5. Kebebasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada yang berbeda saat aku memasuki kelas hari ini. Aku menatap sekeliling, seluruh murid sudah berada di kelas. Mataku menatap ke suatu hal yang nampak asing. 'Lho lelaki berbandana itu siapa?' Dia duduk di barisan bangku belakang. Sedang mengotak-atik rangkaian benda yang tidak ku ketahui.

"Namanya Horibe Itona."

"Eh?" aku menoleh ke sumber suara. Oh.. rupanya Nagisa.

"Dia sebenarnya murid lama lho [Name]-chan, tapi yahh.. karena ada suatu hal dia tidak sekolah selama beberapa saat."

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, sambil tetap menatap ke arah Horibe Itona. Memangnya hal apa itu? ah sudahlah, dari awal kelas-E kan memang menyimpan banyak hal yang tidak kuketahui. Oke, itu wajar. Tapi, yang tidak wajar adalah.. dia begitu tidak peduli dengan kerumunan siswa lain yang berada disekelilingnya. Memang kalau kondisi tersebut terjadi di kelas lain--terutama kelas A--ku jamin hal itu sudah biasa di temui. Tapi, hei.. bukankah ini kelas-E?

"Kerja bagus Itona! Huahh~ aku tidak sabar melihat bagaimana benda itu bekerja!" Isogai berteriak riang, semakin membuatku penasaran. Horibe Itona hanya mengangguk.

"Kalau begitu sepulang sekolah mari kita coba!" Okajima menepuk bahu lelaki berbandana itu sambil mengulas senyum riang.

"Nagisa-kun? kau tahu apa yang sedang mereka perbuat?" aku menoleh ke sosok Nagisa yang masih setia disampingku--tak bergeming. "Waa.. tumben [Name]-chan peduli tentang apa yang kami lakukan." Ia tetap tak bergeming, bahkan ketika menjawab seperti itu pun kepala birunya tidak menoleh sedikitpun ke arahku.

"Memangnya apa lagi..? Kau masih ingat kan apa yang harus kami--kelas 3-E lakukan?" aduh, ternyata Nagisa bisa berbelit-belit kalau bicara. Oke aku ingat.

"Sebuah rencana pembunuhan sensei?"

"Tentu!" Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Setiap siswa bisa mencurahkan berbagai macam ide untuk membunuh Koro-sensei kepada pasukan kelas 3-E yang lain.

"Itona sangat ahli dalam hal sejenis robotika seperti itu, asal kau tahu [Name]-chan." Nagisa berbicara lagi. Ia menoleh ke arahku sembari tersenyum, lantas melanjutkan,

"Jadi.. kapan kamu menyumbangkan idemu [Name]-chan?" Aku hanya tersenyum kikuk. Untuk hal itu, sejujurnya belum kepikiran apa-apa sih. Dan tidak berminat juga. Yang benar saja, aku kesini kan hanya untuk sekolah.

"I..itu.. Aku belum memikirkan apa-apa, Nagisa-kun. Aku berencana keluar dari kelas ini tidak lama lagi" Pandangan mataku menjadi serius menatap lurus ke arah Nagisa. Ia terdiam, kemudian tersenyum simpul. "Ganbatte ne, [Name]-chan."

"Heh~ nggak akan kubiarkan kamu keluar dari kelas ini lho," Sontak aku menolehkan kepala, si kepala merah tiba-tiba sudah merangkul bahuku. Kenapa sih nih anak. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum miring.

"Emang kamu siapaku bisa melarangku Karma Akabane?" Jari tangan Karma ia tempelkan di dagunya, dan pandangannya melihat ke atas. Apa yang sedang ia pikirkan?

"Bagaimana kalau aku ini-"

Kring..

"YOSH!!" Sorakan gembira datang dari deretan bangku belakang. Itu adalah bangku Itona yang di kelilingi anak laki-laki lain. Teriakan mereka terlalu membisingkan seluruh kelas, dan membuat seisinya menoleh ke sumber suara.

"Ayo kita coba"

><><><

ckiit

"Sensei kami pulang dulu!"

"Terima kasih!"
.
.
.
.

"Oi.. kelihatan nggak?"

"Kurang ke atas itu kameranya."

"Perlu di upgrade nih"

Aura aneh terpancar di sekeliling mereka. Tadinya mobil tank yang Itona rancang akan di uji aksinya dengan menembakkan peluru anti-sensei. Saat tank itu dalam perjalanan menuju kantor guru, benda itu harus berhenti tatkala ada dua siswi yang baru keluar dari kantor guru.

Dari kejadian kecil tadi, terbesitlah ide laknat yang melenceng dari tujuan awal mereka.

><><><

Hoamm. Suasana di musim gugur memang bikin ngantuk. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari luar jendela, di tambah fakta bahwa gedung ini di kelilingi hutan. Sungguh membuatku berusaha keras memerangi rasa kantuk. Irina-sensei sedang memberi tugas untuk di kerjakan saat ini, tetapi beliau tidak sedang di kelas. Setelah memberi tugas tadi, ia lalu keluar. Saat ini, walau sudah di beri tugas ada beberapa yang terlihat tidak mempedulikan dan beraktivitas yang lain. Mungkin ini adalah pemandangan yang biasa bagi mereka.

"Ne.. Fuwa-chan, aku bosan."

"Mau anterin aku ke toilet nggak Kurahashi?"

"Yuk."

Setelah Fuwa dan Kurahashi meninggalkan kelas beberapa detik lalu, seisi ruangan hening sejenak. Padahal para lelaki yang tadinya sedikit ricuh karena kegabutan mereka, bergerombol di bangku Itona. Entah ada magnet apa mereka seperti itu sudah semenjak kemarin.

Brak.

Pintu kelas di buka secara tidak halus oleh Kurahashi. Ia melangkahkan kakinya keras menuju deretan bangku belakang. Tunggu, yang di tangannya itu kan,

"Mau ngintip apa kalian dengan benda ini?"

Hening, suara Kurahashi yang biasanya cempreng ceria kini menggelegar. Para lelaki itu diam seribu bahasa dengan ekspresi kalut.

"Hentai!" dan puluhan sampah kertas atau botol yang entah di dapat darimana, mendarat ke mereka. Siswi-siswi kelas yang melakukan itu. Aku menyaksikan hal itu dengan miris. 'Machiga yo'

><><><

LINE -- Cecan-Cecan Kelas

Rio.
Rapat dadakan di belakang gedung sekolah sekarang.

uhuk.. agaknya aku tersedak pelan saat menerima notif grup tersebut. Aku membuka botol minumku dan meneguknya. Kemudian, bekal makan siang yang belum habis ku tutup kembali lantas beranjak.

"Mau kemana [Name]-chan?" yang pertama kali menegurku seperti itu sudah dipastikan lelaki yang bangkunya berada di sanping kananku.

"Kepo yaa" ck. Karma mendecih pelan setelah mendengar jawabanku. Dengan acuh, aku berlalu.

"Oke, semuanya sudah berkumpul." begitu ujar Rio tatkala aku muncul di hadapan mereka.

"Sehubungan dengan kejadian tadi-penderitaan Kurahashi dan Fuwa oleh para lelaki itu sudah membuat harga diri kita sebagai cecan-cecan(*) kelas jatuh. Kita harus melakukan sesuatu untuk mengangkat kembali harga diri kita!" seru Nakamura Rio bak memberikan pidato semangat perjuangan kepada kami. Pembahasan macam apa ini? sungguh mereka membuang waktu untuk hal yang tidak terlalu penting ini. Diskusi alot terjadi sudah bermenit-menit lamanya hingga..

Kringg

"Baiklah kita akan melaksanakannya saat kelas memasak nanti."

"Akan kubuat resep puding yang super lezat untuk mereka!" Kayano berseru diiringi sorakan siswi lainnya.

Jadi, mereka benar-benar serius ya? Aku akan ngikut saja deh.

><><><

"Huwaa akhirnya selesai juga!" Isogai meregangkan tubuhnya sambil mendesah. Kelas memasak kami sudah selesai, lebih tepatnya baru selesai. Tak hanya Isogai yang melakukan hal tersebut, kebanyakan siswa kelas bahkan lebih menunjukkan aura lelah yang mendekati suram. Padahal hari ini materinya hanyalah memasak hidangan dessert secara berkelompok. Kali ini, aku sekelompok dengan Kataoka dan Yada. Tidak ada yang istimewa, tetapi agaknya kami tidak begitu gagal. Dan pandanganku beralih ke meja kelompok seberang; Nakamura, Kayano, dan Kurahashi tidak menunjukkan tampang lelah sedikitpun. Malah senyum sumringah-begitulah aku mengartikannya, menghiasi bibir mereka. Padahal kurang lebih 2 jam pelajaran kami harus menekuni jam memasak.

"Apa yang kalian masak?" Okajima menghampiri kelompok Maehara yang masih duduk-duduk santai, sedangkan yang lain banyak yang sudah berlalu-lalang membereskan perlengkapan mereka masing-masing.

"Ada donat, kue muffin, dan cupcakes dan brownies dan-kue apa ini Isogai?" jawab Maehara.

"Eh buset! kalian ini praktek memasak atau buka catering?!" Okajima yang tercengang mendengar jawaban atas pertanyaannya itu mengedutkan alisnya dengan mulut yang terbuka lebar-memungkinkan untuk di masuki sesuatu disana.

"Dan Isogai yang memasak semua ini menjadi barang jadi. Kami hanya bekerja di balik layar." Maehara mengatakan hal itu di dekat telinga Okajima, namun tentunya entah dia berniat membisikkannya atau sengaja, suaranya tetap terjamah oleh telinga. Sedetik kemudian, telinga-telinga yang mendengarkan hal itu langsung menggumamkan kata yang sama secara bersamaan,

"I-Ikemen da!"

Aku memandang Isogai yang sedang sibuk membereskan peralatan dengan senyum cerianya yang terpatri jelas dan aku melihat kemilauan bintang-bintang kecil di sekeliling wajahnya, 'Dia begitu menyilaukan!'.

"Cepat bereskan perlengkapan kalian baru boleh istirahat!" titah guru bertubuh gurita diiringi sahutan 'ya' dari seiisi kelas. Yang tadinya duduk santai kini pun beranjak menggapai barang-barang yang dirasa mereka perlu dirapikan.

"Aku lelah. Plus lapar plus haus. Ada solusi?" Sugino menyenderkan tubuhnya di dinding ruangan. Anak lelaki lain memandangnya dengan ogah-ogahan karena mereka juga merasa demikian.

"Makan terus minum, b*g*!" jawab Terasaka sebal.

"Masakan Isogai! Apa masih ada? Bukannya dia memasak banyak?" Mata Sugino kembali berbinar tatkala mengingat satu hal yang terlupakan tadi.

"Lenyap." satu kata dengan satu titik tersebut bisa membuat Sugino yang sudah lelah semakin tak kuasa mendengar. Padahal memang pelajaran baru berakhir beberapa menit yang lalu, tapi sudah bisa dipastikan banyak kue-kue yang sudah lenyap. Lenyapnya bukan karena siswa-siswi disini asal sahut-isasi, tapi karena memang dibagi-bagikan atau rebutan atau mengemis. Kiranya seperti itu, dan seseorang yang kurang lihai akan kehabisan.

Apa ini suatu contoh kecil hukum yang diterapkan di kelas-E? Sejujurnya, selama aku masih ada di gedung utama, ketika kelas memasak tidak pernah ada fenomena semacam ini. Begitu pula dengan hal-hal lain. Disini ada banyak hal yang belum pernah ku rasakan. Intinya, untuk fenomena kali ini mungkin jika di bandingkan hukum yang cukup absolut "Milikku ya milikku, milikmu ya milikmu" disana, tidak di berlaku di kelas 3-E. Atau mungkin semua yang ada disana.

Oh ya, mengenai eksistensiku untuk saat ini, aku hanya duduk di pojokan ruangan dengan sebuah notes dan buku di tanganku, menyaksikan segala aktivitas yang mereka lakukan dan menuliskan beberapa catatan kecil di notes tentang mereka. Entah kenapa, aku juga tidak tahu atas dasar apa kulakukan hal ini. Meskipun tidak berfaedah tapi tidak ada salahnya bukan?

"Ahh kalian masih merasa lapar ya?" itu suara Nakamura Rio yang sudah berdiri di hadapan mereka. Menyusul, barisan siswi kelas 3-E berdiri di belakang Nakamura.

"Dengan mengandalkan insting keibuan dan kewanitaan, secara spontan kami memasak lebih dan ini untuk kalian." ujar Kayano ceria-di sambut ekspresi wajah bahagia plus terharu dari jajaran lelaki kelas.

"Selamat menikmati~!" lihat, mereka mulai menerima dan hendak memakannya.

"Ini adalah jam istirahat terbaik yang-"

"Huwekk!!"

"Rasakan! Dasar para hentai!"

"Dapukk waktu itu geng Terasaka yang berulah kenapa kita ikutan kena?"

"Semua cowok sama saja."

"Semua cewek selalu mengerikan."

Berbagai macam ungkapan bernada tinggi memenuhi atmosfir ruangan. Di tengah berlangsungnya Perang Dunia via mulut ini, aku jadi terpikirkan...

Karma mana ya?

><><><

"Bolos?" bariton suara Karma terdengar ketika aku baru saja menghentikan langkah. Sepertinya, tanpa menoleh pun dia kemungkinan tahu siapa yang berdiri di belakangnya saat ini.

"Seharusnya aku yang tanya begitu," hening sejenak, dan saat angin musim gugur kembali berhembus, Karma menghelakan napasnya sambil memejamkan mata.

"Mau seharian bolos? daritadi pagi kamu nggak memperlihatkan batang hidung!" celetukku ketika aku mendudukkan tubuhku di hamparan rumput gedung belakang sekolah. Karma terkekeh dan tak menyanggahnya. "Koro-sensei memintaku memanggilmu yang ada di sini," lanjutku. Suasana kembali hening, dan lagi-lagi ia tidak menggubris apa yang kukatakan.

"Tadi saat istirahat cewek-cewek kelas sudah berhasil menjalankan aksi jahil sebagai-"

"Sudah tahu kok." kok kesel ya sama setan merah yang sedang duduk di sampingku ini. Sudah daritadi diam tak menjawab, sekalipun membuka mulut malah memotong pembicaraan orang. Sudah tahu katanya? dia bahkan bolos berjam-jam lamanya. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Insting kekeluargaan."

"Hah? kamu punya keluarga di kelas ini?"

"Mereka yang sudah kuanggap keluarga kedua." Keluarga katanya. Teman sekelas hanya akan jadi teman sekelas bukan? Prinsip hidup yang cukup menggelitik bagiku. Suasana jadi hening kembali, dan aku tidak menyukai saat-saat seperti ini. Di samping itu, ini adalah saat yang tepat untuk menikmati hawa musim gugur yang menyejukkan hati. Sial! aku jadi terlena dan tidak berniat untuk beranjak dari sini. Padahal aku sudah di percayai membawa setan merah ini kembali ke kelas.

"[Name]-chan.." Merasa terpanggil aku menoleh namun pandangannya tidak ke arahku. Disaat yang bersamaan, daun-daun berguguran jatuh dengan bebas, seiring dengan hembusan angin.

"Jadilah seperti daun-daun itu. Lihat, adakalanya makhluk hidup butuh kebebasan, tidak selalu terkungkung dalam kurungan yang dinamakan 'realita kehidupan'." detik pertama, aku tertegun. Siapa sangka sosok Akabane Karma ternyata bisa berujar sedemikian bijaknya? Sejujurnya, perkataannya tadi mengena di dalam kalbuku.

Detik berikutnya, aku menahan tawa. "pfft.." kalau dipikir-pikir agaknya dia kurang pantas. Aku membayangkan kalau-kalau suatu saat dia berdiri di podium mengisi seminar-seminar bergengsi. Di depan orang memasang wajah bijak, namun kalau sudah mengenal baik rasanya pingin menginjak-injak.

"Sudah-sudah Karma-kun. Kamu kebanyakan terpapar angin. Lebih baik ayo masuk. Koro-sensei rindu kamu tuh." akhirnya aku mendapatkan tenaga untuk berdiri. Dia tersenyum kecut.

"Heh~ bukannya [Name]-chan yang rindu keberadaanku di sebelah bangku mu? Rasanya aku ini seperti penyemangat belaj-eh?" dan jadinya, aku sekarang sedang berusaha dengan tenaga ekstra menyeretnya untuk kembali ke kelas. Ku cengkeram tangannya kuat-kuat. Ia yang awalnya terduduk, terpaksa berdiri mengikuti jalannya kakiku.

"Oi, [Name]-chan kenapa kau lakukan ini?" Karma meminta penjelasan lebih, namun hanya kujawab dengan penuh penekanan, "Demi kejiwaanmu."

"[Name]-chan rupanya mengkhatirkanku sampai perlu repot-repot begini." Maaf Karma, tentang aku khawatir akan kejiwaanmu itu benar adanya. Entah kenapa aku beranggapan demikian, tapi setelah mendengar kata-katanya tadi aku merasa aneh. Aneh padanya, aneh juga dalam diriku.

bruk.
.
.
.
.
"Ahahahaha"

Sakit. Aku terus menyumpah serapahi diriku sendiri. Badan Karma terlalu berat sehingga saat aku berusaha menyeretnya yang ada aku sendiri malah terjungkal, sedangkan dia sudah tertawa lepas. Oleh karena cengkeraman tanganku pada tangannya sudah terlepas, Ia melangkahkan kaki dan kini berdiri di hadapanku.

Meskipun tidak ada luka, tapi entah kenapa rasa sakit pada pergelangan kakiku begitu terasa. Aku menggigit bibir bawah ketika aku berusaha bangkit. Yang ada adalah nihil.

"Kakimu terkilir." Aku hanya bisa menunjukkan senyum miris padanya. Benar-benar kecerobohanku. "Naik." Karma yang sudah berjongkok dihadapanku menawarkan punggungnya.

"Cepatlah." Ketika Karma berkata seperti itu, aku jadi berpikir lamat-lamat. Hening, posisi kami bahkan tak berubah barang sesenti.

"Kalau masih lama, kubiarkan kamu disini. Entah kamu mau ngesot, merangkak atau-" Hup! sebelum ia selesai menyelesaikan kalimat sarkasnya itu, aku sudah meraih lehernya cepat. Setelah berpikir baik dan buruknya-juga mengalahkan rasa gengsi tentunya, akhirnya aku memutuskan numpang di punggungnya. Kan tidak lucu kalau aku harus datang ke kelas sambil ngesot atau merangkak!

Disaat tiada bunyi yang terdengar selain derapan langkah kaki Karma ketika berjalan di koridor, aku menatap lurus ujung koridor dan terpikirkan ucapan Karma tadi.

'Kebebasan ya?'

bersambung

NB : (*)Cecan : Cewek Cantiq
><><><

Huah~ Finally! iya, finally Kay bisa memenangkan perang melawan Writeblock untuk menyelesaikan chapter gak jelas ini demi readers-san tersayang~ kkkkkk

Terima kasih bagi kalian yang sudah membaca dan menunggu kelanjutan cerita ini, atau cuma numpang nambah mata apapun itu pokoknya Kay ucapkan Terima kasih! ^o^)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro