20 - Tears

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sambil di play mulmednya, biar lebih berasa mellownya..

***


Kejadian dari kematian Kai dan kecelakaan yang menyebabkan Dio sempat mengalami koma kini sudah berlalu beberapa bulan. Di libur natal kali ini, keluarga Chris mengundang Dio kembali. Sebenarnya tidak ada dalam acara formal, tetapi mengingat hari ini penting bagi kakak Christian -Park Jung Hoseok- maka Dio mengiyakan kembali.

"Bagaimana kabarmu Dio? Bunda sehat kan?" tanya mama Chris.

"Bunda sehat selalu, kabarku selalu baik dan sedang bersiap menghadapi level tertinggi untuk meraih kelulusan." jawab Dio.

"Ah, iya. Aku lupa. Kau dan Chris kan sama-sama sudah akan lulus ya. Jadi bagaimana? Mama dengar Dio belum bisa mendapatkan hati tuan putri itu?"

Dio hanya tersenyum tipis, hubungannya dengan Freya belum membaik setelah kejadian itu.

"Kau ke kamarku saja, mama memang begitu. Kepo..." ujar Chris.

Sudah tanggal 22, keluarganya sudah bersiap dengan segala pesta pertunangan itu. Lain Chris lain Yoonji, mereka memilih sibuk dengan diri sendiri. Chris dengan pertunangan Jung di siang hari yang cukup dingin dan Yoonji dengan pertunangan Agust di sore hari.

"Kau kenapa Yoonji?" tanya sulung keluarga Min -Min Young Dae-

"Tidak apa, aku sedang memikirkan tugas akhirku." jawab Yoonji jujur.

"Ah, ku kira kau sedang memikirkan kapan dilamar Chris." canda kakaknya.

"Yoonji baru boleh menikah nanti setelah jadi dokter. Itu mutlak." ujar Agust tanpa mengalihkan atensinya dari kegiatan bersiapnya.

"You always know what i think, he won't marry me... Now or someday.." jawab Yoonji lirih.

"Kau, bukankah malam natal nanti diundang keluarga Park?" tanya sang kakak ipar.

"Aku akan ke Cathedral kak, disana aku harusnya berada." jawab Yoonji lembut.

"Yoonji, ke Cathedral kan bisa besok pagi. Aku tahu kau hanya duduk disana lalu berdo'a saja." ujar Hyung Soo.

Lee Kwan langsung memelototi sang suami, ia tahu benar sepenting apa Yoonji di Cathedral.

"Besok kita kesana bersama Yoonji, terserah Hyung Soo. Mungkin dia meminta Lucifer segera menjemputnya." ujar Agust ketus.

"Apakah kalian sudah siap? Ah, rasanya aku sudah sangat tua. Baru kemarin melamarkan Lee Kwan untuk Hyung Soo, hari ini harus melamarkan Min Yoora untuk Agust." oceh sang Ayah.

"Setidaknya ayah tidak perlu cepat-cepat melepasku." jawab Yoonji sembari mendekati kedua orang tuanya.

Kedua orang tua itu memeluk erat Yoonji, mereka tahu bahwa perempuan manis ini sedang dirundung banyak masalah. Melihatnya tetap tersenyum dan tidak mau merepotkan membuat kedua orang tuanya memilih bungkam.

"Ayah harus pastikan, laki-laki itu mau membahagiakan putri ayah yang keras kepala ini. Bisa membuat lebih baik anak manja ini, membuat dia hangat dalam setiap tindakannya. Dia juga harus berjanji akan bersedia menghapus air mata sedih dan bahagiamu, ia juga mau memelukmu dalam kondisi suka dan duka." ujar sang Ayah menasehati secara tidak langsung kepada kedua anak laki-lakinya.

"Akan ku pastikan ayah punya menantu yang memenuhi syarat demikian." jawab Yoonji.

Diusaknya surai hitam Yoonji oleh sang Ayah, rasanya nyaman dan Yoonji enggan kehilangan hal itu.

"Ayo, kita berangkat. Lalu kita jemput kakek dan nenek untuk menginap disini." ujar sang ibu.

***

24 Desember

Bagi Yoonji ini adalah hari menyenangkan, ia sangat senang sibuk dengan kegiatannya. Hari ini Min Yoora juga sudah ikut berkumpul, setelahnya mereka pergi ke Cathedral, hanya Yoonji yang tanpa pasangan.

"Yoonji, bolehkan aku minta tolong ambilkan hiasan lampu?" ujar Lee Kwan.

Yoonji bergegas menuju tempat dimana semua barang tahunan tersebut disimpan.

"Apakah ini natal kesekianmu sibuk di gereja?" tanya Agust.

"Aku sibuk jika bisa dekat dengan Tuhan, kau mau apa?" tantang Yoonji.

Agust menghela napas, ia tahu adiknya sedang dalam fase 'mari berpikir untuk berpisah'.

"Kau punya kami Yoon, jangan terbiasa dipikirkan sendiri." ujar Agust tulus.

"Memangnya kalian mau membantu skripsiku?" tanya Yoonji polos.

"Menyesal aku lembut padamu." ujar Agust sarkas lalu meninggalkan adiknya yang memasang wajah lugu.

Menurut Yoonji, Cathedral adalah saksi bisu atas kesakitannya sekian tahun. Maka sudah sewajarnya ia membiarkan diri berkutat sebagai wujud rasa terima kasihnya kepada seluruh pengurus Cathedral. Ingatkan Hyung Soo dan Agust, bahwa karena Yoonji mereka menemukan jodohnya.

"Kak Yoonji." panggil seseorang.

Yoonji yang sedang terburu menoleh, ia melihat Jeon sedikit berlari. Senyum tipis mengembang dari bibir Yoonji, ia paham bahwa bocah itu hanya datang sendiri.

"Sendiri?"

Jeon mengangguk, lalu Yoonji menggandengnya. Mencari tempat duduk yang menurut versinya menyenangkan saat ibadah malam natal.

Jeon menatap Yoonji dengan sorot mata yang tidak biasa di malam ini. Setelah mengikuti serangkaian ibadah malam natal, mereka duduk di kursi yang disediakan panitia acara natal di Cathedral.

"Kak, Jeon boleh bertanya?"

"Tanya apa Jeon?"

"Bagaimana hubungan kakak dan kak Chris?"

Yoonji menghentikan kunyahannya, sendok yang ia gunakan di letakkan dalam mangkuk sup.

"Aku menyebutnya dalam fase kritis, tinggal menunggu keputusan saja. Bisa berakhir selamat atau perpisahan."

"Mama mengundang kak Yoonji besok, aku tidak tahu siapa yang akan diutus menjemput. Semoga bukan kak Chris." ujae Jeon.

"Semoga..." jawab Yoonji lirih.

Sudah pukul 8pm, Yoonji di jemput oleh Chris sendiri. Jika ditanyakan apakah ada kecanggungan saat di mobil tadi? Tentu saja.

"Nah ini, calon menantu di keluarga Park." pamer Christina Ji.

"Selamat malam, saya Yoonji." ujarnya memperkenalkan diri.

"Dia yang aktif di organisasi IPPC?" tanya salah satu sepupu Chris *Ikatan Pemuda Pemudi Cathedral.

Christina mengangguk, ia kenal betul siapa gadis di sebelahnya. Bahkan, anak bungsunya rela pergi jauh ke Cathedral hanya untuk bisa bertemu calon dokter ini.

"Ah, Christian terlampau cerdas memilih wanita. Aku selalu heran dengan keturunan Park Jung Jeon, kenapa dua calon menantunya cantik dan cerdas semua." ujar kakak tertua Park Jung Jeon.

"Berarti anakmu tidak bisa memperbaiki masa depan, buktinya memilih pasangan saja tidak bisa." cibir Christina.

Yoonji yang masih berada diantara mereka perlahan undur diri, bukan ranahnya untuk mendengarkan.

Ketika Yoonji memundurkan tubuhnya perlahan, bahunya langsung disergap seseorang dan membalikkan badannya.

"Ayo, yang lain ada di ruang tengah. Tidak usah mendengarkan dua ipar itu ribut." ujar Chris sembari mengusap pelan lengan atas Yoonji.

Baru berada di pijakan tangga pertama, Jeon langsung menarik tangan Yoonji. Mengajaknya duduk diantara para sepupunya.

"Jeon, harusnya aku tidak disini." bisik Yoonji.

"Tenang kak, Park Christian itu yang meminta. Kau diam disini saja." sahut Jeon ikutan berbisik.

Di barisan kursi yang memang ada di dekat televisi itu, ada Crystal dan Hose yang masih menerima ucapan selamat atas pertunangannya. Memang pertunangan diadakan secara sederhana seperti permintaam Crystal, bagaimana Yoonji bisa tahu? Jelas saja, ia yang kemarin direpotkan secara beruntun untuk acara seperti ini selama satu minggu.

"Ah, ini dia guest star kediaman Park Jung Jeon. Min Yoonji." ujar Hose saat sanak keluarganya sudah asyik dengan hidangan yang tersedia.

Yoonji berdiri dan menghampiri calon pengunjung altar berikutnya ini.

"Selamat kak, ternyata awal mula ponselmu tertinggal juga awal mula hati Hose ini tertinggal di dalam hatimu." ujae Yoonji sembari menggoda.

Crystal tersenyum gemas, ia ingin membungkam semua kejujuran itu. Yoonji adalah saksi bagaimana ia menceritakan semuanya saat mereka bertemu setiap ibadah minggu.

"Yoonji..." rengek Crystal manja sembari memeluknya.

Yoonji sudah seperti adiknya, ia sangat menyayangi gadis itu. Suatu saat memang akan menjadi adiknya, sekalipun dalam ikatan ipar.

"Jangan peluk-peluk kak Yoonji." protes Jeon.

Crystal semakin erat memeluk Yoonji, tidak melepaskan sekalipun Jeon merengek layaknya anak kecil.

"Kalian meributkan Yoonji, sampai tidak sadar jadi perhatian tamu." ujar Park Jung Jeon.

Jeon berhenti merengek tidak jelas, Crystal juga mengendurkan pelukannya. Chris dan Hose hanya mengulum senyum. Maklum saja, sekali bertemu pasti ribut.

"Kapan lagi rumah papa berisik oleh kami, soalnya sebentar lagi pasti berisik karena bayi." ujar Jeon sembari berlalu mengambil cemilan.

Malam semakin larut, obrolan ringan yang tadinya riuh kini hanya menyisakan anak mudanya saja. Chris dan Yoonji memilih duduk di ruang makan bersama Dio. Jika pertanyaannya apakah Yoonji terkejut, tentu saja iya. Ia tidak menyangka orang itu rela datang ke pertunangan Hose dan Crystal. Ruang makan menjadi sedikit mencekam, hawa dingin yang di lontarkan tanpa sadar oleh Yoonji dan ketenangan yang di ciptakan oleh Dio, membuat Christian bergidik ngeri. Ia sangat paham betul apa yang terjadi diantara keduanya.

"Ah, kalian mau ku buatkan cokelat hangat?" tanya Chris.

"Tidak perlu, antarkan aku pulang saja. Besok aku mengikuti ibadah pagi." ujar Yoonji.

Chris mengangguk paham, tidak ada acara pamit basa-basi, mereka langsung meninggalkan ruang makan dan Dio seorang.

"Kau tidak perlu bersikap seperti itu Yoonji." tegur Chris.

"Sikap mana yang sedang kau bahas Chris?"

Chris menghela napas lelah. Cukup dia saja yang dimusuhi oleh Yoonji, jangan Dio dan yang lain.

"Sikapmu mengabaikan Dio, cukup kau musuhi aku saja. Jangan mereka." Ujar Chris.

Yoonji terkekeh pelan, ia enggan menyahuti Chris. Sudah cukup hari ini saja ia diajak debat oleh semua orang, cukup fisiknya, jangan batinnya.

Ketika mobil Chris sudah sampai di depan gerbang rumah Yoonji, sang tuan rumah benar-benar hanya menoleh untuk mengucapkan terima kasih. Tidak ada ajakan mampir dan sebagainya.

"Yoonji..." panggil Chris.

Ada jeda yang cukup lama diantara mereka, Yoonji masih dengan sabar menunggu apa yang ingin diucapkan oleh Chris.

"Istirahat yang cukup, besok sampai bertemu di Cathedral." Tutup Chris.

Yoonji hanya mengangguk tanpa repot-repot mengeluarkan suaranya.

Suara derak gerbang dibuka dan lampu ruang tengah yang menyala, menandakan bahwa Yoonji masih ada yang menunggunya di rumah. Sosok lelaki paruh baya itu, membukakan pintunya untuk Yoonji yang pulang dengan senyum dan memeluknya erat. Tidak ada raut masam seperti beberapa menit lalu di dalam mobil itu, jauh di sudut hati Chris ada rasa ngilu yang menyerangnya. Bukan karena cemburu, tetapi karena rasa bersalah membuat Yoonji dan ayahnya bertarung dengan ego orang lain.

"Maafkan aku." Desis Chris di dalam mobil sembari menatap Yoonji menutup pintu rumah.

Sepagi ini, Jeon sudah berisik di dapur. Ia memilih pergi terlebih dahulu menuju Cathedral daripada menunggu keluarganya yang lain. Rumahnya masih ramai oleh para saudara yang jauh-jauh datang untuk menghadiri acara pertunangan Hose dan Crystal. Chris yang kebetulan sudah rapi menghampiri Jeon yang masih asyik menyesap Banana Milk Chocolate miliknya.

"Kau mau kemana sepagi ini?' tanya Chris.

"Cathedral." Jawab Jeon singkat.

"Oh, pergi bersamaku berarti."

Jeon mengangguk, ia tahu sekali kakaknya akan pergi kesana hari ini. Memisahkan diri dari keluarga sang papa.

Sudah seharusnya bukan ibadah saat hari ini menyenangkan bagi mereka semua, Chris melihat Yoonji dan keluarganya datang. Beruntung keponakan Yoonji juga ikut turut serta, sehingga Jeon ada teman bermainnya.

"Kau datang dengan Jeon? Dio tidak kau ajak?" tanya Yoonji halus.

"Tidak, dia masih punya keluarga di kota lain. Kenapa?" tanya Chris.

"Hanya bertanya."

Seharusnya, ini menjadi perayaan natal yang mengesankan bagi Yoonji. Seharusnya ini menjadi momen istimewa baginya yang jarang berkumpul dengan keluarganya, tetapi semua itu hancur saat tiba-tiba Chris datang dengan Dio dan menggelar pembicaraan pribadi dengan sang ayah. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa khawatir dengan semua pembicaraan mereka. Dari siang hingga malam menjelang, mereka hanya keluar saat ada yang mengajak makan malam saja. Sisanya, berada di ruang kerja ayahnya terdahulu.

"Kalau begitu kami pamit undur diri paman, maaf sudah mengganggu acaranya." Ujar Chris sungkan.

Ayah Yoonji hanya terkekeh, ia tahu benar siapa yang sedang disindir. Sayang, putri tersayangnya sudah pergi sejak sore ketika semua keluarganya sibuk kedatangan sanak saudara. Memenuhi panggilan jiwa katanya.

"Sampaikan maafku pada Yoonji paman, maaf mengganggu acara natalnya." Ujar Dio tidak enak.

"Santai saja, anak itu paling sedang berada di panti asuhan dekat sini. Katanya Santa bertugas berat, maka dia dengan senang hati membuat anak-anak itu bahagia walau sehari." Sahut ibu Yoonji sembari melangkah menghampiri suaminya yang melepas dua anak itu akan pulang.

"Sudah pulang saja, jangan pikirkan Yoonji dahulu. Urusan kalian lebih penting." Ujar ayah Yoonjii.

"Aku pulang." Ujar Yoonji yang langsung masuk ke dalam rumah tanpa berbasa basi.

Chris hanya menghela napas, ia terlalu berani memasuki zona terlarang Yoonji. Ia terlalu berani melangkah tapi lupa bahwa resiko di depan mata.

"Kalau begitu, kami pamit. Terima kasih atas suguhannya." Pamit Chris lalu memasuki mobil.

Ini bulan Maret, tahun baru sudah berlalu , musim dingin akan berakhir dan musim semi akan datang. Hari kelulusan Yoonji sudah di depan mata, pertemuan rahasia antara ayahnya dan Dio juga tidak dapat diketahui Yoonji. Sekalipun ia tahu, maka Yoonji hanya menghela napas pasrah saja.

Hari ini, di malam menuju ulang tahunnya. Angin malam semakin dingin menusuk hingga tulang, Yoonji yang terbangun malam itu mendapati ruangan ayahnya terbuka. Penasaran, ia mengecek ke rak sepatu. Tepat dugaannya, ayahnya pergi menemui Dio sehari sebelum hari ulang tahunnya. Dengan langkah terseok, Yoonji memilih duduk di sofa ruang tengah. Mengirimkan pesan singkat kepada ayahnya untuk segera pulang.

Sementara itu di lain tempat, Dio dan ayah Yoonji sedang berbicara mengenai kelanjutan dari kasus ayah Dio. Adanya saksi mata dan barang bukti membuat Dio berharap akan segera memecah kebuntuan kasus kematian ayahnya yang janggal.

"Maaf paman membuat anda pergi di malam yang dingin seperti ini." Ujar Dio sembari menarik kursi lalu mempersilahkan duduk.

Min Hwangsoo menemui Dio diam-diam tanpa diketahui oleh keluarganya, ia mengajak Dio ke restoran yang dahulu biasa mereka kunjungi saat selesai bekerja.

"Aku senang bertemu denganmu nak. Bagaimana kabar ibu dan kakakmu?'

"Mereka dalam keadaan baik. Terima kasih sebelumnya sudah mau membantuku."

"Ah, ini bukan bantuan. Ini adalah kebenaran, seharusnya aku melaporkannya dahulu sebelum kejadian di Jepang terjadi."

"Jangan menyalahkan diri anda paman, itu sudah takdir dari ayah. Jadi apa yang ingin paman sampaikan?"

"Tolong kamu rekam baik-baik. Aku akan mengatakannya."

Dio mulai merekam semua yang diucapkan oleh Min Hwangsoo, tanpa instrupsi apapun. Bahkan ayah Yoonji mengulang perintahnya untuk merekam.

Obrolan Dio dan ayah Yoonji berlangsung cukup lama, bahkan Cath nyaris tertidur jika tidak karena bunyi ponselnya.

"Perhatikan dari jalan sebelah utara, orang suruhan Min Seok sudah bersiaga di dalam mobil. Skenario terburuk adalah tabrak lari yang sangat tragis." Ujar Ryuga.

Cath mengumpat, sungguh ini skenario terburuk bagi kedua korbannya. Sungguh ia tidak siap melihat raut kesedihan di wajah Yoonji ataupun Chris.

Selesai merekam kesaksian itu, mereka makan bersama dan memutuskan pulang setelah sadar sudah sangat larut.

"Terima kasih paman atas informasinya. Aku pamit, sampaikan salamku pada bibi." Ujar Dio sembari membungkukan badan memberi salam perpisahaan.

"Ya hati-hati. Salam untuk keluargamu."

"Kau akan membutuhkan kesaksian ini, percayalah aku sudah diintai sejak tadi oleh Min Seok. Simpan rekaman ini, karena akan membantumu saat di pengadilan nanti. Ryuga dan Chris akan membantumu sampai berhasil membawa dua bedebah itu di penjara." Ujarnya.

Dio masih terdiam, ia sadar apa yang menyebabkan Yoonji bersikeras melarangnya menemui sang ayah. Jika sampai sesuatu terjadi, maka apa masih ada maaf dari Yoonji untuknya?

"Mari paman, aku antarkan pulang. Tidak apa bukan walau hanya naik bus?" tanya Dio.

"Tidak perlu, kau pulanglah. Aku sedang mempersiapkan kejutan untuk Yoonji yang hari ini ulang tahun. Dia pasti akan senang dengan hadiah nya ini." Ujarnya sembari menunjukka sebuah bungkusan berwarna pink.

"Aku tahu anak perempuanku itu tidak menyukai pink pada umumnya para gadis, tetapi aku percaya jika aku yang memberikannya maka ia akan dengan senyum senang menerimanya." Jelas ayah Yoonji.

Mereka keluar dari restoran, sama-sama menunggu waktu untuk menyebrang menuju halte bus di depan sana. Bahkan Dio sempat meminta maaf karena mengganggunya selama beberapa bulan ke belakang menjelang pesta pernikahan anaknya dan kelulusan Yoonji. Tetapi lelaki itu hanya menepuk bahunya dan berkata tak apa menolong anak dari teman baiknya.

Ketika giliran para penyebrang jalan untuk melangkah, tepat saat Dio akan menyebrang. Tiba-tiba dari arah kanan Dio sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Hwangsoo langsung mendorong tubuh Dio dan menyebabkan dirinya yang tertabrak.

Kecelakaan itu membuat banyak orang terkejut. Mereka langsung bergegas menghubungi ambulans, tidak lama pertolongan medis datang.

Cathrina bergegas pergi keluar dari tempat persembunyiannya saat melihat ayah Yoonji menjadi korban dari kebrutalan anak buah Min Seok, bahkan Key langsung bergegas pergi ke lokasi saat Ryuga mengabarinya. Ryu dan Cath sudah berdiri 10 meter dari lokasi kejadian, mereka sudah menghubungi orang suruhannya masing-masing untuk memburu Min Seok dan orang yang menabrak ayah Yoonji.

"Jangan menghubungi siapapun keluarga Yoonji, biar polisi saja." Ujar Ryuga.

Cath langsung memasukkan kembali ponselnya dalam kantung mantelnya, dia melihat Dio menangis saat mengetahui ayah Yoonji kritis dan berakhir melihat Dio masuk ke dalam ambulans. Polisi masih melakukan olah TKP dan beberapa orang ditanyai untuk keperluan laporan.

Yoonji yang bersiap akan tidur kembali dikagetkan oleh panggilan dari nomor sang ayah.

"Dengan Min Yoonji?" sapa seseorang diseberang sana.

"Ya benar, maaf dengan siapa saya berbicara?"

"Kami dari pihak rumah sakit, ingin memberitahukan bahwa ayah anda mengalami kecelakaan dan sekarang kondisinya dalam keadaan kritis."

Yoonji terdiam, dengan cepat ia mengganti pakaiannya dan langsung pergi menggunakan sepeda motor milik Agust. Sepanjang perjalanan, pikiran Yoonji berkelana tidak karuan. Ia harus tenang, salah-salah dia juga bisa masuk rumah sakit karena tidak konsentrasi.

Yoonji berjalan tergesa di lorong rumah sakit, menanyai perawat mengenai korban tabrak lari yang baru saja terjadi di dekat pusat kota. Dengan bergegas, ia diarahkan menuju ruang IGD tempat sang ayah sekarang berbaring. Membuka tirai pembatas, alat-alat terpasang pada tubuhnya, grafik pada Electrocardiogram juga masih setia mengiringi dengan bunyi yang memilukan bagi telinga Yoonji. Tepat saat ia masih berdiri terdiam, sang ayah sadar.

"Yoonji... Putri ayah." Panggilnya lirih.

"Ayah siapa yang melakukan ini? Katakan pada Yoonji..."

Sang ayah menghela napas pelan, ia berusaha meraih tangan putri semata wayangnya. Anak kebanggannya yang akan resmi lulus dari fakultas kedokterannya.

"Ayah... Hari ini aku berulang tahun, apa kau tidak ingin merayakan bersamaku?" bisik Yoonji.

"Kau tidak boleh menangis sayang, ayah akan baik-baik saja. Dan selamat ulang tahun anakku, tetaplah menjadi pribadi yang cantik. Ayah memiliki hadiah untukmu, semoga saja masih disimpan oleh polisi ya, karena saat ayah sadar hanya diri ayah saja yang disini." Ujarnya sembari mengusak pelan punggung tangan sang anak.

"Ayah menemuinya lagi bukan?" tanya Yoonji.

Dengan susah payah, ayahnya berbicara pada Yoonji.

"Untuk yang terakhir, ayah berjanji ini yang terakhir lalu kita bisa hidup tenang. Dan ayah minta kepadamu, jangan membenci, dendam dan marah pada siapapun yang terlibah hal ini. Maafkan mereka, jika masih susah kau harus meminta Tuhan melapangkan hatimu. Ayah sangat menyayangimu. Bisa kau panggilkan dokter?"

"Yoonji juga sangat menyayangi ayah." Jawab Yoonji penuh haru.

Tangannya menekan tombol darurat yang terletak di dinding, sembari menunggu perawat dan dokter datang mereka berbagi kisah dan tawa. Seakan ini momen langka bagi merka berdua, saling berpegang erat tangan seakan esok mereka akan berpisah. Saling berbagi kekuatan seakan esok mereka menjadi rapuh.

Ketika dokter dan perawat datang, Yoonji dipersilahkan menunggu di luar. Takdir yang pernah dia katakan akan ia terima, kini datang di depan matanya. Tepat saat Yoonji diizinkan masuk kembali menemani sang ayah dan berjanji segera menjadi dokter, maka saat itu juga grafik pada electrocardiogram menunjukkan garis lurus yang selurus dengan kesedihan Yoonji, sang ayah menghembuskan nafas terakhirnya dengan damai. Genggaman tangannya melemah, tangan kirinya yang bebas menekan tombol darurat berulang kali agar perawat segera datang. Tubuhnya luruh bersama dengan isakan kecil yang mengiringi kepergian sang ayah.

Yoonji diminta menunggu di luar. Dokter masih harus memastikan kondisi ayahnya. Ia duduk di kursi tunggu dan langsung melakukan panggilan cepat kepada Agust, hanya satu orang itu saja yang terlintas di pikirannya saat ini.

"Temui aku di rumah sakit dekat kantor ayah dahulu, aku benar-benar membutuhkanmu." Bisik Yoonji.

Di tengah malam yang dingin seperti ini, jantung dan hatinya bagai ditusuk ribuan jarum saat menyadari bahwa tadi percakapannya dengan sang ayah nyang terakhir.

Agust datang bersama Chris dan Cath, entah bagaimana ceritanya mereka bisa bersama-sama datang ke rumah sakit. Chris bergegas masuk ke dalam IGD dan menemukan Dio yang sudah sadar, di balik tirai pembatas, ia tahu siapa orang itu. Yoonji sudah duduk tanpa tenaga di ruang tunggu IGD, tatapan matanya kosong. Dokter keluar dari ruang IGD, dengan sangat prihatin menyampaikan kabar duka tersebut kepada Yoonji.

"Ayahku masih hidup dokter. Pacu kembali jantungnya, aku yakin ia masih hidup." Jerit Yoonji.

"Maaf nona, kami suda berusaha sekuat tenaga. Namun tuan Min Hwangsoo kami nyatakan meninggal dunia pukul dua pagi."

Tubuh Yoonji meluruh dalam dekapan Agust, setelah dokter menyatakan bahwa ayah Yoonji sudah tiada, baik Yoonji dan Agust diikuti Cath menuju bankar sang ayah. Sosok kebanggannya kini terbujur kaku, tubuhnya sudah tertutup selimut hingga puncak kepala. Dengan tertatih Chris membantu Dio menghampiri Yoonji dan Agust. Cath menjaga jarak dengan mereka, ia tahu Yoonji yang dihadapannya sudah berada di titik lemah.

Dalam lamunan Yoonji, ayahnya yang kemarin memintanya untuk segera di wisuda. Dan tadi ayahnya juga meminta agar mengubur rasa luka, sakit dan dendamnya kepada semua yang terlibat dengan menjadi penyebab kematian sang ayah.

Aku tidak akan mudah melupakan ini. Batin Yoonji.

Dengan sisa tenaga, Agust membawa Yoonji menuju kamar jenazah. Agust berusaha tegar saat menghubungi keluarganya. Yoonji sudah seperti hilang arah, air mata tidak berhenti mengalir dari matanya tanpa dia sadari.

Yoonji yang kini lebih banyak melamun dibanding biasanya. Lupakan raut sedih, ia lebih mengenaskan daripada menangis meraung tidak terima takdir.

"Kau belum makan apapun, bahkan roti yang sejak aku tiba saja tidak kau makan Yoon." Ujar Cath prihatin.

"Yoonji, relakan ayah. Jangan seperti ini, jangan membuat jalan ayah sulit menuju surga." Ujar Agust sembari mengusap surai hitam Yoonji.

Bagi Yoonji ini hal yang buruk baginya.

"Bantu aku mencari rumah duka Cath, besok aku mau ayah dimakamkan juga." Ujar Yoonji yang didengar juga oleh Agust.

Cathrina menoleh pada Agust, dan ia mengangguk. Paham apa tugasnya, ia bergegas pergi mencari rumah duka terdekat.

Kabar meninggalnya Min Hwangsoo menyebar cepat di lingkungan pertemanan mereka. Apalagi sudah ada informasi bahwa jasadnya hanya akan disemayamkan sehari saja di rumah duka. Dio yang menjadi orang terakhir bertemu dengannya menjadi sangat terpukul. Terlebih pelaku penabrakan sudah ditahan dan menyebutkan nama dari paman Freya.

"Yoonji, aku turut berduka atas kejadian ayahmu." Ujar Dio.

"Sudah puas mencarinya? Ini kah yang kau mau?" tanya Yoonji dingin.

"Yoonji, apakah sopan bertanya seperti itu?" tanya Christian lembut.

"Tentu sopan, karena aku melihat temanmu baru saja keluar dari IGD tadi dan langsung ditanyai oleh petugas. Benar begitu tuan Do Dio Kyungsoo yang terhormat?" tanya Yoonji penuh penekanan.

Semua yang hadir terdiam, Dio hanya mampu menunduk, menyesali keputusannya beberapa jam lalu.

"Aku selalu melarang kalian bukan tanpa alasan. Apa aku salah melindungi keluargaku dari penjahat tidak tahu ini dan itu?" racau Yoonji terisak lirih.

Dengan lesu Yoonji beranjak pergi meninggalkan tamu. Ia pergi keluar, Chris mengikuti tetapi sayang Yoonji langsung melarangnya.

"Berhenti dan masuklah, aku tidak percaya pada kalian." Ujar Yoonji.

Christian berhenti melangkah, secara tidak langsung Yoonji mengatakan bahwa mereka juga punya andil membuat sang ayah meninggal.

Pagi menjelang, kolega Min Hwangsoo dan Min Young Dae datang melayat. Termasuk Freya yang baru tiba langsung menuju rumah duka. Jean David Dupont, Veronica Dupont dan Freya ada di dalam ruang yang sama dengan Yoonji. Freya yang melihat Yoonji menghampirinya, tetapi Chris menghalanginya terlebih dahulu.

"Izinkan aku kali ini saja, Chris. Aku juga tidak ingin menambah lukanya," kata Freya.

"Ia meminta kami menjauhinya. Dan lucunya kisah kami berakhir di depan peti mati ayahnya," jelas Chris lirih.

Freya terkejut dengan jawaban Chris, ia tidak menduga kasus ini sangat mempengaruhi kehidupan Yoonji.

"Aku hanya ingin bicara sebentar dan minta maaf, meski aku tahu itu tidak berguna." Ujar Freya.

"Bukan salahmu, Yoonji ternyata benar-benar harus mengalami lagi setelah dulu ayahku dahulu di teror hal yang sama." Sahut Agust.

"Maksudmu?" tanya Freya.

"Ayahku pernah koma dan hanya Yoonji yang tahu bagaimana kacaunya hidup ibu. Hanya dia saksi kesakitan ibu. Jadi aku mohon, beri dia waktu menerima. Hatinya sangat hancur."

Baik Freya maupun Chris mengangguk paham. Benar, ini berat bagi Yoonji.

Sesuai dengan permintaan Yoonji, sore ini sang ayah harus segera dimakamkan. Ia tidak ingin berlarut dalam duka, ia harus segera mengemasi hatinya yang hancur. Ia harus bergegas mewujudkan impian ayahnya.

Upacara pemakaman berjalan dengan sangat khidmat, orang-orang yang mengiringi mendiang ke peristirahatan terakhirnya rata-rata adalah mereka yang sangat mengenalnya dan juga orang-orang yang tahu siapa Yoonji. Cathedral sendiri mengutus satu pemuka agamanya untuk upacara pemakaman tersebut, Tuhan bermurah hati atas kesedihan dan kedukaan Yoonji.

Dalam aura gelap dan isak tangis, Yoonji memutuskan membisu. Lidahnya terlalu kelu menuntut keadilan kepada manusia, hatinya sudah tercabik melihat tersangka utama kematian banyak orang disekitarnya. Batinnya mengutuk mereka agar dikirim ke neraka paling dasar tanpa pernah mencium aroma surga.

Papan nisan sementara itu kini tertancap dengan pasti, nama Min Hwangsoo tertulis jelas disana. Menyadarkan Yoonji bahwa kini sang ayah benar-benar sudah tidak akan pernah ia lihat lagi senyumnya.

Pelayat sudah mulai berhamburan pulang, hanya tersisa Yoonji yang masih berdiri terpaku menatap nisan sang ayah. Yang lainnya memutuskan menunggu Yoonji di pinggir jalan setapak.

"Akan ku pastikan mereka menerima balasannya, ayah." Gumam Yoonji.

Pada akhirnya, yang memutuskan diam dan tidak beraksi apapun akan kalah disaat ia sadar tidak memiliki sandaran. Yoonji mengaku kalah saat rasa amarah dan kehilangannya berbaur, tangisnya pecah dan hujan gerimis mengiringi tangisnya.

Jeon memilihi menghampiri Yoonji dengan menyodorkan payung. Sayangnya, yang ia dapat adalah usiran.

"Pulang saja Jeon, aku masih ingin disini. Aku ingin berbincang dengan malaikat dahulu. Mempertanyakan neraka mana yang pantas bagi mereka." Racau Yoonji lirih.

Jeon menoleh ke arah rombongan yang mulai resah karena Yoonji tak mau mengalah dan hujan tak mau reda.

"Katakan kepada mereka, pulang saja. Aku bisa pulang sendiri." Ucap Yoonji final.

Cath memutuskan menghampiri Yoonji, ditariknya kasar sahabatnya. Ia juga kehilangan, tetapi sungguh ia lebih tidak menyangka Yoonji akan lebih jatuh seperti ini.

"Bangun, katakan pada Lucifer untuk menjemput mereka malam ini. Aku tidak sudi sahabatku harus menanggung sakit seperti ini sepanjang hidupnya." Teriak Cath.

"Polisi sudah menangkap mereka kak, keluarga kak Ryuga melaporkan mereka. Apa ada lagi yang kau inginkan?" tanya Jeon.

"Aku ingin pergi dari kehidupan kalian, melupakan semuanya." Jawab Yoonji.

Cath dan Jeon menegang, berharap bukan bunuh diri jawabannya.

"Aku tidak sebodoh itu mengakhiri hidup. Kalian pulanglah, aku masih ingin disini. Katakan kepada mereka bahwa aku bisa pulang sendiri. Dan terima kasih payungnya." Jelas Yoonji lalu tersenyum.

Jeon memberikan payung dan jasnya. Ia tahu, Chris benar-benar di blokade oleh Yoonji. Maka hanya dengan cara inilah ia bisa membuat Chris tenang.

"Nah Jeon, bisa kau tinggalkan kami berdua?" tanya Cath.

Jeon mengangguk. Melangkah meninggalkan mereka berdua, setidaknya ia tidak terlalu khawatir jika Cath yang berbicara dengan Yoonji.

"Ini kunci apartemenku, aku tahu kau sudah tidak nyaman masih menumpang dengan kakakmu yang sudah menikah. Kata papa, ini hanya hadiah kecil untuk kesabaranmu yang luar biasa. Jangan lupa makan, jaga kesehatan. Jika ada apa-apa hubungi aku." Ujar Cath sembari memberikan satu pouch yang berisi keycard apartemen dan kunci mobilnya.

"Maaf aku merepotkanmu." Sesal Yoonji.

"Tidak pernah ada kata merepotkan kalau itu berurusan denganmu. Nah, silahkan dilanjutkan berbincang dengan ayahmu. Aku dan yang lain akan pulang, ingat kau menggunakan mobil warna hitam itu." jelas Cath.

Yoonji mengangguk. Ia memilih tidak menatap punggung Cath ketika kembali ke rombongan. Memilih memperlihatkan punggungnya kepada mereka.

"Akan ku pastikan jam lima nanti Yoonji sudah tidak ada disini." Ujar Agust.

Mereka akhirnya memilih pergi meninggalkan Yoonji.

Kehidupannya berjalan seperti biasa, hanya saja rasa kehilangan itu masih terasa. Hari -hari Yoonji terasa sangat kosong. Ia kini sedang duduk di kamarnya, Yoonji sudah lupa bagaimana rasanya tidur nyenyak, sudah lupa bagaimana enaknya masakan sang ibu dan sudah lupa bagaimana agar tidak tertekan. Jauh di dalam hatinya, ia masih meminta Tuhan membalas segala kesakitannya. Tanpa keluarganya tahu, Yoonji sudah dua minggu ini mengkonsumsi obat anti depresan. Terlalu lelah dalam pikir nya membuatnya tidak bisa menikmati hidup dengan semestinya.

Terdengar suara ketukan pintu, Yoonji berjalan menghampiri. Sayang ketika tangannya hendak menggapai kenop, tubuhnya lebih dahulu ambruk.

"Yoonji, ayo kita makan malam. Ibu sudah memasakkan makanan kesukaanmu." Panggil Agust dari luar.

Merasa ada yang janggal, ia membuka kamar sang adik. Menemukan tubuh Yoonji tidak sadarkan diri membuat Agust reflek menggotongnya menuju mobil, mengacuhkan teriakan panik penghuni rumah yang saat itu sedang berkumpul.

Terpaksa membawa mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, Agust harus segera sampai di rumah sakit. Khawatir jika adiknya baru saja melakukan upaya bunuh diri. Bergegas membuka pintu saat sudah sampai di depan rumah sakit, menggotong adiknya ke ruang IGD agar segera di tangani. Dan kini tubunya duduk lemas menanti hasil pemeriksaan tersebut, dering ponsel membuatnya sadar bahwa orang rumahnya menunggu kabar.

"Oh, ibu. Yoonji pingsan, tetapi dokter belum memberikan hasil pemeriksaan. Minta antarakan kakak menuju ke rumah sakit disebelah Timur." Ujar Agust.

Menghela napas lelah, ia berdo'a semoga saja bukan karena hasil tindakan percobaan bunuh diri.

"Apakah anda wali dari nona Yooonji?" tanya sang dokter.

Agust mengangguk, raut paniknya sangat kentara. Peluh benar-benar sudah tidak ia pedulikan, hanya keselamatan adiknya yang ada di kepala.

"Mari ke ruangan, saya akan jelaskan penyebab nona Yoonji pingsan."

Tepat di ruangan sang dokter, penjelasan terkait pingsannya Yoonji sesungguhnya membuat Agust terkejut. Penjelasan bahwa Yoonji mengalami stres berlebih, kurangnya istirahat dan tidak cukupnya gizi membuat tubuhnya beraksi begitu keras. Apalagi di temukan adanya indikasi bahwa Yoonji mengkonsumsi obat anti depresan yang masih dalam batas aman. Lagi, dalam pikiran Agust ia terlalu lalai memperhatikan kondisi sang adik pasca kematian sang ayah. Ada rasa bersalah yang sangat kontras diatas kebahagiaanya bersama Yoora.

"Saya menyarankan agar nona Yoonji menjalani perawatan intensif selama beberapa hari, karena kami khawatir jika dia akan kembali tidak memperhatikan asupan gizi dan waktu istirahatnya." Jelas sang dokter.

Agust menyetujui hal tersebut, adiknya lebih baik tidak dalam lingkungan yang semakin membuatnya tertekan. Setelah sang ibu datang bersama kakaknya, ia mengatakan apa yang terjadi pada sang adik. Dan disinilah ia, menemani sang ibu yang dengan keras kepalanya ingin menunggu Yoonji sadar. Seluruh keluarganya terkejut, tidak menduga jika Yoonji tidak seperti perkiraan mereka. Kabar ini juga sudah terdengar sampai ke telinga Chris, ia meminta izin pada Agust agar besok diizinkan menunggu Yoonji. Ia harus segera meluruskan segala masalah ini dengan Yoonji.

Sudah satu bulan berlalu dan kasus yang bertahun lamanya tersebut akhirnya diadili. Yoonji masih disini, menatap gamang televisi yang menayangkan headline news yang berisi tentang sidang kasus korupsi dan pembunuhan tersebut. Ia bisa melihat Dio, Chris, Cath dan yang lainnya mengawal kasus ini. Sang kakak menjadi salah satu tim pengacara Dio, Cath memilih menjadi saksi yang memiliki alat bukti atas kejahatan Kang In dan Kim MinSeok. Yoonji terpaksa tidak bisa ikut karena mama Chris memintanya menemani di rumah bersama cucu barunya.

Status hubungan Yoonji dan Christian juga sudah kembali, hanya saja butuh usaha keras bagi Chris mengembalikan segala kepercayaan Yoonji.

"Mama percaya Tuhan adil akan kasus ini, dan mama percaya kamu lebih kuat dari apa yang kami pikirkan." Ujar mama Chris.

Yoonji hanya tersenyum kecil, separuh hatinya yang mati sejak kematian ayahnya membuat ia menjadi lebih dingin. Tidak ada yang menyalahkan satu sama lain, sikap Yoonji sekarang adalah wujud dari pertahanan dirinya.

"Mama tahu, anak mama yang satu itu terlalu berani. Tetapi mama percaya, dia tidak pernah mau membuat siapapun terluka. Dan asal kau tahu Yoonji, kau adalah orang pertama yang membuat dia menangis karena merasa menyesal bertindak gegabah."

Yoonji memilih diam, ia merasa itu semua sia-sia saja. Jadi sudah seharusnya dalam pernintaan terakhir sang ayah, ia harus bisa memaafkan. Urusan memberikan kepercayaan, biarkan itu menjadi urusannya sendiri.

Satu tahun lamanya kepolisian harus mengurus kasus milik Kang In dan Kim Minseok, bukti dari pembunuhan dan tindakan korupsi sudah banyak didapatkan. Dibantu Dio yang memutuskan memilih kakak Yoonji menjadi pengacaranya, maka disinilah mereka semua termasuk Yoonji yang memilih menukar jadwal liburnya minggu lalu untuk persidangan ini. Pengadilan memberikan hukuman mati bagi Kang In dan Kim Minseok, sedangkan anak buahnya yang lain dipenjara seumur hidup. Setidaknya itulah ukuran setimpal di duniawi, Yoonji hanya diam saat mendengar putusan tersebut. Memilih pergi setelah mendengar yang sudah lama ia nantikan, setidaknya ia tidak perlu repot-repot mengotori tangannya untuk mengantar dua penjahat itu ke neraka.

"Kau mau kemana?" cekal Chris saat melihat Yoonji melangkahkan kaki menuju luar gedung.

"Menemui ayah tentu saja, memangnya kemana lagi?"

"Aku antarkan."

"Tidak perlu, aku akan lama disana. Kalau kau berkenan menjemput, nanti jam tiga sore." Ujar Yoonji sembari melepaskan cekalan tangannya.

"Baiklah, hubungi aku jika sudah mau pulang. Ok." Titah Chris lalu mengusak surai Yoonji lalu memeluknya.

"Hati-hati." Bisiknya.

Yoonji mengangguk, bergegas pergi dari gedung persidangan. Memilih menaiki kendaraan umum ketimbang menggunakan taksi.

***

Ayah, hari ini tepat di hari lahirmu dahulu. Tuhan mengabulkan sedikit harapku. Ia memberikan hukuman yang setimpal bagi dua manusia biadab itu, yang menghabisi kalian.

Ayah, aku tidak menyesali takdir. Aku sudah menerima semuanya, aku tidak marah ataupun dendam kepada mereka. Aku sudah kembali aktif di Cathedral, aku sudah sibuk di rumah sakit, lalu sebentar lagi aku akan mejadi dokter. Lalu kau ingin aku menjadi orang yang lebih kuat bukan? Maka kau sudah berhasil mengajarkanku. Aku akan menjadi dokter yang lebih tangguh, tidak mudah menangis jika ada hal yang membuat luka lamaku terputar kembali setiap menangangi pasien.

Ah iya, kau mendapatkan salam dari dua cucumu. Hahaha, aku merasa bahagia, mereka layaknya hadiah penyembuh saat aku benar-benar berada di sisi terbawah hidup.

Tuhan, aku titip ayah. Aku berjanji akan selalu menghantarkan do'a terbaikku yang pernah diajarkannya dahulu.

"Sudah selesai?" tanya Chris.

Yoonji mengangguk, lalu pergi meninggalkan rumah sang ayah. Tempat yang menyimpan kedamaian baginya dikala keriuh hiruk pikuknya hidup membuatnya muak. Maka kini, ia memiliki kembali tempat bersandarnya. Walau harus menghadapi jalan berliku dan jurang terterjal yang pernah ia temui.

"Terima kasih." Ucap Yoonji lirih.

"Terima kasih telah percaya lagi, aku yang merasa beruntung." Jawab Chris.

Menautkan tangan dan berjalan beriringan, senja dan puncak bukit menjadi saksi bahwa kematian juga bisa membawamu pada titik kesadaran masih ada yang rela menunggu walau tidak sebentar.

***END***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro