Epoch◗Awal-Akhirヾ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⌕ ☁ ‣ Epoch; Satu untuk yang pertama dan terakhir ⌯ ˎˊ˗
❛Sk8 The Infinity❜
ᶠˡʸ ᴹᵉ ᵀᵒ ᵀʰᵉ ᴹᵒᵒⁿ — ᶠʳᵃⁿᵏ ˢⁱⁿᵃᵗʳᵃ.
₍₍ Story : Nathalie ╱̷
▭▬▭▬▭▬▭▬

▬▭▬ ミヤ・チネン ▬▭▬

"Psst, Miya!"

Panggilan berupa bisikan itu pun memasuki indra pendengaran si lelaki bersurai hitam itu. Yang dipanggil pun menoleh dengan malas. Sebuah pensil di tangannya dan buku tulis yang terbuka ada di hadapannya.

"Apa?" sahutnya.

Gadis yang duduk di belakangnya itu hanya diam. Ia bertanya-tanya dalam benaknya bagaimana untuk mengatakannya kepada Miya.

"Jika kau tak ingin memiliki hal yang ingin kau katakan, maka aku akan melanjutkan pekerjaan rumahku," ujar Miya seraya membalikkan tubuhnya.

"T-Tunggu! Aku, aku ingin bertanya tentang rumus Matematika yang sebelumnya kau sudah beritahu padaku. Namun, maaf karena aku melupakannya." [Name] mengecilkan volume suaranya ketika ia mencapai akhir kalimat. Ia khawatir Miya akan mengabaikannya meskipun ia mengatakannya dengan baik-baik.

Namun, hanya dengusan yang keluar melalui hidung lelaki itu. Yang kemudian disusul oleh sebuah senyum miring.

"Mengapa kau ragu hanya untuk mengatakan hal itu?" tanyanya geli. Ia mengacak-acak surai [Name] hingga membuat si empunya diselimuti rasa malu serta rona merah pada pipinya. Namun, [Name] hanya mengalihkan tatapannya dari Miya agar lelaki itu tidak menyadari apa yang sedang terjadi padanya.

"Rumusnya seperti ini. Kau harus mensubstitusikan variabel x dengan bilangan yang sudah ada di soal. Lalu, sisanya bisa kau kerjakan seperti biasa," jelas Miya sambil mencorat-coret pada buku tulisnya.

[Name] pun mengangguk-angguk paham akan penjelasan yang Miya berikan. Namun, sesekali pikirannya teralihkan kepada detak jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat daripada biasanya.

✃ —————— ✃

Bel pulang sekolah telah berdering sejak beberapa saat yang lalu. [Name] memasukkan alat tulisnya serta buku-buku pelajaran ke dalam tas sambil menatap ke arah Miya yang duduk sejauh dua kursi di depannya. Jarak dua kursi merupakan jarak terdekat yang bisa [Name] buat antara dirinya dengan Miya ketika berada di kelas.

Pasalnya, kursi tempat duduk di kelas mereka telah diubah dengan cara mengambil nomor acak di dalam sebuah kotak. Sialnya, [Name] dan Miya tidak mendapatkan kursi yang bersebelahan atau setidaknya salah satu dari mereka berada di depan yang lainnya.

Pandangan [Name] belum ia alihkan dari lelaki itu. Tentu saja, dikarenakan ia ingin mengajaknya pulang bersama seperti biasa. Alhasil, [Name] pun lekas menghampiri Miya ketika gadis itu usai memasukkan peralatan tulisnya dan buku-buku pelajaran ke dalam tas.

"Ayo kita pulang!" seru [Name] antusias ketika ia berdiri di sebelah Miya.

Lelaki itu sontak menoleh. Kala ia mendapati [Name] berdiri di sebelahnya dan mengajaknya untuk pulang bersama seperti biasa, Miya pun mengangguk tanpa berpikir dua kali. Toh memang itulah rutinitas mereka.

Di perjalanan, hanya keheninganlah yang menyapa keduanya. Tak seperti biasa.

Biasanya Miya ataupun [Name] akan sama-sama berceloteh tentang keseharian mereka di sekolah hingga tak sadar telah sampai di depan gerbang rumah masing-masing.

Namun, kini tidak. Mereka hampir sampai di tempat tujuan, tetapi keduanya masih tetap diam. Sampai Miya menghela napas panjang yang kemudian menginterupsi keadaan.

"Hahhhh ... kenapa dari tadi kau hanya diam saja sih?" ujar Miya seraya menatap [Name].

"Kau juga diam saja, maka dari itu aku pun ikut terdiam," sahut [Name] santai seraya menengadah. Menatap langit sore yang indah.

Miya berdecih mendengar penuturan sang gadis disebelahnya. "Nanti malam aku akan pergi," kata Miya setengah-setengah.

"Hah? Pergi ke mana?! Jangan aneh-aneh!" celetuk [Name] terkejut, langsung menatap sepasang mata dengan iris emerald itu.

Miya mendengus pelan. "Kenapa sih? aku hanya ingin ke S. Apa kau ingin ikut? Yah, jika kau bisa bangun malam-malam buta."

"S? Ah, ya aku ingat tempat itu. Aku ikut, jadi tolong bangunkan aku lewat jendela, oke?"

✃ —————— ✃

Tik tok tik tok

Bunyi jam berdetak menggema diseluruh ruangan. Sepi dan senyap adalah gambaran yang pas untuk mendeskripsikan kamar seorang [Full Name].

Sang gadis hanya diam menatap rembulan malam lewat jendela kecilnya. Ia tidak bisa tidur, lantaran terus teringat tentang janjinya bersama Miya sore hari tadi.

Ya, ia tidak tidur. Takut-takut tidak bisa bangun saat Miya membangunkannya lalu bisa membuat masalah besar, yaitu sebuah keributan pada dini hari, yang mungkin akan membangunkan kedua orang tua [Name]. Itu adalah masalah yang sangat besar, bukan?

Sementara itu, memang pula sang gadis kerap kali sulit untuk memejamkan matanya. Sebab atensi iris [E.C] itu tidak lepas dari sosok rembulan malam yang bersinar terang di langit. Terus menatap rembulan hingga tak berkedip.

Ya, sang gadis menyukai bulan lebih dari apapun, sehingga ia ingin pergi dan berjumpa pada bulan. Sungguh aneh, kata Miya tempo hari saat [Name] tanpa henti memuji dan mengagumi bulan secara berlebihan.

Namun, begitulah kenyataannya. Sang gadis menyukai bulan hingga ingin pergi jauh menemuinya dan meninggalkan segalanya hanya untuk bertemu bulan.

Keinginan aneh yang diselimuti sesuatu yang tak diketahui oleh seorang pun dalam hidup sang gadis.

Tuk!

Benturan kecil kerikil pada kaca jendela membuyarkan lamunan sang gadis akan rembulan.

Rupanya, Miya-lah sang pelaku pelemparan kerikil kecil pada kaca jendelanya.

"Oi, rupanya kau sudah bangun? Kupikir akan tertidur pulas sehingga aku harus memukulmu keras-keras," ucap Miya remeh.

"Hei, aku punya telinga, Miya." [Name] menatap lelaki itu datar.

Gadis itu bangkit dari duduknya. Atensinya kini sudah sepenuhnya beralih pada Miya. Dibukanya jendela yang sejak tadi terkunci.

Miya pun masuk dengan meloncat secara mudah, lalu tiba-tiba menatap [Name] dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat [Name] menatap balik Miya tidak enak.

"Apa liat-liat?!" kata [Name] galak, hampir berteriak.

"Kau yakin ingin ke S memakai baju tidur bermotif Hello Kitty? Sungguh?" ujar Miya menahan tawanya yang mungkin akan meledak nanti.

[Name] seketika gelagapan. Rupanya ia terbangun sedari tadi tidak menyiapkan apapun, pikirannya hanya tertuju pada sang rembulan malam sehingga melupakan segala hal yang ada.

"Maaf, aku lupa! Aku akan berganti dulu. Jangan mengintip!" Dengan segera [Name] berjalan menuju lemarinya, mengobrak-abrik mencari pakaian yang cocok untuk malam ini.

"Aku akan berganti di kamar mandi, tetap diam dan jangan buat keributan, oke?" ujar [Name], sedang Miya mengacungkan jempolnya tanda mengerti.

Setelah berganti pakaian, keduanya kini pergi menyelinap diam-diam melalui jendela kamar sang gadis.

Di tengah-tengah rembulan di atas kepala, begitu juga beberapa lampu kuning besar jalanan yang berkedip-kedip tak jelas kini menjadi pemandangan bagi keduanya.

Tak ada kendaraan ataupun insan yang terlihat di sepanjang mata memandang. Tentu saja, jam telah menunjukkan waktu tepat dini hari. Tidak akan ada insan yang terlihat berlalu lalang kala jam telah melewati tengah malam di sekitar jalanan.

Namun, berbeda dengan S. Waktu malam seolah adalah hari siang untuk mereka. Jam telah menunjukkan pukul dini hari, namun S tampak begitu ramai bak pasar di waktu pagi hari.

Sungguh membuat [Name] tak habis pikir untuk kesekian kalinya tentang S, tempat favorit Miya ber-skateboard. Miya tampak bersenang-senang dengan teman-temannya. Bahkan hingga melupakan keberadaan [Name] di sini. Sepertinya temannya itu cukup terkenal di tempat ini.

Berbeda dengan Miya. Skateboard sama sekali bukanlah dunia [Name]. Ditambah dengan keramaian di sana membuat gadis itu memilih untuk menyingkir dan menjauhi kerumunan yang menyoraki nama-nama yang mereka dukung. Tentunya gadis itu mendengar nama Miya dipanggil berkali-kali. Entah mengapa, ia tersenyum dengan bangga.

Dibaringkan dirinya di atas bukit berlapis rerumputan hijau yang tampak disiram oleh sinar sang rembulan purnama. Kebiasaan [Name] kembali muncul. Mengamati sang bulan yang memantulkan cahaya matahari hingga membuat bentuknya berubah-ubah sesuai tanggal. Namun, itulah yang menarik bagi [Name].

"Oi."

Suara yang sudah sangat [Name] hafal itu memasuki indra pendengarannya. Membuat si empunya nama pun menoleh ke atas. Di mana lelaki itu berdiri. Belum sempat disadari oleh [Name], Miya sudah lebih dahulu berbaring di sebelahnya. Ia memposisikan tangannya sebagai bantal kepala.

"Kau masih menyukai bulan?" celetuk Miya tiba-tiba. Membuat [Name] menoleh.

"Um. Masih," sahut [Name] seraya kembali menatap ke arah sang bulan.

"Mengapa kau menyukainya? Bulan itu tidak seindah apa yang kau lihat dari Bumi. Permukaannya bahkan berlubang di mana-mana karena tidak ada lapisan atmosfer yang melindunginya," ujar Miya tidak habis pikir. Ia mencuri pandang ke arah [Name]. Rupanya gadis itu tengah tersenyum.

Masih dengan senyum di wajahnya, [Name] pun berkata, "Ternyata kau tahu banyak tentang bulan ya, Miya."

"Itu kita pelajari di kelas," tukas Miya. Lebih tepatnya, ia menyangkal.

Kekehan keluar dari bibir [Name]. Ia tidak tahu apa alasan pasti mengapa dirinya menyukai sang bulan. Bulan yang, seperti kata Miya, permukaannya berlubang. Bentuknya pun tidak seindah apa yang mereka lihat dari Bumi.

"Aku ingin pergi ke bulan."

Ucapan [Name] itu sontak membuat Miya menatap ke arahnya. Ia mengernyit heran. Memang tidak mustahil untuk pergi ke bulan. Bisa diwujudkan dengan menjadi astronot. Namun, mengapa [Name] tiba-tiba mengatakannya?

"Kalau begitu, aku ikut denganmu," sahut Miya santai. Senyumnya yang tampak jahil tercetak pada wajahnya.

"Eh?"

"Kau tidak ingin pergi ke bulan bersamaku?"

[Name] mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tentu saja aku mau!" Ia pun tersenyum lebar.

"Kalau begitu, salah satu di antara kita tidak ada yang boleh pergi ke sana lebih dahulu. Mengerti?"

Anggukan kepala yang [Name] berikan membuat malam itu terasa hangat. Meskipun udara yang dingin berhembus beberapa kali. Meniup surai mereka. Mengikuti irama sang bayu.

✃ —————— ✃

"Kau tidak bisa pulang bersamaku?"

Wajahnya terlihat sedih dan kecewa. Bibirnya pun cemberut. Terbesit perasaan bersalah ketika Miya melihat reaksi [Name] kala gadis itu tahu ia tidak bisa pulang bersama dengannya seperti biasa.

Miya pun menggeleng. Menambah kekecewaan [Name] semakin besar. "Tidak bisa. Ada latihan untuk olimpiade nanti. Kau pun tahu jika aku merupakan tim nasional, bukan?" jelasnya.

[Name] mengangguk pelan. Gadis itu memang mengetahuinya. Dan kejadian ini bukanlah yang pertama kali.

Sebelumnya pun hal ini pernah terjadi. Namun, entah mengapa saat ini rasanya [Name] ingin menghabiskan waktunya lebih banyak bersama dengan Miya.

"Tidak bisa ya?" gumam [Name] kepada dirinya sendiri sambil menunduk.

[Name] pun tiba-tiba menengadahkan kepalanya. Membuat Miya tersentak karena sebuah senyum lebar yang tiba-tiba terbit pada wajah gadis itu.

"Kalau begitu, semangat latihannya! Aku akan selalu mendukungmu!" Gadis itu memberikan senyum terbaiknya.

"Kau pun berhati-hatilah ketika pulang nanti. Selalu lihat keadaan di sekitarmu," ujar Miya memberikan peringatan.

[Name] mengangguk-angguk. "Tenang, aku pasti akan baik-baik saja," sahutnya.

"Kabari aku jika kau sudah tiba di rumah," ucap Miya lagi.

"Hai, hai. Sayonara, Miya!" Ia melambaikan tangannya seraya berjalan lebih dahulu ke luar kelas.

Selepas kepergian [Name], entah mengapa terbesit rasa tidak nyaman di dalam benak Miya. Ingin sekali lelaki itu mengejarnya dan mengajaknya untuk pulang bersama. Namun, Miya sama sekali tidak tahu jika hal itu akan menjadi sebuah penyesalan terbesarnya.

✃ —————— ✃

Tetes-tetes air yang sebelumnya tampak kecil dan tidak terlalu terasa kini mendadak berubah menjadi deras. Menyiram Bumi dengan hujan di kala hari masih senja.

Sebuket bunga lily putih ia letakkan di atas sebuah makam. Makam milik seseorang yang paling ia sayang. Sekaligus menjadi seseorang yang paling tidak ia sangka akan pergi secepat ini. Meninggalkan dirinya di tengah-tengah dunia yang kini terasa sunyi tanpa keberadaan gadis itu.

[Name] memang mengirimi sebuah pesan kepada Miya. Namun, bukanlah pesan yang biasa ia dapatkan. Melainkan sebuah kabar dari ibunya yang membuat jantung Miya terasa berhenti berdetak.

Teman baiknya itu rupanya merupakan korban tabrak lari tadi siang. Tepat ketika gadis itu baru saja meninggalkan Miya di kelas dua puluh menit setelahnya.

Firasatnya benar. Rasa tidak nyaman tadi benar adanya. Perasaan itu bagaikan sebuah peringatan bagi dirinya untuk mencegah [Name] pergi.

Namun, apa yang Miya lakukan? Lelaki itu hanya berusaha mengabaikan perasaan tersebut dan memilih untuk pergi latihan.

Kini dadanya terasa sesak. Sia-sia saja ia menyesal. Semenyesal apapun dirinya, [Name] tidak akan pernah kembali. Ia sudah tiada.

"Hei."

Miya menatap makam bertuliskan nama [Full Name] di atasnya. Tatapannya terlihat kosong. Hatinya pun mendadak terasa hampa.

"Mengapa kau pergi ke bulan lebih dulu? Kita sudah berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain, bukan? Jawab aku, [Name]!" seru Miya frustasi.

Sia-sia saja Miya berteriak, berseru-seru. Karena pada akhirnya fakta serta kenyataan kembali muncul ke permukaan. Membuat dirinya seolah-olah ditampar oleh kenyataan yang sangat menyakitkan itu. Kenyataan yang bahkan sungguh sulit untuk ia terima.

Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. Disusul oleh tetes yang berikutnya. Setelahnya dibawa mengalir oleh air hujan yang kini telah membuat dirinya basah kuyup.

Hari itu, senja itu, seorang Miya Chinen menangis pilu di bawah hujan. Mendeskripsikan betapa sakitnya perasaannya ketika ia ditinggalkan begitu saja oleh [Name]. Juga sebuah penyesalan yang masih menyelimuti dirinya meskipun ia tahu bahwa hal itu tidaklah berguna.

Setidaknya, Miya ingin mengucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya kepada [Name]. Ya, hanya itu.

[TAMAT]

ᶠˡʸ ᴹᵉ ᵀᵒ ᵀʰᵉ ᴹᵒᵒⁿ — ᶠʳᵃⁿᵏ ˢⁱⁿᵃᵗʳᵃ.
0:35 ──o───────── -3:11
    ⇄      ◃◃    Ⅱ    ▹▹      ↻

▬▭▬ ミヤ・チネン ▬▭▬

Hello pren, sebelum memulai berbacot ria, aku mau sangat berterima kasih pada oknum yang memiliki akun ini BadassMochi selaku ikut ambil pembuatan cerita ini.

Sebagian besar, bukan sebagian lagi sih, tapi hampir semua dibantu dan ditulis oleh kak BadassMochi. TERIMA KASIH BANGET WOI😭🙏.

Aku harus balas kebaikan besar ini dengan apa?😭

Dan selain itu, aku mau minta maaf kepada para reader karena cerita ini diganti menjadi oneshot dikarenakan tidak cukupnya waktu deadline saat pengerjaan. Bukan ga cukup sih, sayanya aja yang suka ngaret. Maaf ya readers-san.

Inipun, alurnya jadi banyak diubah karena untuk mempersingkat penulisan, udah mepet bgt soalnya, hehe.

Sekali lagi maaf ya readers-sann :(

[01 Desember 2021].

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro