8 - Secret Red Thread

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

C H R I S T I A N

Hari ini aku memilki janji dengan seorang untuk mencari informasi tentang Ayah Dio. Tanpa sepengetahuan siapapun termasuk Yoonji dan bang Hose, padahal hari ini juga janji akan menjemput Yoonji di toko buku, semoga saja aku bisa menjemput tepat waktu.

"Maaf membuatmu menunggu," ujarku saat menarik kursi.

Lelaki itu hanya mengangguk sembari menyeruput cappuccino-nya. Tangannya mengambil sebuah dokumen, sesuai dengan pesananku semalam. Orang tersebut adalah kenalan sang Papa yang kemarin juga membantunya mencarikan berita terkait kasus yang sedang diselidiki Dio, Aku mengenal baik kolega sang Papa. Mengingat aku yang sering kali digadang-gadang menjadi penerus sang Papa, bang Hose kebetulan hanya berminat bermain di belakang layar dan Jeon menyatakan diri masih perlu bimbingan.

"Bagaimana pendidikanmu Chris? Sepertinya kau menikmati menjadi dokter."

"Sangat membahagiakan paman, tahun depan adalah pendidikan praktikumku di rumah sakit. Tenang saja, aku akan menyusul Jeon untuk mengambil pendidikan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang harus ku kuasai selain menjadi dokter."

"Aku bangga padamu, setidaknya saat ini ada kepastian aku esok akan bekerja kepada siapa. Ternyata anak ini yang akan ku awasi kemudian. Hahahahahaha..."

Aku hanya tersenyum, paman ini adalah satu-satunya akses aku menemukan informasi yang tidak seharusnya Dio ketahui secara detail. Paman menyodorkan salah satu nama yang harus aku tanyakan terkait kasus ini. Dia adalah satu-satunya saksi untuk kasus ini yang mungkin menjadi benang merah kematian Ayah Dio.

"Nak, kau temui orang ini. Hanya ia yang bisa membantu temanmu menyeret si keparat tikus itu ke penjara dengan pasal berlapis. Aku mau kau dan temanmu menuntaskan ini, tetapi kau harus hati-hati untuk menemui orang ini. Ada satu anaknya yang masih waspada karena tahu hanya Ayahnya yang bisa bersaksi atas kasus itu. Aku yakin kau bisa," ujarnya sembari menyodorkan selembar kertas berisi nama yang ia masuk.

Aku mengambil kertas tersebut, membaca nama itu dengan saksama. Min Hwangsoo, mantan wartawan yang memilih resign sebulan setelah kasus kematian Ayah Dio. Dan dia tinggal di... Tunggu, bukankan ini alamat rumah Yoonji?

"Baiklah, aku pamit. Sampaikan salamku pada Papamu ya. Lekas jadi dokter agar aku bangga menceritakanmu ke anak-anakku." Pamitnya.

Aku mengangguk dan menyalaminya, sungguh kejutan dari selembar kertas mungil ini. Astaga, tidak mungkin menanyakan hal ini pada Yoonji, mengingat dia adalah orang yang paling menentang aku ikut campur dengan urusan Dio yang satu ini.

***

Kali ini aku tidak terlambat menjemput Yoonji, tempat pindah dari yang sebelumnya meminta di jemput di toko buku ternyata minta jemput di kafe langganannya. Aku bergegas masuk dan menghampiri Yoonji yang terlihat melamun. Dengan perlahan aku menyentuh bahunya, tujuannya agar ia tidak terkejut.

"Kau sedang melamun nona?"

Yoonji menoleh dan hanya tersenyum tipis, raut wajahnya jelas terlihat gelisah. Sungguh aku seperti orang bodoh jika melihat ia gusar seperti ini, tetapi aku tidak bisa mengerti apa yang dia rasakan.

"Ayo kita pulang, nanti kau bisa kemalaman sampai rumah," ujarku sembari menggandeng pergelangan tangannya.

"Chris, boleh aku meminta sesuatu?" tanyanya pelan.

"Tentu saja boleh, kau mau minta apa?" tanyaku.

"Pergi ke taman? Boleh?"

Aku mengangguk, lalu membuka pintu mobil untuk Yoonji. Raut wajahnya sedikit ceria, dia sepertinya memendam masalah sendirian lagi. Aku bergegas menjalankan mobil saat sudah duduk di kursi pengemudi.

Sore ini senja sedang tidak mau menampakkan rona jingganya kepada kami, cenderung mendung untuk ukuran sore hari yang siangnya sangat terik.

"Are you okay?" tanyaku saat menyerahkan strawberry float.

Dia menggeleng pelan, berulang kali menghembuskan napas yang terasa berat. Tatapan matanya menerawang jauh, sebenarnya dia sedang kenapa? Apakah beban kuliah memberatkannya?

"Kau mau bercerita?" tanyaku hati-hati.

"Aku sedang memikirkan salah satu dari skenario terburuk dalam hidupku," jawab Yoonji pasrah.

Aku mengusap punggung tangannya perlahan, memberikan ketenangan agar ia bisa lepas menceritakan beban yang membuat bahunya lesu dan mengubah raut wajahnya yang murung menjadi ceria - tentu jika hanya di depanku.

"Apa memang skenario buruknya? Kau batal menjadi dokter?" tanyaku.

Yoonji menggeleng, menoleh dan menatapku tajam.

"Kehilangan Ayah hanya karena rasa penasaran yang harusnya sudah berlalu."

Aku berusaha tidak terlihat kaget, sepertinya ia baru saja ditemui seseorang yang membahas hal yang aku juga belum tahu apakah benar seperti yang dikatakan oleh paman detektif.

"Kau tahu Chris, orang-orang seperti mereka hanya bisa memilih egonya. Tidak mempedulikan hati nurani mereka. Aku curiga, dia memesan tiket eksklusif menuju neraka," ujar Yoonji sarkastik.

"Memang siapa yang menjual tiket eksklusifnya? Di mana-mana manusia itu mengharapkan tiket eksklusif menuju surga sayang, bukan neraka."

"Huh, kata siapa? Justru merekalah yang serakah terhadap tiket surga tetapi tertipu daya hingga bangga mendapatkan tiket neraka."

Baiklah, sepertinya dia sedang kesal dengan orang tersebut. Mengerikan juga jika sudah membahas surga dan neraka, aku sadar diri tidak taat pada Tuhan.

"Baiklah, bagaimana kalau besok kita ibadah bersama? Sepertinya aku takut mendapatkan tiket neraka," ujarku mengalihkan.

"Hahaha, ternyata kau memang harus sering ku jejali buku tentang Tuhan tuan. Baiklah, besok pagi di Cathedral church, aku tahu kau jarang datang," ujar Yoonji.

Aku? Jelas saja hanya mampu tertawa tipis. Sungguh memalukan ketahuan memilih tidur daripada ibadah di minggu pagi.

***

Kami sampai rumah setelah lewat jam makan malam, aku mengantarkan Yoonji sampai depan gerbang. Iya, hari ini Yoonji memilih pulang ke rumah. Bosan berada di apartemen terus saat mendapat libur, sayangnya aku tidak bisa pulang ke rumah karena Mama dan Papa sedang bulan madu untuk kesekian kalinya. Poor you Chris...

"Kau tidak mau mampir dahulu?" tanya Yoonji.

"Tidak, Jeon kan sedang menginap di sana. Kau tahu sendiri bang Hose sedang sibuk menjelang semester akhir," jawabku.

Yoonji mengangguk paham, ia pamit dan masuk kedalam rumah. Aku terbiasa memastikan ia masuk rumah dahulu baru pergi, tetapi belum ada lima menit Yoonji membuka pintu rumahnya, ia berlari ketakutan kembali ke halaman. Wajahnya terlihat panik dan takut.

"Chris..." panggilnya gemetar.

Aku langsung membuka pagar dengan tergesa, di dalam sana seorang lelaki berteriak histeris, berbagai racauan ia lontarkan. Aku lekas membantu menenangkan laki-laki tersebut, Ibu Yoonji menangis melihatnya, sepertinya ini Ayah Yoonji. Jujur saja aku belum pernah bertemu beliau, Yoonji yang melarangnya.

Setelah sedikit tenang, aku membantunya masuk ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Ku lihat ada luka serius di dahi dan tangannya. Yoonji mendadak membisu, sedangkan sang Ibu terisak was-was. Ku sodorkan ponsel kepada Yoonji, tetapi malah menolak ponsel yang ku sodorkan.

"Aku biasa menghadapi ini sendiri dengan Ibu, jangan katakan apapun pada Agust."

Aku mengangguk paham, cukup menarik sebenarnya kenapa ia menyembunyikan keadaan sang Ayah dari Kakaknya.

Sang Ayah telah mendapatkan ruang inap, tetapi aku tidak menemukan Yoonji duduk di kursi yang tadi. Ia pergi ke mana?

"Chris, boleh bibi bicara sebentar?" tanya Ibu Yoonji lalu beranjak keluar.

Aku mengangguk dan duduk di kursi tunggu, bersabar menunggu apa yang akan dikatakan olehnya.

"Yoonji menghindarimu akhir-akhir ini?"

Aku diam sejenak, mengingat-ingat apakah sikap Yoonji berubah. Sayangnya, aku tidak menemukan bahwa ia sedang menghindariku. Atau aku yang kurang peka.

"Dia tahu kau sedang membantu temanmu, orang yang kau cari memang Ayah. Dari awal Yoonji benar-benar muak dengan keadaan sekarang, semua orang mencari tahu Ayahnya. Dia paling benci melihat Ayahnya kesakitan seperti tadi, dan yang kau lihat tadi tidak salah. Kami terbiasa menghadapi ini berdua saja, jadi bibi mohon kunci rahasia ini rapat-rapat. Bibi tidak mau kau menanggung risiko dari kecewanya Yoonji."

Aku bingung, sebenarnya ini informasi bagus. Tetapi kenapa justru halang rintangnya datang dari Yoonji sendiri. Dan juga kenapa harus Ayahnya? Kenapa bukan orang lain yang akan mudah aku cari tahu tanpa rasa canggung.

"Biasanya Yoonji adadi kafetaria, segelas kopi tidak akan menenangkan emosinya. Hampiri dia," ujar Ibu Yoonji lalu masuk ke ruang rawat.

Aku bergegas ke kafetaria, ya Yoonji sedang menyesap kopi hitam. Terlihat jelas ia sedang memikirkan sesuatu yang berat dan membuatnya risau. Sungguh aku menahan diri untuk tidak menanyakan kebenaran cerita dari Ibunya, tetapi ini sangat menggangguku yang memang sedang membantu Dio memecahkan kasus kematian tidak wajar sang Ayah.

"Yoonji," panggilku sedikit ragu.

"Apa yang ingin kau tanyakan Chris? Ayahku? Rahasia selama ini atau apa?" tanya Yoonji bertubi-tubi.

Aku menarik kursi, memilih duduk berseberangan dengannya. Berharap atensinya berpindah kepadaku walau semenit. Sayangnya, mata itu seperti muak melihatku dan wajahnya memiliki perintah dari otaknya untuk tidak menoleh kepadaku yang duduk di seberangnya.

"Kau yakin aku boleh bertanya?" tanyaku memastikan dan hati-hati.

"Tanyakan jika itu bisa membuatmu nyenyak tidur di kemudian hari," jawab Yoonji datar.

Aku meraih telapak tangan Yoonji, menggenggamnya dan merasakan tangan dingin itu.

"Lihat aku Yoon," ujarku.

Yoonji mengalihkan atensinya dari lampu taman yang memang terhias indah di kafetaria. Sorot matanya terluka dan kecewa, apakah aku baru saja mencederai kepercayaannya?

"Aku tidak akan menanyakannya jika itu membuatmu tidak nyaman dan malah membuat kau menjaga jarak. Tidak akan ku tanyakan dan kau tidak perlu bercerita jika kau belum siap. Sekalipun sampai kau mati tidak pernah siap, aku tidak akan menanyakannya."

"Siapa yang menjamin? Aku sangat tidak percaya pada mereka yang pernah terang-terang menikamku, aku tahu dalam pikiranmu yang cerdas itu sebenarnya sedang menyusun segala cara agar bisa bertanya langsung pada Ayah," jelas Yoonji menahan emosinya dan menarik tangannya yang masih ku genggam.

Demi Tuhan, jika ia memang tidak menghendaki aku mencari tahunya maka aku tidak akan mencari tahunya. Jika pada akhirnya justru aku harus kehilangan Yoonji, maka lebih baik semesta yang membantu Dio.

"Jangan kau pikir aku tidak tahu Chris, kau sedang mencari tahu Ayahku. Jangan bawa-bawa keluargaku ke dalam masalah yang bagi kami, ah bukan, bagiku itu adalah sejarah kelam yang sudah harus disimpan rapat-rapat. Aku tahu kau pasti berbicara keadilan dan yaa bla bla bla... Tetapi satu yang harus kau pikir ulang, apa kau siap dengan banyak risikonya? Termasuk pada akhirnya kau tidak akan bisa tidur tenang di kemudian hari? Matematika Tuhan dan manusia berbeda untuk berbicara keadilan, keluasan samudra juga tidak bisa kau jadikan tolok ukur keikhlasan jika jauh di dalam dirimu masih ada sedikit celah kebusukan hati menuntut balas. Jika kau tanya apakah aku sedang berbicara tentang diri sendiri? Jawabannya iya, aku berbicara tentang diriku yang menuntut balas kepada mereka yang membuat keluargaku hancur bertahun-tahun lamanya. Kau catat dalam benakmu Chris, aku tidak membuka pintu maaf begitu saja saat ada orang yang merusak batas percayaku," ujar Yoonji lalu pergi meninggalkanku sendiri.

Aku bingung, kenapa sulit sekali memecahkannya? Kenapa sulit sekali meminta kerja samanya?

Christ : Aku sudah tahu siapa saksi yang harus kau temui saat nanti kembali, tetapi ku mohon jangan pernah bertindak gegabah. Ini terlalu berisiko bagi kita semua.

DioKyungsoo : Akan ku pastikan tidak gegabah dan aman.

Aku menghembuskan napas berat, pusing memikirkan segalanya. Aku tahu Yoonji tadi mengancamku, tidak main-main jika hanya sekedar ancaman tutup mulut. Ku pikir momennya akan pas saat kami harus praktikum di rumah sakit selama beberapa waktu. Maka biarkan Dio yang menyelesaikan sisanya, aku hanya mampu mengantarkan sampai di sini. Atau mungkin aku memilih bermain di belakang layar saja.

Yoonji : Pulanglah, tidak perlu menungguku untuk ibadah minggu. Terima kasih sudah mau direpotkan. Salam untuk Jeon.

Baiklah, aku sudah di usir. Padahal rumah sakit ini kan umum, bukan miliknya.

***

Y O O N J I

Apa yang aku takutkan benar terjadi hari ini, tepat saat aku masih berada di toko buku. Seseorang menemuiku dan mengajak berbicara santai di kafe yang biasa kukunjungi. Dugaanku hanya dua, jika bukan orang suruhan laki-laki tak tahu diri bisa jadi dia adalah orang suruhan dari Chris.

"Kau pasti sudah menduga siapa aku kan nona?" tanya orang itu.

"Katakan saja apa yang kau mau, aku tidak memiliki waktu banyak untuk menunggu pembukaan ocehanmu," jawabku sarkas.

Lelaki itu tersenyum miring, menyodorkan sebuah amplop yang ku yakini bagian dari negosiasi gila di abad ini. Antara uang atau ancaman, menjijikan jika aku mengingat ini semua di tahun krusial bagi para elite politik. Apalagi sebagian besar orang sudah ada yang tahu kasus yang menyandung Kang In, paman Freya Dupont. Mengggelikan bukan, aku justru hidup dikelilingi orang-orang yang sangat ingin ku hindari. Aku tahu siapa Ayah Dio, Ayah Chris dan paman Freya yang mengurusnya selama di negeri ini. Dan sungguh ini sudah masuk dalam memuakkan level tertinggi di hidupku.

"Kau tahu kan, apa yang akan terjadi jika Ayahmu membongkar semuanya? Atau kau bersedia menggantikannya?"

"Katakan padanya, ini terakhir dia mengancamku. Jika dia masih memakai trik ini maka ia harus menemuiku langsung dan siap bertaruh nyawa denganku. Dan pastikan menggunakan dirinya sendiri, aku percaya dia tidak bodoh."

Dia tersenyum licik, bangkit dari kursi dan mendekat ke arahku.

"Ayahmu baru saja di temui olehnya, maka bersiaplah menikmati siksaan hidupmu nona," bisiknya.

Dasar bedebah sialan, berani-beraninya mendatangi Ayah dan mengusik kembali hidupnya. Kau tidak akan pernah tidur tenang selamanya Kang In dan Kim Minseok, aku pastikan itu sampai neraka membuka gerbang pertamanya untuk kalian.

***

Udah segini aja, jangan banyak-banyak ntar pusing terus minum aspirin..

Bianne205

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro