Secret Story of Red Spider Lily

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Human!AU! Highschool!AU!
Genre : Drama, Psychological, Minor comedy romance
Trigger warning : Suicidal thought

▪▪▪

"Kalian yang iseng, 'kan?"

Pagi itu, ketika kelas belum ramai diisi para siswa, ada tiga remaja yang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Yang satu, laki-laki sibuk diujung meja kelas entah melakukan eksperimen apa.

Seorang gadis di sana terlihat serius dengan hpnya, sesekali mengambil foto atau bergumam riang.

Nah yang terakhir, pemuda berambut biru nyaris menyentuh bahu yang tengah memegangi setangkai bunga. Iya, hanya satu tangkai, namun mampu membuat si pemuda menekuk wajah kesal di awal hari.

"Gue berangkat bareng lo, jadi nggak mungkin, 'kan?" si gadis membela diri, rambut [h/c]-nya bergoyang seiring kepalanya yang dimiringkan.

Si pemuda melirik sosok satunya diujung kelas yang entah sejak kapan beralih dari entah melakukan apa jadi acara makan roti. "Kalau begitu, Bradley?"

"Hah?!"

"Kebiasaan banget ngegas, kaget gue!" si gadis protes, balas berteriak.

"Cih, lemah gitu doang kaget." Pemuda pemilik mata rosemary itu nyengir, menghentikan sejenak kegiatan makannya. "Ga mungkin gue, lah. Gila, lo."

"Emang lo gila."

"Apa, hah, [Name]? Coba ngomong sekali lagi!"

"Bradley gila."

"Gue headshot lo mampus."

"PSIKOPAT LO ANJIR."

Pemuda berambut biru itu-Nero-memandang pasrah setangkai bunga di tangan sementara dua orang tersebut saling adu mulut.

Ini sudah ketiga kalinya Nero mendapatkan bunga berwarna merah darah tersebut. Masih segar, kelopaknya merekah sempurna, membuat pemuda bernetra amber itu bertanya-tanya siapa pula yang kurang kerjaan menaruhnya di meja kelas pagi-pagi sekali.

"Nero! Lo tau nggak, gue baca di internet, higanbana biasanya buat orang mati, loh." [Full name] gadis yang agaknya selesai dengan adu argumen tidak penting tersebut berseru dari kursinya.

"Umbinya 'kan beracun, tuh, jadi biasanya ditanam di pemakaman karena orang-orang percaya bisa ngelindungin mayat yang dikubur, gitu!" tambahnya lagi.

"Sebentar... kalau memang artinya kematian, berarti maksudnya bunga itu teror?" yang ini suara Bradley, Nero bersumpah ia terdengar menakut-nakuti dan itu sangat payah.

Nero sendiri paham bahwa bunga ditangannya saat ini adalah higanbana atau red spider lily, bunga cantik yang selalu dikaitkan dengan kematian dan perpisahan. Dengan demikian, kalimat Bradley mungkin ada benarnya.

Tetapi kalau soal kematian...,

Sial, Nero jadi pusing sendiri memikirkannya.

"Udah, kayak gitu aja dipikir. Tinggal buang apa susahnya, atau mau lo kumpulin buat kenang-kenangan dari fans?" Bradley berdiri dari duduknya, sudah selesai makan. Nero bertaruh bahwa dia mau membolos setelah ini.

Bagaimana bisa Nero tahu? Tentu saja tahu! Mereka bertiga sudah berteman sejak SMP, Nero tahu dengan baik kebiasaan Bradley maupun [Name]. Sebaliknya juga begitu.

Ah benarkah Nero? Apa yang membuatmu yakin bahwa kau mengenal mereka begitu dalam?

Nero melepaskan pandangannya dari Bradley yang tak acuh melenggang keluar kelas, padahal sebentar lagi bel masuk, siswa-siswi juga sudah cukup ramai.

Nero bilang juga apa, dasar preman.

Pemuda tersebut mengalihkan atensi pada sosok si gadis, manik [e/c] miliknya terlihat begitu fokus pada layar hp sesaat sebelum seorang gadis lainnya menegur dan mereka mulai berbincang.

Nero menghela napas, kenapa dia malah terkesan sungguhan mencurigai kedua temannya begini? Ayolah, jangan bercanda.

Hingga pada akhirnya bel pelajaran pertama berbunyi, Nero tidak dapat menemukan titik terang siapa pengirim setangkai higanbana tersebut.

▪▪▪

"Tumben kamu nggak ngusir mereka, [Name]." Nero berkata pada sosok gadis yang sibuk dengan sepotong kue miliknya. Tidak dimakan, hanya ditusuk-tusuk menggunakan garpu.

Jam istirahat sudah datang, Nero dan [Name] sedang berada di kantin sekolah saat ini. Soal pertanyaan Nero barusan, bukanlah tanpa alasan.

Nero Turner, nama itu cukup terkenal di sekolah ini. Duduk di kelas tiga alias terakhir, ia terbilang punya cukup banyak penggemar. Dia punya paras yang menarik, terkesan tegas dan kalem, belum lagi ia punya label anak baik-baik, tidak seperti Bradley yang senang memalak sana-sini.

Satu lagi poin tambahan untuknya, pintar memasak. Dia tidak salah lagi adalah lelaki idaman, bukan?

"[Name]?" Nero memutuskan untuk menyebut nama si gadis sekali lagi. Khawatir melihat [Name] terlihat agak brutal membuat kuenya hancur dan seperti ingin mematahkan garpunya.

"Ya? Oh, nggak, cuma agak bosen aja ngehadapin bocah-bocah tukang cari perhatian kayak mereka." Akhirnya ada jawaban.

Ceritanya, ketika mereka sampai di kantin dan diketahui oleh warga sana, telak saja beberapa gadis yang diketahui adik kelas mendekat. Alibinya ingin makan bersama, mengatakan jarang sekali Nero mau keluar kelas apalagi ke tempat ramai seperti kantin.

Biasanya, [Name] akan langsung mengusir mereka, telak. Jangankan di kantin, di lorong kalau ada yang berbisik-bisik sekiranya mengganggu pemandangan saja dia akan langsung memasang wajah sinis.

Tetapi tadi, tidak ada acara bikin gaduh seperti biasanya dari seorang [Full name] selebgram garang di sekolah ini. Ia hanya diam, melirik pun tidak.

Yah, pada akhirnya juga Nero menolak permintaan para penggemarnya itu, sih.

"Tapi kelihatannya lo nggak terganggu, ya."

"Hah?"

[Name] meletakkan garpunya, tersenyum dan menatap ke arah si pemuda, "Kalau Nero bagaimana?"

Nero balas menatap gadis di seberangnya tidak mengerti, "Bagaimana... apanya?"

"Bagaimana rasanya punya banyak penggemar? Adik kelas? Seangkatan? Sekelas bahkan?"

Semakin [Name] melanjutkan perkataannya, semakin tidak paham seorang Nero akan apa yang berusaha ia sampaikan. Nero tidak ingat bahwa [Name] adalah seseorang yang mengatakan hal rumit seperti itu.

"Apa kau merasa senang? Atau biasa saja? Apa kau malah merasa terganggu oleh diriku yang berlagak menjauhkan semua gadis dari hadapanmu?"

[Name] yang dia kenal adalah gadis yang periang, berkata dan bertindak sesuka hati, jadi mendengar kata-katanya saat ini... terkesan tidak masuk akal.

Apa aku saja, tidak cukup?

Menatap dalam, lurus, berusaha menggali lebih, mata itu bergetar. Sosoknya cepat berdiri, "Maaf, gue duluan."

Satu momen kemudian semuanya tersapu bersih. Nero hanya bisa terdiam, berusaha mencerna semuanya sendirinya.

Namun yang ia lagi-lagi tidak menemukan jawaban apa pun.

▪▪▪

Nero memandang langit sore lewat jendela lantai dua itu. Pemuda pemilik sepasang manik amber tersebut tengah berada di dapur sekolah, tempat yang biasa ia datangi jikalau tidak merasa ingin cepat-cepat pulang.

Langit yang berwarna cerah kemerahan, indah, namun Nero tidak memikirkan soal hal itu. Di dalam kepalanya saat ini penuh dengan berbagai kejadian seharian ini.

Setangkai higanbana tadi pagi, ah, Nero pada akhirnya membuat bunga cantik itu berakhir tragis di tempat sampah seperti perkataan Bradley.

Lalu soal [Name] yang tiba-tiba aneh. Entahlah, Nero merasa itu aneh. Selama hampir enam tahun dirinya, Bradley, dan [Name] berteman, belum pernah ia temui sikap [Name] yang demikian.

Mungkin [Name] sedang banyak pikiran.

Nero bisa memakluminya, mereka sudah kelas tiga, sebentar lagi lulus. Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk jenjang selanjutnya, barangkali [Name] pusing karena itu, bukan?

Tetapi... tetap saja....

"Sepertinya aku harus bicara dengannya-"

Sret.

"Ah." Nero baru saja berbalik demi melihat siapa yang baru saja menggeser pintu, ketika menyadari bahwa pelakunya adalah seseorang yang baru ia pikirkan.

"Aah, kupikir siapa, ternyata [Name]." Ucapnya.

[Name] tersenyum, menutup pintu tanpa memperlihatkan dua tangannya yang disembunyikan di balik badan. "Kaget? Kayak bukan Nero."

Nero harusnya terkekeh dan mengiyakan perkataan si gadis, namun, apa yang bisa ia keluarkan saat ini hanyalah gumaman ragu.

"Syukurlah Nero ada di sini dan belum pulang, aku sebenarnya takut kamu pulang duluan." Si gadis berjalan pelan mendekati meja kabinet yang menjadi sekat antara dirinya dan Nero.

Nero ingin protes, ingin bertanya mengapa tiba-tiba bicara formal. Namun urung, berakhir hanya tersenyum canggung, membalas seadanya, "Aku cuma merasa harus membuat beberapa camilan sebelum pulang, haha."

"[Name] sendiri? Kupikir kamu langsung pulang karena tadi keluar kelas buru-buru setelah bel pulang."

"Oh, ya." [Name] membuat ekspresi seperti baru menyadari sesuatu, "Aku buru-buru karena harus menyiapkan sesuatu tadi."

Nero melihat bagaimana [Name] perlahan memperlihatkan kedua tangannya yang sedari datang tadi ia sembunyikan.

"Selamat ulang tahun, Nero!"

Si pemuda membeku. Di genggaman si gadis, kini terlihat seikat bunga merah dengan kelopaknya yang merekah, sama persis seperti yang ada di atas mejanya tadi pagi.

Benar, itu higanbana.

"[Name]...?"

"Iya? Ada apa?"

Mengusir segala prasangka, Nero merasa denial akan perasaannya sendiri. Gadis dihadapannya itu entah mengapa terlihat saman, namun, berbeda...?

"Terima kasih," Nero berusaha mengukir senyum. "Tapi ulang tahunku masih besok, loh?"

"Iya, aku tahu kok." Seiring suaranya, pandangan [Name] merendah. Buket bunga di genggamannya diberi atensi penuh. Senyumnya tidak pudar, terkesan sendu.

Namun satu momen kemudian suaranya kembali melonjak. "Aku hanya ingin mengatakannya, kok! Aku bisa jadi yang pertama mengucapkannya padamu."

Nero menggigit bibir dalam, alisnya bertaut. Ia menyadari, hawanya menjadi berat, ini akan semakin tidak beres.

"[Name], kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Huh? Tentu saja, aku baik-baik saja!" tinggi, suaranya tinggi seperti dipaksakan.

"Nero, apa kamu tahu, kenapa aku mengatakannya sekarang?" [Name] mengembalikan perhatiannya, menatap lurus pada sosok Nero yang berjarak tak lebih dari dua meter darinya.

"Aku tahu, kalau aku mengatakannya besok, aku tidak akan punya kesempatan. Kamu punya banyak penggemar, mereka akan terus mencegahmu, memberimu hadiah, mengatakan selamat."

"Aku akan kalah lagi, aku akan semakin jauh darimu."

Nero lagi-lagi tidak mengerti. Apa yang sedang mereka bicarakan? [Name] sedang membahas apa? Kalah? Siapa? [Name]? Bagaimana? Nero tidak bisa memahaminya.

"Kamu pasti bingung, maaf, ya." Angin sore berembus, suara tirai yang diterpa terdengar.

"Benar, aku yang menaruh higanbana di mejamu."

Manik amber Nero membulat, dia seharusnya merasa kaget. Namun karena berbagai prasangka sebelumnya, kalimat tersebut entah mengapa jadi terasa biasa saja.

"Kenapa?"

"Aku, kenapa, ya." [Name] terkekeh pelan. "Aku ingin mati."

"Aku selalu ingin mati, setiap hari, setiap saat, aku berpikir meninggalkan dunia adalah hal paling indah yang bisa kuimpikan." Tangkai bunga diputar, kelopaknya berayun lembut. "Tetapi, Nero, setelah aku bertemu denganmu dan Bradley, aku merasa bahwa mati bukan lagi tujuan utamaku."

"Aku ingin bersama kalian, aku ingin terus berada disekitar kalian, aku juga ingin kalian selalu berada di sisiku."

Mendengar kisah [Name] sedikit banyak Nero mengingat sesuatu. [Name] tidak punya teman sejak SMP, Nero mengenalnya pertama kali karena mereka harus satu kelompok belajar, kemudian soal Bradley, preman satu itu membela [Name] saat tengah dirundung kakak kelas.

Pantas saja jika [Name] berkata ingin mati, dia pasti punya banyak masalah juga.

"Tetapi belakangan, Nero menjauh. Setidaknya, dimataku ada jarak. Kamu punya banyak fans dan disukai banyak orang, aku sudah berusaha, tapi masih belum cukup."

"Dan ketika aku sadar tidak bisa membuat kalian berdua berotasi padaku, aku melihatnya." [Name] mengangkat buket di genggamannya. "Higanbana."

"Higanbana mengingatkanku pada impian lamaku, mati. Benar, kalau aku tidak bisa mempertahankan dan tidak punya tujuan baru saat ini, lebih baik kembali, bukan?"

Buket bunga disodorkan, Nero dapat melihat, bagaimana manik [e/c] di sana berkaca-kaca. Helainya melambai ditiup angin, senyum rapuhnya tak pudar. Tangannya sedikit gemetar, barangkali terlalu banyak rasa sakit dan perasaan tak tersampaikan.

"Jadi, aku boleh mati, 'kan?"

-fin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro