Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dixon’s POV

Ramai-ramai warga Vamps berjalan menuju Istana yang berada di pusat kota. Lebih tepatnya, di bagian Timur pulau. Raja Charlie akan memberikan sebuah pengumuman penting menurut berita yang disiarkan di televisi tadi malam.

Omong-omong Vamps adalah pulau bagi para Vampir. Hanya bisa dilihat oleh mereka yang berdarah Vampir—keturunan—atau hanya mereka yang memiliki buyut seorang Vampir. Tidak ada banyak pertarungan yang terjadi untuk beberapa puluh tahun sebelumnya. Hanya pembantaian habis oleh Xave Pertama. Itu pun telah beratus tahun yang lalu.

Kuakui Raja dan Ratu Ave sangat baik hati. Mereka sesekali datang kemari untuk melihat perkembangan ras kami—omong-omong, Raja adalah keturunan Xave Pertama dan Ratu adalah seorang Vampir. Mereka memberikan nyaris setengah perhatian mereka kepada pulau kami yang tak pernah diakui keberadaannya oleh warga Ave, dunia kami.

Sesampainya di barisan terbelakang, aku melepas tudung jubahku. Membiarkan salju-salju terjatuh di atas kepala sembari memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana. Mencoba mencari seseorang yang akan menyampaikan pesan kepada kami sekilas.

“Dixon!”

Aku menoleh, mendapati seorang teman yang sudah mengenalku sejak 153 tahun lalu sedang berlari ke arahku dari samping.

“Sejak kapan kau mau beranjak keluar dari rumah selain mengurusi para anjing?” tanyanya saat ia sudah berada di sampingku yang kubalas dengan putaran kedua bola mata malas.

“Masalah?”

Rion, temanku itu, mengangkat bahunya sekilas. “Tidak.”

Aku mengalihkan pandanganku, tak berniat sama sekali untuk kembali menanggapi ucapan Rion. Kemudian seseorang di atas balkon sana berseru. Membuat kami mendongak dan menatap pria yang tak kunjung menua tengah berdiri di balkon Istana.

Cat Istana di hadapanku ini berwarna putih, sangat menyatu dengan lingkungan sekitarnya yang dihiasi salju. Bangunannya pun terlihat tidak begitu tinggi. Karena Raja Charlie sengaja membuatnya jauh ke dalam tanah.

Omong-omong, pria tua itu—Raja Charlie—sudah memimpin Vamps sejak 800 tahun lalu. Jauh sebelum aku lahir. Dan herannya lagi, ia pasti sudah berumur lebih dari 900 tahun dan tak kunjung meninggal untuk menunggu giliran bereinkarnasi.

“Salju memberkati kalian, Vamps!” sapanya semangat. “Sekarang katakan padaku, siapa yang memiliki darah half-werewolf? Tolong berpindah ke arah kiriku!” serunya lagi.

Berbondong-bondong arus manusia ini pun bergeser. Membuatku berdecak sebal kemudian melawan arus, berpindah ke sebelah kanan. Tempat para Vampir tulen harus berdiri.

Tanpa acuh, aku menabrak bahu siapapun yang menghalangi jalanku. Tak peduli itu seorang wanita ataupun gadis cantik. Toh, mereka tak peduli juga.

Setelah mendapat tempat yang pas, aku berhenti berjalan. Gerombolan para manusia half itu juga sudah berhenti dan menatap raja dengan penuh keraguan. Mereka takut. Werewolf sering salah di mata kami.

Ralat, selalu di mataku.

Namun bukan Dixon jika tidak bisa bersikap profesional. Aku sering membantu para anjing di dalam sebuah kasus yang mengharuskan rasku—yang membenci mereka—berbicara kepada para manusia anjing yang selalu mendahulukan ego mereka.

Sialnya, banyak orang yang mengetahui hal itu hingga aku dinobatkan sebagai perantara rasku dengan para serigala. Dan lebih sialnya lagi, aku mendengar kabar burung bahwa aku ada hubungannya dengan sesuatu yang akan dibicarakan raja sebentar lagi.

“Raja dan Ratu Ave telah memberikan keputusan. Beliau akan membangun sebuah pack di dekat Istana dan pintu gerbang perbatasan. Demi menjaga ketertiban, aku ingin para serigala memasuki kawanan tersebut yang akan dipimpin oleh seorang alpha wanita.

“Tak hanya itu, beberapa Vampir lainnya akan bergabung ke dalam kawanan untuk menjaga keutuhan kedua ras yang hidup di pulau ini. Total akan ada tiga rumah pack yang akan dibangun. Persatu rumah akan diwakili oleh tiga Vampir.

“Rumah pertama, yang berada di dekat Istana, akan ada Weghrion Judith, Naomi Klerington dan Dixon Abraham….”

Sial.

Aku menurunkan pandanganku, menatap malas dinding putih di hadapanku kemudian berteleportasi menuju rumah. Persetan dengan apapun yang harus kulakukan dengan sia-sia untuk pulau ini. Toh, mereka tidak pernah memberikan sedikit royalti kepadaku setelah membantu mereka dengan susah payah.

Kudaratkan bokongku pada bangku kecil berbentuk persegi panjang berwarna hijau, mengibaskan jubahku ke belakang agar tidak terduduki. Kemudian kuangkat penutup tuts-tuts kesayanganku, menyandarkannya dengan hati-hati sebelum jemariku menekan tuts-tuts tersebut.

Aku melantunkan instrumen milik Johann Pachelbel yang berjudul Canon. Memainkannya dengan penuh penghayatan seakan-akan ingin meluapkan sesuatu yang terkunci di dalam diriku.

Entah kenapa aku menjadi marah dalam sekejap, berdiri dari bangku kemudian menonjok dinding yang berada di depanku hingga retak. Sesuatu meluap-luap di dalam sana—memintaku untuk berhenti.

Berhenti untuk apa?

Napasku menderu bersamaan dengan darah berwarna emas mengalir dari buku-buku jariku. Menodai piano hijauku yang menjadi satu-satunya tempat pelampiasan.

Sekali lagi aku duduk di atas bangku hijau itu, menekan tuts-tuts piano dengan tak sabaran hingga pada akhirnya aku menekan seluruh jemariku pada tuts. Aku merasa frustrasi, bingung harus melakukan apa di saat-saat seperti ini datang.

Hingga pada akhirnya pintu rumahku diketuk oleh seseorang. Tak perlu kujawab, orang itu pun langsung membuka pintu dan menampilkan sesosok yang tadi berbicara padaku.

“Kenapa kau pergi duluan? Raja memberikan kita informasi tentang kawanan tadi.”

“Untuk apa aku mendengarkan ocehan tentang—“

“Bukan itu, Dixon.” Ia menyela. “Raja sedang tidak mengoceh. Ini semua ia lakukan karena perang akan segera datang. Sang Xave akan membutuhkan kita.”

Aku terdiam sejenak, menutup pianoku kemudian memutar arah duduk. “Kau bercanda? Untuk apa seorang Xave meminta bantuan kita?”

Kali ini Rion memutar kedua matanya malas sembari merentangkan kedua tangannya di atas punggung sofa. “Apa otak Dixon Abraham saat ini sedang rusak? Kau kehilangan otakmu, hah?”

“Mungkin.” Singkatku seraya bangkit dari duduk. “Diamlah, Yon, aku tidak akan mau ikut.”

“Ayolah, Dixon tidak mungkin sepayah ini.”

Kedua alisku pun terangkat. “Bagaimana jika aku memang payah?”

Rion berdecak, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. “Bagaimana jika Naomi mengatakan bahwa seseorang itu akan datang jika kau menerimanya?”

Aku tertawa sinis, menatap sahabatku dengan malas kemudian menggeleng. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam, menjauhi ruang depan menuju dapur.

“Dixon, dengar aku. Ia benar-benar akan datang!” ujar Rion lagi sembari menyusulku dari belakang.

“Naomi sudah mengatakannya sebanyak lima kali. Apakah ia datang? Tidak, Yon.” Tegasku masih sembari berjalan menuju kulkas.

“DIXON!”

Sial.

Aku memutar tubuhku dan langsung mendapat tamparan panas dari tangan dingin Naomi. “Apa yang kau katakan barusan?”

Aku pun menatap Naomi malas. “Na—“

“Apa-apaan kau?! Berpura-pura percaya padaku dan kini malah meragukan kemampuanku! Memangnya kau pikir aku ini apa? Jika kau memang tak percaya, tak seharusnya kau bersikap manis, Dixon!”

“Naomi—“

“Rion! Apa saja yang Dixon katakan tadi? Katakan padaku!”

Rion terlihat cekikikan. Sialan. Ia pasti udah merencanakan ini sejak tadi.

“Hanya itu, Mi.”

Kali ini Naomi menunjuk-nunjuk Rion dengan kedua mata yang ia sipitkan. “Kau serius?” Rion pun membalas dengan anggukan kepala cepat-cepat.

Aku menghela napas lega, hendak kembali melanjutkan keinginanku untuk mengambil segelas air namun Naomi menahan lenganku. “Kau berhutang padaku!”

“Berhutang apa?”

“Kau harus ikut bekerja di rumah pack itu!”

Mau tak mau aku mengangguk, melepas tangan Naomi dari lenganku kemudian meninggalkan kedua Vampir itu di belakangku. Mereka pasti tengah cekikikan. Melihat aku pasrah di bawah tekanan penuh dan kehororan Naomi adalah hiburan bagi kedua Vampir sialan itu.

Mereka memang telah menjadi sahabatku sejak lama. Terlebih Naomi. Walaupun sifatnya yang sangat pemarah dan sarkastik itu benar-benar membuatku jengkel setengah mati, ia cukup berguna dalam memecahkan masalah dan segala macamnya.

Ia bilang ia ingin menjadi detektif.

Cih. Aku selalu menertawakannya jika Naomi membahas tentang itu.

“DIXON! BERHENTI MENERTAWAIKU!”

Tak dapat kusembunyikan lagi kini tawaku meledak. Membuat tangan Naomi kembali menyapa pipiku dan suara cempreng itu kembali mendengungkan telingaku.

Kututup kedua telingaku dari polusi suara yang Naomi cemarkan sembari terus tertawa, membuatnya semakin menjadi-jadi dan Rion turun tangan. Rion memang yang paling bisa menghentikan ocehan Naomi, membuatku sering meledek keduanya yang malah memperiuh suasana.

“Sudahlah, Mi, Dixon sudah mau ikut. Ia tak mungkin tahan dengan ocehanmu kalau ia menolak.”

Aku tak menoleh, malas menanggapi berbagai macam reaksi lain dari Naomi yang mungkin saja dapat membuat otakku pecah. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti tertawa, melanjutkan langkah kakiku dan berdiri tepat di depan kulkas kemudian membukanya. Setelahnya kuraih seonggok paha rusa yang telah membeku dan sebotol air, meletakkannya di atas meja dapur seraya meraih penggorengan dan minyak.

“Akan lebih lezat jika kau menggunakan margarin.” Sahut Naomi tenang saat aku hendak menuangkan minyak.

Dengan segera aku kembali meletakkan minyak di tempatnya, meraih sebungkus margarin dan memoleskannya sedikit di atas penggorengan. Kemudian kuhidupkan api kompor, membiarkan penggorengan hingga sedikit panas dan margarin tersebut menggumpal di tengah.

Setelahnya kumasukkan paha rusa tadi ke dalamnya, membalik-balikannya dengan sendok kayu seraya mengambil botol minum dan meminumnya. Kemudian aku mendengarkan Naomi yang mendadak berbicara padaku dengan nada yang sangat rendah. Tumben.

“Kau tak mau ikut festival seni tahun ini, Dixon?”

Aku mengangkat kedua bahuku. “Belum tahu.”

“Lebih baik ikut.” Sahut Rion. “Lagipula jika dapat predikat pemain terbaik dari ras emas, kau dapat bebas memilih hadiahmu.”

“Jika dapat.” Ulangku tanpa menoleh dan terus membalik-balikkan masakanku. “Toh, aku sudah memiliki kerjaan lain.”

Kedua sahabatku terdiam setelahnya. Membuatku memutuskan untuk meletakkan rusa itu di atas piring kemudian duduk di bangku yang berada di antara Rion dan Naomi.

Omong-omong kedua vampir ini tidak memakan daging hewan sepertiku. Atau lebih tepatnya, ras Emas, sejenisku. Rion berasal dari ras Biru, ras pemakan tumbuhan dan pemilik darah serta mata berwarna biru. Ras ini bisa dibilang vegetarian karena mereka sangat anti sekali dengan daging dan darah.

Berbeda dengan Rion, Naomi berasal dari ras Merah. Ras ini adalah ras yang paling ditakuti oleh manusia-manusia di luar sana. Penghisap darah. Selain menjadi penghisap darah manusia, terkadang ras Merah suka menghisap darah hewan juga. Namun tidak memakannya seperti apa yang ras Emas lakukan.

Sebenarnya ada satu ras lagi di Vamps. Namun ras ini sudah lama punah akibat serangan Ratu Liona beratus-ratus tahun lalu. Walaupun beberapa ras juga ikut terbunuh, setidaknya mereka masih ada beberapa yang bertahan. Tidak seperti ras Hitam.

Padahal menurut buku yang pernah kubaca, ras Hitam—ras yang sudah punah itu—adalah ras terkuat karena mereka pemakan segalanya. Namun sayang, kelemahan mereka ada pada kepatuhan mereka terhadap kasta tertinggi.

Ras Hitam dulu memang selalu menjadi prajurit garis depan untuk Vamps. Mereka terkenal dengan kegagahan serta kepatuhan mereka. Hingga saat Ratu Liona menyerang, mereka ditugaskan untuk membunuh Ratu Liona walaupun dengan nyawa mereka sebagai taruhannya demi menyelamatkan Vamps.

Pada akhirnya mereka pun kalah. Membuat Ratu Liona menghentikan aksinya dan pergi entah kemana. Setidaknya, dengan hilangnya kehadiran wanita itu dari Ave dapat membuatku berhenti memikirkan bagaimana caranya ia membunuh kedua orang tuaku tepat di hadapanku.

“Dixon? Kau tak mendengarkan, ya?”

Aku mengerjap, menggelengkan kepalaku kemudian menatap Naomi.

“Dagingnya akan mendingin jika kau tak memakannya,” ujar Naomi lagi yang langsung kusambut dengan anggukan kepala dan memakan daging tersebut. “Raja mengatakan bahwa Sang Alpha akan datang besok pagi.”

“Siapa namanya?” tanya Rion.

Naomi terlihat terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjentikkan jarinya. “Savanna Charlotte kalau tidak salah. Dan ia juga membawa adiknya kemari, namanya Lanna Charlotte.”

Aku mengangkat kedua alisku bingung. “Bukankah alpha seharusnya laki-laki?”

Kali ini Naomi mengangkat bahunya. “Mungkin karena populasi pria tangguh yang berani melawan para Vampir telah habis?”

Terdengar kekehan Rion tepat setelahnya. “Tidak mungkin. Maegovanen penuh dengan anjing pria yang tangguh. Aku pernah sekali datang ke sana dengan Raja Charles untuk bertemu dengan Raja Gregory. Saat kami lewat, anjing-anjing itu langsung menggeram dan menatap kami seakan kami adalah santapan siang mereka. Aku yakin kau akan senang jika datang ke sana, Dixon.”

“Senang?” tanyaku seraya menatap Rion. “Maksudmu?”

“Aroma darah binatang di mana-mana, wanita cantik dengan kulit eksotis, gadis-gadis—“

“RION HENTIKAN OTAK MESUMMU!”

Aku menutup kedua telingaku dalam sekejap. Membuat dagingku terlempar entah kemana. Kudelikkan mataku pada Rion, menyalahkan pria itu karena telah mengaktifkan mode toa pada Naomi dan menghilangkan dagingku.

“Aku tidak berpikiran mesum, Naomi.”

“BOHONG.”

“BEEERIIIISIIIIKKKK.” Mendadak aku berteriak, mencoba menghentikan perseteruan antara dua vampir ini. Merasa ingin meledakkan kepalaku saja karena lelah mendengarnya.

Setelahnya aku bangun dari bangkuku, meraih paha rusaku yang ternyata ada di lantai dekat kaki bangku kemudian kembali memakannya. Kulangkahkan kedua kakiku ke luar dapur—atau lebih tepatnya, ke luar rumah.

Mendadak aku terpaku saat seorang gadis telah berdiri di depan rumahku. Membuatku menelan daging rusa yang berada di mulutku seraya menatap gadis itu. Dengan mendapati kedua matanya yang berwarna biru saja telah memberikanku kejelasan bahwa gadis ini adalah seorang Vampir.

“Siapa?” tanyaku.

Kedua mata biru itu terangkat dan menatapku. Jarang-jarang sekali ada ras lain yang mau menatapku selain Rion dan Naomi. “Dixon Abraham?” Balasnya bertanya.

Aku pun mengangguk. “Siapa?”

“Aku Lanna Charlotte, adik dari alpha yang akan memegang pack di Vamps,” ujarnya kemudian mengulurkan tangan yang langsung kusambut. “Raja Charlie mengatakan aku dan kakakku akan menginap di sini sampai rumah pack selesai.”

Salah satu alisku terangkat bingung sembari melepas genggaman tangan kami. “Dan dimana kakakmu?”

“Ia berada di perjalanan.” Dan detik berikutnya pandanganku langsung teralihkan pada seekor serigala berbulu biru yang sedang berdiri di depan pekarangan rumahku. “Itu dia.”

To be continue

Hey-hoo! Ini adalah repost dari Black & Gold yang telah kurevisi! Sekaligus pertanda comeback ku di dunia kepenulisan. Hoho. So? Dont forget to leave a vote and comment! Thankiesss

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro