Raja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dixon's POV


"APA?" Kali ini suara Savanna meninggi, membuatnya menoleh ke bawah dan melihat pantulan sinar dari ujung tongkat para penyihir jauh di sana. "Sialan!"

Dan entah apa yang ia pikirkan setelahnya, ia melompat turun dari kereta tanpa sedikitpun alat pengaman maupun sihir yang melindunginya.

Hingga saat aku menoleh ke bawah untuk melihat keadaan gadis itu, sesosok serigala berbulu biru menyala beserta sayapnya yang mengembang besar menggantikan tubuh ramping nan tinggi Savanna. Dari sayapnya, ia mengeluarkan kilauan cahaya putih yang cukup menyilaukan, membuat kami—yang berada di kereta kuda—memejamkan mata dan mencoba menghindari cahaya itu.

Terdengar balasan sinyal cahaya dari bawah, meninggalkan jejak cahaya berwarna lebih gelap di sekitar kami hingga nyaris menutupi cahaya bersinar Savanna.

Aku tidak tahu maksud dari semua ini apa.

Hingga tepat saat aku membuka mata, sebuah cahaya berwarna kuning keoranyean melesat lebih tinggi dari cahaya siapapun—termasuk Savanna. Kemudian cahaya itu meledak di atas kami dan sebuah suara yang begitu menyiratkan ketegasan membuat kereta kuda kami diperbolehkan kembali berjalan dan Savanna yang kembali duduk di hadapanku.

Ia sudah kembali berubah menjadi manusia, dengan rambut hitamnya yang sedikit berantakan, saat aku hendak menepuk kepalanya sebagai tanda bangga. Aku berpikir akan ada pengelakan dari Savanna, namun saat aku tengah merapikan rambutnya sekalipun, ia hanya terus menatapku tanpa sedikitpun penolakan.

"Aku haus," ujarnya.

"Kau memiliki sihir. Gunakan itu untuk menghadirkan segelas—atau bahkan segalon—air mineral." Jawabku santai.

Kemudian Savanna menggeleng saat aku telah kembali ke posisiku. "Haus. Aku haus," ujarnya dengan penekanan di setiap katanya.

Aku mengerutkan dahi bingung, tidak mengerti apa yang diinginkan Savanna hingga sebuah penjelasan yang Rion lontarkan di telepati membuatku terperangah. Savanna menginginkannya lagi?

"Dasar gadis munafik. Aku pikir kau tidak minum darah." Sindirku dengan kekehan kecil yang hanya dibalas dengan dengusan dari Savanna dan tawa singkat dari ketiga manusia lainnya. "Kemarilah."

Aku menggeser bokongku lebih ke tengah, memberikan tempat untuk Savanna di sampingku agar ia dapat minum dengan nyaman. Sebelum menyodorkan tanganku kepada Savanna, aku menoleh ke arah Rion, Naomi dan Lanna yang kini tengah terpergok sedang memperhatikan kami.

Aku berdeham, mengisyaratkan mereka untuk berbalik dan ketiganya langsung tersadar akan apa yang sedang mereka lakukan. Setelah tak ada pandangan yang melihat kami, aku menarik lengan kiri jas serta kemejaku hingga ke siku. Memberikan pergelangan tanganku kepada Savanna yang dengan ajaibnya tengah tersenyum riang padaku.

Savanna mulai memanjangkan taringnya dan menghisap darahku saat aku masih memandanginya dengan intens. Entah ia peduli atau tidak, marah atau tidak, aku akan tetap memandanginya seperti ini yang bahkan membuat diriku sendiri bingung akan kecantikan luar biasa yang baru kusadari dari Savanna.

"Aku tahu aku—" ia terdiam sejenak, menyadari kesalahannya yang lagi-lagi membaca pikiranku. "Tidak jadi." Dan kemudian kembali menghisap darahku. Sekali lagi aku terkekeh, sangat ingin mengacak-acak rambut gadis ini dengan gemas jika aku tidak ingat kemana kami akan pergi saat ini.

Setelah beberapa menit berlalu, Savanna melapaskan tanganku dari mulutnya, membersihkan tanganku serta sekitaran mulutnya dengan sihir kecil yang dimiliki gadis itu. Kemudian ia mengucapkan terima kasih, hendak kembali ke tempatnya namun Lanna menggeser bokongnya dan Rion yang berpindah di tengah-tengah Lanna serta Naomi.

"Sepertinya aku perlu duduk di samping pak kusir," ujar Naomi yang lantas membuat Rion dan Lanna terbahak-bahak.

"Tidak perlu, Naomi, kau boleh duduk di sebelah Rion kapanpun kau mau," sahut Lanna dengan ulasan senyuman. "Atau apakah kau mau aku kenalkan dengan rekan kerjaku yang berada di Maegovanen? Dia cukup tampan walaupun hanya sebatas asisten seorang Alpha."

Cepat-cepat Naomi menggeleng, menatap Lanna dengan penuh sarat penolakan. "Terima kasih. Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh."

"Kalau begitu, kita bawa saja dia ke Vamps."

"Astaga, Lanna, sepertinya kau ingin sekali aku memiliki pasangan." Naomi pun bersedekap. "Apakah aku terlihat sangat menyedihkan hingga kau ingin menjodohkanku dengan seseorang yang tak kukenal? Bagaimana jika dia jahat? Bagaimana jika dia tidak bisa menemukan Vamps dan—"

"Hentikan ocehan itu, Naomi," selaku yang telah lelah mendengar ocehannya.

"Iya, hentikan itu." Setuju Savanna.

Bukannya menuruti kata-kataku dan Savanna, Naomi malah terkikik. Menutup mulutnya dengan tangan kemudian menatapku dan Savanna dengan lekat-lekat. "Sepertinya kalian sudah saling memiliki ketertarikan."

Aku menoleh ke arah Savanna, bertemu pandangan dengan gadis itu kemudian kembali menatap Naomi dengan tegas.

"Tidak."

"Tidak."

Bersamaan? Apa-apaan ini?

"Ya menurut hati kalian."

.

.

.

Aku tidak pernah berpikiran bahwa Heize dan Savanna adalah saudara. Dengan melihat betapa akrabnya Savanna dengan ayah Heize membuatku semakin tercengang saat tahu pria itu bernama Gregory. Maksudku, Raja Gregory. Raja para serigala.

Dan entah kenapa dengan menarik kesimpulan sendiri bahwa keluarga Savanna berasal dari keluarga bangsawan, membuatku memikirkan bayangan terburuknya jika saja aku melukai gadis ini.

Bagaimana jika ternyata ayahnya Savanna adalah Raja Ave?

Setahuku Raja Gregory memiliki dua saudara. Satu kakak perempuan yang bernama Xerafina dan satu adik laki-laki bernama Ethan. Dan setahuku, apapun yang dimiliki oleh Raja Gregory secara fisikal, tidak ada yang sama dengan kedua saudaranya.

Raja Gregory memiliki wajah yang cukup kaku, rahangnya terlihat sangat keras dan kedua matanya berwarna biru tua. Rambut raja yang berwarna hitam serta kulitnya yang cukup cokelat juga membuatnya terlihat begitu tak terkalahkan oleh pahitnya masa lalu—omong-omong aku tahu cerita tentang penyekapan dan hilangnya Ratu Xerafina saat beliau masih remaja.

Saat sesi makan malam berakhir, aku menatap hidung Raja Gregory saat ia menatap ke arahku dengan kedua mata biru tuanya lekat-lekat. Ia terlihat sedang menilai. Terbukti dari kedua bola matanya yang kini terfokus pada wajahku.

Apakah ia membaca pikiranku?

"Jadi kau Dixon Abraham?" tanya raja yang kubalas dengan anggukan singkat serta sebuah jawaban 'ya'. "Kudengar kau adalah penghubung antara ras Vampir dan werewolf di pulaumu. Bagaimana cara kau melakukannya?"

"Saya tidak melakukan apapun yang begitu hebat, Raja, saya hanya menjadi penengah di antara mereka," jawabku tanpa merendah sedikit pun.

Raja terlihat menaikkan kedua alisnya. "Kalau begitu mengapa kau dianggap sangat hebat di Vamps?"

"Karena para Vampir dan werewolf tidak bisa hidup bersama di Vamps. Mungkin belum. Saya menganggap itu wajar karena kurangnya ketegasan dari Alpha ilegal yang ada hingga seringnya terjadi pertengkaran."

Kali ini kedua alis Raja Gregory mendadak mengerut. Terlihat begitu serius setelah aku mengucapkan kalimat terakhir yang sebelumnya memang belum ada yang pernah tahu selain warga Vamps sendiri.

"Ilegal?"

Aku mengangguk. Mencoba merasakan diriku sendiri yang seperti seorang pengkhianat namun membawa sedikit kebenaran untuk masa depan yang—semoga saja—tidak merepotkan lagi.

"Apakah Raja Charlie tidak melakukan sesuatu?"

"Sudah, Raja. Bahkan beberapa pengikut yang murni seorang werewolf ada yang dipindahkan ke pulau lain hingga tersisa beberapa half yang tidak mungkin dipindahkan." Aku pun menarik napas singkat. "Dan dulu sekali sempat ada hukuman mati kepada setengah pengikut pack ilegal yang berdarah half yang membuat resah warga. Hingga pada akhirnya, saat ini, pack ilegal itu hanya memiliki sekitar 20 hingga 30 pengikut."

"Apakah kau melakukan pencegahan saat hukuman itu terjadi?"

Aku menganggukkan kepalaku mantap. "Tentu, Raja Gregory, saya berhasil meyakinkan Raja Charlie untuk selalu menghukum mati beberapa half atau werewolf saja yang menjadi dalang dari masalah di Vamps."

Raja terlihat menelengkan kepalanya, melirik ke arah Heize yang berada di sebelah kanannya yang kini tengah membalas tatapan ayahnya.

"Bagaimana caramu meyakinkan Raja Charlie, Dixon?" tanya Heize yang membuatku langsung menatap ke arahnya.

Mendadak salah satu sudut bibirku tertarik. "Itu sebuah rahasia kecilku, Heize. Aku tidak ingin posisiku tergantikan."

Heize dan ayahnya pun tersenyum. Kembali menatap satu sama lain kemudian sebuah pertanyaan kembali terlontar dari mulut temanku itu.

"Bukankah kau membenci werewolf? Mereka yang menyebabkan kau kehilangan kedua orangtuamu, 'kan?"

Aku terdiam sejenak, masih menatap Heize kemudian berucap, "karena aku tak bisa selamanya membenci suatu ras hanya karena sebuah pertempuran yang membuat rasku kalah. Bukankah kekalahan adalah sebuah hal yang biasa, Heize?"

Pria berambut merah itu pun tergelak. "Kau tidak keberatan, 'kan, jika nanti kita membahas kemenanganmu di festival seni beberapa tahun lalu itu?"

Aku pun ikut tersenyum, mengangguk hormat kepada Heize yang kemudian membuatku merasakan sebuah tatapan lekat dari gadis yang duduk tepat di samping Heize.


To be continue

Maaf singkat lagii wkwkwk aku belom bisa nyelem ke dalam cerita ini jadi setiap nulis mentok mulu :'') beda kayak Hexave yang gatau kenapa kadang suka lancar aja gitu nulisnya. Maaf yeaaa. Udah singkat, updatenya lama pula. Untung masi ada yang mau baca ;"")

Jangan tinggalin cerita ini ya wkwkwk kl ada masukan bisa langsung comment atau message akuu. Dont forget to gimme a vomment~ Thankiess.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro