jū - shichi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke - 58

Ayu sedikit kebingungan, karena tidak biasanya Sigit absen mengirim pesan untuknya semalam, dan pagi harinya, dan perhatian kecilnya pun terlewat hari ini.

Ayu membuka ponselnya dan sedikit kecewa melihat notifikasinya yang kosong.

Astaga, gue kayak perempuan clingy sekarang, keluh Ayu, menyadari kekonyolannya.

Ayu berusaha konsentrasi dengan pekerjaannya, dan berhasil melakukannya sampai tiba-tiba Rini menepuk bahunya.

"Kenapa, Mbak?" tanya Ayu khawatir saat melihat raut wajah Rini yang tidak sedatar biasanya.

"Sigit tadi telepon ke Mbak, bilang minta cuti tiga hari. Kamu tahu kenapa?"

Ayu membelalakkan matanya.

"Nggak, aku nggak tau, Mbak."

Rini menghela nafas gusar, raut wajahnya tidak mampu dikontrol sedatar biasanya.

"Kenapa coba ini anak. Dia nggak pernah minta cuti sembarangan begini, mana lagi sibuk-sibuknya pula. Yudi sampai ngamuk di studio pas dapat kabar ini. Kamu benar-benar nggak tahu apa-apa?"

Ayu kembali menggeleng. Semalam Sigit kelihatan baik-baik saja, tidak ada yang aneh.

Ayu menimbang-nimbang sesaat, dan akhirnya menyerah. Dia mencoba menelepon ponsel Sigit karena penasaran sekaligus khawatir.

Terdengar nada sibuk, dan Ayu mematikan sambungan telepon, lalu beralih ke pesan singkat.

Ayu : kamu ga krj? Ada apa?

Delivered. Read.

Ayu menunggu, namun tidak ada tanda-tanda Sigit akan membalas.

Ayu kembali mengetik.

Ayu : Km kenapa? Something wrong?

Delivered. Read.

Hening.

Dalam hati Ayu mengumpat keras.

Apaan ini??? Apa yang terjadi???

***

Dua hari berlalu tanpa kabar dari Sigit, dan Ayu yang kebingungan dan khawatir - oke, khawatir terdengar terlalu sederhana. Ayu amat sangat khawatir, tanpa sadar bahwa hidupnya sudah amat terpengaruh oleh keberadaan Sigit, dan menghilangnya Sigit membuat dirinya kacau.

Bukan hanya dirinya yang kacau, seluruh anggota Petir pun kacau. Belum pernah Ayu melihat Bang Yudi semarah itu, dan membuat suasana studio menjadi seperti masa orientasi siswa jaman dahulu kala, yang masih sempat Ayu rasakan sebelum akhirnya kegiatan pem-bully-an terhadap junior dilarang di sekolah-sekolah umum. Semua orang terkena dampratannya, kecuali Mbak Rini dan Ayu tentunya. Puncaknya kemarin, ketika Rizal akhirnya tidak tahan dengan sikap Yudi, membanting tongkat drum dan berteriak balik pada Yudi sebelum meninggalkan studio sambil membanting pintu.

"Gue tau lo kesel sama Sigit, tapi jangan lampiasin ke kita dong!! Kita semua juga kesel sama Sigit, tapi kita masih bisa ngontrol emosi nggak kayak lo!! Mending kita libur dulu kalau gini caranya, nggak ada kemajuan sama sekali, yang ada lo marah-marah nggak jelas doang!"

Tapi bukan karena Petir meliburkan diri, makanya Ayu masih berbaring di ranjangnya pagi ini. Kepalanya pusing dan dadanya sakit setiap kali batuknya menyerang, dan hidungnya tak henti mengeluarkan ingus, membuat hidungnya lecet kebanyakan diusap dengan tisu.

Ayu benci flu. Penyakit sederhana yang gampang menyerang siapa saja itu tidak pernah sederhana kalau sampai dia yang terjangkit. Kalau orang lain hanya perlu minum obat generik dan cukup tidur, Ayu tidak. Selama belum minum obat dari dokter, Ayu akan tetap tersiksa.

Ponselnya berdering nyaring, dan Ayu dengan matanya yang berat kebanyakan bersin melirik nama yang tertera sebelum mengangkatnya.

"Ngapha?" Bahkan suaranya bindeng karena hidungnya mampet.

"Astaga, Yu. Lo kenapa? Flu?" tanya Nina kaget dari seberang telepon.

"Ngg..." gumam Ayu mengiyakan.

"Parah banget kayaknya. Lo di apartemen kan? Gue suruh dokter Richard ke sana ya."

"Hak husah. Ghue hau khe dhokthe ghue hajha," kata Ayu.

"Kacau banget sih suara lo," kata suara yang lain di ujung sana, yang Ayu kenali sebagai suara Flo.

"Ya udah, deh. Kita jemput lo ya. Lima belas menit lagi sampe. Kita udah deket."

"Khok khalian bha'eng? Hau khe mhana?"

"Anjir, Yu. Gue nyaris nggak ngerti lo ngomong apa," sahut Nina sementara Flo tertawa.

"Gue sama Nina pas banget mau ke dokter Kendra, ngecek spiral gue. Terus kita mau ngajakin lo. Pas bangetlah ini."

"Hhah?"

"Alat kontrasepsi, Neng. Masa lo nggak tau- oh iya, lo kan belum nikah." Lalu mereka berdua tertawa lagi, membuat Ayu semakin dongkol.

"Hamphet!!!"

Mereka berdua semakin keras tertawa.

***

Setelah diberi suntikan dan resep obat yang harus ditebus, Ayu menemani Flo mengantri di bangsal kandungan sementara Nina pergi menebus obat Ayu.

"Mendingan?"

"Mayan," kata Ayu. Hidungnya tidak semampet tadi pagi, dan kepalanya sudah sedikit lebih ringan, sudah bisa diajak berpikir lagi.

Ayu menimbang-nimbang dalam hati, mungkinkah Flo tahu Sigit ke mana? Mungkin saja Theo bicara sesuatu. Tapi Flo tidak mungkin tidak menceritakannya ke gue, batin Ayu.

"Yu, itu Sigit bukan?"

Ayu tersentak dan matanya mencari sosok Sigit, lalu menemukannya. Sigit mengenakan topi, sehingga wajahnya terlihat samar, tapi Ayu tahu itu Sigit.

Lalu jantung Ayu seakan berhenti, saat melihat dari mana Sigit muncul, dan siapa yang berdiri di belakangnya.

"Ngapain Sigit sama perempuan ke ruang praktek Ronny?" tanya Flo, mewakili kebingungan Ayu. Ronny, atau Ronald, adik laki-laki Flo yang juga salah satu sahabat Sigit, berprofesi sebagai dokter Kandungan.

Lalu entah bagaimana, Sigit menoleh ke arahnya dan terdiam selama beberapa saat, sehingga Ayu yakin Sigit mengenalinya. Namun belum sempat Ayu bereaksi, Sigit sudah memalingkan wajahnya dan menggandeng perempuan itu menjauh.

Ayu tidak suka berasumsi sendiri, tapi saat kejadian itu nampak di depan matanya sendiri, Ayu langsung mengerti kenapa Sigit menghilang dua hari ini.

Siapapun akan berpikiran sama dengannya, jika melihat penjahat kelamin kelas hiu macam Sigit keluar dari ruang praktek obgyn bersama perempuan yang bukan saudaranya. Ayu mungkin sangat pikun, tapi dia tidak lupa siapa perempuan yang bersama Sigit tadi.

Ini sebabnya dia tidak mau jatuh hati dengan penjahat kelamin seperti Sigit. Terlalu banyak resiko.

Tapi semua sudah terlambat. Hatinya telanjur patah, dan Ayu tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

***

Sigit baru saja keluar dari ruang praktek Ronald, satu-satunya obgyn yang bisa dia percaya karena dia adalah sahabatnya, saat matanya melihat Ayu di kursi tunggu bersama Flo dan dia terpaku.

Ayu menatapnya dengan mata sayu dan wajah tidak percaya, dan Sigit merasakan belati menusuk dadanya, menyakitinya.

Dia tahu dia salah, meninggalkan Ayu tanpa pemberitahuan, berlaku seenaknya, dan sekarang Ayu akan menganggapnya sangat brengsek. Tapi Sigit tidak punya pilihan. Dia harus menyelesaikan ini tanpa melibatkan Ayu. Ayu tidak ada hubungannya dengan ini. Ini salahnya sendiri.

"Gue bener-bener minta maaf, Git, karena menyeret lo dalam masalah ini," kata Yuli pelan saat mereka sudah berada di dalam mobil. Yuli pasti melihat keberadaan Ayu tadi dan merasa tidak enak.

"Jangan minta maaf dulu, Yul. Kita belum tahu siapa bapak dari bayi di kandungan lo."

"Tapi lo sama Ayu tadi-"

Sigit merasa matanya memanas, dan permintaan maaf Yuli membuat segalanya menjadi lebih buruk.

"Lo udah hubungin Bram?" potong Sigit cepat, dan Yuli mengangguk perlahan.

"Bram pulang minggu depan, setelah itu gue sama dia bakal cek juga."

"Oke, tar gue bikinin appointment-nya. Lo berdua ke Ronald juga aja."

"Oke, thank you."

Lalu keheningan yang canggung melingkupi mereka berdua, sebelum Sigit membuka suara kembali.

"Kapan lo berencana ngasih tahu pacar lo?"

"Sabtu ini."

"Good."

Keheningan kembali melingkupi keduanya, menelan mereka dalam pikiran masing-masing.

Pikiran Sigit berkelana ke dua hari yang lalu, saat semua bom ini dijatuhkan di depannya.

***

Dua hari yang lalu...

Sigit mengusap wajahnya dengan gusar, sementara Yuli meringkuk di sofa, dengan mata yang sembab kebanyakan menangis.

"Apa lo pernah nggak pakai pengaman, Yul?"

"Lo kira gue gila? Membiarkan cowok memasuki gue tanpa pengaman?"

Sigit kembali mengusap wajahnya, tahu kalau Yuli tidak mungkin sengaja menjebaknya atau pria lain dengan kehamilan. Yuli selalu well-prepared kalau soal pengaman. Tapi pengaman tidak menjamin seratus persen tidak akan terjadi pembuahan.

"Jadi hanya dua orang yang mungkin menjadi ayah dari bayi lo?"

Yuli mengangguk pelan.

"Selama ini, sampe dua bulan yang lalu, gue cuma pernah tidur sama lo dan Bram."

"Tunangan lo?" tanya Sigit. Sigit tahu siapa Bram. Aktor pendatang baru yang dulunya anggota boy band, yang selalu Sigit dan anggota Petir lainnya hina-hina dengan sebutan band banci. Sigit yakin sekali status Bram sama dengannya, selingkuhan Yuli. Tapi yang membuat Sigit bingung, bagaimana bisa tunangan Yuli tidak masuk daftar kemungkinan ayah dari janinnya?

Yuli mengusap wajahnya yang sembab, dan menarik nafas panjang, walaupun air mata kembali mengalir dari sela matanya.

"Gue minta maaf, Git. Gue selama ini bohong sama lo, dan sama Bram."

"Maksud lo?"

"Gue nggak punya tunangan."

"Apa?"

"Dia ngajak gue nikah, tapi orangtuanya nggak setuju. Jadi kami backstreet sampai sekarang sembari dia berusaha meyakinkan orangtuanya untuk menerima gue. Selama ini kalau gue bilang dia keluar kota, gue bohong. Dia nggak keluar kota. Dia ada di Jakarta, sibuk dengan pekerjaannya."

Sigit terdiam, membiarkan Yuli melanjutkan kata-katanya.

"Dia nggak pernah menginap di apartemen gue, dan dia tidak pernah melakukan lebih dari sekedar ciuman ke gue."

Jantung Sigit mencelos. Seketika itu juga dia mengerti.

"Lo nggak pernah tidur sama dia, makanya lo selingkuh."

Yuli mengangguk pelan. "He's too old-fashioned, dia nggak mau menyentuh gue sebelum kami menikah. Dia bilang dia nggak mau merusak gue."

Sigit tahu dia brengsek, tapi dia masih sadar kalau Yuli sangat keterlaluan. Pria itu jelas sangat mencintai dan menghargai Yuli. Sigit bisa mengerti karena itulah yang dia rasakan pada Ayu saat ini.

Tunggu, apa saat ini dia mengakui kalau dia mencintai Ayu??

Fokus, Git. Lo punya masalah yang jauh lebih besar saat ini. Masalah berupa janin yang tumbuh di kandungan Yuli.

"Oh, my God, Yuli. Bisa-bisanya lo selingkuh dari pria sebaik itu."

"I know!" jerit Yuli putus asa. "Tapi gue punya needs, dan dia nggak mau ngasih itu ke gue!"

"You need to talk to him."

"Iya."

"Sebelum itu, kita harus ke dokter. Kita harus cek bayi ini sebenarnya anak siapa."

"Oke.."

Sigit mengambil ponselnya dan menekan nomor salah satu orang di kontaknya.

"Halo, Ron. I need your help."

***

Setelah mengantarkan Yuli kembali ke apartemennya, Sigit memacu mobilnya kembali ke apartemennya sendiri.

Sigit berbaring di atas ranjangnya tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, dengan tubuh dan pikiran lelah, namun matanya nyalang, menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya membayangkan wajah Ayu yang kuyu dan lemas, dan raut wajahnya yang terkejut saat bertatapan dengannya tadi.

Apa dia sakit? Dia terlihat pucat.

Sigit menutup matanya dengan lengannya, membiarkan rasa sesak di dadanya menyiksanya, dan air mata mengalir di pipinya.

This is it.

Sigit yakin, Ayu akan meninggalkannya juga, seperti perempuan itu. Dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya.

Dan untuk pertama kalinya, Sigit menyesal.

Tbc

Sorry lama update-nya. Aku habis sibuk banget di dunia nyata, mumet banget, jadinya saban kali buka wattpad malah lanjutin baca cerita, bukannya mikirin lanjutan cerita aku.

Aku nggak berani janji update cepat, efek mau libur otaknya jadi nge-hang gitu 🙈🙈

Sorry for typos.

Sampai ketemu di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro