Bagan 15 · Tragedi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KEVIN mengemudi dengan pandangan lurus terarah menuju jalan raya. Profil wajahnya yang menawan tampak semakin mencengangkan dari samping, beralaskan kaca jendela yang disinari lampu-lampu pinggir jalan. Sesekali, cowok itu menelan ludah untuk melunturkan kegugupan.

Karamel yang duduk di kursi kiri melirik sekilas sesekali. Tampaknya, pernyataan Eliot tentang fakta bahwa sebenarnya Kevin tertarik pada dirinya tadi tak membuat posisi berduaan dengan cowok itu menjadi mudah baginya. Karamel yang biasa ceria dan tertawa, kini mendadak bungkam. Atmosfer begitu kental di mobil ini, akan sesuatu yang sama-sama mereka tau, tapi berat untuk diucap.

"Gugup? Excited?" suara Kevin memecah keheningan.

Karamel terkesiap sedetik sebelum tergagap, "Ha? Hm? Apa?"

"Kamu baru aja ngobrol sama abangmu yang udah lama hilang. Gimana rasanya?" Kevin mendengkuskan senyum melihat respons gadis yang duduk di sampingnya.

"Erm ... ya, itu. Gugup campur excited, sih. Sedih juga tadi, ditolak," jawab Karamel seraya memilin-milin jemari tangannya.

"Tenang aja, Kar. Darah lebih kental daripada air. Gimanapun, dia tetap keluarga kamu, dan keluarga pasti balik sama-sama lagi."

"Gitu, ya?"

"Iya."

Sunyi kembali membendungi seisi mobil itu. Karamel berdeham lirih sambil menoleh ke luar jendela, tampak mencari keberanian yang entah ada di mana.

"Kev, boleh tanya sesuatu?"

"Hm?" Kevin mencengkeram setir mobil lebih erat. Ini dia.

"Papa kamu ... kayaknya tadi familier sama nama aku. Kamu ada cerita apa aja?" Kalimat itu meluncur dari bibir Amel, tak tersaring akan panggilan aku-kamu yang sudah mencair entah sejak kapan di lidahnya. Kevin mengembus napas lagi. Kini Karamel terasa begitu dekat, juga begitu rapuh.

"Ohh ... cerita, hmm ... apa ya." Kevin mengulur sambil mencoba mengingat-ingat. "Cerita kalo ... ada cewek yang diem-diem nyelundup ke kelas Pengantar Dasar-dasar Pancasila di awal semester ini. Anaknya lucu, pinter, tapi nggak kuliah di kampus kita. Karena aku nggak tega bikin dia kena masalah, akhirnya aku nge-cover penyamaran dia dengan cara masukin si cewek itu ke kelompokku waktu ituah, sama Eliot juga ya kalo nggak salah? Ha-ha. Akhirnya kita presentasi sama-sama dong, dia pake nama samaran anak yang nggak pernah masuk kuliah dari hari pertama. Siapa deh, itu ...."

"Eka Rizky, namanya. Nggak tau itu cewek apa cowok, kita pake aja ya. Hahahaha." Karamel tanpa sadar melanjutkan kalimat Kevin, membuat cowok itu ikut tertawa perlahan. Cerita mereka komplit. Karamel masih ingat.

"Hahaha, hmm ... iya. Seru banget. Itu jadi kelas favorit sepanjang aku kuliah. Tapi sedih sih, ada satu hal yang disayangkan," lanjut Kevin.

"Kenapa?" Karamel menoleh, tak lagi berbicara dengan jendela. Menatap Kevin sebegini rupa, gadis itu buru-buru membuang muka lagi. Sepertinya gugup itu menular.

"Cewek itu nggak satu jurusan sama aku. Dia bahkan bukan mahasiswa resmi UI, haha. Ah, ya itu aja sih sayangnya. Coba aja kita satu jurusan beneran, bisa sekelas terus, kita bakal KRS-an bareng, belajar buat UTS bareng, skripsian bareng juga."

Kata-kata Kevin mulai melambung tinggi seiring mobilnya mulai berbelok ke arah gerbang masuk perumahan Karamel. GPS di dashboard mobil menunjukkan lokasi tujuan kurang dari 300 meter lagi.

"Kevin, aku ... mau minta maaf," ujar Karamel tiba-tiba, pada jarak 200 meter.

"Hm? Minta maaf kenapa?" 180 meter, Kevin menjawab.

"Karena udah ngira kamu homo, soalnya nempel sama Eliot terus ...." Karamel menundukkan kepalanya.

"Hah?" Kevin terkejut seketika. 120 meter menuju rumah Karamel.

"Iya. Maaf, ya. Tadinya aku nggak tau." Suara Karamel semakin lirih sementara ban mobil berputar semakin pelan. Jarak antara mereka dan kediaman Amel mulai dekat.

"Tadinya?" Kevin memiringkan kepala. 100 meter. Pagar rumah itu terlihat sudah.

"Iya, tadinya. Tapi sekarang udah tau," ucap Amel.

"Tau apa?" tanya Kevin, tak mengerti. Tanpa sadar, kaki cowok itu mengendur dari pedal gas. Mobil melaju semakin pelan.

"Tentang siapa yang sebenernya kamu taksir," jawab gadis itu.

"Oh ya?" Kevin membelalakkan matanya seiring mobil berhenti sempurna di depan pekarangan rumah keluarga Krisna—rumah Karamel.

"Yap." Karamel mengangguk yakin.

"Jadi?" pancing Kevin. Tak ada waktu lagi. Kita sudah sampai. Nggak ada jarak lagi yang bisa dibeli.

"Jadi ... kamu tutup mata dulu coba, bentar." Karamel menghadap cowok itu sambil menatapnya sungguh-sungguh. Kevin balas menatap netra Karamel sambil perlahan mulai menutup matanya. Kevin takut, sungguh takut, kalau Karamel bisa mendengar debaran jantung miliknya.

Tanpa diketahui Kevin, gadis di hadapannya juga merasakan hal yang hampir sama. Karamel Krisnanda tak pernah merasa seberdebar ini sepanjang hidupnya. Wajah Kevin Tjahyadewa yang terpejam tampak begitu damai, membuatnya berpikir lancang, beginikah wajahnya ketika dia sedang tidur?

Perlahan, Karamel mencondongkan wajahnya dan ikut memejamkan mata. Detik berikutnya, sebuah kecupan singkat mendarat di pipi Kevin. Singkat, ringan, dan lembut. Tak ada bara api yang menyengat, yang ada hanya hangat.

Cowok itu membuka mata saat merasakan napas Karamel telah menjauh dari wajahnya. Rona muka merah menghiasi dua sejoli ini, membuat mereka saling berbagi senyum penuh sipu.

"Bye, Kevin. Sampai ketemu di kampus, ya," pamit Karamel sambil membuka pintu mobil, meninggalkan Kevin yang terdiam memegangi pipinya yang hangat.

___

SENANDUNG suara renyah Larissa Lambert yang menyanyikan versi cover lagu 'Weak' mengudara dari speaker dasbor mobil yang dikendarai Kevin. Sambil menggumamkan nada, cowok itu ikut menikmati irama. Entah kenapa lirik lagu cinta dua generasi itu seakan bisa menggambarkan keadaannya saat ini.

I get so weak in the knees
I can hardly speak
I lose all control
And something takes over me

... can't explain why your love, it makes me weak

Seumur hidup, Kevin tak pernah lemah dalam masalah seperti ini. Cinta. Tak pernah, sekalipun, Kevin tersenyum sendiri pada lampu-lampu jalan yang berjejer rapi. Tak pernah juga Kevin merasakan kedutan tiba-tiba di pipi kirinya tanpa sebab. Eh, tunggu. Salah. Bukannya tanpa sebab, tapi ini semua karena Karamel. Karena kecupan itu/

Apa artinya? Benak Kevin bertanya-tanya. Diingatnya kembali kalimat Karamel terakhir kali. 'Sampai ketemu di kampus' katanya. Berarti, kisah mereka akan berlanjut?

Memikirkan itu saja dada Kevin kembali berdenyut. Bagaimana di kampus nanti hari-hari mereka akan kian berbeda. Yang tadinya harap-harap cemas, kini hanya perlu berharap saja. Yang tadinya tidak pasti kapan bertemu, kini bisa chat sepuasnya dan jalan ke mana-mana. Kepastian dari Karamel Krisnanda membuka berbagai alternatif masa depan yang begitu cerah. Ah, indahnya dunia Kevin Tjahyadewa.

Your love is so sweet, it knocks me right off of my—drrttt-drrtt ...

Lantunan lagu terpotong, menandakan ponsel Kevin, yang menjadi sumber alunan musik berfitur bluetooth itu, sedang mendapatkan panggilan masuk. Buru-buru Kevin menekan tombol handsfree, dan suara Larissa Lambert yang tadinya terdengar merdu sontak berganti dengan cempreng kalimat dari kakak yang paling menyebalkan. Melvin.

"Halo, Dedek! Lagi di mana, nih? Tumben banget jam sebelas belom pulang. Lagi dugem, ya?"

Kevin berdecak sebelum menjawab, "Di rumah kita yang demen dugem itu cuma Abang doang."

Tawa renyah Melvin menguar dari speaker. "Hahaha. Tau aja. Nah, berhubung Dedek Key-Key ini pengertian banget, tolong jemput Abang dong, di Princess Bar."

"Dih. Males."

"Ayolaaahh."

"Bang, Abang tuh harus stop dugem-dugem maksiat itu. Boros uang. Nyusahin orang, pula."

"Hehehe. Iya, Abang janji ini terakhir kali dugem."

"Seriusan?" Semudah itu?

"... buat minggu ini! Hahaha."

"Itu mah sama aja bo'ong." Kevin menghela napas. "Emangnya mobil Abang ke mana, sih?"

"Diderek."

"Lah? Kok bisa?"

"Salah parkir tadi. Udah deh, Dek, jemput aja napa ...."

"Pesen ojek car online lah, Bang Em."

"Kalau aku diculik, gimana?"

"Ew." Kevin bergidik mendengar nada manja yang dibuat-buat oleh abangnya.

"Jemput dong, Key ... nanti Abang nggak bakal bilang ke Papa deh, kalo kamu habis stalking cewek inisial K pake nomor identitasnya."

Kevin menahan napas. Sial. Ancaman terselubung yang ditaburi gula begitu manis.

"Oke, fine. Lo di Princess kan, Bang?" Kevin menyerah pada akhirnya.

"Yap-yap. Jemput ya?"

"Ya. Lokasi gue di Sudirman."

"Bye!" —klik. Melvin menutup sambungan tanpa sempat mengucapkan terima kasih. Kevin mendengkus sebal. Dua puluh menit akan terpotong dari waktu hidupnya untuk menjemput Melvin di tempat maksiat itu.

5 menit kemudian ....

"Jadi gue harus gimana, Yot?"

Suara Kevin memenuhi isi mobil itu. Perjalanan menuju Princess Lounge and Bar untuk menjemput abangnya sengaja ia hiasi dengan panggilan telepon pada satu teman yang mengganggu namun cukup ia butuhkan kehadirannya saat ini, Eliot.

"Gimana apanya lagi, Kev? Ya udah jelas dong, cyin~ Gas pol rem blong!"

Kevin tersenyum mendengar jawaban itu. Suara Eliot yang biasanya nyaring dan mengganggu telinga, entah kenapa kali ini malah terdengar memompa semangat. Kevin sebenarnya tidak butuh saran. Dia butuh validasi, pengakuan, bahwa apa yang dialaminya dengan Karamel malam itu bukanlah mimpi.

"Woy, Kev! Malah bengong. Gimana? Lau malah nelpon gue. Telpon Amel, lah! Ajak keluar, besok, lusa, malming. Kalian belom pernah nge-date, kan?"

Sentakan itu membuat Kevin kembali ke jalan raya. Kemudi mobil di genggamannya terasa berat. "Kencan?" ulangnya kelu. Dadanya bergemuruh lagi. Can't explain why your love, it makes me weak.

"Yoi. Lo kan udah dikasih lampu ijo, tuh. Tinggal gas aja!"

Lagi, otak Kevin buffering. Lampu hijau. Ya, benar. Kecupan di pipi tadi itu adalah hijau sehijau-hijaunya lampu.

"Oke," ucap Kevin benderang. "Gue bakal ngajak Karamel jalan."

Gak akan gue sia-siain lampu hijau ini, lanjutnya dalam hati. Gaspol!

___

MELVIN meneguk habis gin and tonic dari gelas kecil itu. Anna memandangnya dengan tatapan miring dari balik meja bar, bergantian dengan seseorang yang duduk tepat di sebelah Melvin. Vero, dengan gelas berisi absolut vodka yang tak dapat lagi Anna tolak saat diminta. Perkara perceraian orang tua Vero dirasa cukup serius sampai bartender itu rela meloloskan liquor paling kuat untuk sobatnya.

"Jadi, nama dia Karamel?" Vero berucap sambil meneguk cairan yang memberikan efek panas di tenggorokan. Cewek itu meringis setiap kali berhasil menelan.

Melvin mengangguk atas kalimat Vero itu. "Yap. Anyway, case-nya ortu lo makin ribet karena nggak ada prenup, kan? Rumah, tanah, harta gono-gini, itu semua—"

"Ya-ya-ya. Gak taulah itu urusan mereka," potong Vero. "Jadi balik lagi sama si Karamel-Karamel ini. Dia tadi ke rumah kalian? Dan ... ke kamar Kevin juga? Mereka nggak berduaan di sana, kan?"

Anna, yang memperhatikan percakapan mereka, cuma bisa geleng-geleng kepala. Jelas sekali dua pelanggannya itu memiliki minat yang sangat berbeda. Mirisnya, mereka sama-sama menekan minat itu dalam satu percakapan yang sama.

"Gue kira lu udah move on dari segala tetek bengek per-Kevin-an, Ver?" Anna mengutarakan satu hal yang mengganjal di benaknya ke arah Vero, membuat cewek itu hampir tersedak vodka-nya.

Vero sontak menoleh, kentara jika ucapan Anna tadi begitu menohok di telinganya. Benar, selama beberapa minggu terakhir, Veronica putri sudah berusaha sekuat tenaga untuk membatasi segala ke-Kevin-an dalam hidupnya.

Dan benar juga, Anna mengatakan Vero telah move on karena usahanya mulai menghasilkan perubahan. Walaupun harus denial mati-matian, menahan diri untuk tidak menyapa, mengecek media sosial, atau bahkan sekadar memikirkan Kevin, intinya Vero telah berhasil membuat jarak antara dirinya dengan Kevin.

Tapi entah kenapa sejak bertemu Melvin di pengadilan tempo hari, Vero merasa dia mendapatkan pertanda. Peluang. Kesempatan.

Jika dulu kasusnya dengan Kevin mentok karena tidak adanya jalan untuk mendekat sama sekali, dengan Kevin bagaikan benteng tangguh yang menolak untuk dipanjat, maka kehadiran Melvin sebagai kakak dan informan ulung keluarga Tjahyadewa membuat Vero mau tak mau berpikiran, walaupun sedikit saja, bahwa dia harus mencoba lagi. Kesempatan ini terlalu bagus untuk dilewatkan.

"Lu nggak sayang sama semua progres lu selama ini, Ver?" Itu suara Anna, lagi. Bagaikan nyanyian akal sehat yang selalu bisa menampar Vero dengan kenyataan.

Iya. Apa nggak sayang? Akhirnya bisa 'lepas' dari Kevin, dari apa yang berkali-kali Anna bilang sebagai obsesi. Sedikit lagi, mungkin Vero bisa benar-benar melupakan cowok itu ...

"Eh, panjang umur!" Suara Melvin meleburkan fokus kedua cewek itu. Baik Vero dan Anna sama-sama menoleh. "Si Key-Key nelepon, nih!" ujar Melvin sambil melambaikan ponselnya. Beberapa detik kemudian, suara lelaki itu kembali terdengar.

"Halo, Dedek. Udah sampe mana?"

Sunyi. Wajah Melvin tiba-tiba merosot dalam kebekuan yang pucat. Ekspresi mukanya keruh, senyumnya luruh. Vero dan Anna saling pandang sejenak untuk kemudian memperhatikan Melvin dengan fokus lebih.

"Kenapa, Kak Melv?" tanya Anna.

"...."

"Melvin?" Kali ini Vero bersuara. 

Lelaki itu menggeleng sejenak sebelum menurunkan ponselnya. Tampaknya panggilan itu sudah berakhir.

"Itu barusan dari ... ehm, nomor Kevin. Katanya, dia ... kecelakaan," ucap sang kakak lirih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro