19 - Promise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Such a good days.

Being on stage on my birthday that I spent with you,

when your words became such strength to me.

Promise me,

Just stay like you are right now..



Beijing, China.

D I O

Aku mendesis ketika bekas operasi di kepalaku berdenyut nyeri. Terakhir kali aku masuk ke rumah sakit hanya untuk cabut gigi sewaktu sekolah dasar. Dan ini jelas lebih dari sekedar rasa denyutan sakit gigi yang dicabut. Baru dua hari aku tersadar dari koma, namun rasanya seperti sudah setahun. Entah kenapa detik jam di rumah sakit ini seolah berjalan sangat amat lambat. Sementara aku ingin segera pulang dan tidur dengan layak.

Mungkin aku koma hampir seminggu, tapi jelas dua hari ini aku tidak tidur dengan layak. Benar-benar tidak layak, sebab suster sekitar empat kali masuk kamar ini untuk mengecek keadaan sedangkan dokter dua kali visit selama sehari. Itu benar-benar mengganggu, ketika pintu dibuka dan ditutup di malam hari serta tidak lupa suara meja dorongnya.

Menurutku rumah sakit seumpama dengan penjara. Tidak bisa tidur nyenyak. Tidak bisa makan enak. Tidak bisa bergerak bebas. Nah, tidak bisa bergerak bebas ini yang benar-benar menjengkelkan. Di mana aku harus ke kamar mandi ditemani tiang selang infus. Belum lagi darah yang naik ke selang infus setiap aku tidak sengaja mengangkat tangan. Dan ketika hal itu terjadi Freya akan memanggil suster dengan panik, setelahnya suster akan menekan aliran cairan infus dari selang atas sampai darahku kembali disertai rasa ngilu sampai ke tulang.

"Dio.. Aaaa." Freya kembali menyuapiku dengan nasi di antara lauk pauk serba hambar.

Dengan malas aku pun membuka mulut. Rasa makanan rumah sakit lebih buruk dari masakan Kaerin dan aku tidak dapat protes untuk itu.

Wajah Freya hari ini terlihat jauh lebih baik dari pertama kali aku membuka mata. Matanya tidak lagi sembap dan bibirnya tidak pucat. Aku merasa bersalah karena membuatnya sampai seperti itu. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi saat aku koma. Tapi menilik dari wajah Bunda, Kaerin apalagi Freya kemungkinan besar kondisiku kemarin-kemarin sangat mengkhawatirkan. Sebenarnya dari awal aku tersadar, aku ingin langsung menghubungi Christian. Namun dikarenakan beberapa alasan aku belum bisa menghubunginya langsung, alasan utamanya adalah ponselku rusak. Dan aku tidak mungkin bicara mengenai kasus Ayah lewat ponsel orang. Kecuali aku sudah siap dengan serbuan pertanyaan dari Freya.

Kaerin berjalan menghampiri kami setelah keluar dari kamar mandi. "Perlu kau tahu, Yo. Sudah sekian hari aku tidak tidur nyenyak dan sekarang aku tidak sanggup lagi." Melirik Freya sekilas. "Kau masih punya banyak cadangan baterai di punggungmu kan? Atau kau bisa suruh suster menemani Dio lalu kita pulang bersama. Bagaimana tawaranku?"

"Kak Rin tidak perlu khawatir, aku senang bisa menemani Dio di sini," jawab Freya dengan cengiran khasnya.

"Yakin? Aku tidak akan memberi tawaran dua kali."

Freya hanya menganggukan kepala.

Kaerin memiringkan kepalanya sembari tersenyum dramatis. "Baiklah, kau lulus kaderisasi Kaerin tahap satu." Lalu mengusap puncak kepala Freya.

Mata Freya membulat sempurna dengan cengiran yang masih bertahan. "Really? Oh my god!" Ia Meletakan piring di atas meja kemudian lompat memeluk Kaerin.

God's sake, aku pun mengusap keningku pelan.

"Oke! Oke! Stop." Kaerin melepaskan Freya yang lebih mirip mencekiknya daripada memeluknya. "Kau nyaris membunuhku."

Freya tertawa kecil sebelum membungkukan tubuhnya berkali-kali. "Maafkan aku, Rin Oneechan."

Kaerin pun kembali menatapku. "Cepatlah pulih, aku kasihan pada balita ini. Rumah sakit bukan tempat bermain untuknya."

"Sana pulang," usirku.

"Kak Rin, umurku dua puluh satu tahun. I swear!" celoteh Freya sembari membentuk dua jarinya seperti huruf V.

"Sayangnya aku hanya percaya dengan berat badanmu, Barbie." Kaerin mulai melangkah menuju pintu. "Jangan melakukan hal yang tidak-tidak, lovers," lanjutnya sembari mengerlingkan mata sebelum menutup pintu.

Aku mengabaikan ucapan Kaerin, daun-daun yang bertebangan itu lebih menarik perhatianku. Belakangan aku baru tahu bahwa Kai meninggal di tempat, tepat setelah kejadian. Kecelakaan itu memang terjadi begitu cepat, padahal aku tidak membayangkan hari itu akan berakhir seperti ini. Baru saja kemarin keluarga Kai, yang tersisa Ibu dan adik perempuannya datang menjenguk. Sesuatu yang agak menohok adalah fakta di mana aku baru mengetahui adiknya tunawicara. Melihat sikap Ibu Kai seperti mengingatkanku pada Bunda, bagaimana caranya berusaha menerima semua dengan baik.

Orang-orang komplotan Kim Minseok. Mereka harus membayar semuanya dengan sisa hidup mereka di balik jeruji besi atau bahkan hukum penggal kalau perlu.

"Berminat melihat musim gugur?"

Seketika senyum Freya menyambutku saat aku menoleh. "Sebelah kakiku belum bersahabat." Aku menunjuk kaki yang masih digips.

"Tidak masalah, tunggu sebentar." Freya bangkit untuk keluar kamar dan aku hanya memandangnya tidak mengerti.

Tiga menit kemudian pintu terbuka bersamaan dengan Freya yang mendorong sebuah kursi roda diikuti Charles dan Hugo. Kuhela napas panjang. Kursi roda? Aku jelas bukan orang cacat yang membutuhkan alat itu. Pandanganku beralih pada sebelah kaki yang terbalut gips, mendadak aku ingin menghentakkan kaki supaya gips itu lepas dan aku bisa berjalan dengan layak.

"Tidak minat keluar," kataku.

"Dio, please jangan kekanakan," ujar Freya sembari berjalan ke samping bangkar.

Aku menatapnya sejenak. "Apa maksudmu kekanakan? Aku hanya tidak ingin keluar," ucapku datar sembari mengalihkan pandangan.

Lantas kurasakan gadis itu duduk tepat di sebelahku. Piyama rumah sakit, gelang khas pasien, bahkan perban dan gips ini membuat suasana hatiku memburuk. Aku tidak ingin menjadi pria yang merepotkan gadisnya semacam ini.

"Dio Kyungsoo," panggilnya sembari mengusap bahuku lembut. "Pergi keluar dengan kursi roda itu tidak selalu berarti dia orang cacat. Sekarang begini, pasien yang baru pulih memang diharuskan memakai kursi roda meski kakinya tidak patah sekalipun. Karena itu memang prosedur rumah sakit."

Sial, Freya bahkan tahu isi kepalaku.

Mendadak bahuku berat sebelah karena tindihan kepala Freya. "Dio butuh suasana baru selain bau antiseptik."

"Aku hanya tidak ingin terlalu banyak menyusahkanmu," tuturku dengan jujur pada akhirnya tanpa memandang Freya.

"Tidak ada istilah itu dariku. Sama seperti kakimu, karena yang satunya terluka parah maka yang lain harus berjuang keras sampai bisa berjalan layak seperti sepasang kaki pada umumnya."

Aku meresapi setiap kata dari Freya Dupont. Saat menoleh, aku langsung mendapati keteduhan dari sepasang mata cokelat eboni itu. Kedua belah mata milik Freya Dupont. Kaerin salah, dia bukan balita yang terjebak dalam tubuh seorang gadis. Kalimat tadi jelas bukan kalimat yang dapat dirangkai anak balita.

Ada hangat yang mengalir di sekujur tubuhku menggantikan semua rasa nyeri karena kecelakaan itu.

Dengan mudahnya senyum Freya menulariku. "You're so beautifull indeed," kataku.

Freya mengangkat kepalanya dari bahuku lalu menatapku dengan sorotan manjanya. "I think, I love you is your mean," katanya sembari mengulum senyum.

Aku hanya memberikannya cengiran sebagai jawaban.

***

Hari masih pagi dan angin musim gugur yang bersahabat menerpa anak rambutku. Kami duduk di bangku taman rumah sakit dengan kursi roda di sampingku, sementara Hugo sigap berdiri di belakangku memegangi botol infus. Terkadang aku merasa iba padanya, tapi Freya bilang dunianya memang berputar seperti itu.

"Mau lagi?" Freya mengangkat potongan melon yang tertusuk di garpu.

Aku menolehkan wajah sembari membuka mulut. Ini suapan ke lima dari Freya, sisanya Freya yang akan mengurusnya. Bisa dibilang porsi makan Freya itu menyamai porsi makanku saat keadaan normal. Unik. Meski kadang Freya juga melakukan diet ketat untuk makan malamnya, tapi tidak se-ekstrem Stella. Dan aku suka dengan gadis yang tidak menyiksa dirinya demi berat badan ideal.

"Dio.." Freya memberi jeda untuk menyelesaikan kunyahannya. "Kenapa tidak memberi kabar saat pergi ke rumah sakit dengan Kai?" tanyanya tanpa ada sedikit pun nada bicaranya yang berubah.

Deg!

Aku berdeham sejenak. Kalau kecelakaan ini tidak terjadi mungkin aku akan menyimpannya sampai waktu yang tepat. "Untuk yang satu itu... Aku tidak ingin membuatmu khawatir, karena hari itu juga gelangmu yang hilang sudah cukup membuatmu panik."

Gadis itu meletakkan tempat makan di sampingnya kemudian mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. "Dio tahu hari di mana Kaerin meneleponku? Aku langsung memaksa Papa bagaimanapun caranya agar aku bisa terbang ke sini malam itu juga. Ketika aku sampai di sini, Bunda bilang Dio kritis. Koma." Sendu berpendar dalam mata cokelat eboninya. "Dio pasti juga tahu kan? Koma itu di antara hidup dan mati. Itu lebih menakutkan dari mimpiku karena memang kejadian yang nyata."

"Maaf-"

"Aku bukan ingin menuntut maaf. Aku ingin Dio lebih terbuka untuk apapun itu." Lalu kepalanya tertunduk. "Karena dengan begitu aku lebih merasa berguna sebagai pasangan."

Kutarik Freya untuk merengkuhnya tanpa mempedulikan selang infus yang ikut tertarik. "Aku bukan tidak ingin memberitahumu secara keseluruhan, trust me. Aku memilih untuk menyelesaikannya terlebih dahulu sebelum menceritakannya." Kuusap punggungnya pelan. "Tolong, jangan pernah berbicara atau bahkan berpikir seperti itu lagi, Freya. Cause you're the reason I breath easly."

Gadis itu membalasku erat. "Tepatilah janjimu untuk tidak terluka."

"Iya," jawabku lirih.

"Iya untuk?" Kini kami sudah dalam posisi semula.

Kuhela napas pendek sembari menyelipkan sejumput rambut di belakang telinganya. "I promise you."

Kedua sudut bibir Freya Dupont terangkat sempurna. "Oh ya, satu lagi." Gadis itu tampak agak ragu untuk mengatakannya. "Belakangan aku tidak sengaja melihat media sosial Yoonji, sepertinya hubungannya dengan sahabatmu sedang tidak baik.."

Otakku langsung berpikir sekeras mungkin untuk menanggapi Freya. "Mengenai itu.. Kurasa kita tidak perlu mencampuri mereka."

"Bukan, bukan itu maksudku-" Lalu Freya mengaduh kesakitan karena sebelah pipinya yang kucubit.

"Aku bilang apa soal rasa penasaran dan khawatirmu yang berlebihan?"

Pipinya menggembung dalam aksi protes seusai aku mencubitnya. "Lalu Dio yang mencari tahu kasus Ayah sampai koma enam hari itu disebut apa?"

"Itu disebut perjuangan, Freya."

"Perjuangan macam apa, Dio Kyungsoo? Kau hampir mematikan fungsi detak jantung kami!" rutuknya dengan bibir yang mengerucut.

Perlahan aku menarik sebelah tangannya, menempelkannya di sekitar dadaku. "Jantungku sendiri tidak pernah berfungsi dengan baik karenamu," kataku tanpa mengalihkan pandangan darinya.

Lantas semburat merah menjalar di kedua pipi Freya Dupont. Dan aku suka melihatnya.

***

Freya berjalan di samping Dio melewati jejeran gundukan tanah dengan rumput hijau di atasnya. Beberapa di antaranya tertancap batu berwarna hitam dengan deretan tulisan dan sebagian berbentuk salib. Freya sebenarnya sudah lupa kapan terakhir kalinya ia mengunjungi tempat seperti ini. Kali ini Charles bertugas sebagai penunjuk jalan, sementara Hugo siap siaga di belakang seperti biasa. Sejenak ia memandangi pria di sampingnya yang tengah berjalan dengan satu tongkat menyangga tubuhnya. Gips yang melapisi sebelah kakinya akan dibuka besok dan Dio akan menjalani pengobatan patah tulang ala Tionghoa.

Lantas langkah kaki mereka terhenti sebab Charles berhenti tiba-tiba. Pria paruh baya berambut cokelat itu sempat menengok ke arah kanan dan kiri.

"Sebelah kiri, Charles," ujar Dio tiba-tiba dengan suara dalam.

"Ah ya benar!" seru Charles sembari berjalan ke arah kiri.

Mereka pun sampai di depan sebuah gundukan tanah yang kelihatan masih baru dengan salib tertancap di atasnya.

Rest in peace Kim Kai.

Kemudian di samping kiri terdapat juga gundukan serupa hanya saja kelihatan sudah jauh lebih lama sebab gundukannya membentuk pergi panjang disertai rumput hijau yang rapih.

Rest in peace Kim Junmyeon.

Freya sudah tahu bahwa itu adalah makam teman Dio dan Ayah dari Kim Kai. Orang-orang yang berkaitan dengan kasus Ayah Dio. Gadis itu pun berjongkok mewakilkan Dio untuk meletakkan buket bunga di dua makam tersebut. Jauh di dalam hatinya, ia benar-benar bersyukur karena Dio masih berdiri di sampingnya meski dengan tongkat. Setidaknya eksistensi Dio tidak lenyap di muka bumi ini. Freya tidak ingin membayangkannya bahkan mengalaminya.

Freya pun kembali berdiri di samping Dio. Sejenak ia memandangi pria dengan kaus putih terbalut kemeja falnel lengan panjang itu. Raut wajahnya tenang, tapi Freya sangat tahu pria itu dalam keadaan tidak begitu baik. Kai memang bukan sahabat Dio seperti Christian yang sejak zaman Pithecantropus Erectus. Namun tersirat jelas bahwa Kai juga teman terbaik, mengingat mereka berada di posisi yang sama saat itu. Dio jelas kehilangan atas kepergian Kai.

Like a comet blazing cross the evening sky, gone too soon

Like a sunset dying with the rising of the moon, gone too soon

Setelah sekian menit mereka berdiri di sana tanpa suara, Freya mengusap lembut sebelah lengan Dio. Bagaimana pun caranya ia ingin menyalurkan energinya untuk pria itu. "Ayo, kita pulang." Ajaknya.

Dio memandangnya sejenak sebelum mengulas senyum tipis. "Terima kasih sudah mau menemani."

Freya memberikan senyum terbaiknya.

Mereka pun mulai melangkah pergi dari pemakaman umum tersebut. Melangkah tanpa beban di bawah awan cerah yang berarak. Kematian seseorang terutama orang yang sangat berarti dalam hidup kita, biasanya menimbulkan luka parah menganga dalam rongga dada.

Sebab seseorang yang pergi itu pasti meninggalkan memori yang tidak dapat dicuri oleh siapa pun.

***

Dahi Kaerin berkerut makin dalam, membaca setiap coretan pada lembaran-lembaran agenda dalam pangkuannya. Matanya memanas seketika. Tapi ia tidak ingin menangisinya.

Sederet kata dalam agenda itu bukan semacam narasi novel romance yang sad ending. Tapi hanya berupa penjelasan singkat dalam tenggat waktu yang berbeda. Kaerin menghirup napas panjang sebelum akhirnya menutup kembali agenda bersampul hitam itu.

Kedua kakinya melangkah hingga tangannya dapat meraih kenop pintu kamarnya. Atau ruang asing? Entah kenapa bagi Kaerin satu-satunya tempat yang dapat ia sebut kamar adalah ruangan di dalam apartemennya di Jepang. Ini hanyalah kamar singgahnya sementara. Ia telah memutuskan untuk melangsungkan pertunangannya kecilnya di negara ini. Setidaknya negara ini harus punya sedikit kesan menyenangkan untuknya, meski Kaerin harus sedikit memaksa.

"Kak, aku ingin menumpang di bath up-mu," ucap Freya sambil tersenyum lebar ketika menghampiri Kaerin di depan pintu kamar.

"Sepuluh dollar per menit, Barbie." Ia membalas cengiran Freya dengan senyum dramatis.

Gadis blasteran Tionghoa-Prancis itu mematung sejenak mengerjapkan kedua matanya.

Kaerin paling senang menggoda gadis itu. Lantas ia menjentikkan jarinya di depan wajah Freya sambil tertawa kecil. "Bercanda, Barbie. Aku tahu kau butuh waktu lebih dari manusia normal untuk membasuh kulit bangsawanmu itu."

Kaerin tergelak sembari kembali berjalan, sementara Freya dalam kebingungan entah harus merasa kesal atau senang. Intinya Freya tetap melangkah kembali dengan riang bersama peralatan mandinya satu tas penuh.

Pintu kamar Dio terbuka, menyisakan sebuah celah yang cukup untuk Kaerin memastikan bahwa adiknya ada di dalam. Kaerin pun melenggang masuk tanpa suara. Komposisi kamar adiknya tidak pernah berubah, di rumah lama mereka atau bahkan di sini. Meja belajar yang cukup panjang, Papan tulis bening di samping mejanya, buku berantakan di atas meja, serta lemari khusus koleksi komik.

Bahkan foto keluarga -sewaktu masih ada Ayah- di atas nakas samping tempat tidur.

"Merasa kehilangan sesuatu, lil bro?" sapa Kaerin datar.

"Tidak," jawab adiknya datar, masih duduk manis membelakanginya entah sedang apa.

Di samping tangan kirinya terdapat berbagai jenis alat pembongkar ... Mainan?

Kaerin merasa agak gemas, kemudian ia berjalan mendekat dan melempar agenda itu ke atas meja belajar Dio. Hal itu langsung menghentikan aktivitas yang Dio lakukan, namun Dio hanya melirik agenda itu sekilas.

"Terima kasih sudah mengembalikannya." Lalu mengabaikan Kaerin dan kembali pada kegiatannya.

"Stop that fucking shit thing." Kaerin mengatakannya dengan tenang namun memberi penekanan di setiap kalimat tajamnya.

Dio menghentikan kegiatannya namun masih membisu. Masih enggan bangkit dari duduknya.

"I said stop that fucking shit thing."

Kali ini Dio bangkit dari duduknya dengan tenang, berbalik menatap Kaerin dengan sorot mata datarnya. "Apa rasanya setelah membaca isi agenda ini?" tanyanya datar sembari meraih buku agendanya di atas meja.

"Hentikan penyelidikan sialanmu itu, Yo."

"Tidak akan, aku sudah berlari sejauh ini untuk membongkar teka-teki kematian Ayah." Dio berjalan melewati Kakaknya untuk meletakan agenda itu di atas nakasnya.

"Ini bukan cara untuk membuat Ayah bangga! Ini hanya cara untuk membuatmu dekat dengan kematian!"

Kedua alis Dio bertaut samar bersamaan dengan mereka yang kini berdiri berhadapan. Suasana kamarnya mendadak sepanas arena gladiator. "Aku hanya ingin hukum berjalan sesuai keadilan, Kak. Apa kau bisa merasa baik-baik saja setelah tahu penyebab kematian Ayah?"

Kaerin tersenyum getir membuang tatapannya ke lantai. "Aku mengutuk orang yang melakukan itu terhadap Ayah." Lantas mengangkat kepalanya untuk kembali menatap Dio. "But stop it, please. Kau melukai Bunda, kau melukai dirimu sendiri..."

Kali ini Dio yang menundukan kepalanya, enggan menatap Kakak perempuan satu-satunya. "I can't. Maaf untuk hari pertunanganmu, Kak," ujarnya nyaris seperti sebuah bisikan.

"Tidak selelucon itu, Dio. Ini bukan soal masalah sepele pertunanganku. Ini tentang kau yang berharga untukku dan Bunda, bocah sialan!"

"Aku tidak akan mengulangi kecelakaan kemarin." Dio kembali duduk di depan meja belajarnya melanjutkan kegiatannya membongkar Buzz Lightyear.

Kaerin tertawa sumbang. "Kau mengatakannya seperti adik kecilku yang baru saja melakukan kesalahan sewaktu TK. Terserah, aku tidak mau menginjakkan kaki lagi di sini untuk sebuah acara pemakaman."

Dan pintu kamar Dio berakhir ditutup dengan bantingan dari Kaerin.

"I'm sorry, Kak," gumam Dio.

Karena pada dasarnya, ia memang tidak ingin melukai siapa pun dalam perjalanan menemukan teka-teki ini. Kecelakaan dan kematian Kai sebenarnya sudah cukup membuatnya terpukul.

Tapi seperti yang Dio teriakan dalam kepalanya, bahwa ia tidak bisa berhenti begitu saja tanpa menuntaskannya.

***

Dio memandangi sebuah memory card di depan matanya. Ia membongkar Buzz Lightyear -mainan kesayangannya- seusai mengingat pesan Ayahnya dalam masa kritisnya. Alih-alih menemukan secarik kertas yang biasanya Ayahnya selipkan, Dio justru menemukan sebuah memory card.

Dari bentuknya, ini adalah memory card dari kamera lama. Dio pun menyerang dirinya sendiri dengan berbagai macam pertanyaan dalam otaknya.

Apa yang ada di dalam sini?

Kenapa memory card itu bisa ada di dalam mainannya?

Apa semua mainan Buzz Lightyear di sisipi memory card sejenis ini?

Dio mengerang kesakitan sembari memegang kepalanya yang masih terbalut perban. Ia tidak boleh menyumpal isi kepalanya dengan semua pertanyaan itu. Akhirnya Dio memilih mengacak laci meja belajarnya, mencari card reader supaya bisa membaca isi memory card itu.

Ia bangun dari kursinya untuk duduk di lantai dan mulai mencari di lemari meja belajarnya.

Ck, rasanya aku memiliki card reader untuk memory sejenis itu. Batinnya.

"Sedang apa?" tanya Freya terheran melihat Dio yang duduk di lantai mengeluarkan beberapa kotak.

Pria itu mendongak, tersenyum sekilas. "Bisa bantu aku mencari card reader, Freya?"

Freya melirik meja belajar Dio. "Itu ada tiga di mejamu."

"Semua itu tidak cocok."

Gadis itu berjongkok di depan Dio dan mulai membuka kotak lain yang belum Dio jamah. "Untuk jenis memory card kuno ya?"

Dio hanya mengangguk sebagai jawaban.

Barang di dalam kotak yang Freya buka berisi benda-benda aneh. Dari mulai teropong bintang, charger ponsel kuno, flashdisk rusak, kartu uno dan jenis barang lainnya entah dari abad berapa dan zaman apa. Lantas Freya beralih ke kotak lainnya.

Setumpuk amplop warna-warni?

Freya membuka salah satunya. Surat itu ditulis dengan pulpen glitter warna pink.

Dear, ketua MPS yang tampan.

Meski kau sedingin es kutub utara, aku bersedia memberimu pelukan terhangat dan -

Yieks! Surat cinta dari fans Dio?! Rutuk Freya.

"Dio," panggil Freya dengan tatapan matanya yang bisa melubangi kepala Dio.

Dio hanya menggumam sebagai jawabannya.

"Kenapa kau masih menyimpan- eww surat-surat menjijikan ini?!" Ia melempar kotak penuh amplop warna-warni itu di depan Dio.

Dio meilirik kotak itu sekilas lalu kembali lagi fokus dengan kegiatannya. "Ck, ini bukan timing-nya untuk cemburu."

Freya langsung berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. " AKU CEM-BU-RU, Dio."

"Ah, ketemu!" Dio langsung beranjak untuk duduk di tepi kasur lalu memasang memory card pada card reader. "Cocok!" Lalu menepuk keningnya pelan. "Maaf bisa tolong bawakan laptop di sana, Sugar ?"

Dio sama sekali tidak menyadari atau tidak mempedulikannya? Freya bergeming, masih melipat tangan di dada dan mengerucutkan bibir. Freya tidak sudi membawakan laptopnya.

Helaan napas pendek keluar celah bibir Dio. Lantas Dio berjalan kembali secara perlahan karena sebelah kakinya yang belum normal. Dihampirinya gadis blasteran Tionghoa-Prancis yang sedang merengut karena tumpukan amplop yang bahkan ia sendiri lupa pernah menerimanya.

"Freya," panggil Dio ketika tepat di depan gadis itu.

Gadis itu masih bergeming.

Dio menundukkan kepala untuk mengejar pandangan gadis itu. Sekian detik ia menatap lekat Freya hingga satu sudut bibirnya terangkat. "You're beautifull indeed."

"Ish! Basi!" sahut Freya yang sebenarnya sudah tidak tahan dalam posisi semacam itu. Lalu membawa laptop di atas meja belajar melewati Dio.

"Hey! beautiful, beautiful, beautiful, beautiful angel, love your imperfections every angle.." Dio bersenandung sembari berjalan mengikuti Freya.

"Itu Bazzi, Dio!" Freya bersungut-sungut.

Dio hanya tergelak.

Setelah perdebatan tidak mutu yang kerap terjadi di antara Dio dan Freya. Mereka pun duduk bersampingan dengan laptop yang terbuka. Dio dengan sejuta harapan dalam benaknya, mulai memasang card reader ke laptopnya. Sedangkan Freya menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, sudah lupa dengan rasa kesalnya.

"Apa judul drama animenya?" tanya Freya dengan nada manjanya.

Dio menoleh dengan cengiran mengerikannya. "Judulnya, one thousand days my prince. Ceritanya tentang Putra Mahkota yang dikutuk seribu hari menjadi kodok."

Anehnya Freya mempercayainya. "Oh, mirip beauty and the beast ?" tanya Freya lagi dengan nada antusias.

Dio mengabaikan pertanyaan polos tak bermutu dari Freya. Dalam memory itu hanya ada satu file rekaman.

Klik

Di sana terekam sebuah ruangan dengan meja dan sofa sebagai objek utamanya. Kemudian terdengar suara pintu dibuka. Tiga pria berjas menduduki sofa bentuk L tersebut. Wajah mereka tidak terlihat karena kamera yang sepertinya disembunyikan di bagian bawah. Jadi hanya terlihat sampai bagian dada saja.

"Ah, begini Mr. Kim langsung saja pada intinya. Kau tahu, bukan? Aku pemilik saham terbesar dari SBC News-"

Kedua bola mata Freya membulat sempurna ketika mendengar suara familier tersebut. Ia mengangkat kepalanya yang bersandar di bahu Dio. Lidahnya terasa kelu, bahkan tubuhnya gemetar. Ada yang menyiram air es di belakang punggungnya.

"Catat ini Mr. Kim, aku ingin publik lebih mempercayai partai oposisi daripada partai posisi. Kalau perlu buat rumor korupsi atau money laundry terhadap rivalku." Kemudian meletakkan sebuah berkas di atas meja. "Partainya pernah meminjam sejumlah dana untuk modal kampanye di KS Bank, jadikan itu sebagai senjata. Aku sudah berkoordinasi dengan rekan bisnisku yang punya jabatan di sana."

"Mudah saja, Tuan. SBC News adalah chanel berita kesayangan rakyat."

"Kekuasaan dan uang itu akan mengalir deras sesudah kau melakukannya dan negara ini ada dalam genggamanku."

Klik

Dio mengatur deru napasnya sendiri. Apa karena ini mereka semua membunuh Ayahnya? Lantas semua kenangan tentang Ayahnya menyerang ingatan Dio bertubi-tubi. Rasa nyeri di kepalanya pun kembali hingga ia memejamkan kedua matanya sembari memegangi kepalanya.

Ini titipan pesan dari mendiang Ayahnya. Semua teka-teki kasus Ayahnya mengarah pada rekaman ini. Tugas meliput di Forbidden City hanyalah pengalihan untuk membunuh dua orang yang mengetahui atau menyimpan rekaman kasus suap ini. Mereka ingin menggiring opini publik terhadap partai posisi supaya terlihat memiliki banyak kejelekan dan kelemahan. Dan malam itu, ketika Ayahnya pamit dan memberinya Buzz Lightyear. Semua itu bukanlah sebuah kebetulan belaka dengan alasan seminggu menjelang hari lahir Dio.

Ayahnya mungkin punya firasat buruk yang tidak dapat ia sampaikan secara lisan pada Bundanya.

Aku harus mencari tahu siapa saja orang yang ada dalam rekaman ini. Yang pasti salah satunya adalah Kim Minseok.

"Di-Dio?" Freya mengatur napas dan detak jantungnya untuk menyentuh lengan Dio.

"Freya, tolong telepon Christian. Aku harus bicara dengannya dan Yoonji," pinta Dio.

Freya hanya menatap Dio tanpa berkedip.

Dio tidak tahu orang itu? Dio tidak tahu siapa pemegang saham terbesar SBC News? Batin Freya.

"Freya? Aku belum sempat membeli ponsel baru."

Suara Dio menyadarkannya. Freya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia sangat ingin memberi tahu Dio. Namun lidahnya terasa kelu. Rasa takut telak menguasainya. Freya takut akan reaksi Dio setelah mendengarnya.

"Hmm... Dio, pesawatku flight jam sembilan pagi besok." Gadis itu berusaha mengalihkan topik untuk menenangkan detak jantungnya sendiri.

Dio mengangkat sebelah alisnya. "Katamu minggu depan?"

Freya tersenyum getir. "Papa memintaku pulang lebih cepat."

Pria itu mengganggukan kepalanya. "Kalau begitu, besok kuantar-"

"Jangan!"

"Kenapa?" Dio menjulurkan tangannya untuk menyentuh rambut Freya namun tangannya tertahan.

Sedetik Dio memandangi tangannya yang ditahan oleh gadis itu lalu kembali lagi menatap lautan cokelat eboni di mata Freya.

"Nanti-nanti aku pasti menangis di-bandara kalau Dio mengantarku." Ia bersusah payah agar nada bicaranya normal.

Waktu terasa begitu lambat saat Freya menunggu reaksi selanjutnya dari Dio.

Dio tertawa kecil sambil mencubit pipinya. "Bayi cengeng, aku tidak akan mengantarmu. Tapi jangan lupa memberiku kabar."

Gadis itu mengangguk singkat dengan gestur tubuh yang kikuk. "Aku akan menelepon Christian."

***

"Dio... Aku ingin menyudahi kita."

"Kenapa? Apa kesalahanku?" tanya seseorang di seberang sana.

"Aku sudah lelah dengan jarak."

"Maksudmu?"

"Hubungan kita itu terasa sekedar status bagiku, Dio. Aku ingin bersama orang yang dapat menemuiku seusai kuliah dan menghapus air mataku saat aku sedih dengan tangannya. Bukan hanya menenangkanku via suara atau tatap muka via layar."

"...."

"We're not going to work out, Dio."

Lantas sambungan telepon diputus secara sepihak.

Sampai jumpa!

Aradi- -

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro