fourteen; cold

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sekarang, kita punya dua perubahan di bagian staff tahun ini." Dumbledore memulai pidato pembukaan semester baru.

"Mari kita sambut kembalinya profesor Grubbly-Plank yang akan mengajar pemeliharaan satwa magis, sementara Profesor Hagrid pergi."

Harry dan Hermione beradu tatap, Severus Snape bertepuk tangan dua kali. Hagrid pergi? Kenapa tiba-tiba sekali?

"Kita juga menyambut pengajar baru untuk pertahanan terhadap sihir hitam... Profesor Dolores Umbridge."

Netra coklat menatap tajam. Diliriknya seorang perempuan dengan pakaian serba pink tersenyum bangga dari meja para pengajar, [name] mendecih, "Gak beres nih."

Uhm. Begini, Umbridge pernah sekali dua kali kedapatan mendekati Daniel. Karena Ayah [name] itu laki-laki yang suka berterus terang, ia bilang pada anak satu-satunya itu, sesuatu tentang menggoda atasan untuk mendapat jabatan lebih tinggi. Pelajaran bagi [name], jangan pernah merendahkan diri sendiri dengan melakukan hal yang sama.

"Orangnya emang Sugosik." Kata Daniel pada suatu malam, "Sudah goblog sok asik."

Albus melanjutkan pidato singkatnya, "Satu lagi, Profesor Dolores Umbridge akan ditemani oleh seorang pendamping yang baru saja lulus dari Hogwarts tahun kemarin. Dengan nilai sempurna, serta rekomendasi langsung dari Kementrian... Profesor Cedric Diggory."

Hah!?

[name] merengut kesal. Jelas-jelas beberapa hari lalu cowok itu bilang mau melanjutkan karir menjadi seorang Auror saja, menangkap orang-orang jahat kedengarannya seru. Lalu tiba-tiba hari ini muncul di Hogwarts, sialan.

"Terima kasih banyak, Profesor. Atas segala sambutan baiknya." Dolores Umbridge dengan tidak elitnya memotong pembicaraan Albus Dumbledore, sengaja menarik perhatian dengan berjaan ke depan para murid.


Harry memicing, "Loh? Dia ada di persidanganku kemarin, bawahannya Fudge."

Hermione balas menatap khawatir.

Merasa ada hawa jelek, Harry berbalik. Mendapati isyarat dari [name] yang menunjuk-nunjuk Umbridge dengan mulut bergumam, ‘Orang ini lebih ngeselin dari kombinasi semua anggota keluarga Malfoy.'

Pemuda itu tersenyum harap-harap maklum.

Keduanya sempat bertukar surat, suatu waktu ketika Harry baru sampai di Order. Surat itu dititipkan pada Snape. Setelah kejadian tempo hari, Albus juga menitipkan [name] pada manusia gelap itu, merepotkan.

Saat Umbridge melanjutkan sambutan, [name] membuang muka. Mengeluarkan suara-suara aneh yang dengan jelas memperlihatkan bahwa dirinya merasa tak suka.

"Suaranya ngeselin banget."

"Banget!" Pansy Parkinson menyahut singkat, "Kenapa nggak Profesor Snape aja yang mengajar Pertahanan Sihir Hitam?"

Aneh. Interaksi antar dua bitch ini sangat jarang terjadi. Tapi sih, biasanya orang-orang lebih mudah bersatu karena ada orang lain yang sedang dibenci. Gibah berjamaah.

Tahun ketujuh, sekaligus menjadi hari-hari terakhir [name] sebagai murid Hogwarts, kelihatannya tak akan berjalan mulus. Entah manis karena akan sering bertatap muka dengan pemuda yang belakangan mencuri perhatiannya, atau miris karena kemungkinan ujian akhir nanti akan diawasi Nenek Lampir.

✿ೃ

Harry dan [name] berjalan menyusuri hutan— niatnya melihat-lihat rumah Hagrid saja, siapa tahu kawan baiknya itu sudah pulang. Nyatanya belum.

“Mau kuantar kembali ke kastil?”

Gadis itu menggeleng, “Kau mau kemana dulu?”

“Tak kemana-mana,” Harry berkedip bosan. “Mungkin jalan-jalan sebentar ke hutan.”

Benar, keduanya kebetulan bertemu setelah Harry memutuskan pergi sendiri. Sedikit menghindari Ron dan Hermione, para sahabatnya itu tak mau diam soal luka bekas hukuman yang diberikan Umbridge.

Harry bukannya tak kesal, justru ia adalah orang yang paling dirugikan dari datangnya Umbridge kemari. Namun biarkan saja, Harry Potter punya hal-hal lebih penting untuk dipikirkan.

Dolores Umbridge tak pantas mendapat perhatiannya.

“Ikut!” [name] menjawab dengan tatapan antusias. “Boleh ya!?"

Cowok itu mendengus geli, “Serius? Sudah hampir gelap, memangnya tak takut?”

“Serius! Lagipula aku malas bertemu Umbridge, dan— tidak takut. Soalnya aku pintar, dan kau pasti kuat. Sudah cukup.”

Harry menatap perempuan itu sebentar.

“Dasar.”

Bahu dirangkul pelan diikuti dua pasang kaki yang mulai berjalan menyusuri hutan.

Beberapa hal memang berubah.

Dua manusia itu berakhir mendatangi Luna— seorang murid Ravenclaw yang baru Harry kenal awal semester ini. Terlihat sedang berdiri sendirian, di tengah hutan, dengan kaki telanjang.

“Halo Harry Potter,” Luna menengok sekilas. Melemparkan senyum, lanjut menyapa. “[name] Brookheimer.”

“Kau tahu aku?”

Gadis manis itu mengangguk, “Tentu.”

“Kakimu tak kedinginan?” Tanya Harry penasaran.

“Sedikit.” Jawabnya singkat, “Sepatuku belakangan selalu hilang."

[name] berjalan mendekat, mengabaikan beberapa obrolan yang tercipta antara dua orang yang dua tahun lebih muda darinya. Telapak tangan berusaha mengelus, mundur selangkah saat makhluk itu pergi menuju anaknya yang berada di kejauhan.

“Luna, mereka ini apa?” Harry masih penasaran dengan satu hal, mengapa beberapa orang tak bisa melihat makhluk-makhkuk ini?

“Sebutannya Thestral.” Jelas Luna dengan suara khasnya. “Makhluk yang cukup lembut, namun orang-orang menghindari mereka karena mereka sedikit....”

“Berbeda?” [name] berbisik.

Harry sedikit mengernyit, “Tapi kenapa orang lain tak bisa melihat mereka?”

Luna menatap Harry dan [name] bergantian sebelum akhirnya menjawab, “Mereka hanya bisa dilihat orang-orang yang telah menyaksikan kematian.”

Pemuda itu terdiam lama, "Kau... pernah menyaksikan kematian?"

Luna melemparkan sebuah apel kepada seekor Thestral yang masih kecil. "Ibuku, dulu."

"Aku turut berduka." Kata Harry, direspon senyum hangat oleh teman barunya. "Pasti sangat terasa memukul."

Diam lama, percakapan terhenti begitu saja. Pemuda itu baru sadar akan satu hal, “[name]?”

Sebentar, gadis itu masih belum mengerti.

Menyaksikan kematian?

Kapan?

Kematian siapa?

Bagaimana bisa?

Mengapa ia tidak ingat?

“[name]."

Kedua netra coklat menatap kosong.

Emosi dalam hati sudah tak bisa ditampung diri. Bingung, cemas, perasaan-perasaan tak aman yang mulai menggerogoti pikiran. Mempertanyakan eksistensi sendiri, berpikir keras dalam memproses segala informasi.

Apa yang hilang dari dirinya?

Mengapa [name] tak bisa mengingat satupun hal-hal yang orang lain sebut tentang dirinya?

Bagaimana bisa, kejadian-kejadian yang seingat gadis itu tak pernah terjadi bahkan dalam mimpi, justru keluar sebagai kenyataan yang semua orang ketahui?

“[name]!?”

Pertama, perasaan tak asing saat Cedric mengajaknya berbicara. Lalu rekata sang Ayah berkata dirinya berteman dengan orang yang kelihatannya malah sangat membeci [name] karena selalu memberi tatapan mematikan; Draco Malfoy. Sekarang, ini. Bukti bahwa dirinya pernah sekali, bahkan mungkin lebih, menyaksikan kematian. Memori yang tak pernah sekalipun hinggap bahkan dalam bentuk bayangan.

Dua tetes air jatuh tepat sebelum gadis itu runtuh.

✿ೃ

Madam Pomfrey menghela nafas, "Ia hanya kelelahan."

Draco bergumam, kemudian tetap tak bergerak. Menggenggam tangan [name] yang dingin setara suhu es. Well, masih lebih dingin hubungan Draco dan [name] belakangan ini sih.

Sepertinya ada yang salah. Kenapa jadi Draco yang menemani [name] di ruang perawatan?

Jadi kebetulan, kebetulan yang sangat kebetulan, saat [name] pingsan, Draco berada tak terlalu jauh dari tempat gadis itu berdiri. Kebetulan ia sedang memperhatikan [name] diam-diam. Kebetulan pemuda itu mengikuti [name] dan Harry saat mereka terlihat keluar dari wilayah kastil.

Memang kebetulan kok. Benar 'kan Draco?

Tapi reaksi Draco setelah mendengar Harry memanggil-manggil nama perempuan itu lalu tak lama [name] pingsan bukan kebetulan semata. Pemuda itu refleks berlari mendekati, mengundang tatapan tanya dari Harry yang ia tak ia pedulikan sama sekali. Sementara Luna, menatap khawatir.

Setelahnya mereka bertiga sepakat. Harry memanggil Albus, Draco membawa [name]. Luna kembali ke asrama. Amanat dari si pemuda berkacamata, pokoknya jangan sampai lebih banyak orang terlibat.

Madam Pomfrey menyentuh kening [name] sekali lagi. "Suhunya masih tak stabil. Malfoy, bisa kau jaga [name] sampai ia sadar?"

Draco mengangguk tanpa menengok.

Bersamaan dengan Perawat yang berjalan keluar, dari pintu, muncul seorang laki-laki paruh baya dengan perawakan yang tak asing.

Lucius mendekati putranya, tak sedikitpun mendapatkan atensi, Draco masih menggenggam tangan [name] dan menempelkannya pada kening sendiri. Menghela nafas, diam-diam ikut menghirup aroma tubuh yang sangat ia rindukan belakangan ini.

Sang kepala keluarga Malfoy berdeham seraya menatap garang, "Draco."

Pemuda itu diam sekejap, sebelum akhirnya berdiri menghadap sang Ayah. Badannya tegak, tatapannya lurus.  Namun— tangannya tetap tak mau melepaskan telapak [name].

"Kau menyedihkan." Celetuk Lucius dengan tatapan merendahkan.

Draco tak merespon apa-apa.

Memangnya Lucius mengharapkan respon seperti apa? Putra satu-satunya ini tetiba berlutut, sembah sujud, meminta maaf karena memiliki perasaan lain selain harga diri tinggi dan benci?

Apa ia berharap Draco akan terus menuruti segala manipulasinya? Karena sejak awal Lucius tak memberinya pilihan lain selain menuruti?

Jawabannya, siapa yang tahu.

Tapi untuk sekarang Draco mau bertaruh dulu. Ia sudah cukup marah dengan dirinya sendiri, mengatakan hal yang sebegitu menyakitkan pada sang sahabat tempo hari. Tak berbicara lagi setelahnya, bahkan [name] tak meningat dirinya.

Pemuda itu bahkan berjanji pada dirinya sendiri untuk tak berbicara apapun di depan [name]. Takut-takut yang keluar dari mulut malah membuat kalut, seperti waktu itu.

Draco Malfoy belajar dari kesalahan.

Pemuda itu akan berpikir Ayahnya sangat jahat kalau Lucius sampai melarang Draco khawatir dengan [name] atas segala yang terjadi.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?!"

"Ayah, jangan keras-keras."

Wow. Sangkalan pertama, setelah sekian tahun lamanya.

Draco merasakan genggaman [name] sedikit menguat.

Lucius mendecak, "Tak habis pikir."

Lalu, tanpa sepatah katapun lagi, laki-laki paruh baya itu berjalan dengan dagu yang diangkat atas-atas. Tak lupa tatapan sinis yang masih ia sorotkan pada anak tunggalnya, menyenggol bahu pemuda yang ternyata sedari tadi berdiri di pintu besar.

Draco kembali duduk. Mengelus tangan yang masih terpaut, berharap sahabatnya tak mengalami nasib buruk.

Pemuda yang berdiri di pintu besar, Cedric Diggory, adalah orang baik. Bukan candaan saat banyak kenalan menyebut kepribadiannya sangat mudah disukai. Buktinya, saat melihat Draco dimarahi Lucius karena terlalu mengkhawatirkan [name], Cedric malah merasa iba.

Bagaimanapun juga, Draco adalah satu-satunya teman dekat gadis itu selama lima tahun ke belakang. Begitupun sebaliknya, cowok Slytherin itu hanya dekat dan percaya pada [name] seorang. Meskipun sifat keduanya sama-sama buruk.

"Ternyata memang tak cukup." Albus tahu-tahu sudah berada di belakang Cedric.

Setelah ditatap singkat, Kakek itu menghela nafas pelan. "Kau dan Brookheimer tetap dekat ya?"

"Iya."

Sang Kepala Sekolah melirik ke ruang perawatan, “Dan Draco....”

“Semuanya diluar kendalimu, bukan begitu Profesor?” Anehnya Cedric malah mendengus geli. "Aku saja masih tak mengerti."

“Tak ada yang bisa kulakukan,” Kata Kakek itu.  "Obliviate menghapus ingatan, bukan perasaan."

Dalam pikiran sibuknya, Albus menyadari sesuatu. Penyebab [name] hilang kendali saat ini adalah lonjakan emosi yang datang dalam waktu singkat.

Sama seperti peristiwa tempo hari, dimana gadis itu sampai dikuasai Voldemort. Walaupun sesaat, penyihir hitam itu berhasil membuat [name] mengucap mantra terkutuk. Meskipun akhirnya ia mengakali sendiri, berujung penyelamatan Cedric dan peringatan akan badai yang akan datang.

Keadaannya sama. Perasaan-perasaan kuat yang sulit dikendalikan, segala pertanyaan dalam kepala yang bertabrakan satu sama lain. Dengan kata lain; penyebab dari segala sesuatu yang membahayakan gadis itu ada pada pikiran dan perasaan.

Sekarang, bagaimana cara melindungi [name] dari dirinya sendiri?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro