15 - Let Out The Beast

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

F R E Y A

Paris, Prancis.

Pagi ini adalah pagi terburuk. Dari mulai selera makanku yang memburuk hingga kepala pening yang menyerang. Aku hampir terjaga semalaman hanya karena mimpi sialan itu berputar terus di kepalaku. Sehingga aku terlalu pengecut untuk terlelap tidur. Mimpi tentang Dio yang terkapar dengan darah segar mengalir dari kepalanya nyaris membuatku gila.

Kuhela napas pendek sembari membuka tutup yogurt dan mulai menyuapkannya ke mulut. Tidak ada yang dapat diterima oleh lidahku hari ini selain yogurt. Tidak roti kismis, tidak pancake atau bahkan sandwitch tuna. Baru tiga suapan, kelas desain mode dimulai.

Satu jam berlalu, aku tetap tidak bisa berkonsentrasi pada layar infocus di depanku. Mataku terus beralih pada jendela di sampingku. Angin musim gugur menggugurkan dedaunan serta membawanya entah ke mana. Kuselipkan sejumput rambut di belakang telingaku. Bahkan pagi ini aku tidak melakukan blow rambutku seperti hari-hari lain. Lantas netraku beralih pada pergelangan tangan kiriku.

Ada yang aneh.

Gelangku tidak tersemat di sana. Gelang berbandul bintang pemberian Dio. Mungkin itu terlihat seperti gelang yang biasa saja tanpa ukiran rumit atau bahkan berlian yang tersisip dalam rantainya. Namun itu adalah hal yang berarti untukku, di mana seseorang di luar keluarga dan pelayanku memberikan sesuatu secara tulus. Yang aku belum pernah merasakan hal semacam itu. Mungkin aku bisa membeli yang lebih dari itu, namun bukan masalah gelangnya tetapi tentang siapa yang memberikan gelang itu dan mengenai kenangan yang ada pada gelang itu.

Aku langsung meminta izin pada dosen untuk pergi ke kamar kecil. Dengan langkah tergesa-gesa sembari mendial nomor Charles dalam ponselku, rasa aneh menyelubungi rongga dadaku.

"Mademoiselle?" Charles langsung mengangkatnya pada deringan pertama.

"Tolong cari gelangku, hari ini juga harus ditemukan."

"Siap, Mademoiselle."

Dari awal Dio memakaikannya, aku tidak pernah melepas gelang itu sama sekali. Terakhir kali Dio yang melepasnya seusai acara peresmian kafe Papa, namun Dio langsung memakaikannya lagi.

Apa gelang itu putus tanpa aku sadari? Bagaimana bisa?

Kugenggam rosario pada kalungku sembari melafalkan permohonan. Rasa kalut telak menguasaiku. Tanganku yang lain mulai mendial nomor ponsel Dio, karena jaringan lewat media sosial lebih lambat.

"Halo, Sugar," sapa Dio.

Hembusan napas lega keluar dari celah bibirku hanya dengan mendengar suaranya.

"Dio sedang di mana?"

"Di rumah Kai, bersama console game." Dio berdeham sejenak. "Kelasmu belum dimulai?"

"Sudah. Aku izin ke kamar mandi untuk menelepon Charles mencari gelangku yang hilang, itu benar-benar hal yang aneh di mana aku tidak menyadari gelang itu jatuh."

"Jangan panik, Freya. Jika Charles dan Hugo tidak bisa menemukannya, aku akan menggantinya dengan yang baru."

Kugigit bibir bawahku ketika bayangan mimpi buruk itu kembali melintas. "Bisa katakan sesuatu padaku sekarang?"

"Maksudmu?"

"Katakan bahwa Dio akan baik-baik saja di sana dan meneleponku sepulang kuliah."

Tawa kecilnya menyapa telingaku. "Aku akan baik-baik saja, Freya. Dan aku tidak pernah melupakan rutinitas itu lagi."

Meski itu belum cukup membuatku lega. Tapi aku percaya Dio mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Ketika Dio bisa yakin pada ucapannya, maka aku pun akan berusaha percaya pada ucapannya. Bahwa Dio memang akan baik-baik saja di sana.

"Kapan pesawatmu flight ?" tanyaku begitu aku berhasil mengenyahkan bayangan itu, menggantinya dengan topik pembicaraan Kak Rin.

"Jam sembilan malam nanti."

"Pesawatku flight jam tujuh malam," ucapku lirih.

"Kabari aku setelah kelasmu usai," katanya.

"See ya at Japan," tutupku.

"See ya, Sugar."

Kami berencana menghadiri acara pertunangan Kak Rin di Jepang. Bukan acara besar, hanya menghadirkan keluarga inti. Tapi Kak Rin memintaku hadir, katanya ingin bertemu dengan gadis shopaholic kesayangannya Dio. Bunda sendiri sudah berangkat sehari yang lalu sementara aku dan Dio menyusul hari ini. Maksudku, tentu saja dengan rentan perbedaan waktu Paris dan Beijing.

Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak memiliki semangat untuk pergi ke sana. Bukan karena aku tidak ingin bertemu Kak Rin. Hanya saja, bayangan mimpi itu membuat segalanya memburuk untukku.

***

D I O

Beijing, China.

Kulirik ponselku yang bergetar di samping laptop. Nama Kaerin menari di layar ponselku. Tanganku yang lain terangkat untuk menginterupsi Kai yang bertanya tentang rencana kami di rumah sakit nanti. Hari ini kami akan ke rumah sakit di mana Ayah di larikan setelah menenggak sianida. Langkah kaki menuntunku ke depan jendela kamar Kai.

"Maaf, saya tidak menerima tawaran asuransi," sapaku.

Kaerin memaki dengan bahasa Jepang. "Sudah pesan tiket?"

"Belum."

Pertanyaan semacam ini membuatku agak jengkel, karena Bunda sejak kemarin sudah tiga kali menanyakan keberangkatanku ke Jepang. Bahkan Bunda sempat memaksaku juga untuk berangkat bersamanya. Geez, aku bukan anak kecil lagi yang harus dikhawatirkan salah naik pesawat.

"Kenapa belum?! Kau ini benar-benar adik yang brengsek ya. Tiket ke Jepang dengan tiket ke Prancis jelas lebih mahal ke Prancis tiga kali lipat. Dan ini adalah acara penting dalam hidupku setelah kelulusan, aku tidak ingin menua hanya karena menunggumu tiba di Jepang, Dio. Aku bahkan siap mengacungkan samurai jika kau terlambat atau bahkan tidak datang karena lebih memilih menyimpan tabunganmu untuk gadis Prancis di sana." Kaerin mulai berbicara tanpa jeda dengan nada yang bisa memecahkan jendela rumah dalam hitungan detik super nano.

Kuusap sebelah telinga sembari menjauhkan ponsel sebelum menjawab. "Iya iya aku sudah pesan tiket, Yang Mulia Medusa."

Lagi-lagi Kaerin memaki dengan bahasa Jepang. "Kirim buktinya, sekarang. Aku dan Bunda ingin melihatnya."

"Geez, apa-apaan itu? Berlebihan."

"SEBELUM KE PRANCIS KAU MENG-UPLOAD FOTO PASPOR, YO."

Kuhela napas pendek. "Kak, tolong ya itu beda urusan."

Kemudian aku mendengar suara Bunda yang meminta Kaerin memberikan ponselnya.

"Dio berangkat jam berapa, Nak?"

"Jam sembilan malam, Bun. Tolong jangan tanya lagi tentang keberangkatanku, Bun."

"Hati-hati ya, Nak. Jangan sampai terlambat. Jangan ada yang tertinggal. Jangan salah pesawat. Jangan salah kursi. Jangan telat makan."

Aku menepuk kening pelan. "Iya, Bunda."

Dan percakapan kami berakhir di sana. Kemudian aku berjalan menghampiri Kai yang sibuk dengan laptop serta surat kematian Ayahku, memastikan kami tidak salah jadwal hari ini.

"Waktunya sesuai, Yo." Lantas menyeruput teh dalam mugnya.

"Barang bukti dari Ayahmu, rasanya aku tidak perlu membawanya pulang."

"Baiknya memang tidak perlu kita bawa ke mana-mana. Kecuali kita benar-benar membutuhkan itu." Kai menyesap kembali tehnya. "Siap dengan skenario kita?"

Satu sudut bibirku terangkat otomatis. "Yang jelas aku tidak butuh skenario dialog untuk bicara dengan dokter itu."

Kai menganggukan kepalanya lamat-lamat, lalu bangkit seusai menutup laptopnya. Dia menyambar jaket dari lemarinya, bersamaan denganku yang juga mengenakan hoodie serta masker. Tampilan menyerupai orang yang memang sedang sakit atau orang yang tengah mengintai? Terserahlah. Aku tidak ingin terlalu mendramatisir masalah penyamaran.

"Yo, kali ini pakai mobilku saja."

"Aku menyupir saat berangkat dan kau pulangnya."

Lantas kuterima lemparan kunci mobil darinya. Ditutup dengan kami yang ber-high five menggunakan kepalan tangan. Aku menitipkan ransel perbekalan untuk berangkat ke jepang di rumah Kai, supaya aku tidak perlu lagi kembali ke rumah. Sebab jarak bandara lebih dekat dari rumah Kai.

Setelah ini, aku tidak sabar bertemu lagi dengan Freya di Jepang. Tidak ada sesuatu dari Freya Dupont yang tidak kusukai sekalipun tentang sikap pemaksanya, manjanya, kekanakannya. Kecuali beberapa pakaian kurang bahannya, entahlah apa itu namanya yang Freya sebut dengan mode. Semacam dress selutut hanya saja sobekannya terlalu tinggi di bagian belakang atau sampingnya, bahkan sampai rok yang lebih cocok di kenakan anak TK. Aku tidak suka Freya mengenakan yang semacam itu, terlalu mengganggu mata kepala dan mata hati. Tidak, ketika dekat denganku atau bahkan saat tidak denganku. Aku melarangnya keras.

Teka-teki dari kasus Ayah tinggal selangkah lagi terpecahkan. Dari awal Bunda yang memberikan artikel Ayah, kemudian aku yang mendatangi langsung TKP di masa itu. Bertemu dengan polisi Han dan anaknya Han Kang Woo, yang menambah data untuk kuanalisa. Data dari Christian dan peradilan semu yang mempertemukan aku dengan anak dari polisi TKP. Aku melakukan semua hal itu bukan karena aku belum ikhlas akan kepergian mendiang Ayahku, hanya saja aku ingin berjuang menuntut keadilan untuknya. Aku tidak meminta hukum mengembalikan Ayahku, aku hanya ingin hukum berjalan sesuai dengan kebenaran.

***

Dio memarkirkan mobil SUV milik Kai di area parkiran yang tidak terlalu jauh dengan koridor rumah sakit. Dengan sigap Kai membuka laptopnya menyiapkan aplikasi perekam suara, serta membuka seluruh akun social media yang dapat bersangkutan dengan rumah sakit dan dokter itu. Dio sendiri bergegas melepas seat belt untuk segala kemungkinan yang terjadi nantinya. Lantas ia keluar dari mobil sendirian dengan langkah kaki seringan kapas tanpa Kai. Melewati taman rumah sakit di mana beberapa pasien terlihat sedang menikmati angin menjelang sore. Kakinya mengantarnya sampai di depan kamar mayat. Berhenti sejenak memeriksa keadaan, lalu kembali berjalan menyusuri koridor rumah sakit.

Kakinya kembali menghentikannya di depan meja resepsionis untuk menanyakan jadwal Dr. Yoshida. Kemudian mengangguk setelah resepsionis menyampaikan beberapa patah kata. Dio berjalan meninggalkan meja resepsionis sembari bersiul pelan di balik masker yang menutupi wajahnya.

Tepat di depan seseorang berjas putih yang dengan rencana Tuhan tengah berjalan dari arah sebaliknya, Dio dengan sengaja mempercepat langkah kakinya, kali ini tanpa bersiul. Justru siulannya berganti dengan suara batuk buatannya. Ditabraknya seorang dokter dengan name tag Taki Yoshida itu. Beberapa berkas dan agendanya jatuh.

"Maaf, Dok. Saya tidak sengaja," ucap Dio sembari membantu memungut lembaran kertas.

Sang dokter hanya bergumam dengan muka masamnya. Sementara tangan Dio yang lain menjatuhkan sebuah mikrofon wireless kecil ke dalam kantong jas dokter tersebut. Seusainya Dio berdiri untuk membungkukan badan, namun dokter itu pergi berlalu begitu saja. Dirasanya keadaan sudah aman, Dio mengirim chat kepada Kai yang masih stand by di mobil, menyampaikan bahwa misi pertama aman. Ia tidak langsung kembali ke mobil Kai. Dio kembali menyusuri koridor rumah sakit sembari bersiul pelan.

Tanpa arah, ia berjalan ke manapun, mengelilingi sekitaran rumah sakit seperti yang ia pernah lakukan sebelum hari ini. Dan yang pastinya selalu wajib ia lewati adalah kamar mayat dan sebuah ruangan yang bertuliskan plang nama Taki Yoshida. Jika usahanya kali ini berhasil maka ia akan segera tahu setidaknya siapa orang yang membunuh mendiang Ayahnya, kalau bisa sekaligus dengan alasannya.

***

Dio membuka pintu ruangan itu setelah menilik beberapa kali suasana sekitar koridor yang untungnya sepi. Ia benar-benar membukanya tanpa suara, lantas yang pertama kali ditemukannya adalah Taki Yoshida sedang berdiri membelakanginya membaca sebuah berkas dengan amat serius. Dio akhirnya mengunci pintu itu tanpa suara, kemudian melangkahkan kaki diiringi siulan pelan. Tidak lupa juga ia menyalakan mode rekam ponselnya dalam saku hoodie.

Berdeham sejenak. "Sore, Dok," sapanya sembari membuka masker.

Taki Yoshida berbalik, matanya langsung membulat sempurna ketika menatap pria di hadapannya. Rasanya ia ingin memuntahkan jantungnya yang seolah berhenti berdetak. Ia bersumpah tidak pernah melupakan sedetik pun guratan wajah itu. Apa karma kini benar-benar mendatanginya? Langkah kakinya semakin mundur sementara pria itu terus melangkah maju dengan senyum miring di wajahnya.

"Masih mengingat jelas rupanya."

"Si-siapa kau?! Orang itu sudah lama mati!" seru Taki dengan nada terpatah.

Dio mendesis. "Jangan berteriak seperti itu, aku tidak akan mematahkan lehermu atau berbuat tindak kriminal." Lalu tertawa. "Tapi ini ruangan yang kedap suara, bukan? Kalau ditambah dengan pistol peredam suara kira-kira selanjutnya apa yang terjadi?"

Tubuh Taki gemetar hebat disertai bulir-bulir keringat yang jatuh bebas di pelipisnya. Berkas yang tadinya ia genggam jatuh begitu saja dari tangannya ketika moncong pistol berada tepat dahinya.

"Dor!" Dio terkekeh. "Aku tidak ingin berlama-lama di sini Dokter Taki Yoshida, aku hanya ingin memastikan dosamu di masa lalu."

Fungsi saraf pada tubuh Taki seolah tak berfungsi saat melihat surat kematian yang pernah ia palsukan karena perintah seorang. Surat itu kini berada di depan wajahnya, surat dengan tanda tangan dan pernyataan palsunya. Dan ia masih mengingat jelas jasad yang terbujur kaku itu, serta penyebabnya. Taki tidak pernah melupakan itu seumur hidupnya.

"A-aku tidak berniat melakukan semua itu! Kim Minseok memintaku memalsukan surat kematian sebab kau membahayakan kepentingannya!"

Demi apapun, Taki tidak ingin mati dengan tembakan di kepalanya.

"Kau? Lebih tepatnya Do Seungsoo, Pak Dokter." Dio tertawa remeh.

Sebelah tangannya bergerak seolah membersihkan debu di bahu Taki sembari bersiul pelan. Lantas bola mata hitam pekat milik Dio jatuh pada berkas di bawah kakinya, kemudian matanya kembali menatap Taki Yoshida dengan tajam. Seringaian terhias di wajahnya. "Ambil berkas di bawah kakiku atau pelatuk ini tertarik dengan mudahnya," ucapnya datar.

"Ba-baik."

Taki membungkukan badannya bersamaan dengan moncong pistol yang kini berpindah di atas puncak kepalanya, ia mengambil berkas itu. Lantas mencoba menarik kaki pria yang mirip dengan mayat yang pernah ditemuinya.

BRUK!

Dio terjatuh, namun dengan sigap berdiri menarik kerah kemeja dokter berumur separuh abad itu. "Jangan pernah lari dari dosamu sebelum kau tebus, Dok." Sembari meletakan moncong pistol di belakang kepala Taki Yoshida.

Taki akhirnya menyerahkan berkas itu. Sekilas Dio membacanya tanpa melepaskan Taki Yoshida, berkas itu adalah sebuah berkas perjanjian.

"Terima kasih." Dio mengambil berkas, langsung memasukannya ke saku hoodie.

Dio memutari Taki tanpa menghilangkan seringaian di wajahnya. Lalu berjalan mundur sampai punggungnya membentur pintu, tanpa melepaskan moncong pistol dari dahi Taki.

Dio jelas harus menggunakan cara kotor untuk menemukan kotoran juga.

***

"Barusan actingmu bagus haha," kata Kai ketika Dio duduk di sampingnya.

Dio berdecak. "Jangan banyak omong cepat pergi dari sini."

Kai pun menancap gas untuk segera keluar dari parkiran rumah sakit. Ia telah menyebarkan rekaman suara pengakuan Taki Yoshia yang memalsukan surat kematian Ayah Dio di media sosial. Dengan cara seperti ini, ia seolah ikut menuntaskan tugas mendiang Ayahnya untuk mengungkapkan kasus ini. Semoga saja akan ada banyak jalan yang terbuka.

"Yo, dokter tadi sempat menghubungi Kim Minseok sepertinya sebelum kau sampai di mobil," ucap Kai sembari menerawang mengingat percakapan yang ia dengar lewat laptopnya, dan belum lama ia kirim ke email Dio.

"Apa yang dia sampaikan?"

"Tentang kau yang mendatanginya dan seseorang di seberang telepon sana yang dipanggil Mister Kim hanya menjawab, sang dokter tidak perlu khawatir tentang itu."

Dio mengangguk singkat. "Aku mendapatkan berkas perjanjiannya dengan Kim Minseok." Kemudian menempelkan ponsel di telinganya, memulai sebuah pangggilan.

"Apa kau mengenal Kim Minseok?" tanya Dio.

"Iya aku mengenalnya, pengusaha media massa di negara ini. Kenapa?" tanya Christian dengan suara terkejut di seberang sana.

"Ada satu bukti yang dia tinggalkan jejaknya di sini."

"Bukti apa?"

"Perjanjian dokter yang bekerja sama dengannya untuk mengganti penyebab kematian Ayah." Jawabnya penuh penekanan.

"Apa kau sudah memegang copy perjanjiannya? Mengingat kita harus memiliki barang itu."

"Sudah ada padaku yang asli, oh ya. Apakah aku bisa menemui Yoonji jika pulang ke sana?" tanya Dio.

Ia mengingat Christian yang pernah mengatakan bahwa Yoonji ingin mengulurkan bantuan.

"Akan kuusahakan untuk dapat bertemu dengannya." Jawabnya.

"Ini terakhir kau terlibat Chris, setelah ini perbaiki hubunganmu dengan Yoonji. Dan sampaikan maafku pada-"

Kaca depan mobil yang mereka tumpangi dipenuhi cahaya menyilaukan.

Sebuah truk pengolah semen melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan, menghantam mobil yang ditumpangi oleh Kai dan Dio. Mobil terlempar hingga berakhir dalam posisi terbalik. Asap membumbung tinggi dari mesin mobil.

Semua seketika menggelap.

***

Kaerin selalu mencintai musik klasik, seperti alunan piano milik komposer Beethoven, Chopin maupun Enaudi. Baginya memainkan piano adalah caranya mendapatkan segala macam energi positif, sesuatu yang dapat menyampaikan keruh dalam suasana hatinya. Selain gemar belajar dan memelihara katak dalam kamarnya, Kaerin juga begitu mencintai piano sejak kecil. Sejak Ayahnya membawanya ikut meliput sebuah kontes lomba piano. Kaerin begitu kagum terhadap suara yang dihasilkan dari jejeran tuts hitam putih itu.

"Ayah, Rin suka mendengar suaranya. Rin ingin bisa main piano." Begitu yang ia katakan saat itu pada Ayahnya.

Tidak heran Kaerin rela merogoh kocek dalam hanya untuk membawa piano pemberian orang tuanya ke Jepang.

Bunda yang saat itu hanya dapat memainkan nada twinkle little star mengajarinya untuk pertama kali. Sejak hari itu ia meminta les piano menjadi les pertamanya saat memasuki sekolah dasar. Meski Kaerin tidak mengejar sebuah kompetisi untuk kecintaannya terhadap piano, ia tetap berusaha untuk bisa memainkannya dengan baik. Dan spring waltz milik Chopin adalah lagu yang pertama kali ia persembahkan untuk kedua orang tuanya pada hari ulang tahunnya sendiri. Ia sering memainkannya di ruang keluarga, dengan orang tuanya yang duduk di sofa untuk merekamnya. Sedangkan adiknya akan duduk di sampingnya diiringi tatapan takjub, sering kali Dio menjadi perusak nada karena jari telunjuknya menekan satu tuts sembarangan. Kini ia malah sering merindukan momen semacam itu. Adik kecilnya yang pengganggu, serta Ayah dan Bunda yang tidak pernah menghilangkan tawa di rumah.

Ketika usianya menginjak umur lima belas tahun, Kaerin meminta Bundanya menghentikan les pianonya. Karena ia tahu Bundanya tidak mengeluarkan uang yang sedikit untuk les pianonya. Meski ia tahu Bunda tidak pernah mengeluhkan soal itu, Kaerin cukup paham beratnya menjadi single parent setelah kepergian mendiang Ayahnya.

Jemari lincah Kaerin yang menekan tuts piano dalam alunan Spring Waltz milik Chopin seketika terhenti. Tubuhnya seolah kaku, bahkan hanya untuk mengerjapkan kelopak matanya. Ia sulit menelan salivanya setelah mendengar apa yang Bundanya sampaikan. Hal ini mirip seperti beberapa tahun lalu saat Ayahnya dinyatakan meninggal setelah meliput di Forbidden City. Kaerin segera bangun dari duduknya untuk menahan tubuh Bundanya yang melemas.

Beijing.

Lagi-lagi kota itu selalu berhasil membawa cumulunimbus bagi Kaerin. Cumulunimbus, awan gelap pemicu datangnya badai. Lagi-lagi kota itu selalu menjadi kota yang Kaerin anggap terlalu berbahaya. Kota di mana Ayahnya meninggal dan kini adiknya mengalami kecelakaan parah.

Tidak bisakah Beijing menjadi kota yang setidaknya tidak perlu menyesakkan bagi rongga dada Kaerin?

Kaerin mengusap pelan punggung Bundanya. Ia tahu, menangis tersedu sedan hanya akan membuatnya merasa lebih tidak berguna. Meski bola mata Kaerin tetap meluncurkan bulir-bulir bening itu.

Siapa lagi yang akan menguatkan Bunda dalam keadaan seperti ini selain dirinya?

Adiknya dengan segudang ambisi mengungkap kasus Ayahnya itu adalah laki-laki yang paling Bundanya cintai selain Ayahnya. Firasatnya benar-benar tidak membohonginya, setelah semalam fotonya bersama Dio semasa kecil di dinding kamarnya jatuh begitu saja. Tanpa ada paku lepas atau bahkan angin ribut. Tapi apakah rencana Tuhan dapat Kaerin hentikan meski ia menceritakan hal itu pada adiknya?

Selanjutnya Kaerin membawa Bundanya duduk di sofa, memberikan segelas air putih yang mungkin tidak memberi banyak efek saat ini. Kaerin meraih sebelah tangan Bundanya, menatap wanita paruh baya itu lekat-lekat.

"Kita harus banyak berdo'a Bunda. Rin akan menghubungi Baekhyun supaya kita bisa berangkat hari ini."

Sendu berpendar dalam sorot mata wanita paling berharga dalam hidupnya. "Bunda sudah mengajak Dio untuk berangkat bersama, tapi Dio tetap memilih berangkat sendiri. Dia bilang ada urusan yang harus dia selesaikan sebelum pergi." Bunda menarik napas panjang dan kini bulir air mata lolos begitu saja. "Firasat Bunda tidak pernah berbohong, Rin."

"Bunda, kita hanya perlu memikirkan bahwa Dio baik-baik saja." Kaerin menggenggam kedua tangan Bundanya erat. "Ayah selalu mengatakan tentang law of attraction yang selalu Rin dan Dio percayai, bahwa semuanya akan benar-benar terjadi jika kita terus memikirkannya."

"Nenek bilang mobil yang Dio tumpangi dalam keadaan terbalik, Rin. Bunda tidak bisa membayangkan keadaan Dio di sana. Temannya dinyatakan meninggal di tempat."

Kaerin memeluk erat Bundanya. "Dio akan baik-baik saja, Bunda." Meski ia sendiri ragu mengatakan hal itu.

Musim gugur kali ini membawakannya dua kabar kontras. Dari Baekhyun yang ingin menjadikannya pasangan sehidup semati hingga adiknya yang mengalami kecelakaan parah. Namun pertunangan yang akan berlangsung tiga hari lagi, entah akan berjalan sesuai rencana atau tidak. Untuk saat ini Kaerin hanya ingin segera melihat kondisi adiknya.

Kaerin mengingat jelas kejadian di mana ia pernah menangis karena bocah laki-laki merusak buku ensiklopedia anak-anak miliknya. Besoknya Dio berkelahi dengan bocah laki-laki itu hingga wajahnya penuh lebam dan cakaran. Karena bocah laki-laki tersebut umurnya tiga tahun di atas Dio saat itu. Dio mengatakan padanya, tidak ada yang boleh menyakiti hati Kakaknya atau membuat Kakaknya menangis. Dio bilang setelah Ayah pergi, dia yang mengemban tugas menjaga Bunda dan Kaerin. Meski mereka sering bertengkar di rumah karena hal sepele. Tapi ia tahu, adiknya memang begitu menyayanginya. Sama sepertinya ketika ia selalu mengajarkan adiknya untuk tidak membebani Bundanya.

Kaerin tidak dapat menahan bendungan air matanya, ketika secuil memori masa kecilnya itu berputar jelas. Ia ingin Dio hadir dalam acara pertunangannya, bukan terbaring di bangkar rumah sakit.

***

Ahsudahlah.

ARADI atu lima atu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro