Terlalu Dini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dixon's POV

"Ia berada di perjalanan." Dan detik berikutnya pandanganku langsung teralihkan pada seekor serigala berbulu biru yang sedang berdiri di depan pekarangan rumahku. "Itu dia."

Serigala itu perlahan berganti menjadi seorang gadis cantik. Dengan rambutnya yang berwarna hitam serta kedua matanya yang berwarna hijau tua. Tubuhnya tinggi semapai, tidak gemuk dan tidak kurus.

Wajahnya juga cukup menarik. Hidungnya sedikit patah dan mancung, rahangnya sangat berbentuk dan bibirnya—amat sangat—menggoda. Kedua alis gadis itu juga sedikit tebal. Memperlihatkan aura yang sangat tidak biasa dan mungkin akan menjadi definisi 'sempurna' bagi kaum hawa.

Namun jangan salah, aku tidak tertarik sama sekali.

"Dixon?" tanyanya dengan suara yang nyaris sama seperti suara sang adik.

Aku kembali mengangguk.

"Savanna Charlotte." Ia mengulurkan tangan dan kembali kusambut pula uluran tangan itu. Untuk sesaat kami saling bertatapan dengan ekspresi datar, hingga pada akhirnya kehadiran Rion dan Naomi membuatku melepaskan genggaman serta tatapanku pada Savanna.

"Dixon, siapa?"

"DIXON! KA— oh...." Naomi terdiam sejenak sembari berdiri di sampingku. "Maaf soal barusan. Silakan masuk."

Naomi menyadarkanku soal tamu kami. Membuatku berjalan ke samping, membiarkan dua pendatang baru itu masuk ke dalam rumahku dan Naomi mengambil alih.

Kakak beradik itu dan Naomi pun duduk di sofa, membuatku ikut duduk namun di bangku piano kesayanganku sembari terdiam dan menyaksikan apa yang biasa Naomi lakukan—menjamu tamu.

"Aku akan mengambil air," ujar Rion kemudian berlalu menuju dapur dengan sedikit tergesa.

Mendadak aku merasa canggung, bingung harus mengatakan apa kepada Charlotte bersaudara. Tidak ada basa-basi di dalam kehidupanku. Katakan masalahnya, kemudian silakan pulang. Namun ini berbeda. Aku beruntung sekali memiliki Naomi di sini, dengan mudahnya ia mencairkan suasana hingga perlahan rasa canggung itu menghilang.

"Jadi aku pikir kalian akan datang besok," ujar Naomi. "Apa ada perubahan jadwal yang tidak kami ketahui?"

Lanna—kalau tidak salah—pun berucap. "Tidak ada. Aku dan Savanna hanya ingin beradaptasi sebelum acara besok."

"Jadi kalian berdua adalah Vampir?"

"Aku Vampir. Kakakku half serigala dan Vampir."

Naomi pun mengangguk. "Apa rasmu?"

"Biru." Jawab Lanna mantap.

"Dan kakakmu?"

Lanna dan Savanna bertatapan. Seakan-akan tengah mendiskusikan sesuatu yang tak boleh kami ketahui. Sekalipun kami tahu, aku tidak yakin bahwa aku akan peduli.

Setelahnya dua pasang saudara itu kembali menatap Naomi—oh, maksudku, hanya Lanna. Sementara kedua mata hijau tua itu sedang menatapku dengan sangat intens.

Dalam sekejap suara di sekitarku seperti membisu. Membuatku membalas tatapan Savanna lekat-lekat dengan ekspresi datar. Ia dan Lanna benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan warga Vamps lainnya yang tak pernah menatapku. Bahkan tatapan mereka terasa sangat lekat seolah aku adalah santapan mereka berikutnya.

Aku tahu Savanna cukup cantik dan sialnya aku nyaris terjatuh ke dalam pesonanya jika saja aku tidak sadar bahwa gadis itu adalah seekor anjing. Ras yang sangat ku tak pedulikan kehadirannya dan ras yang telah kucap sebagai ras terbodoh.

Namun seolah-olah ada sesuatu yang memaksaku untuk lebih dekat dengannya. Sesuatu yang mengatakan padaku bahwa gadis ini akan membawaku menuju sesuatu yang selalu meminta diriku untuk berhenti.

"Savanna."

Gadis itu masih menatapku untuk beberapa saat hingga akhirnya ia menoleh ke arah Naomi dengan santai.

"Ya?"

"Kau baik-baik saja?"

Savanna mengangguk. "Aku merasa tidak asing dengan Dixon."

Mendengar namaku dipanggil, aku ikut menoleh dan menatap Naomi yang kini tengah cekikikan sambil melirik Rion yang sedang meletakkan dua gelas air di meja dengan tangan yang bergetar.

"Aku juga merasa tak asing dengan Savanna."

"DIXON!"

Aku berdecak. "Apa?"

Naomi pun menatapku menyelidik sembari senyum-senyum tidak jelas. "Abaikan," ujarnya yang kemudian kembali mengalihkan pandangan dariku. "Jadi apakah aku bisa memanggil kalian dengan Lanna dan Sana?"

"Tentu." Jawab Lanna. "Omong-omong, siapa yang akan menjadi beta dari pack ini? Aku dengar salah satu dari kalian."

Aku menoleh dan mendapati Rion serta Naomi menatapku. Membuatku mendesah pelan kemudian memutar kedua bola mata malas.

"Dixon. Dia yang akan menjadi betanya Sana," ujar Rion seraya memegangi kedua tangannya di belakang punggung yang sedari tadi telah bergetar.

"Dan Rion akan menjadi asistenmu, Lanna." Aku menahan tawaku saat Rion mendadak menatap Naomi dengan kedua matanya yang membulat. "Tidak apa, 'kan?"

Aku menatap Lanna, memperhatikan wajahnya yang seperti menahan tawa juga. "Tidak masalah."

"Kalau begitu apa tugasmu?" tanya Rion pada Naomi yang hanya di balas dengan cengiran lebar gadis itu.

"Memastikan bahwa tidak ada kemunafikan lagi." Jawabnya tegas seraya melirik ke arahku. "Kalau begitu aku akan mengenalkan rumahmu kepada Lanna dan Sana agar mereka lebih cepat beradaptasi. Dixon, kamu tidak keberatan, 'kan?"

Dengan berat hati aku mengangguk. Membiarkan dua gadis ini bersama Naomi yang sudah kupercaya sepenuhnya menjelajahi rumahku.

Para gadis pun mulai meninggalkan ruang tamu, menyisakan aku dan Rion yang kini tengah bertatapan.

"Lanna adalah pasanganku. Aku tahu itu."

Aku memutar kedua bola mataku malas. "Kau sudah mengatakan itu berkali-kali."

Rion hanya berdecak, melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatapku serius. "Kali ini aku sungguhan."

"Kau juga sering mengatakan itu."

"Sudahlah." Aku pun tertawa. "Aku akan menyusul para gadis. Bersenang-senanglah, Dixon."

Rion pergi dari pandanganku setelahnya, menyusul Naomi dan Charlotte bersaudara yang kini tengah menjelajahi ruangan bawah tanahku.

Aku yang sama sekali tak berminat untuk menyusul, memutar arah tubuhku hingga kembali berhadapan dengan piano. Kubuka penutup tuts-tuts itu kemudian kutatap lekat-lekat benda tersebut.

Untuk sesaat pikiranku melayang entah kemana, memikirkan ucapan Naomi dan Rion tadi yang menyuruhku untuk ikut festival seni. Mungkin Rion ada benarnya. Jika aku menang dan bebas memilih hadiahku, aku akan meminta siapapun yang berkemampuan lebih untuk mengembalikan memoriku yang hilang.

Dan jika bisa, aku ingin mengulang segalanya dari awal.

Namun sesegera mungkin aku menepis ucapan mereka dari otakku. Tak ingin berkutat dengan pendapat mereka yang seharusnya tidak kupedulikan.

Setelahnya aku mulai menekan jemariku di atas tuts piano, kembali memainkan instrumen Canon yang menjadi salah satu instrumen kesukaanku.

Saat berada di tengah permainan, aku merasa seseorang tengah memperhatikanku diam-diam. Namun aku tak peduli. Jika ia memang berniat untuk menontonku, maka biarkanlah. Dan jika ia ingin menghentikan permainanku, seharusnya ia sudah melakukannya.

Aku terus menekan tuts-tuts piano dengan khidmat. Hingga sebuah tangan menyentuh bahuku dan membuatku menoleh.

"Johann Pachelbel? Canon?"

Aku mengangguk. "Kau tahu?"

Lanna mengangkat kedua alisnya seraya mengembangkan senyuman. "Siapa yang tidak tahu?"

"Mayoritas penduduk Vamps tidak tahu seni," ujarku. "Berbeda dengan para Pegasus dan peri."

Lanna pun terkekeh sembari berjalan ke arah samping dan menopangkan tangan kirinya di atas piano. "Tapi penduduk Vamps yang tahu seni biasanya adalah orang yang hebat."

Aku mengangkat kedua bahuku singkat. "Jika itu pujian untukku, terima kasih."

"Sama-sama." Gadis itu semakin tersenyum. "Aku dengar akan ada festival seni dua minggu lagi, berminat untuk berduet denganku?"

Wow.

Baru kali ini aku menemukan gadis yang baru kukenal menyatakan pendapatnya secara blakblakan. "Tentu."

"Lanna?"

Suara Savanna pun terdengar. Membuat Lanna menoleh dan membuat gigi-gigi rapinya terlihat saat ia menatap Savanna.

"Kau sudah makan?"

Lanna terlihat menggeleng. "Aku dan Rion akan pergi ke hutan sebentar lagi."

Astaga. Rion sudah melangkah maju!

"Tidak."

Senyuman di wajah Lanna memudar bersamaan dengan kedua bola mata birunya yang berputar malas. "Aku tidak peduli." Kemudian ia menatapku. "Kita bahas ini lagi secepatnya."

Aku tak menjawab, hanya mengangkat kedua alisku singkat tanda setuju.

Lanna pun melenggang pergi, menghampiri Savanna dengan gelagatnya yang sangat kentara tidak suka kemudian berhenti tepat di depan sang kakak.

Untuk sesaat pandanganku kembali bertabrakan dengan Savanna, walaupun tak selama sebelumnya, aku tahu bahwa ia telah di sana sejak tadi. Ia yang memperhatikanku.

Kemudian aku kembali melanjutkan permainanku, membiarkan kedua saudara itu berdebat dengan suara tertahan yang tentu saja masih dapat kudengar.

Lagi-lagi, dengan sangat malas, aku menoleh ketika Rion menepuk bahuku. Ia tengah bersedekap sembari menatapku tajam—sarat akan peringatan.

"D—"

"Bukan salahku. Aku hanya menerima tawaran. Lagian kau dan Naomi juga menyuruhku untuk ikut festival, 'kan?" Selaku. "Tenang saja, aku tidak akan merebutnya."

Rion pun menghela napas. "Bukan itu masalahnya."

"Lalu?"

"Aku tahu kau memang tidak akan merebutnya dariku. Tapi aku tahu, dan selalu tahu, gadis manapun yang akan kudekati selalu berakhir menyukaimu."

Aku pun tertawa. "Termasuk Naomi?"

Kedua mata Rion memutar malas, membuatku menyunggingkan senyuman miring kemudian bangkit dari dudukku. Kutepuk bahunya beberapa kali, menatapnya serius yang dibalas tak kalah serius oleh Rion.

"Jika Lanna adalah pasanganmu, ia tak mungkin berpaling kepadaku hanya karena sebuah instrumen membosankan yang sering kau katakan." Aku pun mendesah pelan. "Ia akan memilihmu. Percaya saja."

Untuk beberapa detik kami hanya terdiam. Membuat suasana menjadi canggung dan berharap tidak ada yang menyebut kami sebagai pasangan homo.

Detik selanjutnya Rion menghela napas seraya mengangguk. Ia pun melangkahkan kakinya ke arah dapur di mana Savanna dan Lanna masih berdebat.

Tak mau berdiam diri, aku mengekori Rion. Ikut menghampiri dua gadis itu dan mengira-kira di mana Naomi berada.

"Lanna, kau ikut?" tanya Rion saat Charlotte bersaudara menoleh.

Lanna pun melirik Savanna yang tengah bersedekap sebelum akhirnya menjawab. "Sana ingin ikut."

Cepat-cepat aku menatap Rion, ingin tahu ekspresi wajahnya saat tahu kakaknya Lanna ingin ikut. "Boleh saja." Rion pun tersenyum lebar. "Biarkan aku memberikan kalian tur kecil sekalian. Bagaimana?"

Lanna mengangguk semangat, sementara gadis di sebelahnya hanya terdiam menatap Rion.

"Sana?"

Jelas terlihat di wajah Savanna bahwa ia sangat malas untuk mengikuti adiknya pergi bersama Rion. Bahkan ekspresi tidak sukanya ia pampang dengan jelas di hadapan kami.

"Kalian berdua saja. Aku akan bersama Dixon di sini."

Rion menatapku, membuatku membalasnya dengan tatapan datar hingga ia kembali menatap Lanna senang. "Baiklah. Selamat bersenang-senang dengan Dixon."

"Bertahanlah, Sana." Tambah Lanna yang membuatku kebingungan. Bertahan?

Setelahnya kedua Vampir dengan ras Biru itu pun meninggalkan kami. Menyisakan perasaan canggung di antaraku dengan Savanna yang menyeruak cepat.

"Dimana Naomi?" tanyaku.

Savanna pun menatapku. "Ia baru saja pergi."

Sialan.

Savanna pun mengisyaratkanku untuk mengikutinya menuju bawah tanah. Membuatku memutar bola mata malas saat ia bersikap seakan-akan ialah pemilik rumah ini.

Kami menuruni tangga dalam diam, menyusuri lorong berputar yang akan membawa kami semakin jauh ke dalam tanah. Menuju tempat privasiku yang seharusnya tak ada seorang pun yang boleh masuk terkecuali diriku.

Setelah beberapa saat terdiam, Savanna pun membuka mulutnya. "Aku dan Lanna akan menggunakan kamar kosong yang berada di sebelah ruangan berpintu hijau."

Aku mematung. Tidak seharusnya dua gadis itu berada di dekat sana!

"Tidak bisa." Tolakku yang lantas membuatnya berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya untuk menatapku. "Lebih baik kau menggunakan kamar atas."

"Kenapa?"

"Aku tidak suka."

"Alasannya?"

"Tidak suka."

Savanna pun bersedekap. "Baik."

"Kau bisa lebih bebas di atas," ujarku lagi. "Termasuk membiarkan serigalamu berleha-leha sebelum tugasmu dimulai."

Mendadak ia menatapku tajam. "Jangan bawa-bawa itu."

Kuangkat salah satu alisku tak acuh seraya masih menatapnya datar. "Ya, terserah."

Aku memutar arah, kembali naik menuju lantai atas dan meninggalkan gadis itu di belakang. Salah, ia mengekoriku.

Lagi-lagi kami berjalan dengan diam. Membiarkan deru napas teratur kami yang memenuhi gendang telinga. Biasalah, tidak enaknya memiliki pendengaran super tajam seperti ini.

Saat kami sudah sampai di atas, untuk kedua kalinya Savanna kembali membuka pembicaraan. "Ada makanan?"

"Aku hanya punya daging rusa."

"Aku tidak makan rusa."

"Kalau begitu tidak ada."

Seperti sebelumnya, percakapan kami berakhir begitu saja. Terasa sia-sia dan tidak berguna. Begitu hampa, canggung dan kosong. Oh, jangan berpikir aku menginginkan percakapan yang lebih berisi dan penuh canda tawa—aku membenci itu.

Namun akibat rasa simpatiku yang begitu tinggi, aku menoleh. Mengecek keadaannya yang terlihat sangat datar dan tidak menunjukkan adanya sebuah kehidupan. Ia benar-benar 'berbeda'.

"Apa yang ingin kau makan?"

Aku berhenti berjalan saat kedua kakiku telah memasuki area dapur. Kusandarkan tubuhku pada dinding dapur seraya bersedekap dan memperhatikan Savanna yang berhenti tak jauh di depanku.

"Daging. Selain rusa."

"Kau suka darah?"

"Ya."

Tanpa babibu lagi aku menggigit pergelangan tanganku, membuat darah emas mengalir dengan deras yang kemudian kusodorkan pada Savanna.

Savanna mengangkat satu alisnya bingung, membuatku berdecak sebal seraya berjalan menghampirinya.

"Minum ini."

"Aku tidak minum darah manusia."

"Aku bukan manusia."

"Kau sejenis manusia."

"Aku Vampir."

Savanna terlihat menghela napas kesal. Menatapku dalam dengan kedua mata hijaunya kemudian kembali membuka mulut. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika aku menghisap darahmu?"

Aku mengangkat kedua bahuku sekilas. "Tentu."

Namun Savanna menggeleng. "Kau tidak tahu."

"Kau belum mencobanya." Kubiarkan bibir Savanna menyentuh darahku yang kuyakini belum pernah ia lihat dan rasakan sebelumnya. "Darah Emas adalah yang terbaik."

Dengan ragu Savanna menjilat bibirnya, membuatku mengalihkan pandangan karena kelabilan emosi seorang Vampir wanita akan meningkat saat seseorang melihatnya sedang makan.

Savanna tak mengatakan apapun setelahnya. Namun taring yang cukup runcing kini tengah menggigit tanganku sembari menghisap darah emas yang terus mengalir dari tanganku.

Mendadak sebuah pertanyaan melintas di benakku. Membuatku menjadi bertanya-tanya apa ras gadis ini. Hingga saat ia telah melepaskan tanganku dari gigitannya dan menepuk bahuku, aku kembali menatapnya dan mendapati gadis itu tengah memejamkan mata.

"Jangan tanya aku ras apa." Savanna mulai berjalan mundur sembari mencoba meraih meja makan di belakangnya.

"Aku tak berminat—"

"Aku bisa mendengar semua yang kau pikirkan, Dixon." Aku sama sekali tak terkejut untuk itu. "Kau penasaran."

Kali ini aku terdiam.

"Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kau tanyakan padaku. Tapi karena suatu hal, kau menahannya." Ia mendongak. "Dan karena kau berusaha untuk tidak peduli, kau tak menyuarakannya."

Aku berjalan ke arah Savanna, berdiri tepat di sampingnya kemudian mengambil sehelai tisu. Setelahnya kuseka sisa darah yang ada di pergelangan tanganku tanpa peduli dengan Savanna yang tengah melakukan sesuatu.

Saat aku hendak pergi dan membuang tisu bekas darahku, Savanna meraih kerah bajuku dan memelintirnya. Kedua mata hijaunya menatapku tajam hingga perlahan-lahan berubah menjadi hitam.

Tidak mungkin.

"Dengar, Dixon, aku tidak peduli dengan apa yang kau pikirkan tentangku. Apa yang membuatmu penasaran. Dan apa yang membuatmu tidak suka padaku. Tapi ingat, jangan pernah meremehkanku atau apapun itu. Aku tidak suka."

Pada akhirnya ia menghentakkan tangannya dan mendorong tubuhku menjauh. Kemudian melangkahkan kakinya keluar dari dapur.

Tentu aku terkejut. Tidak pernah ada gadis yang seserius Savanna terhadapku. Sekalipun ada, itu pasti ibuku. Bahkan Naomi yang tergolong blakblakan akan berpikir dua kali untuk menatapku dengan sorot seperti yang Savanna lakukan padaku.

Ditambah dengan fakta bahwa ia adalah ras Hitam membuat bulu romaku berdiri. Tapi bagaimana jika mata itu adalah milik serigalanya? Sial. Aku bahkan tak ingat kedua matanya saat menjadi serigala beberapa jam lalu.

Setelahnya aku mengalihkan pandanganku tak acuh dari lorong yang membawa Savanna pergi dari pandanganku, menatap meja yang menjadi pegangan gadis itu dan mendapati sebuah tulisan di sana.

Tidak panas.

Detik itu pula, dapat kurasakan kepanikan melandaku.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro