17 - Don't go

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beijing, China.

Freya Dupont, tidak ada banyak hal yang dapat membuat senyumnya terkembang sempurna selain dua hal. Pertama Dio. Kedua Diskon. Meski diskon menjadi nomor dua setelah Dio, namun tetap saja tidak akan mengubah raut wajah Freya jika pemicu pertamanya dalam kondisi seperti ini. Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di kota Beijing, tempat lahir pria itu yang sekaligus menjadi tempat tinggal saat ini. Yang terlintas di dalam benak Freya untuk kota Beijing adalah dia akan mengunjungi kota ini untuk menemani pria itu ke tempat persemayaman abu mendiang Ayahnya. Namun semua hancur luluh lantah berkeping-keping, mimpi Freya memang tidak menjadi kenyataan. Hanya ada sedikit perbedaan.

Ya, sedikit.

Manik matanya menatap sendu pada pria yang saat ini terlelap di bangkar rumah sakit.

Terlelap.

Freya tersenyum muram ketika kata itu terlintas di kepalanya. Dio jelas bukan terlelap dalam artian tujuh jam tidur nyenyak, Dio sedang dalam masa kritisnya. Pria itu tidak sadarkan diri setelah mengalami kecelakaan parah hingga mobilnya terbalik disertai asap membumbung tinggi dari mesinnya. Sudah ke sekian kalinya ia gagal menjaga bendungan air matanya. Lolos dengan mudah begitu saja tiap kali Freya menatap wajah penuh lebam itu. Dan parahnya, Freya memang tidak bisa untuk tidak duduk seharian menatap wajah pria yang terkadang ia genggam tangannya, berharap tangan itu menimbulkan sebuah gerakan kecil ketika ia menggenggamnya.

Ini bukan air mata manja atau kesalnya karena Dio.

Bukan. Sama sekali bukan.

Sebelah tangannya terangkat meraih tangan yang biasanya mengusap puncak kepalanya. Tangan yang biasanya mengusap punggungnya pelan. Tangan yang biasanya menggenggam tangannya erat. Freya membawa tangan pria itu ke pipinya.

"Pasti sakit sekali sampai Dio tidak bisa menjawabku."

Dio tidak meresponnya seperti hari-hari lain. Tidak juga ada gerakan jemari atau kelopak mata yang berkedut. Tidak sama sekali, seperti hari-hari lainnya. Hanya ada suara orkestra memilukan dari alat-alat penyokong detak jantung yang selalu menjawab Freya. Dio dengan mata terpejam, selang oksigen di hidungnya, gips di sebelah kakinya dan kepala dengan lilitan perban merupakan pemandangan yang terlalu sukses membuat matanya memanas. Di mana Freya seolah merasakan juga setiap luka dan retakan itu.

"Apakah menemui malaikat maut lebih menarik daripada menemuiku?" Freya menggigit bibir bawahnya untuk menahan sebuah isakan.

Ini sudah terhitung lima hari. Lima hari sejak pria itu mengalami operasi besar karena pendarahan di otaknya dan Dio tidak kunjung membuka kelopak matanya. Lima hari juga Freya hidup seakan tidak memiliki kaki yang mampu menopang tubuhnya. Mata Freya melirik sekilas tetesan cairan dari botol infus di sisi lain bangkar Dio.

Sudah hampir habis. Pikirnya.

Ia pun segera menjulurkan tangan untuk menekan bel di dekat meja. Tidak sampai satu menit pintu terbuka. Suster datang dengan meja dorong berisi alat-alat medis dari mulai botol infus, selang infus, suntikan, sarung tangan dan plester.

"Suster," panggil Freya saat wanita dengan pakaian perawat itu melepas jarum infus di tangan Dio yang sudah bengkak.

"Iya, Nona?"

"Pernah dengar law of attraction?"

Suster yang kini berdiri di samping Freya menggeleng, sebab sedang berusaha berkonsentrasi menusuk jarum infus baru di tangan Dio. Jarum infus bekas di dalam mangkuk alumunium itu bengkok dengan sisa darah di ujungnya, baginya pemandangan itu tidak seberapa mengerikan dibandingkan kondisi Dio.

Lantas Freya bangkit dari duduknya untuk memberi keleluasaan suster. "Dio bilang, jika kita terus memikirkannya maka hal itu akan benar-benar terjadi. Karena itu suster, jangan katakan apapun tentang kondisi terburuk orang yang tidur di bangkar ini. Karena aku akan terus berpikir besok pagi dia sudah bangun dan memelukku."

Suster hanya mengulas senyum tipis sembari mengganti botol infusan baru yang tersangkut di tiang samping bangkar Dio. "Tuan Do pasti akan segera sadar, nona."

"Terima kasih, suster."

Kemudian suster meninggalkan Freya sendiri. Tidak ada yang Freya lakukan selain duduk di sisi bangkar Dio seharian, menunggu pria itu sadar dari komanya. Digenggamnya rosario pada kalungnya sembari melafalkan permohonan. Freya tidak pernah benar-benar merasa takut seumur hidupnya seperti ini. Ia tidak siap untuk besok. Ia tidak siap untuk mendengar kabar buruk lainnya selain ini. Ia tidak ingin kehilangan Dio. Ia tidak sanggup. Tidak sanggup melewati hari berat selain hari-hari di rumah sakit yang sudah terlewati kemarin.

Untuk sekali ini saja Tuhan.. Aku mohon kembalikan Dio..

Ponselnya bergetar di atas meja. Dengan enggan Freya menjulurkan tangannya, meraih benda pipih tersebut.

"Allo, Ma cherie?"

"Allo, Ma."

"Sudah makan belum?"

Ia terdiam. Roti kismis di atas meja dari Kaerin tadi pagi masih untuh bersama bungkusnya. Freya enggan menjamahnya sama sekali.

"Sudah, Ma," Freya berusaha nadanya meyakinkan.

"Pagi ini Mama berangkat menyusulmu ke Beijing."

Ia menarik napas sejenak. "Freya, rasa tidak perlu. Je vais bien, Ma." Ia memberi jeda untuk menghirup napas dalam. "Dio akan sadar besok." Senyum getir kembali terukir di bibirnya.

Seusai menerima telepon dari ibunya. Telinganya kembali menangkap suara pintu yang dibuka. Serta-merta Freya menolehkan kepalanya. Charles dan Hugo berdiri di sana dengan senyum lima jari mereka serta nampan berisi roti kismis dan segelas susu kotak di tangan Charles. Gadis itu justru kembali menatap pria yang selalu ditunggunya. Mengusap pelan jemari Dio, mengabaikan sopir dan bodyguard idiotnya.

Mereka akan selalu mengikuti ke mana pun Freya pergi. Karena tugas mereka berdua memang melindungi Freya Dupont sejak gadis itu kecil. Charles dan Hugo saling bertatapan dengan senyum mereka yang perlahan luntur. Belum pernah mereka menemukan raut wajah dan ekspresi dari nonanya seperti ini sepanjang mereka menjadi pengabdi setia.

"Mademoiselle.." panggil Charles.

"Letakan saja di atas meja, Charles," jawab Freya lirih.

Ya, jawaban itu sudah sangat biasa diterima Charles dan Hugo semenjak mereka berdua menemani gadis itu di rumah sakit. Bedanya Freya akan duduk di samping bangkar Dio bersama Kaerin atau Bunda. Sementara Charles dan Hugo berdiri di depan pintu kamar rawat seharian penuh. Semalaman suntuk.

Charles akhirnya dengan patuh meletakan makanan itu di atas meja. Ia tahu betul nona Dupont pecinta diskon itu tidak bisa memakan makanan lain selain roti kismis dan susu kotak di saat seperti ini. Ia tahu betul memaksa nonanya makan juga akan sia-sia. Charles hanya berdoa dalam hati supaya gadis bernama Kaerin yang sedang pergi keluar akan kembali memaksa nonanya makan seperti hari-hari kemarin.

"Tolong tinggalkan kami berdua," katanya lagi.

Charles dan Hugo kembali saling bertatapan pasrah sebelum pergi meninggalkan nonanya. Sesuai dengan tugasnya, Charles selalu melaporkan apa yang terjadi pada Freya Dupont kepada Vera Dupont. Charles menceritakan semuanya, dari mulai kondisi kekasih nonanya yang belum kunjung sadar dan keadaan nonanya yang lebih mirip manekin daripada Freya Dupont ceria dengan ribuan watt energi.

Kecelakaan yang sepenuhnya merenggut kesadaran Dio, sama artinya dengan merenggut kesadaran Freya juga.

Entah sudah berapa lama. Gadis itu pun bangun untuk menggeser kursinya lebih dekat dengan bahu Dio. Merebahkan kepalanya di samping bahu Dio, ia membiarkan jari telunjuknya menyentuh pipi yang dihiasi selang oksigen itu. Bau menyengat klomorform di seluruh penjuru rumah sakit kini tidak lagi terasa aneh baginya. Rambutnya digelung secara asal, wajahnya tanpa make up dan kuku-kuku jari tanpa cat juga sudah biasa baginya. Ia seperti bukan lagi seorang Freya Dupont.

"Bangunlah, Dio. I couldn't spend the day like this anymore," ucapnya lirih. "Buktikan janjimu yang akan pulang untukku."

***

Meilin menghela napas seusai menyesap kopinya. Ia butuh menenangkan dirinya sendiri. Maka di sinilah ia berada, duduk di sebuah bangku taman rumah sakit. Semuanya terasa kacau, pertunangan Kaerin diundur entah sampai kapan, jadwal meeting dengan wedding organizer ia batalkan beberapa kali. Serta putranya yang belum juga sadar.

Angin musim gugur terasa menggigit di tubuhnya, namun ia tidak mempermasalahkan itu. Pikirannya melayang. Ini adalah hari ke enam. Dokter bilang jika Dio tidak membuka matanya di hari ke enam maka tidak ada harapan sama sekali untuk hari lain. Meilin memejamkan matanya dan merasakan ada yang membubuhkan garam di luka lamanya. Ia membiarkan bulir bening meluncur bebas sampai ke rahangnya.

Haruskah ia kehilangan putranya setelah suaminya?

Satu kasus itu merenggut dua nyawa orang paling dicintainya.

Ia mengecup cincin yang sudah melingkar di jari manisnya selama puluhan tahun. Berharap dapat berkomuikasi dengan mendiang suaminya.

Tolong temukan putramu, tuntun ia untuk kembali. Batinnya.

"Makanlah, jangan mencoba bunuh diri secara perlahan. Sudah cukup cucuku berada di antara hidup dan mati saat ini."

Meilin menoleh dan mendapati pria dengan sweater cokelat tua duduk di sampingnya. Ia terkejut bukan main mendapati pria baya itu tengah menyesap cigarette. Sinichi Hirano mentapnya datar.

Ayahnya merupakan pria keturunan Jepang yang menikahi gadis Tionghoa, maka dari itu nama Meilin tidak begitu mencirikan bahwa ia keturunan Jepang. Meilin memiliki dua Kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Kakak laki-lakinya berada di Jepang bersama Ayahnya, sementara adik perempuanya dibawa suaminya ke Rusia sejak menikah. Ia sendiri meninggalkan Jepang untuk mengikuti ke mana Seungsoo membawanya, hingga akhirnya ia memilih Beijing karena dekat dengan keluarga suaminya dan tempat kelahiran mendiang Ibunya. Ia merasa iba dengan mertuanya yang sudah ditinggal suami serta kedua putranya.

"Sejak kapan Ayah di Beijing? Bukankah selalu banyak urusan yang harus Ayah urus."

"Sudah diurus Itachi. Jangan berniat mengusirku, Lin. Darah Hirano mengalir deras dalam tubuhmu meski kau sudah berganti marga, masalahmu masih menjadi masalahku."

Ah ya, Lin baru ingat masih memiliki Kakak laki-laki bernama Itachi Hirano yang tidak dikaruniai keturunan. Sementara Kakak laki-lakinya yang satunya -Kazuya Hirano- sudah lama meninggal karena sebuah tragedi kecelakaan bersama istrinya dan meninggalkan seorang anak yang kini dirawat oleh Itachi Hirano.

"Aku ingin hidup normal dan damai, Ayah," ujar Meilin lebih kepada dirinya sendiri. Ungkapan dari hatinya yang terdalam.

Sinichi Hirano berdecak. "Semenjak kau menikah juga hidupmu memang normal, Lin. Bahkan sejak kau kecil."

"Jangan bawa Dio dalam dunia tidak normal itu Ayah."

"Aku hanya memberikannya kado kecil, Lin. Percayalah."

"Pistol peredam suara itu bukan sejenis kado kecil Ayah."

"Dia bebas memilih, Lin. Bergabung atau menjauh sepertimu dan adikmu. Dari Itachi Hirano, Kazuya Hirano, Meilin Hirano dan Jia Li Hirano. Hanya tersisa Itachi sebagai penerusku. Percayalah Lin, Ayah sudah terlalu tua."

Sinichi Hirano merupakan pengusaha yang terjun dalam perdagangan berlian, PH anime dan PH game. Di balik itu bisnis tidak normalnya di dunia bawah tanah adalah rakitan senjata api. Meski tidak sekotor Yakuza yang memiliki bisnis pembuatan minuman keras, narkoba, wanita penghibur, PH blue film dan bar. Meilin tetap tidak begitu setuju anak-anaknya terjun bersama kakeknya. Sinichi Hirano sendiri memiliki koneksi baik dengan kerabat Aoyama Kim, Park Jung Jeon, William Tan dan Eduard Kim yang juga bergelut di dunia yang sama.

"Masih ada Ray, Ayah," Meilin berusaha berkilah dari pembicaraan yang kerap dilakukan Ayahnya tiap kali mereka bertemu.

"Ya, dari tiga cucu laki-laki Ayah, hanya tersisa Ray sebagai penerus klan dan bisnis Hirano. Sebenarnya aku bukan tipikal Ayah dan kakek yang pelit Lin, hanya saja kebanyakan anak dan cucuku tidak mengambil apa yang kulimpahkan." Ia menghembuskan asap pelan dari mulutnya. "Ah ya, dokter dan sopir truk itu sudah divonis penjara, Lin," lanjutnya.

"Dio bisa mengambil semua PH anime dan Kaerin cocok untuk bisnis berlian dibarengi butik milikku."

Sinichi mendesah karena penuturan putrinya. "Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini, Lin. Hanya ada kelabu. Ayah akan pulang sore nanti," ujar Sinichi seraya berdiri.

"Hati-hati di jalan Ayah, terima kasih banyak untuk segalanya." Meilin tersenyum seraya membukukan badannya.

"Bukan apa-apa. Ayah sudah lalai hingga kecelakaan itu terjadi." Pandangannya menerawang. "Jika Dio tidak dapat membuka matanya lagi, aku merasa paling bersalah."

Lantas pria yang disapanya Ayah itu pergi melangkah menuju koridor rumah sakit dengan beberapa orang berkemeja flanel dan baju santai mengikuti di belakangnya, mereka muncul dari berbagai arah di koridor. Meilin sangat tahu mereka adalah bodyguard Ayahnya yang tersamarkan. Ayahnya mungkin bukan orang suci, tapi Meilin tahu Sinichi Hirano adalah Ayah dan kakek terbaik.

***

Ia memeluk Vera Dupont hangat sebagai salam perkenalan. Entah keadaan dua anak mereka yang mengkhawatirkan atau karena permainan takdir sehingga pertemuan pertama mereka harus terjadi di saat dan momen seperti ini. Wanita itu datang bersama tiga orang kepercayaannya, Meilin menduga orang-orang itu sama seperti Freya Dupont yang membawa Charles dan Hugo.

"Anda sangat kurus dari yang kulihat di foto, nyonya," ucap Vera Dupont seusai melepas pelukannya.

Meilin tersenyum simpul, ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali minum. "Saya tidak tenang dengan keadaan putra saya," ujarnya sejujur mungkin.

Banyak suport mengalir dari rekan kerja dan sahabat-sahabatnya, termasuk Yeon Christina Ji yang langsung merekomendasikan dokter khusus untuk menangani operasi Dio. Namun, Meilin tidak menyangka bahwa Vera Dupont akan datang ke sini.

Vera membawanya duduk di depan ruang rawat putranya. "Saya sudah mendengar semuanya dari Freya, nyonya. Saya harap putri saya tidak merepotkan anda di sini. Karena saya sangat tahu, Freya adalah tipikal anak manja dan pemaksa."

"Tidak sama sekali, nyonya. Saya senang Freya ada di samping Dio selama masa kritisnya. Justru saya yang meminta maaf karena sudah merepotkan." Meilin menarik napas panjang. "Meski teman organisasi dan teman sekelasnya datang berkunjung silih berganti. Saya tahu, putra saya tetap membutuhkan jengukan Freya sekalipun ia masih belum sadar."

Vera Dupont meraih kedua tangan Meilin dengan sinar keyakinan dalam matanya. "Kita pindahkan Dio ke Rumah Sakit di Eropa saja, mungkin akan ada penanganan yang lebih baik, nyonya."

Meilin tidak terkejut dengan hal itu karena Sinichi Hirano bahkan Park Jung Jeon pernah menawarkan itu padanya. "Tidak perlu, nyonya. Saya yakin rumah sakit ini sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya."

"Saya mohon, nyonya. Saya tidak bisa melihat Freya seperti ini. Ini adalah kali pertamanya, saya melihat Freya begitu menyukai seseorang."

"Freya adalah gadis yang tegar. Saya yakin akan itu, dari cara mereka menjalin hubungan jarak jauh dan kesediaannya menunggu putra saya. Terima kasih banyak untuk kepedulian nyonya terhadap putra saya." Meilin mengulas senyum tulusnya.

Ia sangat tahu bagaimana gadis blasteran Tionghoa-Prancis itu tidak pernah meninggalkan ruang rawat putranya. Bahkan penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat dari pertama kali Meilin menemuinya. Rambut cokelat ikal yang biasanya tergerai indah dan bibir dengan polesan lip gloss. Semua itu seakan hilang dari gadis blasteran Tionghoa-Prancis itu sejak Kaerin menjemputnya di bandara. Terkadang Meilin hampir tidak percaya bagaimana putranya bisa beralih dari gadis perfectionist dengan stilletto-nya ke gadis manja dengan flat shoes-nya.

Kedua wanita yang saling menatap penuh harap dan keyakinan itu sama-sama terlonjak, pintu ruang rawat yang tersentak itu menampilkan Kaerin dengan wajah paniknya.

"Dokter! Suster!" teriak Kaerin, langkah kakinya tertahan oleh Charles dan Hugo.

Dengan langkah kaki cepat Meilin dan Vera memasuki ruang di mana Dio dirawat. Mata Meilin terbelalak ketika menemukan Freya yang membungkukan badan sembari menyentuh pipi dan tersedu sedan memanggil nama putranya. Monitor pemantau detak jantung itu menunjukkan garis lurus disertai nada panjang. Seketika pandangan Meilin kabur dan tubuhnya terhuyung.

***

Matanya berkeliling ke sekitar pantai yang tanpa ombak ini. Tidak ada siapapun di sini. Tidak ada angin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan cahaya matahari tidak begitu terasa menyengat di kulitnya. Bahkan ia juga ragu bahwa detak jam masih terus berputar di sini.

Kepalanya terasa lebih ringan, hingga ia akhirnya memilih duduk di atas pasir putih. Entah untuk menanti apa dan siapa. Ia hanya mengikuti pergerakan otot dan saraf di tubuhnya.

"Hei, Nak," sapa seorang pria yang nyaris mirip dengannya. Perbedaannya hanya di kacamata dan tahi lalat di leher bagian kanan.

Dio mendongak karena suara yang menyapa telinganya begitu familier. "Ayah?"

"Tidak sopan jika kau lupa pada Ayahmu."

Anehnya Dio tertawa. "Maaf Ayah. Omong-omong wajah Ayah masih sama seperti sebelum Ayah pergi tugas."

Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirnya ketika pria yang disapanya Ayah itu duduk tepat di sampingnya dengan posisi yang sama. Duduk bersila.

"Kau pikir ketampanan Ayah akan meluntur?" Ayahnya terkekeh.

Dio tertawa lagi. "Ayah, narsis."

"Ayah tidak pernah menua di sini, nak. Oh ya, bagaimana kabar Christian dan dua saudaranya?"

"Christian sebentar lagi jadi dokter dan sudah punya pasangan. Bang Jung sedang mengatur acara pertungannya sementara Jeon sedang di US, Ayah."

"Oh ya? Christian punya pacar?" Seungsoo menganggukan kepala. "Ayah tidak heran, dia memang penuh kharisma dan cerdas sejak lahir. Ah, kalau putra Ayah sendiri bagaimana?" Seungsoo mengalihkan pandangannya dari laut, menatap putranya dari samping.

Dio berdecak. "Ayah pasti sudah tahu."

"You love her, so much."

Dio menolehkan kepala dan menemukan senyum hangat milik Ayahnya. "I love Bunda and Kaerin too."

"Itu berbeda, Nak. Sudah menciumnya berapa kali?"

Kepalanya tersentak, kemudian cengirannya mengembang. "Baru satu kali."

Seungsoo kembali tertawa dengan kedua matanya yang membentuk bulan sabit. "Masih ingat bagaimana cara Ayah memberikan kalian hadiah?"

Mendesah berat, Dio pun melanjutkan. "Jujur saja itu cara yang aneh. Di mana Ayah selalu memberikan secarik pesan di tempat yang tidak terduga. Aku masih ingat bagaimana aku menemukan secarik pesan dari Ayah di dalam disk playstationku, hingga pada awalnya aku menduga mainan itu rusak."

Kemudian Seungsoo menepuk bahu putranya pelan. "Good boy! Tapi untuk hadiah terakhir dari Ayah kau sudah menemukannya?"

Dahinya berkerut mengingat hadiah terakhir dari Ayahnya. "Belum."

"Itu sudah berapa tahun, Nak. Ah, Ayah kecewa padamu."

"Nanti kucari, Ayah. Jangan merengut seperti Freya."

Hening menjeda pembicaraan dua pria yang duduk bersampingan menatap laut biru itu.

"Pulanglah, Nak. Mereka menunggumu."

Dio berpikir sejenak, menautkan kedua alisnya. "Aku tidak tahu jalan pulang, Ayah."

Seungsoo kembali menepuk bahu putranya. "Coba dengar suara ini baik-baik."

Dio menurut untuk menajamkan pendengarannya. Tidak ada yang ia dengar selain suara detak jantungnya sendiri. Namun beberapa detik ia terdiam, lantas samar-samar sebuah suara yang begitu familier memenuhi pendengarannya. Suara seorang gadis.

"Dio, please comeback."

"Please, Dio.."

"Comeback..."

Dio mengingat jelas suara itu.

Freya? Kenapa dia menangis?

Tanpa dikomando Dio segera bangun dari duduknya. Berusaha mengedarkan pandangan, mencari di mana suara itu berasal. Perlahan kakinya melangkah menapaki pasir yang tidak terasa di telapak kakinya.

"Ikuti suara itu. Ayah titip pesan untuk Bunda dan Kaerin, katakan bahwa Ayah bahagia dan baik-baik saja di sini."

Langkah kakinya tiba-tiba terhenti, ia berbalik, menemukan Ayahnya yang juga kini tengah berdiri dengan senyum hangatnya. "Tapi Ayah-"

"Ayah percaya padamu. Sampaikan pesan Ayah dan jangan pernah berbalik lagi."

"Dio bangunlah... Kumohon.." samar namun jelas terdengar diiringi isakan.

Ia pun kembali membelakangi Ayahnya. "Freya?" teriak Dio.

"Freya, Kau di mana?" teriaknya sekali lagi.

"Freya?!"

Tanpa terasa langkah kakinya semakin cepat. Tanpa ada rasa bingung. Tanpa ada rasa ragu. Kemudian cahaya menyilaukan menyerang netranya. Dio merasa tubuhnya seakan tersedot.

***

Freya menyingkir dari depan Dio setelah tim medis datang memasuki ruang rawat dengan meja dorong yang penuh berbagai alat medis. Dokter sedang mencoba menempelkan alat pacu jantung pada tubuh Dio. Sementara Bunda dibawa ke UGD karena tidak sadarkan diri begitu masuk ke ruang rawat Dio. Dan di sinilah Kaerin bersama pemandangan paling tidak terduga dalam hidupnya. Di mana ia menautkan jemarinya sambil menutup mata merapalkan do'a untuk adik satu-satunya. Pipinya sekarang terasa dingin karena sisa air mata yang membasahi pipinya sudah hampir mengering karena AC ruangan.

Dokter sudah melakukan pacu jantung selama dua kali dan tidak ada perubahan.

Sementara Freya kini merosot hingga terduduk di samping bangkar Dio, di mana ia masih menggenggam sebelah tangan Dio. Suaranya bergetar karena disertai isakan tangis. Kakinya sudah tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Tangannya yang lain menyentuh bagian dadanya yang terasa sesak. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan ada banyak jarum di dalam paru-parunya. Detik demi detik, Freya benar-benar memohon kepada Sang Pencipta untuk tidak membawa astronotnya pergi dari semesta.

Apa yang akan Freya lakukan jika Tuhan benar-benar membawa Dio pergi?

Freya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Bila kemunginan untuk Dio bertahan memang hanya 0,01% maka ia lebih memilih untuk percaya pada kemungkinan itu. Jika semua wedges dan tas branded-nya dapat di tukar atau bahkan semua yang ia miliki dapat ditukar dengan pulihnya Dio. Maka Freya akan melakukannya.

Tepat ketika ia merasakan tangan dalam genggamnya itu tergerak perlahan, ia mendengar suara lirih yang memanggil namanya.

"Fre..ya.."

Serta-merta Freya bangkit dari samping bangkar Dio. Saat itu dokter pun memeriksa kedua belah mata pria itu. Tuhan mengabulkan harapannya, Tuhan mengembalikan pria itu. Tuhan membuat layar monitor itu kembali normal seperti biasanya. Tuhan membantu usaha para dokter di sini meski dengan bulir keringat yang mengalir deras di pelipis mereka. Freya tidak tahu lagi bagaimana ia dapat mengungkapkan rasa bahagia yang membuncah, begitu ia mendengar suara pria itu kembali.

Kaerin pun langsung menghampiri dokter untuk berbicara mengenai kondisi adiknya lebih lanjut.

Lalu Freya kembali membungkukan tubuhnya di samping bangkar. "Dio, Aku di sini.." katanya dengan nada bergetar dan wajah tidak keruan.

Perlahan namun pasti, Dio membuka matanya disambut suara lirih Freya serta rasa nyeri menyerang sekujur tubuhnya. Awalnya hanya pandangan samar, namun lama-kelamaan menjadi jelas. Lampu ruangan yang menyilaukan menyapa penglihatannya.

***

*Je vais bien : aku baik-baik saja

*Mademoiselle : Nona

*Allo : Halo

*Ma cherie : Sayang

Ck, aku tidak begitu pandai mendramatisir. Yodalahya ngalay ajadah haha.

Aradi151

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro