Jatuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah mengapa daging rusa yang kini tengah kukunyah terasa begitu hambar. Seolah cita rasa dan kegilaanku terhadap makanan kesukaanku ini sudah sirna. Menghilang dibalik bayang-bayang sesosok gadis yang telah berhasil menggeser kesukaanku.

Aku melemparkan sisa daging yang kumiliki ke dalam tempat sampah dengan tepat. Kemudian bersandar pada punggung bangku sembari bersedekap. Pikiranku melayang entah kemana. Sementara hatiku tengah merasa gusar karena sejak Savanna berhenti menangis, ia jatuh pingsan dan tak kunjung sadar.

Hingga sebuah suara geraman dan beberapa hantaman keras membuatku tegang dan menajamkan indera pendengaranku. Detik berikutnya, aku langsung berlari ke lantai atas, mendapati dinding rumahku sudah setengah hancur dan keadaan ruangan yang sudah seperti kapal pecah.

Savanna menghilang. Hanya ada Lanna yang tengah memojok di sudut ruangan, memeluk kakinya dengan gemetar serta pandangan yang penuh akan ketakutan.

Aku berlari menghampiri Lanna, duduk tepat di hadapannya sembari menyentuh telapak tangannya. "Lanna?"

Tubuhnya terkejut, kedua matanya terbelalak kemudian menatapku dengan kedua matanya yang sudah berair.

"Ada apa?" tanyaku. "Apa kau baik-baik saja?"

Lanna menggeleng saat air matanya mulai berjatuhan. Membuatku mengusap-usap tangannya lembut sembari terus menatap kedua mata biru gadis itu.

"Dimana Savanna?"

Ia kembali mengalihkan pandangannya dariku. Namun kali ini, tatapannya tak kembali kosong. Seolah ia tengah menceritakan sesuatu lewat pikirannya sembari menatap ke arah kehancuran besar yang terjadi di dinding rumahku.

"Aku tengah membaca buku saat tiba-tiba suara geraman terdengar. Keisha mengambil alih Sana, mereka bertengkar. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun salah satu mata Sana berubah menjadi hitam serta biru dan di tubuhnya tumbuh bulu-bulu halus berwarna biru. Aku tahu betul bahwa itu Keisha. Bahkan saat aku hendak menjadi penengah, tiba-tiba Sana mendorongku dengan kuat. Menghasilkan retakan di dinding itu.

"Awalnya aku hendak berlari dan memanggilmu. Namun sepertinya Sana tahu dan ia meraih leherku, kembali melemparku ke dinding itu dan membuat retakan yang lebih lebar. Ia mengancamku. Memaksaku untuk tetap bungkam. Dan setelahnya aku hanya mengangguk dan berlari kemari. Mereka kembali bertengkar. Ia benar-benar seperti orang gila. Berbicara pada dirinya sendiri dan melukai dirinya sendiri.

"Namun aku tahu, itu semua Keisha yang melakukannya. Savanna tidak pernah segila itu. Kemudian Keisha menggeram. Sayap mengembang di punggung Savanna. Kedua matanya telah berubah putih dengan korneanya yang berubah biru. Jujur itu sangat menakutkan. Ia menembus dinding, merusaknya sebesar itu agar sayap Savanna yang sungguh besar dapat membawa pergi mereka dan tidak menimbulkan banyak kerusakan lagi. Aku tak tahu mereka pergi ke mana."

Setelah Lanna berbicara lewat telepati, ia terlihat lebih tenang. Getaran di kedua kakinya sudah tidak lagi ada dan kedua matanya menyiratkan permohonan yang teramat sangat. Aku mengerti.

"Aku akan mencarinya." Aku pun menepuk tangan Lanna beberapa kali dengan pelan. "Kau beristirahatlah di ruangan yang berada tepat di samping pintu hijau. Di sana kau akan aman. Dan jangan sentuh apapun selain barang yang ada di ruangan itu. Aku akan memberitahu Rion bahwa kau berada di sana setelahnya. Mengerti?"

Lanna mengangguk. Kugenggam tangannya untuk membantunya berdiri kemudian mengusap puncak kepala gadis itu lembut. "Jangan khawatir, aku akan membawa kakakmu kembali."

Kemudian aku berlari ke arah lubang besar itu. Melompat ke arah dahan pohon yang berada tak jauh dari sana seraya memberikan telepati kepada Rion.

Jujur aku tidak tahu kemana aku harus mencari gadis itu. Hingga sebuah suara yang meneriakiku dari langit, membuatku berhenti melompat dari dahan ke dahan dan mendongak untuk menatap sang empunya suara.

"Aku mencarimu!" Ia memekik. Menukik cepat ke arahku kemudian meraih kedua lengan dan membawaku terbang bersamanya. Sial! Aku belum siap!

"Persetan! Aku sedang ada keperluan, Heize!" ujarku.

"Ya, aku tahu bahwa kau pasti sedang mencari Savanna." Dapat kurasakan sayap yang mengepak di balik punggung Heize semakin cepat. "Ia sedang mengamuk di Maegovanen. Tak ada yang bisa menghentikannya kecuali kau."

"Aku?" Dahiku mengernyit. "Kenapa hanya aku?"

Kudengar Heize menggeram sebelum akhirnya melepaskan pegangannya padaku dan melemparku dari atas hutan pohon pinus. Dasar werewolf bersayap!

Aku berguling tepat saat aku mendarat. Membuatku langsung siap berdiri dan entah mengapa kepalaku langsung sakit dalam sekejap. Kedua kakiku bergetar hebat, pandanganku berputar-putar dan tubuhku kembali terjatuh di atas sesuatu yang kurasa disebut tanah.

Apa ini?

Tubuhku terasa sangat lemas, bahkan untuk sekadar bernapas saja sepertinya begitu sulit untukku. Udara di sini terlalu panas. Tidak sesejuk Vamps dan tidak sesegar di sana. Membuat kepalaku semakin berdenyut hingga memejamkan kedua mata.

Bayangan akan seekor serigala bermata biru itu kembali terngiang di benakku. Dengan bulu berwarna birunya yang tertiup angin kencang serta salju yang dengan derasnya turun, membuatku terpaku. Ia menatapku begitu tajam. Namun ada sorot mendamba di sana. Sorot yang tak akan pernah kulupakan barang sedetik.

Dan mendadak aku membuka mata. Segala kejanggalan tadi sudah berhenti. Kemudian kuputuskan untuk langsung bangkit, berlari mencari Savanna yang entah di mana. Aku pun menghirup udara banyak-banyak, walaupun nyaris tersedak karena terasa begitu aneh, aku dapat merasakan kehadiran gadis itu.

Kedua tungkaiku tak lagi ragu akan membawaku ke mana. Hingga sesosok gadis berambut hitam yang tengah berdiri di ujung jurang terlihat olehku, dengan segera aku menyerukan namanya. Membuat gadis itu menoleh dengan seulas senyuman pahit.

"Diam di situ!" seruku.

Namun ia tak mengindahkannya, ia malah memutar tubuhnya dan melangkah mundur hingga tubuhnya telah menghilang dari pandanganku.

Aku berlari dengan kekuatan penuh, ikut melompat dari atas jurang dan menggapai tubuh gadis itu. Kuputar posisi kami hingga kini aku berada di bawahnya. Gadis itu pun tengah menangis, membuatku memeluknya lebih erat sembari berbisik tepat di telinganya.

"Aku tahu kau siapa."

Dan setelahnya, pandanganku menggelap.

.

.

.

Aku mengaduh saat kurasakan tubuhku begitu kaku dan sulit digerakkan. Ditambah tubuh Savanna yang masih berada di atasku membuatku begitu sulit untuk bergerak.

Dengan perlahan aku mengusap kepala gadis ini lembut, mencoba membangunkannya yang kurasa ikut tak sadarkan diri. Kupikir aku akan mati kaku di sini, namun nyatanya Savanna langsung terbangun dan perlahan-lahan mencoba berguling ke kanan untuk berpindah tempat.

"Maaf." Suara seraknya kembali terdengar. Mendengungkan sensasi familier yang begitu kurindukan. "Aku—"

"Diam," ujarku dengan nada yang amat sangat rendah. Mungkin bisa saja seperti Alpha Tone yang sering dikeluarkan para pemimpin serigala di pulau ini.

Gadis itu pun bungkam. Ia tidak kembali bersuara. Kami hanya terdiam sembari menatap langit gelap yang perlahan-lahan dihiasi oleh cahaya mentari. Udara panas dan hangat itu pun semakin menjadi-jadi saat tubuhku mendadak bersinar.

"Dixon?" panggil Savanna hati-hati setelah hening panjang. Membuatku menoleh dan menatap kedua mata hijau tuanya yang seperti ketakutan. "Kau harus pulang."

Aku mengernyitkan dahiku bingung. Apakah ia mengusirku?

"Tidak. Udara di Maegovanen tidak baik untukmu. Apalagi di tengah hutan seperti ini. Kau akan menjadi hidangan utama untuk para werewolf."

Aku tertawa kecil, kembali menatap langit namun langsung menutup mata saat cahaya hangat itu semakin menerpa tubuhku. "Aku tidak takut."

Ada jeda beberapa detik sebelum Savanna kembali berujar, "kau sedang ketakutan."

Sekali lagi aku tertawa kecil. Tidak memedulikan ucapan Savanna dan hanya ingin terus berbaring. Bagaimana bisa ia berspekulasi bahwa aku takut kepada anjing-anjing itu? Bagaimana bisa seorang Dixon Abraham takut terhadap sesuatu? Cih, apakah ia pikir aku lemah?

Namun....

"Kau tahu, Savanna, apa yang sedang kutakutkan saat ini?" Aku menoleh sembari membuka kedua mataku, menatapnya lekat-lekat hingga dapat kusadari bahwa ia menjadi salah tingkah. Ia menggeleng pelan, kedua matanya membalas tatapanku malu-malu. "Aku takut kehilanganmu."

To be continue

Big thanks to @ShineLavande yang udah nungguin dan ngingetin aku buat update teros :'''> aku pikir udah gada yang mau baca lagi jadi aku males-malesan juga ngerjainnya wkwkwk dannnnnn karena filenya tu ilang dari flashdisk aku, aku jadi lupa-lupaan sama alurnya. kan kzl.hwhwhwhw

Mungkin buat next-nextnya bakal pendek-pendek juga ceritanya karena tbh aku gatau ini mau dikonflikin gimana wkwk. But liat nanti sajaaa.

Oh ya, anw thanks for 300k readers di story sebelah yang berjudul "ALPHA's Savior" huhuuuu. Kucinta kaliann. Terima kasih buat vommentnya sejauh ini, maaf kl banyak kurangnya dan gak memuaskan :'''

See you on next chapt!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro