1 - Sign

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

D I O

Beijing, China.

Aku baru saja selesai membaca satu bab dari buku pengantar hukum pidana, ketika ponselku berdering di atas meja. Lantas sebelah tanganku bergerak meraih ponsel yang terletak di sebelah Buzz Lightyear-ku. Nama serupa dewi cinta dalam mitologi Yunani kini menari di layar ponselku.

Suara gaduh di seberang sana membuatku melontarkan pertanyaan, "sudah sampai di rumah?"

"I miss you so bad," katanya dengan nada manja yang tidak pernah hilang sampai hari ini.

Aku tertawa kecil. "I don't ask you that question."

"And I don't need your question to say that." Ada jeda sejenak yang kutahu dia sedang melempar dirinya ke kasur. Kebiasaan lama yang tidak pernah hilang.

"Hari ini aku tidak suka dengan teman sekelompokku. Aku benci tugasku."

Freya mulai bercerita seperti biasa tentang aktivitasnya sepulang kuliah atau sepulang dari hobinya memburu diskon. Bedanya, gadis itu akan meneleponku sebelum pukul dua belas malam ketika dia sedang libur. Untuk telepon, dilakukan secara berkala entah Freya yang lebih dulu atau aku. Freya layaknya gadis pada umumnya, dia akan menerorku sampai aku mengangkat teleponnya tidak peduli itu pukul berapa dan aku sedang berada di mana.

Kami biasanya melakukan skype seminggu tiga kali, tergantung mood Freya. Skype dilakukan ketika di Beijing jam enam pagi dan di Prancis jam sebelas malam atau sebaliknya seperti saat ini. Dia selalu bilang ingin melihat suasana pagi di tempatku. Freya bilang minimal tiga kali seminggu, maksimal tanpa batas sesuka hatinya. Tidak jarang skype-nya terbentrok dengan skype dari Christian dan saat itu dia akan benar-benar sangat sensitif. Dia tidak akan mau menjawab teleponku sampai satu hari penuh dan dia akan bilang.

"Aku ingin jadi prioritas Dio dalam komunikasi, apa itu berlebihan ?" katanya.

Dan kini telepon ditutup dengan ucapan, "bonsoir, Dio. Jangan lupa charge ponsel dan mimpikan aku bukan yang lain." Lalu tawa Freya yang semanis gulali karnaval menyapaku.

"Jangan diet makan malam, aku tidak ingin kamu sakit. Bonsoir, Freya."

Aku sangat tahu, long distance relationship beda negara bukan hal yang mudah untuk dijalani. Maka dari itu Freya sangat ketat dengan hal bernama komunikasi. Ketika aku lupa mencharge ponsel atau lupa memberi kabar, saat itulah rasa ingin gantung diri di menara Shanghai menghantuiku. Freya akan marah dan marahnya Freya lebih membuatku pusing daripada tugas kuliahku.

Lantas aku tidak langsung bergegas tidur sesuai permintaan Freya. Sejenak memandangi foto Freya dalam layar ponselku dan tanpa sengaja aku membalas sapaan rindunya dalam gumamku. Persetan dengan ejekan Christian tentang aku yang jadi budak cinta.

Kutarik laci meja belajarku dan mengambil dua carik kertas dari sana. Aku menyandarkan punggung dan menghela napas sebelum membaca kalimat demi kalimat di sana.

"Reporter Do Seungsoo dari tim redaksi SBC News ditemukan tewas di Forbidden City, Beijing, China. Diduga korban mati akibat serangan jantung dadakan atau silent heart attack menurut istilah medis."

Artikel itu baru kubaca malam ini setelah Bunda memberikannya saat hari pernikahannya. Kami sudah pindah lima bulan yang lalu ke tanah Tiongkok. Kampung halaman tercinta.

Rasanya masih sama. Semua tentang Ayah masih dapat membuat paru-paruku terasa terhimpit. Ada nyeri luar biasa di sudut sana. Aku pun meletakkan artikel itu di atas meja belajar lalu aku menjajarkannya dengan artikel tentang camera person dari redaksi yang sama dengan Ayahku. Campers itu dikabarkan gantung diri di sebuah tempat penginapan, di Kyoto, Jepang. Kuteliti tanggal yang ada pada dua artikel itu, sekitar seminggu dari artikel tentang Ayah.

Aku merasakan hal janggal dengan dua artikel itu.

"Apa benar karena silent heart attack?" tanyaku sambil memandangi mainan robot hadiah terakhir dari Ayah di samping jajaran komik.

Aku selalu merasa, ada Ayah dalam Buzz Lightyear-ku. Karena itu aku tidak pernah mau meninggalkan mainan itu apalagi meletakkannya di gudang atau menyumbangkannya ke panti asuhan. Karena aku sudah menganggapnya sebagai harta berhargaku.

***

BRAK!!!

Pintu kamarku didobrak secara tidak manusiawi, sementara aku masih berada di balik selimutku dan enggan mengetahui siapa orang yang memasuki kamarku tanpa sopan santun.

SREK!!!

Kali ini aku yakin tirai jendela kamar disibak lebar-lebar. Tapi aku masih enggan keluar dari selimutku.

"Bangun adik manja!" Dengan suaranya yang mirip pluit kereta, Kaerin kini menarik selimutku.

Aku terduduk dan berdecak kesal. "Enyah kau setan alas!" Lalu aku menarik selimutku dan kembali berbaring.

"Cepat bangun! Kau lupa ini hari apa?" Kali ini Kaerin menarik kedua kakiku.

"Yang aku ingat hari-hariku damai tanpa kau di rumah," erangku dari balik selimut.

Good girls milik 5 Second Of Summer yang mengudara, membuatku bangkit dalam satu sentakan hingga Kakak perempuanku jatuh terduduk. Aku tidak memedulikan Kaerin dan langsung berjalan serampangan meraih ponsel yang ku-charge di atas meja belajar.

"Morning, Freya," sapaku sambil menyeka kotoran di mataku.

"Astaga, manusia satu ini bisa bangun dengan mudah hanya karena telepon dari pacarnya? Dasar budak cinta!" teriak Kaerin sambil menendang kakiku.

Baru saja aku ingin membalas tapi maniak kodok satu itu sudah lenyap di balik pintu kamar.

"You say good morning when it's midnight," ucap Freya disela tawa renyahnya.

"Aku tunggu dua puluh menit! Kita akan ke tempat Ayah," teriak Kaerin.

"Midnight in your Paris but morning in my Beijing."

"And I hate that reality too much. Ada kak Rin ya?" tanya Freya.

"Iya Kaerin sedang di Beijing, dia baru ingat masih punya keluarga," jawabku sekenanya.

"Aku dengar itu ya Dio!" teriak Kaerin lagi, entah sekarang manusia satu itu ada di mana.

"Dio hari ini mau ke mana?"

"Ke tempat persemayaman abu. Hari ini hari ulang tahun Ayah," kataku pelan.

"Titip salam untuk Ayah dari Buzz Lightyear-ku tercinta."

"Salam kembali untuk dewi Yunani yang tersesat di Prancis."

Lalu kami tertawa, Freya selalu bisa membuat cuaca dalam stratosferku berubah seketika.

"Time to sleep tight, Freya.. " kataku saat tiba di meja makan bersama Kaerin dan Bunda, setelah telepon sempat kujeda untuk waktu mandi dan ganti baju.

Bunda langsung memberikan mangkuk berisi nasi dan ebimaki padaku. Sementara Kaerin yang sedang menata bunga-bunga segar dalam sebuah buket. Ada tiga jenis bunga di sana anyelir, camelia pink dan lily putih. Anyelir adalah bunga kesukaan Bunda, sementara camelia merupakan kesukaan Kaerin. Khusus lily putih adalah request dariku, aku ingin mengenalkan nama Freya pada Ayah.

"Iya Dio ... I wanna go to dream island right now." Aku dapat mendengar Freya yang menguap di seberang sana.

"Nice girl. Good night, Freya"

"Good morning, Dio."

***

Kami berjalan di sebuah lorong bersama buket yang Kaerin bawa. Bunda dan Kaerin dengan dress gadingnya sementara aku dengan jas hitamku. Tempat ini tidak pernah berubah sedikit pun saat kami terakhir kali ke sini. Bau dupa yang menguar, banyak rangkaian bunga dan beberapa orang yang lalu lalang melintasi lorong panjang ini.

Akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu besar yang terbuka lebar. Selesai mengirim pesan singkat untuk Freya, Bunda menarik sebelah tanganku.

"Ayo masuk, Nak." Ajak Bunda.

Kusentuh punggung tangan Bunda. "Dio ingin bicara berdua dengan Ayah, Bun."

Kaerin tersenyum mengerti saat mata kami bertemu lantas ia mengajak Bunda masuk. Meninggalkanku bersama memori duka yang masih hinggap di sudut kepalaku.

"Ayah, hari ini kami datang membawa banyak cerita untukmu dan banyak pertanyaan dariku," gumamku sambil menghirup udara yang bercampur bau dupa di lorong panjang ini.

Untuk malam ini aku ingin melanggar peraturan Bunda, aku ingin menunggu Ayah pulang kerja meski Bunda melarangku dan mengantarku ke kamar. Jadilah saat ini aku pura-pura tertidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhku dan kamar yang gelap.

Jam di dinding kamarku menunjukan pukul sepuluh malam. Kegiatanku akhirnya hanya memandangi langit-langit kamar. Aku hampir saja terlelap saat seseorang di luar sana menekan gagang pintu kamar hingga pintu terbuka. Detik berikutnya cahaya silau dari lampu kamar menyapa mataku.

"Ayah?" tanyaku dengan nada gembira.

"Dio belum tidur, Nak?" kata Ayah sembari berjalan mendekati tempat tidurku.

"Dio ingin menunggu Ayah pulang." Aku menampilkan cengiranku dan mendudukan diriku secepat kilat.

Ayah tertawa. "Dasar anak nakal." Lalu mengacak rambutku.

"Ayah bawa apa?" Aku bertanya dengan antusias ketika melihat kotak persegi di tangan Ayah.

"Ini.. Hadiah untukmu." Lantas Ayah menyodorkan kotak itu.

Aku menerimanya dengan hati luar biasa gembira namun terlintas pertanyaan di kepalaku yang langsung ku lontarkan. "Hadiah? Ulang tahun Dio minggu depan, Ayah lupa?"

Ayah menampilkan senyum khasnya. "Ayah tidak pernah lupa, Nak. Tapi minggu depan Ayah tidak akan pulang ke rumah."

Dahiku berkerut seketika. "Kenapa Ayah tidak pulang?"

Kini Ayah menyentuh puncak kepalaku dengan sebelah tangannya. "Ayah ada tugas ke China, selesai tugas Ayah akan mengunjungi nenekmu terlebih dahulu."

"Hanya seminggu kan? Tidak lebih dari itu?"

"Iya, Nak."

"Janji?" Kini aku mengacungkan jari kelingkingku di depan Ayah.

"Ayah janji." Kemudian jari Ayah yang besar bertaut dengan jariku.

"Dio akan menunggu Ayah pulang."

"Selama Ayah pergi jauh, Jaga Kakak dan Bundamu ya?"

Aku hanya mengangguk sambil menatap Ayahku yang tersenyum penuh arti.

"Dio selalu menunggu Ayah pulang ke rumah," gumamku di hadapan foto mendiang Ayahku.

Aku menghirup udara sebanyak yang kubisa, kini aku berdiri sendirian di depan guci yang tersimpan abu dari jasad Ayah. Lalu aku mengambil setangkai lily putih dari vas bunga di sebelah foto Ayah.

"Dio sedang menjalani kuliah jurusan hukum sesuai harapan Ayah, Dio tidak pernah melupakan pesan Ayah sehari pun. Dan akan berjuang keras untuk menjadi jaksa." Aku berhenti sejenak. "Ayah tidak perlu khawatir, kami bahagia di sini Ayah. Kaerin pulang khusus di hari ulang tahun Ayah, meski dia Kakak yang brengsek karena tidak pulang saat kelulusanku, Dio tetap menyayanginya." Lantas kuangkat lily putih tadi. "Dio ingin mengenalkan gadis yang sangat menyukai lily putih ini. Namanya Freya, Ayah. Suatu hari nanti Dio akan membawanya ke sini."

Tanganku kembali meletakkan setangkai lily itu di vasnya. Ruangan ini sepi meski banyak guci janganyang terisi dalam rak-rak yang digantung di dinding. Pastinya masing-masing sanak keluarga punya jadwal khusus untuk berkunjung ke sini.

"Ayah, apa campers bernama Kim Jongdae itu yang membuat Ayah tidak pernah pulang?" tanyaku ketika mengingat dua artikel itu.

Saat ini kesimpulan yang kudapat dari dua artikel itu, Campers yang gantung diri di Kyoto adalah orang yang membunuh Ayahku. Ada sebuah pernyataan di sana bahwa dia adalah campers yang menemani Ayah saat bertugas di Forbidden City dan bunuh diri yang dilakukannya cukup menjadi alasan kuat setelah dia depresi karena membunuh rekan kerjanya sendiri. Entah dengan cara apa namun aku akan terus mencari jawabannya.

"Apa yang orang itu perbuat pada Ayah di Forbidden City? Meski Dio tidak bisa menjebloskannya ke penjara tapi Dio ingin tahu, Ayah."

***

*Bonsoir : Selamat malam

Sekian part pembuka. Terima kasih. Semoga gak tepar.

Setiap kado dari ortu itu emang memorable ckck...

***





Jangan jadi sider ya, silahkan voment. Kritik dan saran kalian sangat kami tunggu 😊😊😊

Segala bentuk apersiasi kalian adalah cerita tersendiri bagi kami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro