Special Part - Enam Menit Tiga Detik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu melangkahkan kakinya secepat mungkin sementara Dio tidak menyerah mengikutinya melewati para tamu dengan pakaian serba hitam, lantas mereka menuju pintu yang ternyata berujung pada sebuah halaman yang luas.

Suara degup jantung serta dentuman wedges milik Freya memenuhi gendang telinga Dio. Bagaimana pun caranya Dio ingin bicara dengan gadis itu.

Fakta yang sangat jelas, Kang In adalah orang yang melakukan rencana busuk pembunuhan-pembunuhan itu termasuk kematian ayahnya demi sebuah ambisi.

Fakta lainnya, Dio ingin mempertahankan gadis itu sampai nanti. Dan Dio tidak peduli dengan alasan Freya tentang LDR mereka.

"Freya, we need to talk!" Luka bekas kecelakaan yang dialaminya dua kali membuat Dio agak kesulitan mengejar langkah gadis itu.

Mau tidak mau gadis itu pun berhenti dengan hembusan napas keras dan berbalik menatapnya. "We don't need it."

"Freya!"

Tuhan menciptakan semua yang ada di dunia ini dalam bentuk sepasang. Dari mulai pelangi dan hujan. Musim semi dan musim gugur. Musim panas dan musim dingin. Tawa dan tangis. Pertemuan dan perpisahan. Lalu ada, Awal dan akhir.

Seperti yang Freya lakukan saat ini untuk tetap mengakhirinya dengan Dio.

Bukan tanpa alasan sama sekali, bahkan kehadirannya di rumah duka atas kepergian ayah Yoonji bukan untuk sekedar berbela sungkawa. Kalau saja Yoonji mengabulkannya untuk berlutut maka Freya sudah melakukan itu tadi sebelum dia keluar ruangan dan Dio mengejarnya hingga ke halaman.

Freya merasa tidak pantas berada di sekeliling mereka. Kehadiran Freya membawa masalah, bencana, luka bahkan kematian. Ia selalu berharap Dio tidak akan pernah terluka dalam pengupasan kasus itu, tapi kenyataannya Freya adalah sumber luka itu sendiri. Freya adalah pedang yang menusuk Dio, bahkan Yoonji.

Kang In selaku pamannya adalah dalang dari semua benang rumit ini. Benang rumit yang sudah memutuskan leher Freya.

"Kita sudah berakhir dan kita sudah membicarakan alasannya," potong Freya. Ia tidak ingin lama-lama menatap luka pada bola mata hitam itu, sudah cukup dengan pancaran bola mata milik Min Yoonji saja.

Dio menarik sebelah tangannya untuk kembali berbalik. "Kau masih mengenakan gelang ini. Aku yakin bukan itu alasanmu mengakhiri kita."

Freya berusaha mati-matian untuk memancarkan kebencian dan rasa muak dari bola matanya. "We're not going to work out, Dio. Lepaskan tanganku!"

Seketika rasa nyeri itu menghantam dadanya kembali. Bola matanya mulai memanas dan Freya tidak ingin menunjukkan itu di depan Dio.

Dua menit.

Empat menit.

Enam menit.

Deru napas mereka mengiringi tiap menit penuh gejolak itu.

Dio menatap gadis itu dengan tatapan tidak mengerti. Secara perlahan Dio mulai merenggangkan cekalannya pada tangan gadis itu. Ia terluka. Benar-benar terluka saat ini. Gadis itu menolaknya. Bersikukuh mengakhiri hubungan mereka.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Kemudian mata hitam pekatnya membulat sempurna, Freya melepaskan gelang itu, membuangnya ke tempat sampah di sampingnya.

It's like we never happened, was it just a lie?

If what we had was real, how could you be fine? 'Cause I'm not fine at all. Untaian tanya yang hanya berputar di kepala Dio.

Freya pun melangkah pergi meninggalkan pria yang masih mematung dengan sejuta pertanyaan di sana. Freya pergi membawa luka dan serpihan hatinya sendiri.

***

And the dreams you left behind you didn't need them,

Like every single wish we ever made.

"Nomor (seseorang) yang anda tuju berada di luar jangkauan."

Dio menatap layar ponselnya sekilas sebelum memasukkannya ke saku. Senyum muram tersirat di wajahnya. Entah Dio yang terjangkit penyakit super sinting atau Dio memang sesinting itu. Pada intinya Dio masih mencoba menghubungi gadis itu dan baru saja gendang telinganya dipenuhi suara khas operator provider.

Ratusan kali.

Ratusan kali panggilannya hanya terjawab oleh operator provider. Bukan Freya Dupont.

Mencoba menghubungi nomor rumahnya pun sama. Freya seolah membuat blokade secara terang-terangan, Seolah-olah Dio itu virus yang patut dihindari dengan cara apapun. Sesuatu yang sama sekali bukan Freya Dupont. Mencoba menghubungi orang tua Freya? Dio tidak pernah mau memilih itu karena terasa terlalu kekanakan. Mereka sudah cukup dewasa tanpa perlu melibatkan orang-orang di luar area itu.

Hanya mereka berdua.

Dio tidak ingin mengganggu gadis itu. Dio hanya ingin tetap kembali ke rumahnya. Meski Freya tetap memilih pergi dari dunianya.

Ironis bukan?

I wish that I could wake up with amnesia and forget about the stupid little things.

Dio duduk menempati salah satu kursi yang berhadapan itu setelah berbicara kepada penjaga. Sebuah meja berukuran sedang menjadi pemisah kedua kursi tersebut. Tepat ketika Dio mengangkat kepalanya. Matanya menemukan bedebah keparat itu dengan wajah datarnya.

Pria paruh baya itu mendudukkan dirinya tepat di depan Dio. Tanpa ada raut wajah menyesal atau sebagainya. Sesuatu yang membuat Dio geram, tangannya terkepal hingga buku jarinya memutih. Ingin rasanya, satu pukulan saja darinya bisa mendarat di wajah pria busuk itu. Sudah banyak air mata dan darah yang tumpah karena ambisi gila pria paruh baya itu.

"Bagaimana Mr. Kang? Malam yang panjang, bukan?" sapa Dio.

Pria itu tersenyum kecut. "Apa tujuanmu?"

Dio menyandarkan punggungnya dengan santai ke sandaran kursi. Lantas bersiul pelan. "Tentu saja menonton penderitaan anda."

"Jangan bermimpi. Kuasa hukumku akan mengeluarkanku sesegera mungkin dari sini," jawab pria paruh baya itu penuh yakin.

Hal ini dinamakan mencapai puncak kehilangan kewarasan sepertinya. Mengingat Kang In sudah benar-benar hancur dan terjerumus karena berbagai cara kotor yang ia lakukan. Dan Tuhan memang maha adil, Dia tidak membiarkan orang sekotor dan sebusuk Kang In untuk memimpin sebuah negara. Bahkan untuk menghirup udara di luar jeruji besi sepanjang sisa hidupnya.

"Sebaiknya anda yang jangan bermimpi, Tuan." Dio tertawa sumbang cukup lama.

Setelah tawanya terhenti Dio menggebrak meja lalu bangkit untuk menghapus jarak antara wajahnya dan wajah Kang In. Ditatapnya pria paruh baya itu dengan api dalam kedua bola mata hitamnya. "Karma doesn't exist, Sir. Tebus dosa-dosa anda sebelum nyawa anda berada di tenggorokan." Dio memberikan gerakan seolah membersihkan debu di bahu Kang In.

Lalu Dio pergi begitu saja. Tanpa rasa hormat. Tentu saja, tidak perlu secuil pun rasa hormat untuk orang yang sudah membunuh banyak orang demi sebuah ambisi kotor.

Sementara Kang In menatap kepergian pria yang selama ini dikenalnya sebagai kekasih keponakannya itu dengan penuh kebencian. Ia menyesal pernah membiarkan anak kecil itu hidup dan pada akhirnya membuat sebuah kiamat bagi kehidupannya.

Ambisi yang dapat menghancurkan diri sendiri adalah ambisi yang tidak dapat dikendalikan dengan mata hati. Kita hanya memiliki sejuta niat, sementara Sang Pencipta memiliki segalanya bahkan napas dalam hidup kita. Kita boleh memiliki milyaran ambisi, tapi jangan lupa bahwa tangan Sang Pencipta lebih menentukan kemana perjalanan kita selanjutnya.

Setiap hari Dio tidak berhenti menyesali kepergian Paman Hwangsoo namun Dio tidak sudi menyesal dengan hukuman apa yang akan di jalani bedebah keparat itu.

***

Freya selalu takjub dengan sebuah pesta pernikahan. Mulai dari dekornya, menu yang disajikan, terutama bagian sakral bernama weding vow. Dan satu lagi yang tidak patut dicontoh adalah Freya suka memaksa mempelai wanita untuk memberikan buket bunga mereka padanya. Freya tersenyum puas sudah memaksa Yoonji, ia pun memandangi buket bunga cantik tersebut sembari melangkahkan kaki memasuki lift.

Keadaan lift tidak begitu padat setelah beberapa orang masuk bersamanya, Freya berdiri di sudut kanan belakang. Sejenak Freya melirik jam tangannya, ia kemungkinan sedikit terlambat untuk bertemu dengan klien butiknya. Salahkan kliennya yang memaksa bertemu di hari libur. Lantas sebelah tangannya merogoh tas untuk mengambil ponsel. Jarinya mengetik sebuah pesan singkat jika ia akan datang terlambat dan meminta maaf untuk itu.

Satu dentingan, pintu lift terbuka dan terdengar langkah kaki beberapa orang yang ke luar. Pesta pernikahan baru saja selesai, mungkin mereka kerabat Yoonji atau Christian yang akan menghadiri acara khusus keluarga di lantai ini. Kemudian pintu lift pun kembali tertutup. Freya masih terpaku dengan ponselnya, tersenyum kecil melihat foto-foto yang diambilnya tadi.

Sekitar hitungan tiga detik, lift tiba-tiba berhenti bergerak.

"Astaga! Gedung mewah macam apa yang punya lift rusak! OMG! What should I do???" Teriak Freya frustrasi hampir menangis.

"Jangan panik."

Freya lantas menoleh. Ia sangat bersyukur masih ada orang yang terjebak bersamanya. Setidaknya ia tidak akan mati sendirian. Namun orang itu adalah orang yang paling tidak ingin Freya temui sekaligus sebaliknya.

Konyol? Tentu.

"Jaksa Do?"

"Bukan, Dio," jawabnya dengan wajah super datar.

Masih terasa canggung meski ia pernah bertemu Dio dalam sebuah reuni sekolah. Dan jangan lupa, belakangan Dio juga yang membantunya dalam sebuah kasus naas penuh kesialan yang menimpa seorang Freya Dupont. Ketika Freya baru saja kembali menginjakkan kaki di negara ini dan secara tiba-tiba ia terseret kasus pembunuhan tetangga apartemennya yang membuat Freya menjadi tersangka tertuduh. Persidangan yang begitu panjang dan memilukan.

"Maaf jaksa Do apakah ponsel anda mendapat sinyal? Sebab milikku tidak." Freya bertanya setelah melihat ponselnya dengan sinyal yang kosong ditambah tanda silang.

Dio memandangnya sejenak tanpa suara, merogoh saku jasnya. Kemudian pria itu bergerak mendekatinya, memamerkan layar ponselnya di depan Freya.

"Terima kasih," ucap Freya setelah melihat sinyal yang nihil di layar ponsel Dio.

Lagi-lagi Dio tidak membalas ucapannya seperti dugaan Freya. Entahlah, namun Freya tidak masalah dengan sikap Dio yang seperti itu. Bahkan Freya pantas mendapatkan yang lebih dari itu. Sunyi pun menyergap.

Dua menit.

Empat menit.

Enam menit.

Oke, Freya mulai gelisah luar biasa dan perutnya mulai bernyanyi lagu lapar. Freya memasukan buket bunga yang sangat berharga itu ke tasnya sebelum memukul pintu lift itu dengan kedua tangannya.

"Siapa pun di luar sana tolong buka pintunya!"

Bug! Bug! Bug!

"Help me! Help me please!"

Bug! Bug! Bug!

"Arrrrrghhh! I hate this trouble so damn much!!!!"

Bug! Bug! Bug!

Bug! Seseorang menarik kedua tangannya hingga Freya berbalik.

"Bodoh, kau selalu ceroboh." Kemudian Dio meniup sembari mengusap pelan kedua telapak tangan Freya yang memerah serta berdenyut nyeri.

Freya tertegun sejenak, seolah terlempar ke sebuah masa dan momen yang sudah ingin dihempaskannya jauh-jauh. "Why do you care so much, Jaksa Do?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya tanpa terkendali.

Dio tidak menjawabnya dan masih tetap meniup kedua telapak tangannya.

Freya benci posisi ini, Freya benci lift ini. Freya benci semua kenangan itu. Namun hatinya malah meneriakkan yang sebaliknya. Bulir bening mulai memenuhi pelupuk matanya, Freya akhirnya menarik kedua tangannya untuk menghapusnya.

"Aku tidak suka panggilan itu dan gaya bicaramu padaku," kata Dio tiba-tiba.

Mata mereka saling beradu pandang. Kali ini dengan cara yang pernah sama. Atau sebenarnya tidak pernah berubah?

"Jangan panik, jangan melukai tanganmu." Lalu Dio menyentuh puncak kepalanya.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Bulir-bulir itu malah menuruni pipinya tanpa ampun. Freya tidak dapat menyembunyikan itu lagi. Dan Dio masih menatapnya lekat, sementara Freya menggigit bibir bawahnya. Hanya tiga detik. Hanya dengan tiga detik Dio membuatnya dalam keadaan tidak karuan seperti ini. Membuat ia ingin kembali ke masa itu. Sebelah tangan lain yang berada di puncak kepala Freya tiba-tiba bergerak, menyeka bulir di sebelah pipinya.

Dio memejamkan kedua kelopak matanya. Masih sama. Selalu ada kedamaian dalam aroma parfum Freya Dupont. Bahkan beban pikirannya dapat terangkat hanya dengan menyentuh pipi gadis itu. Sampai detik ini ia selalu menganggap Freya sebagai tempat untuk pulang selain keluarganya, tidak masalah bukan?

Sedetik kemudian, Freya berada di dalam sebuah rengkuhan. Rengkuhan yang paling dibencinya dalam artian sebaliknya.

"Kenapa kau tidak membenciku? Aku adalah keponakan dari orang yang sudah membunuh ayahmu. Merusak masa kecilmu, membuat keluargamu pincang. Membuatmu kecelakaan hampir mati. Aku adalah orang yang paling tidak ingin kau terluka, tapi kau tahu? Aku adalah pedang yang menusukmu, Dio. Kenapa?" Semua pertanyaan yang Freya tahan bertahun-tahun itu lolos begitu saja dalam isaknya.

"Aku tidak akan pernah bisa membencimu. Dia yang melakukan itu dan kau tidak ada dalam lingkaran itu sama sekali, atau bahkan orang tuamu. Lupakan semua hal itu, Freya," jelas Dio lirih.

Freya melepaskan dirinya untuk menatap Dio. "Tolong, Berhentilah peduli."

Ada jeda hening yang tidak begitu panjang. Namun Dio tidak pernah melepaskan pandangannya dari mata cokelat eboni itu.

"I can't face the fact that nothing is better than you." Dio merogoh saku jasnya lalu meraih sebelah tangan Freya. Mengepalkan sesuatu di sana. "Jangan temui klienmu, barusan kau sudah menemuinya."

Kemudian pintu lift terbuka begitu saja bersamaan dengan Dio yang melangkah ke luar. Freya tertegun menatap gelang yang pernah dibuangnya kini tersemat sebuah cincin di rantainya. Otaknya masih sulit mencerna semua yang terjadi sampai lift kembali bergerak ke lantai atas. Ia belum juga sepenuhnya sadar ketika ponselnya berdering dan sebuah pesan masuk.

Klien :
Hubungan kita bisa lebih dari sebatas klien, Miss Dupont.

Kantor Kejaksaan Negeri, jika anda lebih memilih mengembalikannya.

Balas tolong jemput jika anda mengiyakan tawaran awal.

___

Freya :
Tolong jemput.

___

Akhirnya FF ini kelar juga huhu... terimakasih untuk partnerku tercinta @Bianne205. Terimakasih juga untuk semua yang membaca FF ini J

Salam cinta untuk D.O exo yang lagi wamil hehe, salam semangat untuk seluruh K-Popers dimana pun kalian berada~

Awal nulis series pertama, kayak yang gimana ya (kita tuh gatau mau bawa FF ini kemana wkwk) Tapi boom! Di series dua banyak semangat dan inspirasi yang mengalir deras huhu. Oke, sekian bacotan akoh.

Sampai jumpa!

ARADI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro