fourteen.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

kei's view;

Aku tidak menyangka. Padahal film Home Alone sedang diputar hari ini, tetapi aku absen untuk melihatnya kali ini, dan memilih untuk ke luar rumah di tengah libur musim dingin.

Namun yang membuatku paling tidak menyangka adalah arah yang menjadi tujuanku saat ini.

Rumah [full name].

Tidak. Aku tidak sedang membawa tubuh tak berdayanya seperti waktu itu. Saat ini aku yang datang sendiri berpakaian rapi dengan syal dan sarung tangan.

Aku ingat apa yang membuatku pergi saat ini. Dia bilang, dia ingin sekali melihat pohon natal besar di tengah kota waktu menelpon lalu. Karena ia hanya tidak diperbolehkan keluar saat turun salju, aku pun terbesit untuk mengajaknya ke kota saat salju tidak sedang turun.

Jangan tanya lebih jelas. Aku juga tidak tau kenapa bisa sampai tiba-tiba seperti itu.

Hingga akhirnya saat yang tepat pun datang. Kami akan melihat pohon natal seperti apa katanya di tengah kota.

Aku sampai di depan rumahnya. Menekan bel, dia membuka pintu lebih cepat dari dugaanku.

Dan binar di matanya membuatku hampir salah paham.

Sumringahnya itu... karena akan melihat pohon natal, atau, karena melihatku lagi?

"Oh, nak Tsukishima."

Aku mengerjap, kini jadi membelokkan pandangan menuju wanita di belakang [last name].

"Ibu pikir [name] akan pergi sendiri. Dia tetap bersikeras, tapi ternyata pergi denganmu, ya?"

Aku mengangguk. Lalu melirik [last name] tajam. Dia itu bandel sekali, sih? Kenapa tidak bilang?

Ibu [last name] menoyor bahu anaknya, lalu jadi terkekeh pelan, "bilang, dong, [name], kalau kau ingin pergi kencan gitu. Kenapa harus malu-malu?"

Aku makin bersikeras berwajah datar.

"Tidak, ih, Ma. Aku hanya ingin melihat pohon natal di kota." Dia menjawab lurus. Tenang sekali. Tak adakah rasa gugup saat menjawabnya, [last name]?

"Boleh, kan, Ma?" Dia memohon. Bodoh sekali meminta ijin saat aku sudah datang. Kalau sampai aku balik lagi dan menerima penolakan, musim panas nanti kau akan aku jejali dengan permen jahe original, [last name].

Aku memindahkan atensi pada ibu [last name], tepat sekali ia menatap padaku dengan aksen gerlingan. Membuatku hampir membuang wajah kalau saja tak punya kesopanan pada yang lebih tua.

"Kalau dengan nak Tsukishima, Mama mengijinkan," ibu [last name] menjawab. Perkataan berikutnya ditujukan untukku, "tidak apa, kan, jika aku titip [name] padamu, nak Tsukishima?"

Apa yang harus kutolak?

"Iya." Aku mengangguk. Membuat gerlingan itu kian semakin jelas. Mengalihkan tatapanku pada [last name] aku merutuk. Kenapa ia juga ikut memerah saat ini?

"Tolong jaga [name], ya, nak Tsukishima."

Sekali lagi aku mengangguk. Kini kami berpamit. Lalu berjalan meninggalkan halaman rumah.

[❄❄❄]


Aku memerhatikannya. Binar di wajahnya, sepertinya memang untuk pohon natal di tengah kota. [Last name] selalu bercelinguk riang melihat pernik di sepanjang jalan.

Membuatku berpikir, tidak pernahkah ia melihat situasi natal secara langsung?

"Kei!"

Aku tertegun. Begitu juga dengan pemilik suara yang kini tengah menatapku dengan matanya yang membulat. Hingga berikutnya ia mengaruk pipi yang terdapat guratan merah di sana. Membuatku memalingkan wajah yang sepertinya tertular merahnya.

"Maaf, aku merasa kita seperti sudah dekat, jadi aku kelepasan memanggil nama kecilmu." dia mencicit.

Aku menahan nafas sebelum merespon, "tidak apa." memberi jeda sejenak, aku melanjutkan, "panggil seperti itu saja."

Dirinya kini membuatku makin menyukai nama kecilku.

Kei.

Dia memanggilku dengan aksen lucu. Siapa yang akan menolak hal tersebut terulang kembali?

"Kei," dia menyebutkan kembali seraya tersenyum.

Tidak. Tidak. Aku tidak suka rasa panas ini.

Dengan refleks aku pun jadi meninggalkannya di belakang. Membuatnya malah kembali memanggil namaku.

Hentikan, [last name].

"Keiiiii."

Kini dia menarik bajuku. Aku menghela nafas berat. Sungguh berat. Berusaha mendinginkan kembali pipiku yang entah terasa panas di tengah dingin ini.

Aku berbalik. Untungnya dia tidak langsung menatapku. Aku mengikuti arah pandangnya. Sebuah kuil?

Merasakan ia meremas bajuku, aku kembali melirik ke arahnya.

"Karena aku mungkin tidak bisa merayakan tahun baru, bagaimana khusus untukku kita rayakan lebih cepat?"

----------------

Kami melakukan hal seperti merayakan tahun yang biasanya. Melemparkan koin, membunyikan bel kemudian berdoa.

Doaku?

Tidak banyak. Cukup berterimakasih telah diberikan waktu satu tahun ini. Dan meminta satu tahun berikutnya lancar.

Tetapi [last name] sepertinya berdoa banyak.

Aku menatapinya yang masih memejamkan mata. Dia tenang. Tapi aku yakin dia sangat serius dalam doanya.

Selesai berdoa, kami mengambil ramalan. Milikku tertulis, bahwa tahun besok akan terasa berbeda. Aku menghela nafas. Setiap tahun juga pasti terasa berbeda.

Seperti tahun ini.

Berbeda.

Aku melirik [last name].

Wow. Dia tersenyum sumringah? Aku yakin ramalannya mengandung banyak kebaikan. Syukurlah. Senyumannya kini menular padaku. Tidak lama. Dia selalu menoleh mengagetkanku, membuatku dengan paksa melunturkan senyuman.

"Kei, tahun besok mohon bantuannya, ya!"

[❄❄❄]

Kami menghabiskan waktu penuh berkeliling. [Last name] tak pernah lelah menarikku ke sana dan ke sini. Membuat kami tak menyadari bahwa matahari telah terbenam beberapa menit yang lalu.

Aku meliriknya yang kini tampak tenang. Kalau aku benar, dia pasti mulai merasa kedinginan.

Tentu saja. Musim dingin di malam hari? Aku pun tidak kuat kalau menghabiskan waktu di luar seperti ini.

"Kau dingin?"

Tapi dia menggeleng.

Heh. Jangan kira aku bisa mempercayaimu begitu saja seperti ibumu.

[Last name] kau kedinginan sekarang.

Aku menghela nafas. Merogoh saku, aku mengeluarkan sesuatu dan menyodorkannya.

"Permen jahe?"

"Ya, aku membelinya."

Iya. Ini bukan permen jahe miliknya seperti biasa. Namun permen ini tetap memberikan hangat.

Kulihat [last name] hanya menatapinya, sebelum akhirnya ia membuatku mengernyit karena tawanya.

"Kau rindu permen jaheku, ya, sampai membelinya seperti ini?"

Huh?

"Makan atau mati kedinginan." Aku membalasnya tajam. Sebal juga ditertawakan.

Alih-alih mengambil permenku, dia merogoh sakunya mengeluarkan bungkusan familiar.

"Aku membawanya, kok."

Aku jadi mendegus sebal. Menurunkan tanganku yang tersodor, aku pun kembali berjalan mencoba cuek.

Tetapi [last name] kembali menghentikanku.

Dia meraih tanganku yang memegang permen, membuka telapak tanganku, dia mengambil permen jahe milikku. Sebagai gantinya, [last name] kini menaruh permen jahenya dalam tanganku.

"Milikku untukmu saja. Kita bertukar. Terimakasih, Kei."

Dia kembali tersenyum. Sontak aku mengambilnya begitu saja. Kemudian berlalu. Kini kembali berjalan mendahuluinya.

Kami mulai melangkah kembali. Aku membuka permen jahe milik [last name]. Suasana menjelang natal memang ramai di tengah kota seperti ini. Membuatku kini jadi memelankan langkah. [Last name] di belakangku, tampak tak lagi bersemangat.

Melihatnya dengan khawatir, tanganku bergerak meraih tangannya. Aku menggenggamnya. Dia hanya mendongak menatap heran. Aku memalingkan wajah, "biar tidak hilang."

Dia membalas genggamanku kemudian.

Dan entah kenapa aku jadi merasa gugup.

Sebelah tangannya yang lain kulihat bergerak membuka permen jahe milikku. Berikutnya kurasakan tangannya jadi meremas tanganku.

Ah, aku ingat. Itu permen jahe dengan madu. Cukup berbeda rasa dengan yang sering ia makan pastinya.

Aku menaikan bibir menahan tawa geli. Sebagai gantinya, aku membalas remasan di tangannya.

[Last name] katakan padaku, permen jahemu yang membawa hangat atau tangan kita yang saling bertaut?

.

.

.

continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro