¹⁵재젤; how to hate you, asha?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cara tergampang namun tersulit juga untuk menghilangkan perasaan cinta adalah membencinya."

ㅡ Karine Jaishila.

•••

"Gue ada cara."

"Apa?"

"Lo harus benci Asha," kata Jevan yang langsung membuat Nalen langsung diam sebentar.

Sedangkan Karin langsung mengangguk setuju, "Bener, Na! Itu satu-satunya cara buat ngilangin perasaan lo ke Asha."

"Tapi, hal apa yang aku harus benci dari Asha?" tanya Nalen yang langsung membuat sepasang kekasih itu diam sebentar.

"Lo udah nyuekin dia dan nyinisin dia itu udah termasuk tahap awal benci. Karena Asha sendiri tipikal orang yang ngga suka dicuekin, disinisin, dimarahin, apalagi dijauhin orang-orang. Makanya tadi dia marah banget sama kita," jelas Karin dengan singkat.

"Asha juga ngga suka tempat yang berantakan sama bersih. Mungkin habis ini lo bisa acak-acakin bukunya di atas meja nya, terus sedikit mejanya di coret-coret dikit. Meja kalian bersih tanpa coretan, anjir," imbuh Jevan.

"Cenanangan! Kalau aku ketauan guru gimana?" tolak Nalen.

"Poya haha! Orang semua meja juga ada coret-coretannya," balas Jevan dengan santai.

"Oh iya satu lagi. Kayaknya lo harus pake 'lo-gue' deh. Biar Asha kesannya gini. Sumpah, ini Nalen? Bener-bener berubah dia? Anjir!" ucap Karin dengan nada mengikuti Asha.

"Tapi, itu ngga sopan."

Mendengar itu, Jevan dan Karin langsung diam kembali.

Jevan menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal, "Ya gimana ya, Na. Kalo lo pake bahasa gaul, pasti Asha bakal ngerasa risih karena selama ini lo itu ngomongnya halus, ngga ada ngomong kasar."

Nalen menghela nafasnya, "Harus banget?"

Jevan dan Karin kompak mengangguk dengan cepat.

"Coba ngomong."

"Ehm.. Harus banget emang gue ngomong kayak gini? Anjir, kaku banget." Nalen langsung menyembunyikan wajahnya di tangan.

"Woy! Itu cocok banget! Fiks, lo harus ngomong kayak gitu, Na!" seru Karin dengan bersemangat. Yang di semangatin malah lesu.

"Ini siapa yang berantakin meja gue?!"

Suasana yang ricuh langsung hening saat Asha datang dan bersru setelah melihat keadaan mejanya. Buku-buku berserakan, bahkan ada yang jatuh dan sobek. Dan juga terdapat coretan di meja itu.

"Apasih? Cewek-cewek suaranya kayak toa. Etika dikit dong."

"Ya Tuhan. Aku ngga bermaksud, tapi emang bener suara Asha kayak toa."

Asha terdiam mematung setelah mendengar perkataan itu keluar dari seorang introvert yang dikenal tidak pernah berkata kasar, kalau ngomong itu sopan dan lembut, Janardana Nalendra.

"Apa? Ngga terima? Kenyataannya begitu," lanjut Nalen dengan ketus. Walau dalam hati ia mengucapkan maaf berkali-kali.

"Lo yang berantakin meja gue?" tanya Asha dengan intonasi suara yang kecil.

"Iya. Gue ngga suka kerapian dan kebersihan, makanya gue berantakin. 'Kan jadi enak dipandang. Kalau lo ngga suka, sana pindah tempat duduk," kata Nalen yang terdengar kaku namun cukup membuat Asha tidak bisa berkata-kata kembali.

"Lo... berubah, Na." Asha berbalik pergi keluar kelas, melewati guru yang baru saja masuk.

"Eh, Asha! Mau kemana kamu?! Jam pelajaran sudah dimulai!"

Sementara Nalen, hanya duduk diam dengan perasaan bersalah.

Nalen, Jevan, dan Karin berjalan beriringan keluar dari gedung sekolah. Sesekali Karin menanggapi murid lain yang mengingatkan untuk hati-hati saat perjalanan pulang.

"Jadi dia pergi aja setelah ngomong gitu?" tanya Jevan setelah mendengar cerita dari Nalen.

"Iya, aku merasa bersalah banget," lirih Nalen, sayangnya tidak didengar oleh kedua temannya karena suasana koridor yang ramai.

"Berarti itu berhasil, Na! Lo harus matengin lagi rencana kita. Inget, ini demi perasaan lo. Urusan Asha mah belakangan," ucap Karin menyemangati temannya itu, namun tidak digubris.

"Tapi, tetep ajaㅡ"

Duk!

"Aduh! Jangan berhenti mendadak dong!"

Siswi itu langsung kicep setelah melihat siapa yang ia tabrak punggungnya.

"Makanya jalan itu matanya dipake, bukan ngeliat ke hape," balas Nalen yang mengikuti gaya bicara dari kakaknya saat ia jatuh karena kakinya menubruk meja.

Nalen dan siswi itu sempat bertatapan sebelum siswi itu mengalihkan pandangannya.

"Maaf." Asha melangkahkan kembali kakinya dengan kepala tertunduk.

"Kurang julid lo, Na," protes Karin sesudah menepuk bahu Nalen.

"Ngga bisa. Aku masih ada hati."

"Oh iya, hatinya 'kan hanya untuk Asha seorang," kata Jevan yang langsung disinisin Nalen dan meninggalkan sepasang kekasih itu.

"Woy tungguin!" Karin menyusul, diikuti Jevan yang berjalan santai.

Sampai di halaman luar, mereka berhenti melangkah dan menatap satu sama lain.

"Karin dijemput 'kan sama Papa?" tanya Jevan dengan lembut. Nalen yang mendengarnya pun ingin memutahkan isi perutnya.

"Iya, bentar lagi sampai kok," jawab Karin sambil mengecek ponselnya.

"Yaudah. Nalen mau bareng gue ngga? Kebetulan gue mau mampir kerumah sepupu gue," tawar Jevan dengan tangan yang mengelus puncak kepala Karin.

Emang bucin banget mereka tuh!

"Na?" Jevan menengok ke Nalen. Nampak lelaki itu memandang ke halaman parkir. Ah, lebih tepatnya dua orang yang ada disana.

"Oh lagi liatin si crush sama cowoknya," celetuk Karin yang membuat Nalen sadar dan menengoknya.

"Asha nangis."

"Hah?" beo Jevan dan Karin secara bersamaan. Mereka bertiga melihat kembali ke arah halaman parkir dan menajamkan pendengaran mereka.

"Udah jangan nangis, sayang." Dean menghapus air mata Asha yang terus mengalir.

"Dia beda, Yan. Dia bukan Nalen yang gue kenal. Jevan sama Karin juga," kata Asha dengan isakan yang tertahan.

"Mungkin emang mereka lagi ada masalah tersendiri, Sha. Jadi kepribadiannya berubah," ucap Dean, tangannya menarik Asha ke dalam pelukannya. Mengusap punggung sang kekasih agar tenang.

"Sumber masalahnya ada di gue," tangkas Asha dengan suara yang teredam di dada bidang Dean.

Dean tak membalas, ia mengeratkan pelukannya dengan tatapan lurus ke depan. Menatap balik ketiga teman kekasihnya yang diam layaknya patung.

"Kalian keterlaluan."

"Asha, maaf."

"Nalendra!"

"Kalau masuk tuh permisi dulu, main nyelonong aja," sewot Nalen, namun dihiraukan oleh Eva.

"Ke warung sana beli minyak sama garam. Kakak mau masak makan malem," suruh Eva dengan tangan yang terulur, memberi selembar uang berwarna hijau.

"Kenapa ngga Kakak aja, sih?" Nalen kembali sewot, namun tangannya menerima uang itu dan bangkit dari kasurnya.

"Mau kemana, nak?" tanya Mama Nala saat melihat anak bungsunya membuka pintu rumah.

"Ke warung, Ma. Disuruh kakak," jawab Nalen lalu pamit keluar menuju warung.

"Malam malam aku sendiri, tanpa cintamu lagi, oh oh oh."

Nalen bersenandung kecil dengan langkah yang pelan. Menikmati malam yang penuh dengan bintang.

"Malam, Ningsih," sapanya saat sudah sampai di warung.

Ningsih yang lagi centil didepan kamera terkejut, "Eh, Malam juga, Mas Nalen. Mau beli apa?"

"Minyak setengah kilo sama garam sebungkus."

"Oke, sebentar." Ningsih mengambil bahan yang disebutkan Nalen kemudian memasukannya dalam plastik kresek dan memberinya ke Nalen.

"Ini uangnya, ngga usah kembali," ucap Nalen memberikan uangnya setelah menerima belanjaannya.

"Oh, iya. Makasi, mas," balas Ningsih dengan senyuman manisnya. Nalen juga tersenyum dan pamit pergi.

"Kakak mau masak apa ya?" gumam Nalen sambil membayangkan beberapa makanan yang membuat perutnya keroncongan.

"Aduh, lambung sabar ya? Kakak bakalan masak kok."

Se-introvert Nalen juga bisa random, ya. Dia juga manusia.

Nalen mempercepat langkahnya, namun ketika hampir sampai ke rumahnya. Kakinya berhenti melangkah saat mendengar suara tangisan.

"Baru jam tujuh udah ada setan? Gasik amat munculnya," gumamnya sambil mencari sumber suara.

"Opo kuwi putih-putih?" gumamnya dengan kedua mata menyipit. Menajamkan penglihatannya pada sesuatu yang tidak jauh keberadaannya dari dia berdiri.

"Kunti kah?"

Dengan perasaan 95% takut dan 5% berani. Lelaki itu melangkah pelan menuju seseorang yang menangis dengan memakai pakaian serba putih namun lusuh.

"Lho, Asha?"

Pemilik nama mendongak, menampilkan kondisi yang berantakan. Maskara yang luntur, lipstik yang tercoret sampai ke pipi, dan rambut yang berantakan.

"Nalen.." panggil Asha dengan lirih. Dengan cepat, Nalen menaruh belanjaannya di tempat duduk bambu milik tetangga dan mendekati Asha untuk meneliti kondisi gadis itu.

"Kamu kenapa sendirian disini malem-malem? Terus kenapa berantakan kayak gini? Kenapa nangis? Dimana Dean?" tanya Nalen tanpa jeda. Namun Asha masih terisak kencang.

"Asha, liat aku." Nalen menangkup wajah Asha dan menatap Asha penuh kekhawatiran.

"Kasih tau aku kamu kenapa."

Asha menyedot ingusnya yang meler, "Dean..."

"Iya, kenapa sama dia?"

"Dean mutusin gue."

Setelah mengucapkan itu, tangis Asha kembali pecah sementara Nalen mengucapkan syukur didalam hati.

"Puji Tuhan... Eh."



kamus!
1. Cenanangan : Ngawur.
2. Poya haha : Ora papa / Ngga apa-apa.

eh eh eh? apakah Nalen dan Asha akan dekat lagi?
perjuangan Nalen buat benci Asha gagal dongg T___T

anw, aku double update untuk ucapan perpisahan (?) HAHAHA NGGA! aku bakal tetap update kok, tapi slow~ karena sabtu ini aku sudah berangkat PKL yeyyy
wish me luck untuk tiga bulan kedepan yaaww!

terimakasii~
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN! OTW 3K VIEWS NIII

•••

how to hate you.
09/05/24; how can you love me?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro