9 - Beautiful

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Every love story is beautiful,

But ours is my favorite.

-Freya Dupont

Paris, Prancis.

F R E Y A

Kurogoh tas kecil yang tersampir di bahuku, bercemin untuk kesekian kalinya. Memastikan juga lip tint di bibirku kelihatan rapih. Hampir sekian puluh menit aku berdiri di sini, untungnya aku tidak memakai wedges apalagi high heels hari ini. Kutolehkan kepalaku untuk mendapati Hugo dan Charles dengan kedua ibu jari mereka yang teracung serta cengiran abnormal.

Papa tidak pernah mau mengganti sopir dan bodyguard idiotku sejak aku kecil. Setidaknya Charles memiliki dua anak gadis seusia murid sekolah dasar, jadi aku sudah berhasil menepis hubungan terlarang yang terjadi di antara sopir dan bodyguardku sejak lama. Mereka bersamaku sejak aku kecil dan itu bukan waktu yang sebentar, maksudku cinta bisa tumbuh karena terbiasa bersama kan?

Oke, aku tidak gila meski selalu bersama dua orang gila itu dalam kurun waktu yang sangat lama. Sementara Hugo, aku menganggapnya terminator bobrok bahkan hatinya juga sudah bobrok kurasa. Aktivitas Hugo sepanjang hidupnya tidak lain dan bukan adalah memantauku 24 jam dengan mata kepalanya dan GPS ponselku. Dia bekerja untuk Papa semenjak pacarnya meninggal tenggelam di lautan. Sebuah kisah cinta klise seumpama Rose dan Jack dalam film Titanic. Hanya saja di sini, Rose yang tenggelam.

Tiba-tiba saja kedua belah mataku menggelap. Kuraba kedua tangan yang menutupi mataku. Aku sangat hafal aroma parfum yang menyeruak dalam indra penciumanku.

"Dio?" tanyaku.

Atau bukan?

BUGH!

"Jangan macam-macam!" teriak Hugo.

Aku menoleh dan menemukan seseorang yang tersungkur karena pukulan Hugo. Pria itu memakai topi dan masker serta ransel dipunggungnya. Aku buru-buru menghampirinya dengan wajah panik.

"Gila, ini tiga kali lipat dari pukulan Christian," ucapnya sembari membuka masker.

"Dio?!" Aku memekik dan langsung merasa begitu bersalah karena Hugo memukulnya.

Kusentuh darah di sudut bibir Dio sementara ia meringis kesakitan.

"Maafkan saya, Mr. Buzz." ucap Hugo sembari membungkukan badannya. "Saya tidak mengenali anda."

"Kenapa kau memukulnya?!" tanyaku pada Hugo.

"Saya harus sigap menjaga Freya Mademoiselle. Saya kira dia ingin bertindak kriminal."

Dio berdiri secepat kilat menghampiri Hugo, sedangkan kekhawatiran langsung menyelubungiku. Apa Dio akan memukul Hugo juga? Seperti yang terjadi padanya dan Kak Daniel? Aku tidak khawatir pada Hugo tetapi jelas pada pacarku.

"Kau tidak mengenali pacar Mademoiselle-mu?" Kemudian membuka dompet yang diambilnya dari saku belakang celana.

Baik aku dan Hugo sama-sama bingung dengan kegiatan Dio.

"Simpan ini. Namaku Do Dio Kyungsoo." Menyerahkan satu lembar foto di tangan Hugo.

Setelahnya aku hanya mengangkat sebelah alis. Tidak terduga.

Hugo mengangguk mengerti. "Baik, Mr. Buzz." Seolah-olah yang tadi itu perintah penting.

Lantas Dio mendekatiku, menautkan jemari kami sembari menyunggingkan cengiran berbentuk hati kesukaanku. Rasa hangat langsung mengaliri rongga dadaku. Pertemuan terakhir sudah jutaan hari yang lalu mungkin, jadi wajar kan kalau aku merasa ini yang pertama kalinya?

Iya, bandara menjadi tempat perpisahan untuk kami yang menjalani long distance relationship. Beda negara, beda benua, beda waktu.

Baru semenit berlalu, Dio langsung menghentikan langkah kakinya yang diikuti olehku.

"Oh ya satu lagi, Hugo. Tolong bedakan, perbuatanku yang tadi itu bermaksud membuat kejutan bukan tindak kriminal semacam membungkam mulut Freya dengan obat bius. Mengerti?" ucapnya setelah berbalik badan.

Hugo mengacungkan kedua ibu jarinya sembari menampilkan sederetan giginya yang kontras dengan warna kulitnya. Kemudian kami kembali berjalan dengan Dio yang menggumamkan sesuatu yang tak dapat kudengar jelas.

"Apa tadi katamu?" tanyaku pada Dio yang hanya memberikan cengiran.

"Bukan apa-apa." jawab Dio, masih mempertahankan cengirannya.

"Charles, barusan apa yang Dio katakan?" tanyaku pada Charles yang berjalan di belakangku.

"Lagi pula aku lebih memilih membungkam mulut Freya dengan mulutku, katanya." jawab Charles.

Dio langsung tersentak luar biasa kaget. "Astaga, pendengarannya lebih mengerikan dari Kaerin."

Aku tertawa kecil melihat ekspresi wajah Dio dan telinganya yang memerah. "Charles itu punya pendengaran yang sangat tajam."

"Besok kubelikan dia headphone."

Tiba-tiba ponselku bergetar di dalam tas. Kurogoh tasku dengan tangan yang lain. Netranya mendapati nama Mama yang menari di layar ponselku.

"Allo, Ma?"

"Allo, Ma cherie. Sudah bertemu Dio-mu?"

"Sudah, Ma," jawabku dengan nada ceria.

"Syukurlah. Charles-Hugo masih bersamamu kan?"

"Mereka kuliburkan seminggu ya, Ma?"

Bisik-bisik gembira dari Charles dan Hugo langsung menyapa telingaku. Mereka sangat gembira dengan kehadiran Dio dalam hidupku. Katanya, Dio itu seumpama tanggal merah bagi mereka.

"Nope. Jangan pernah matikan GPS dan bawa ponselmu ke mana pun, oke?"

"Iya, Mama. Siap siaga."

"Sampaikan salam dari Papa dan Mama untuk Dio-mu."

"Apa? Papa tahu?"

Dio langsung menolehkan wajah memandangku karena aku yang tiba-tiba tersentak. Ia mengangkat sebelah alisnya yang hanya kujawab dengan gelengan kepala.

"Iya, Ma Cherie. Nanti hubungi Mama ya.. Mama harus mulai meeting."

Oke, aku seharusnya tidak bereaksi berlebihan soal Papa yang tahu hubunganku. Tidak, aku tidak bermaksud melakukan hubungan backstreet. Hanya saja aku belum sempat bercerita tentang Dio pada Papa. Tapi mungkin Mama sudah banyak mendongeng sebelum Papa pergi tidur.

"Oke, love ya, Mama."

"Love ya too, Ma cherie.''

Kemudian percakapan kami selesai sampai di sana.

***

"Pesan hotel di mana?" tanya Dio ketika kami sudah berada di dalam mobil.

Kutuang setetes betadine pada kapas dan mulai mengompres sudut bibir Dio.

Ia meringis kesakitan. "Pelan-pelan Freya," ucapnya lirih.

"Jangan banyak bicara dulu. Aku tidak memesan hotel hunny, kita ke apartemen."

Seketika gerakanku terhenti kala mata kami saling bertukar pandang. Tatapannya intens dan irama jantungku masih sama seperti saat dia pertama kali menatapku seperti itu. Aku tidak ingin mengalihkan pandanganku untuk saat ini, aku suka melihat diriku sendiri yang memenuhi bola matanya. Seakan-akan hanya aku satu-satunya dan Dio tidak akan pernah bisa beralih.

"Ada sesuatu di wajahku?" tanyaku.

"Senang bisa melihatmu secara langsung sedekat ini," ujarnya.

Senyum kesukaanku mengembang di kedua sudut bibirnya bersamaan dengan pipiku yang menghangat. Secepat mungkin kualihkan wajah ke arah jendela dengan gugup.

"Jangan memulai," ucapku dengan kikuk membuang kapas di tempat sampah kecil.

Dio tertawa kecil. "Mulai apa?"

"Stop it." Kulipat tangan didada.

Sejujurnya meski aku spontanitas dan jelas menyukai Do Dio Kyungsoo versi romance, aku tetap gadis biasa yang dapat gugup di dekat pria yang menggenggam hatinya.

Dia tertawa lagi sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di pangkuanku, menarik sebelah tanganku dan meletakannya di antara helaian rambut hitamnya. "Kalau begini lebih cepat sembuh."

"Dasar anak manja," gerutuku sembari menahan senyumku.

Sebelah tanganku mengusap lembut kepalanya, matanya terpejam tetapi cengiran masih bertahan di wajahnya. Kupandangi jalanan menuju apartemenku, pohon-pohon di pinggir jalan selalu menjadi penyegar netra. Hugo dan Charles di seat depan sedang berbincang masalah inovasi saus dalam hamburger. Mereka memang tidak pernah membicarakan hal serius apalagi bermutu.

Ketika aku kembali lagi melihat wajah Dio, dia sudah tertidur lelap. Aku tidak keberatan dengan kakiku yang akan kram nantinya. Saat mobil melintasi Notre Dame Cathedral, aku mengucap syukur atas rasa bahagia hanya dengan berada disatu tempat dan diwaktu yang sama dengannya.

Aku ingin berdiri di sampingnya dengan buket lily putih dalam genggamanku, mendengarnya mengucapkan vow di depan altar. Aku ingin menua bersamanya. Sampai agnus dei mengiringiku ke tempat peristirahatan terakhir.

Apa semua itu berlebihan? Aku tidak pernah menginginkan pria lain selain Papa dan Dio untuk menyeka air mataku saat aku kesakitan.

***

D I O

"Freya?"

Begitu kuraih gagang pintu, aku tidak menemukan Freya di sana saat pintu terkuak. Ini sudah terhitung hari keduaku di Paris. Aku menempati apartemen Freya sejak kemarin. Gadis tidak pulang ke rumahnya semalam hingga aku pun harus berakhir tidur di sofa ruang tamu. Tidak banyak yang kami lakukan semalam, hanya minum segelas cokelat panas dan nonton anime berjudul Your Name sampai Freya terlelap di bahuku. Berani sumpah, aku mampu bertahan dengan posisi seperti itu sampai salju turun di mesir. Lantas aku bersusah payah memindahkannya ke kamar ala bridal, seperti saat dia pingsan di acara prom.

Tapi ke mana gadis itu?

Kemudian aku berjalan ke arah dapur. Apartemen Freya hanya memilik satu kamar besar, ruang tamu dan dapur. Tambahan lainnya adalah balkon yang lumayan luas serta menyuguhkan pemandangan indah ciri khas utama negara ini. Menara Eiffel.

"Kau masak?" tanyaku sembari mengusap kedua mataku.

"Pertanyaan macam itu? Menurut Dio orang yang memakai apron dan berdiri di depan kompor itu sedang berkebun?" Gadis itu mengerucutkan bibirnya tanpa memandangku.

Kutarik salah satu kursi di meja makan. Memastikan bahwa Freya dengan apron dan adonan pancake bukanlah sebatas mimpi. "Aku hanya terkejut kau dapat mengenali alat-alat di dapur."

Dia berbalik badan sembari berkacak pinggang. "Kenapa? Gadis manja yang ke mana-mana dengan sopir mana mungkin bisa masak, begitu maksudmu?"

Aku tertawa kecil sembari mengacungkan dua ibu jariku. "Jam berapa orang rumah datang ke sini untuk mengantar adonan pancake?"

Freya mengerutkan dahinya. "Dengar, aku memang gadis yang terlahir harus ke mana-mana dengan sopir. Tapi teman setiaku itu Ibu Lamia yang jelas-jelas separuh hidupnya dihabiskan di dapur. Terserah, Dio percaya padaku atau tidak!" Lalu berbalik badan lagi untuk mengangkat pancake dari cetakannya.

Oke, kurasa candaanku barusan melukainya. Tapi serius, aku hanya sulit percaya Freya bisa masak. Maksudku, seperti yang tadi Freya jelaskan, dia ke mana-mana dengan sopir dan bodyguardnya. Dia punya sejumlah pelayan di rumahnya yang pastinya menyediakan segala macam kebutuhannya.

Aku menghampiri Freya yang masih memunggungiku, sibuk menungkan madu di atas dua piring pancake. "Maaf untuk ucapanku tadi.." ucapku setelah berdiri di sampingnya sembari menyodorkan kaktus dalam pot kecil.

Aku mengambilnya di ujung jendela tadi.

Freya masih bergeming. Ia berjalan menuju kulkas mengambil satu karton susu, kemudian menuangkannya ke dua gelas yang ada di atas dapur. Kuhela napas pendek, menatap Freya yang kembali membelakangiku meski di posisi yang berbeda.

Seharusnya aku memujinya bukan berkata seperti tadi.

Aku menunduk menatap kaktus kecil penuh duri di tanganku, tiba-tiba sesuatu yang lembab menekan sebelah pipiku. Waktu tidak berhenti namun aku membeku bersama pot kaktus.

"Tolong bawakan pancakenya ke balkon," katanya diiringi tawa yang semanis gulali karnaval.

Aku baru tersadar setelah Freya menghilang diambang pintu bersama dua gelas susu.

"Ah, pagi yang indah. Tidak sia-sia terbang dari China." Kubawa dua piring pancake buatan Freya Dupont menuju balkon.

"Harus mandi sebelum sarapan Dio," ucap Freya begitu aku meletakan pancake di atas meja Bundar di tengah balkon.

Senyum mengembang di bibir Freya. Ia begitu anggun dengan dress merah muda selututnya.

"Sudah tadi," jawabku.

"Firasatku bahkan lebih canggih dari alat pendeteksi kebohongan." Ia mengibaskan rambutnya secara dramatis.

Kulebarkan cengiran. "Oke-oke, aku pergi mandi."

***

Malam di kota Paris tidak jauh berbeda dengan malam di kota Beijing. Yang membuatnya berbeda adalah gadis di sampingku. Kami duduk beralaskan kain bermotif kotak merah, merasakan angin malam serta memandangi cahaya lampu jalanan. Hari ini kami pergi mengunjungi Arc de Triomphe dan La Tour Eiffel, destinasi yang pasti dikunjungi turis seluruh penjuru dunia. Aku jelas tahu Freya sudah pergi ke sana entah untuk yang ke berapa kali, sementara untuk diri ku sendiri terhitung ke tiga kalinya. Tapi berbeda rasanya ketika aku pergi ke sana sembari menggandeng tangan Freya ditemani ocehan gadis itu sepanjang perjalanan. Tempat yang dituju jelas tidak menjadi masalah tapi momen yang kami miliki. Itu lebih berharga.

"Kenapa menolak?" tanyaku.

Sebelum Freya membuatkan Fuyung Hai yang tidak dapat kupungkiri rasanya cukup enak, aku mengajaknya makan di dalam menara Eiffel. Banyak orang bilang, tidak sempurna jika kita ke Paris tanpa mencoba dinner di dalam menara Eiffel atau di atas kapal layar di sungai Seine. Intinya semacam relationship goals yang kukira ada dalam benak seorang Freya Dupont. Tapi ternyata dugaanku salah.

Freya menyumpal mulutku dengan fuyung hai. "Dio harus makan masakanku selama di Paris. Titik."

Kadang aku tidak mengerti dengan Freya. Banyak hal tak terduga darinya.

Kusentuh puncak kepalanya. "With a pleasure, Your Majesty."

"Good boy!" Kemudian mengacungkan ibu jarinya. "Oh ya, ada hal yang sangat ingin aku lakukan denganmu."

Ia berdiri dengan ekspresi wajah yang begitu antusias. Seperti ekspresi anak kecil yang mendapat hadiah natal dari paman Santa. Jarinya berselancar di layar ponselnya, entah apa yang Freya ingin lakukan.

"Apa?" tanyaku yang masih duduk bersila.

Freya kembali meletakan ponselnya di atas kain kotak merah. "My first dance." Dengan nada ceria yang tidak pernah berubah.

Aku pun berdiri menghampirinya, kuulurkan sebelah tanganku. Kadang aku masih tidak percaya, kami bisa menjadi lebih dari sekadar pasangan prom night. Detik ini gadis itu meletakan kedua tangannya di kedua bahuku, sementara kedua tanganku berada di pinggangnya. Sepasang mata milik Freya Dupont selalu membawa kedamaian bagiku. Senyumnya mengembang begitu kami melakukan gerakan lambat maju mundur yang seirama dengan lagu. All the way milik Celine Dion ft. Peabo Bryson menggema di sekitar balkon.

Ever just the same
Ever a suprise
Ever as before
Ever just as sure
As the sun will rise

Tale as old as time
Tune as old as song
Bittersweet and strange
Finding you can change
Learning you were wrong

"Freya, sejujurnya aku sudah lama mencari tahu tentang kasus Ayah. Maksudku, aku benar-benar mendatangi beberapa tempat terkait kasus Ayah."

Aku tidak menceritakan isi chat Christian siang ini. Freya cukup tahu sampai sana.

Tidak ada banyak ekspresi yang kutemukan dalam bola mata Freya setelah aku mengatakannya. Kami masih diposisi yang sama, bergerak mengikuti alunan All the way yang Freya atur dalam mode mengulang.

"Aku tahu itu, aku tidak akan melarang Dio sama sekali. Karena itu adalah salah satu alasan terkuatmu pindah ke China, tentunya selain Bunda dan study-mu."

Rasa lega menyelubungiku setelah mendengar penuturannya. "Sedikit petunjuk yang kutemukan sejauh ini. Aku mendapat data kasus dari kantor kepolisian dan masih menelaah beberapa artikel dari Chris. Maaf, aku baru menceritakannya."

Sebelah tangannya terangkat menyentuh lebam di sudut bibirku. "Satu syarat dariku, Jangan pernah terluka."

"Stay by my side." Dan kalimat itu lolos begitu saja dariku.

***

*Mademoiselle : Nona

*Ma cherie : Sayang

*Allo : Halo

Aradi151

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro