ᴇᴍᴘᴀᴛᴘᴜʟᴜʜ sᴀᴛᴜ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

"Kamu sepertinya senang sekali melihat saya menderita, Adriana." Begitu ucapan Airlangga ketika mendapati Adriana tidak berhenti menahan tawa sejak insiden sepuluh menit lalu.

Beberapa ibu-ibu yang mengerubungi Airlangga tadi menitip salam. Dulu ketika mereka kesulitan ekonomi, Abikara membantu mereka dengan bentuk modal usaha, agar dapat membentuk pertumbuhan ekonomi sendiri tanpa mengandalkan anak yang tengah merantau atau bantuan pemerintah. Kalau sekarang mereka sudah menjalan hidup jauh lebih baik, pariwisata mudah terkenal berkat sosial media, jadi mereka tidak kesulitan mencari tambahan untuk dapur.

Trias berdiri di samping Airlangga, tertawa pelan kala mendengar Airlangga menggerutu di balik senyum ramah tamah yang ia lemparkan.

"Ternyata Chef Airlangga bisa jadi idola ibu-ibu." Ucapan Adriana sontak membuat Trias kembali mengeraskan tawanya.

"Saya sepertinya akan selalu menjadi idola di mana pun," sahut Airlangga pongah, menaikkan alis sebelah dengan senyum tipis.

Airlangga bangun dari duduknya kemudian berpamitan secara sopan dengan semua orang yang ada di balai desa agar tidak lebih lagi menjadi bahan ledekan. Di perjalanan Trias pamit untuk menyambangi toko dan kafe. Ini sudah siang hari, ia harus mengecek ketersediaan stock barang juga mengawasi pengiriman bakpia ke Malioboro.

"Chef Airlangga ke sini sama siapa?" tanya Adriana ketika mereka berjalan bersisian.

Perempuan itu mengenakan celana panjang berbahan katun yang dipadukan dengan sweater polos kebesaran. Terlihat menggemaskan di mata Airlangga, hingga lelaki itu enggan menatap ke arahnya.

"Chef marah, ya?"

"Tidak." Airlangga menjawab dengan wajah minus ekspresi.

"Chef, jalan-jalan, yuk!" Tanpa tedeng aling-aling Adriana menarik lengan Airlangga. Mengajaknya berlari kecil hingga sampai pada kolam kecil di belakang rumah tua yang sejak kemarin Airlangga tatap.

"Kamu ajak saya ke tempat pembuangan?"

Adriana hampir saja memaki Airlangga karena berbicara sembarangan. Dulu sekali, kolam itu tempat Ayah Adriana menebar benih ikan, mereka berdua dulu sering menghabiskan waktu bersama jika Airlangga libur sekolah. Namun, rupanya kenangan itu sudah hilang dari ingatan Airlangga.

Airlangga mengamati sekeliling, bangunan yang bagian bawahnya sudah rusak dimakan rayap itu seolah punya daya magis untuk menarik perhatian Airlangga. Sekelebat memori rusak hadir, bergerak samar dalam ingatan dan mengganggu pandangannya.

Aspal.

Kayu.

Darah?

Terdengar bunyi lengkingan nyaring di telinga sebelum tiba-tiba sakit di kepala Airlangga kembali menyerang. Karena terlalu sakit, ia bahkan tidak dapat menahan berat beban tubuhnya hingga tersungkur ke tanah. Adriana terpekik, kemudian menghampiri Airlangga yang tengah memegangi kepalanya.

"Chef Airlangga kenapa?" Adriana bertanya panik. Baru kali ini perempuan itu melihat kondisi Airlangga seperti ini. Diam-diam ketakutan melingkupi hatinya kala melihat wajah Airlangga berubah pucat.

"Chef, Chef Airlangga kenapa? Tolong jawab aku, Chef?" Adriana meneteskan air mata, tangannya bergerak memeluk Airlangga yang terduduk di atas tanah.

Denyut nyeri di kepala Airlangga berangsur hilang ketika melihat tangisan di wajah Adriana. Sudah Airlangga katakan bukan bahwa ia tidak suka melihat perempuan menangis? Susah payah ia tersenyum, mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja agar Adriana berhenti menangis.

"Saya baik-baik saja, Adriana." Suara Airlangga terdengar parau.

Airlangga tidak tahu apa yang tengah merasukinya belakangan ini. Namun, hatinya tidak suka melihat Adriana bersedih bahkan menangis. Itu mengingatkan Airlangga akan sosok Ayunda juga gadis kecil yang dulu selalu dianggap sebagai adik kecil.

"Chef Airlangga nggak sedang membohongi saya, 'kan?" Adriana bertanya ragu. Menatap wajah Airlangga yang kini mengatakan seolah laki-laki itu baik-baik saja.

Chef berusia 28 tahun itu mengangguk, menatap ke dalam mata Adriana kemudian mengulas senyum sebelum mengangkat tubuh Adriana untuk berdiri.

"Kamu jelek kalau menangis," ucapnya sembari menjawil hidung Adriana agar perempuan itu melupakan kesedihannya.

"Sakit, Chef!" Adriana memukul pelan tangan Airlangga kemudian mengusap air mata yang sempat membasahi pipinya.

"Kita pergi dari sini. Saya tidak suka tempat kotor seperti ini." Airlangga mendorong pelan pundak Adriana, menuntunnya agar mau meninggalkan rumah reot yang tidak berpenghuni itu.

****

"Kita naik motor saja, Chef."

Adriana mengusulkan. Kini mereka ada di lapangan setelah Airlangga menyetujui permintaan Adriana untuk pergi ke warung kopi klotok. Sejujurnya, Airlangga tidak suka kopi. Perutnya tidak pernah tahan dengan minuman berkafein, terlebih jantungnya akan berdetak lebih cepat karena tidak biasa dengan kafein. Namun, laki-laki itu enggan mengatakannya pada Adriana karena sudah pasti Adriana akan mengatakan.

Laki-laki macam apa yang tidak bisa minum kopi?

Airlangga tidak ingin harga dirinya jatuh hanya karena minuman hitam berasa pahit itu. Akan tetapi, agaknya Airlangga harus memberikan alasan logis untuk menolak usul Adriana.

"Apa tidak bisa kita naik mobil saya saja?" Airlangga memberikan opsi.

"Bisa aja sih, Chef. Tapi kan lebih cepat kalau kita naik motor, toh kita nggak perlu pergi terlalu jauh." Adriana menatap polos pada Airlangga kemudian menyerahkan kunci motor matic-nya pada Airlangga.

Airlangga menggaruk kepalanya. Otaknya mulai berpikir bagaimana cara untuk jujur pada Adriana. "Bagaimana kalau kamu saja yang bawa motornya?"

Adriana sempat diam sebelum tertawa ke arah Airlangga. Demi apa pun, Airlangga benci sekali jika harus melihat wajah Adriana yang tertawa ke arahnya seperti itu.

"Chef, jangan bilang Chef Airlangga nggak bisa bawa motor?"

Airlangga hampir saja menyesal karena mengatakan tidak menyukai tangisan Adriana, karena kini ia tahu tawa gadis di depannya itu lebih menjengkelkan! Perempuan berusia 22 tahun itu bahkan sepertinya lupa bahwa lima belas menit lalu ia baru saja menangisi Airlangga.

"Ada masalah buat kamu kalau saya tidak bisa mengendarai motor?" Airlangga yang kesal akhirnya bersungut dengan tangan diletakkan di pinggang.

"Nggak ada sih, Chef. Tapi yang benar saja. Chef Airlangga ini ternyata cuma galak di dapur, di luar anak manja. Nggak bisa baca maps, nggak bisa bawa motor! Percuma punya wajah tampan, Chef!" Adriana menduduki jok motor yang distandar satu.

Airlangga sempat memegangi tangan Adriana ketika motor itu bergoyang karena diduduki Adriana. "Terima kasih karena kamu sudah jujur mengatakan saya tampan, tapi ketampanan saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemampuan dalam mengendarai motor."

"Sama-sama, Chef." Adriana rupanya belum puas meledek Airlangga.

"Bisa tidak kamu berhenti meledek saya?!" Airlangga kembali berkacak pinggang. "Ya sudah. Lebih baik saya pulang. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan dibanding meladeni orang seperti kamu."

Adriana mencekal tangan Airlangga ketika laki-laki itu hendak berbalik. Ia menunjukkan tanda peace sebagai permintaan maaf kemudian mengalah.

"Oke! Kita naik mobil Chef Airlangga saja kalau gitu." Adriana memberikan opsi.

Mau tidak mau Airlangga menurut, ia tidak mau jika harus bepergian ke luar dengan cara diboncengi Adriana.

"Mobilnya di mana, Chef?"

"Di toko oleh-oleh. Lebih baik kamu ambil sana." Airlangga duduk pada dipan kayu di bawah pohon, tidak peduli dengan ekspresi Adriana yang melongo karena perintahnya.

"Saya nggak bisa bawa mobil, Chef."

"Ya terus kamu mau suruh saya jalan kaki ke sana? Kamu akan lebih cepat sampai ke sana dengan motor, Adriana." Airlangga memesan es teh yang dijual di pinggir jalan, memberikan uang pecahan sepuluh ribu untuk membayar es dengan bungkus plastik besar.

"Atau kamu mau bonceng saya ke toko oleh-oleh?" Airlangga memberikan usul.

"Masa perempuan bonceng laki-laki?" Adriana protes, tapi sedikit berpikir hanya itu opsi yang terbaik. Lagi pula toko oleh-oleh tidak begitu jauh.

"Saya hanya minta kamu bonceng saya, Adriana. Bukan minta kamu nafkahi saya. Kenapa membawa-bawa jenis kelamin? Aneh."

Adriana sudah akan mendebat Airlangga sebelum laki-laki itu kembali meneruskan ucapannya. "Katanya zaman sekarang kita sudah mengakui kesetaraan gender, tapi masih saja minta diperlakukan istimewa."

"Oke! Ayo saya bonceng! Biar nanti diketawai Mas Trias!"

"Saya sudah biasa diketawai Trias. Kamu tenang saja."

Adriana membelokkan motornya, kemudian menstater sebelum Airlangga naik. Ia sedikit maju ke depan ketika dirasa jok di belakang diduduki oleh Airlangga.

Motor Adriana melaju pelan, sedikit terhantuk ketika ada lintas polisi tidur. Airlangga yang berpegangan pada pinggang Adriana kemudian memeluknya dari belakang, posisi Airlangga bisa dibilang menguntungkan karena dirinya lebih tinggi dari Adriana. Untuk menggoda Adriana, Airlangga meletakkan dagunya di pundak Adriana.

"Sepertinya lebih baik kita pergi dengan motor saja. Saya suka posisi seperti ini, dengan saya di belakang dan memeluk pinggang kamu."

Adriana tidak menjawab, ia berdeham satu kali kemudian menggerakkan bahunya untuk menandakan ia risi dengan perlakuan Airlangga. Namun, Airlangga belum selesai, ketika laki-laki berusia 28 tahun itu membalas ucapan Adriana tempo hari tepat di telinga Adriana.

"Jantung kamu jangan kencang-kencang, saya takut itu akan keluar dari tempatnya."

Ucapan Airlangga itu terhenti ketika motor yang dikendarai Adriana berhenti. Perempuan itu bahkan meninggalkan Airlangga di parkiran dan mendobrak kasar pintu kaca untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Di ruangan kerja Trias, Adriana merosot lemas dan memegangi dadanya. Benar yang yang diucapkan Airlangga, jantungnya mungkin sebentar lagi akan meledak.

"Ngopo kamu, An?" tanya Trias yang tidak mendapat jawaban selain gelengan.

Sementara Airlangga, ditatap sebegitu aneh dengan orang-orang yang melintasi area parkir toko oleh-oleh karena tertawa. Untuk kali ini, ia berhasil membuat Adriana salah tingkah.

ᴛᴇʀɴʏᴀᴛᴀ ᴀɪʀʟᴀɴɢɢᴀ ɪᴛᴜ ʙᴀɴʏᴀᴋ ɴɢɢᴀᴋ ʙɪsᴀɴʏᴀ ᴇʜᴇʜᴇʜᴇʜᴇᴇ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro