah kelabu dari moncongnya.

"Biar aku yang mengurusi kakinya."

Detik berikutnya aku meraih kedua telinga anjing di belakangku, menumpukan kakiku di kedua badannya seraya menarik kepalanya dengan kuat hingga terlepas dari tubuhnya. Kuraih salah satu kakinya sebelum ia terjatuh dan melemparkannya kepada Heena yang tadi sudah memberitahu kami untuk memberikan sisanya kepada wanita itu.

Aku melompat ke arah sebuah pohon yang tak jauh dariku untuk melakukan kalkulasi dan strategi. Membuatku kembali tersenyum miring dan langsung berteleportasi hingga menduduki seekor serigala. Kuhisap darah dari leher anjing itu sembari mematahkan kepalanya ke arah berlawanan dengan keberadaan kepalaku. Kemudian meneleportasikan bangkainya kepada Heena.

Tubuhku mendadak tenggelam di antara tumpukan salju. Sebuah cakar yang begitu menyakitkan mulai menggaruk punggungku. Aku pun menggeram, berteleportasi menuju punggung anjing tersebut dan melakukan hal yang sama seperti yang sebelumnya.

Aku menoleh saat secara mendadak pikiranku dipenuhi oleh ketakutan. Dengan segera aku berlari untuk mencari Savanna yang entah berada di mana.

Dan emosiku langsung meledak saat kulihat gadis itu sedang dikepung oleh empat werewolf. Bahkan ia tak lagi dalam bentuk Keisha dan darah mengalir pelipis serta sudut bibirnya. Sialan!

Aku berteleportasi ke arah Savanna dan langsung menendang salah satu perut anjing itu dengan penuh emosi. Berdesis ke arahnya kemudian menerkam serigala tersebut sembari menancapkan taringku di lehernya. Ia nyaris melolong jika aku tidak langsung mematahkan lehernya serta keempat kakinya dengan darah yang berdesir hebat di dalam tubuhku.

Saat aku hendak kembali menyerang yang lainnya, aku melihat Rion, Hans serta Lanna yang kini sedang mengelilingi Savanna. Oh, para Gamma telah datang. Membuatku menghela napas kemudian menghampiri gadisku ketakutan.

"Apa yang terjadi?" tanyaku seraya berjongkok dan meraih tubuh Savanna untuk kusandarkan pada salah satu pahaku.

Tak ada yang menyahut saat secara perlahan kedua mata Savanna tertutup. Napasnya pun mulai melambat hingga suara Lanna terdengar. "Ia kehabisan tenaga. Ia begitu kelelahan dan ia terkena serangan panik mendadak."

"Ia akan mati dan kau diam saja?" tanyaku dengan nada tinggi pada Lanna sembari menatap kedua mata gadis itu. Lanna hanya mengalihkan pandangannya sembari memeluk Rion di sampingnya. Membuat kedua tanganku bergetar kemudian menggoyang-goyangkan wajah Savanna.

"Tidak mungkin. Kau tidak mungkin mati konyol seperti ini, Sana!"

Aku pun langsung menidurkannya di atas salju. Membuka mulutnya dengan memegangi dagu gadis itu serta dahinya. Kualirkan darahku kepadanya melewati mulutku. Membiarkan jiwa Vampirnya terbangun atau setidaknya biarkan ia hidup dulu!

Entah sudah berapa banyak darah yang kualirkan kepadanya saat tiba-tiba saja ia tersedak. Aku menghentikannya. Aku mendapati kedua matanya yang sayu sedang menatapku dengan jejak darah emas mengalir dari sudut bibirnya.

"Oh, astaga, Savanna. Kau menakutiku."

Kuraih tubuh gadis itu lagi, memeluknya erat yang ia balas tak kalah erat.

"Maaf."

"Aku bosan mendengar kata maaf, Savanna."

Aku menenggelamkan wajahku di lehernya. Menghirup aroma gadis itu banyak-banyak sebelum akhirnya memutuskan untuk melepaskan gadis itu dari rengkuhanku dan membawanya berdiri.

"Aku antar kau ke dalam," ujarku. Savanna tak menolak, membuatku langsung berteleportasi ke dalam rumah dan bertemu dengan salah satu dari anggota pack Vann secara tidak sengaja. "Bisa tolong rawat Alpha Savanna sebentar? Aku harus menuntaskan yang di luar."

"Baik, Dixon," ujar pria itu sembari meraih Savanna.

"Terima kasih."

Dan kemudian, aku kembali berlari ke luar. Mencoba mencari serigala sialan lainnya yang akan segera habis di tanganku. Pembalasan!

To be continue

Puahahahahaha maafin akuuu yang baru update sekaraaanggg. Taqabalallahu Mina Wa Minkum. Minal aidzin wal faidzin juga yaaaa bagi yang merayakann. Aku mikir keras dari seminggu lalu sambil ngumpulin niat, alhasil baru jadi segini.wkwkwk

Terima kasihh sudah ada yang selalu mengingatkan dan protes karena aku jarang update. Terima kasih jugaa masih ada yang setia nungguin ini ceritaa. Sejujurnya aku takut buka wattpad dr kemaren wkwk. Pokoknya makasihh untuk semuanyaa♥

See you on next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro